Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Apartemen Berdarah

Reza Fahlevi
26 min readOct 29, 2023
Photo by Jr Korpa on Unsplash

Di sebuah Apartemen

“Cek jenazahnya…” Ujar kapten Tiyo kepada salah satu bawahannya.

Polisi itu lantas memperhatikan jasad seorang lelaki yang tergeletak bersimbah darah di wajah serta sekujur tubuh. Sesaat kemudian ia menoleh ke Tiyo.

“Luka tusukan — masing-masing di leher dan di dada.” ujar polisi tersebut.

Tiyo mengangguk, sedangkan aku berjalan menuju ke dekat jendela. Dari lantai dua ku perhatikan ke sisi luar di mana kamar ini terhubung dengan area parkir. Hanya ada empat mobil di situ serta sebuah sepeda motor yang terparkir di paling sudut.

Sesaat kemudian, tak sengaja ku lihat ada seseorang mengenakan topeng. Ia berjalan santai dan menaiki sepeda motor tersebut. Sebelum berlalu pergi, ia menoleh ke arahku dan melambaikan tangan. Setelah itu, dirinya pun segera menancapkan gas dengan sangat kencang.

“Siapa dia…?” gumamku dalam hati.

Lantas aku berjalan mendekati jenazah lelaki ini. Posisinya yang tergeletak di lantai masih sama persis saat diriku tiba di sini; ia terbaring di situ dengan kedua tangan yang saling terbuka lebar serta hanya mengenakan celana pendek.

Kemudian ku perhatikan ruangan ini dengan seksama ke setiap sudut. Pertama yang ku tatapi adalah meja makan di mana di atasnya terdapat dua piring dan gelas berisi air mineral. Satu piring dan gelas sudah berkurang isinya, sedangkan sisanya… ku rasa masih belum tersentuh sama sekali.

Sudut selanjutnya, aku memperhatikan lemari baju yang terbuka; semua pakaian yang ada di situ berantakan. Selain itu, ada bercak darah menempel di pintunya serta di beberapa baju.

Masih penasaran, aku pun memilih berjalan ke sebuah ruangan yang terlihat seperti dapur sebab ada tempat cuci piring dan kompor. Tidak hanya itu, terdapat juga sebuah kulkas dua pintu. Aku lantas berjalan ke tempat lemari es itu dan membukanya. Begitu terbuka, tiba-tiba aku menemukan sebuah kepala wanita.

“Astaghfirullah hal’azim…” ucap seorang polisi sambil berteriak. Aku spontan menoleh ke belakakng dan melihat ternyata ia mengikutiku dari belakang.

“Kenapa ada kepala manusia di situ…” lanjut polisi ini.

Di momen ini, ku lihat sejeli mungkin kepala tersebut dan menyadari sesuatu.

“Detektif…” panggil kapten Tiyo, adapun aku menoleh padanya. “Kepala itu… sepertinya aku mengenalinya.”

“Ya…” sahutku. “Ini kepala seorang penyanyi ternama, Tari. Tapi, sebetulnya ini bukan sungguhan.” Lanjutku sembari mengambil kepala itu.

Benar saja, begitu ku pegang, aku langsung tahu bahwa kepala ini adalah potongan boneka yang dibuat persis seperti bentuk kepala manusia sungguhan.

“Bukan sungguhan?” tanya Tiyo.

Sambil menggeleng, aku menjawab, “ini kepala boneka.”

“Lalu apa maksudnya…?”

“Entahlah. Tapi mengingat korban yang terbunuh merupakan salah satu dari kalangan artis — juga penggalan kepala boneka ini yang mirip dengan penyanyi terkenal — sepertinya target selanjutnya dari si pembunuh adalah Tari.”

“Yang benar saja?”

“Hanya firasat… tapi bukan sembarangan firasat. Lagipula, aku sudah memperhatikan setiap sisi ruangan apartemen ini… dan ku rasa tersangkanya merupakan orang yang dekat dengan korban.” Cetusku.

Adapun Tiyo kembali bertanya, “dari mana kau tahu?”

“Meja makan — aku yakin, sebelum terbunuh, korban sempat menyajikan makan malam untuknya dan si tersangka.”

“Lalu, kira-kira siapa dia?”

“Mungkin seseorang yang sangat dekat dengan si pelaku. Dan dengan penemuan penggalan kepala ini, barangkali tersangka punya hubungan khusus dengan sang korban dan juga calon korbannya nanti.”

Setelah mengatakan itu, aku berjalan menuju kamar kecil yang tertutup rapat — sedangkan Tiyo dan dua bawahannya ku lihat mengikutiku. Ku coba buka tapi terkunci. Lantas ku ambil sebuah benda khusus untuk membuka pintunya. Begitu terbuka dan masuk, aku menemukan sebuah tulisan di dinding.

Aku yakin itu pasti ulah si pelaku juga. Adapun ia menulis: “Tertawa dan bersenang-senanglah dulu, setelah itu aku akan menjadi kematianmu”.

Di sini, aku melirik ke sekitar dan menemukan sebuah benda yang sangat kecil tertempel di langit-langit.

“Apa itu…?” Tanya kapten Tiyo. Aku menoleh padanya dan melihat ia juga sedang menengadahkan kepala, tepat ke benda kecil itu berada.

“Kamera…” sahutku. “Kita sedang diintai oleh si pembunuh.”

“Haahh…? Yang benar saja?”

“Kapten, dengarkan aku baik-baik; mengingat pembunuhan ini terjadi di apartemen dan yang menjadi korbannya salah satu artis, maka aku mau kau membentuk tim khusus untuk mengawasi Nadia — secara diam-diam. Kau mengerti kan maksudku?” Tanyaku yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Tiyo.

Setelah itu, aku pun bergegas pergi dari apartemen ini. Ketika sudah berada di ambang pintu, entah kenapa ada sesuatu yang membuatku curiga. Lantas aku berhenti berjalan dan menoleh ke sekitaran ruangan ini untuk kesekian kalinya.

Mulai dari sofa, televisi, rak handuk dinding serta langit-langit; baru ku sadari ternyata ada dua benda lainnya di dalam ruangan ini yang terletak di semua tempat yang ku sebut tadi. Adapun dua benda itu ku yakini merupakan kamera serta alat penangkap suara.

“Kapten… kami sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTV.” Ujar seorang polisi kepada Tiyo.

“Bagus, kita akan menyelidikinya di markas.” Sahut kapten. “Begitu tim medis tiba, segera bawa jasad korban ke rumah sakit untuk di autopsi.” Lanjut Tiyo lagi kepada beberapa anak buahnya.

Adapun aku memilih untuk segera meninggalkan ruangan ini. Dan baru dua langkah, kapten Tiyo memanggilku. “Detektif…” katanya.

Aku lantas menoleh dan menyahut, “ku serahkan rekaman CCTV padamu. Sekarang, aku harus pergi ke suatu tempat. Kita akan jumpa lagi besok pagi.”

Tiyo pun menanggapi perkataanku seraya mengangguk.

Keesokan Harinya

Pembunuhan yang terjadi tadi malam menewaskan seorang vokalis dari salah satu band terkenal, namanya Andi. Dia sudah berkecimpung dalam dunia musik selama 1 dekade.

Sebelum terbunuh, Andi dan band-nya sempat mengadakan konser. Aku sendiri juga tahu mengenai konser tersebut. Dan jika ku perhitungkan; konser selesai pukul 10 malam kemudian ia ditemukan tewas di apartemennya sekitar pukul 12… hanya berselang dua jam saja.

Adapun aku sampai di lokasi sekitar pukul 1 dini hari, beberapa menit setelah romobongan dari kapten Tiyo tiba. Dengan kata lain, Andi baru saja tewas saat kami menemukannya di apartemen.

Di Markas Besar Kepolisian Cot Jambee

Pagi ini, aku berada di markas sebab kapten Tiyo memintaku untuk datang. Dari halaman depan aku berjalan menuju ke ruangannya. Saat tiba di depan pintu, ku ketuk 3 kali lalu membukanya. Ku lihat Tiyo sedang duduk di meja kerjanya.

“Masuklah…” katanya.

Aku lantas berjalan masuk seraya menutup kembali pintunya.

“Maaf memanggilmu lagi…” lanjutnya.

“Apa ada masalah?”

“Bawahanku sudah menyelidiki rekaman CCTV, tapi anehnya tak ada yang mencurigakan. Padahal, rekaman itu sudah diputar ulang dari pukul 6 sore sampai Andi terbunuh. Namun tak ada tanda-tanda dari si pembunuh yang datang atau saat dirinya kabur.”

Sebelum menjawab, aku mengambil sebatang rokok dan membakarnya. Sedangkan Tiyo menambahkan, “apa ada kemungkinan Andi bunuh diri?”

“Tidak.” Sahutku. Kepulan asap keluar dari mulut serta hidung. “Itu murni pembunuhan.”

“Sepertinya memang begitu. Apalagi kau menemukan beberapa bukti di sana, termasuk penggalan kepala boneka yang mirip dengan Tari, juga tulisan yang ada di kamar mandi. Tapi, menurutmu sendiri bagaimana?”

Aku lantas duduk di hadapan kapten. “Sebenarnya, ada ruang rahasia di kamar Andi — ruang yang terhubung ke bawah tanah.”

“Ruang bawah tanah? Di sebelah mana?”

“Dekat jendela. Aku sempat berdiri di situ saat kalian sedang mengecek jenazah Andi. Pijakannya memang terasa seperti lantai biasa jika memakai sepatu, tapi jika diinjak dengan kaki telanjang dan dengan hati-hati, pasti akan terasa ada sebuah gumpalan kecil di situ. Jadi, tadi malam… saat kalian kembali ke markas, aku balik lagi ke apartemen Andi dan menemukan ruang bawah tanah itu. Ku telusuri jalannya dan tembus ke sisi belakang apartemen.” Jelasku.

“Jadi, si pelaku datang dan kabur dari ruangan itu? Pantas saja dia tidak terekam kamera CCTV.”

“Sepertinya tidak juga… aku beranggapan si pelaku tidak masuk dari ruang bawah tanah. Dia hanya kabur dari situ.”

“Jika tidak… lalu dari mana lagi dia masuk? Apa ada ruangan lainnya di apartrmen Andi?”

Ku tarik rokok sejenak lalu menjawab. “Aku yakin dia masuk dari pintu depan. Dugaan ini ku tekankan dengan dua piring yang berisi nasi di atas meja. Seperti yang ku katakan, sebelum terbunuh, Andi sempat menyajikan makan malam untuknya dan seorang lainnya; dan aku yakin ia menyajikannya untuk si tersangka. Jika pelakunya masuk dari ruang bawah tanah dengan cara tiba-tiba, pasti si vokalis itu terkejut. Dengan kata lain, ini merupakan pembunuhan berencana — si tersangka sudah mengatur semuanya, dan dia juga ku yakini tidak membunuh dengan tergesa-gesa.”

Di sini, ku perhatikan kapten Tiyo, ia terlihat duduk bersandar sembari mengelus-elus dagunya yang memiliki jenggot. Tak lama berselang, kapten mengambil sebungkus rokok dan mengeluarkan satu batang, lalu membakarnya.

“Jadi bagaimana kesimpulannya sejauh ini? Kau pasti sudah memilikinya, kan…?” tanya Tiyo.

“Hanya praduga — melihat caranya membunuh Andi, bisa saja ia akan melakukan hal yang sama kepada Tari nanti. Itulah kenapa aku memintamu untuk membentuk tim khusus agar mengawasi pergerakan penyanyi itu. Apa mereka sudah mulai bergerak?” Tanyaku balik.

“Sudah… karena kita tak tahu kapan si pembunuh itu beraksi, maka aku menyuruh mereka mengawasi apartemen Tari; beberapa juga ku instruksikan untuk mengikuti ke mana saja wanita itu pergi. Yang menjadi permasalahannya, kita tak tahu siapa sosok pembunuh itu.”

Aku kembali menarik rokok. “Kalau begitu, serahkan padaku.” Pungkasku.

“Maaf… jika harus jujur, aku memang butuh bantuanmu. Tapi, bagaimana dengan pekerjaanmu sendiri? Bukannya kau sedang punya misi lain?”

“Kasus pembunuhan ini takkan berjalan lama. Aku hanya memintamu untuk menyerahkan semuanya padaku —aku melakukannya sendirian. Tapi, biarkan saja bawahanmu mengawasi gerak-gerik Tari. Barangkali itu bisa mengecoh si pembunuh.”

“Baiklah…” sahut Tiyo. “Lalu dari mana kau akan memulai pergerakan?”

“Apartemen Tari.”

“Bagus… kabarkan apapun yang kau temukan di sana, walaupun hanya sebatas dugaanmu.” Katanya.

Aku pun bergegas bangkit untuk keluar dari ruangan Kapten Tiyo. Saat hendak berjalan, ia kembali bergumam. “Aku masih penasaran dengan kamera kecil yang ia letakkan di kamar mandi apartemen Andi. Jika kau tak keberatan, aku mau kau kembali ke apartrmen itu untuk mengecek apapun yang mungkin belum didapatkan oleh bawahanku.”

“Baiklah…” pungkasku.

Dua Hari Setelahnya

Aku sudah mengecek apartemen Andi dengan lebih detil, dan hasilnya diriku mendapatkan sebuah bukti yang sangat berharga. Meski sampai sekarang belum ku informasikan kepada kapten Tiyo mengenai hal itu, tapi ku jamin bukti tersebut akan tetap terjaga utuh selama masih berada dalam genggamanku.

Malam ini, aku mendapat kabar dari Tiyo; ia memerintahkan para bawahannya untuk memperketat pengawasan terhadap Tari. Sekarang, wanita itu sedang mengadakan konser. Dan dari jadwalnya yang berhasil ku ketahui; sekitar pukul 9 konsernya selesai, lalu ia akan bersegera berangkat menuju ke suatu tempat untuk membicarakan perihal shooting video klip dari lagu single terbaru miliknya.

Di Taman Budaya

Dari jarak yang sangat jauh, aku melihat Tari menggunakan teropong; ia sedang berada di atas panggung sambil menyanyi. Wajahnya terlihat cerah dan sangat bersemangat, apapagi para penonton begitu antusias melihat idola mereka sedang tampil.

Tapi, aku bisa melihat dengan sangat jelas — ada yang berbeda dari sikap Tari. Ada kesedihan yang sedang ia sembunyikan di balik bibirnya yang terus mengumbar senyuman kepada penonton. Ya… kabar kematian Andi sudah sampai kepadanya, dan lelaki itu sebenarnya adalah pacar dari wanita tersebut.

Aku paham bagaimana situasi Tari saat ini. Ia mencoba tegar dan tetap profesional di atas panggung meski ada kabar duka yang menyayat hatinya. Tapi begitulah dirinya; ia tidak hanya cantik dan memiliki suara yang indah… di balik itu, wanita tersebut memiliki sikap yang memang cocok untuk disematkan padanya sebagai seorang penanyi — itulah sikap profesional.

Dari kejauhan ini, sambil memerhatikan Tari, aku juga melirik ke sekitar masih menggunakan teropong. Dan ku lihat ada beberapa polisi bawahan Tiyo yang siaga mengawasi penyanyi wanita itu. Kemudian, aku melihat ponsel pelacak, beberapa juga sudah berada di apartemen Tari untuk mengantisipasi kehadiran sang pembunuh.

Setelah satu jam, konser pun selesai. Tari menutup penampilannya seraya melambaikan tangan kepada penonton. Lalu, ia berjalan ke sisi belakang panggung dan lenyap begitu saja dari tatapanku.

Di sisi lain, aku lantas bergerak menuju ke suatu tempat menggunakan Trail. Ku pacu kendaraan ini di kecepatan lebih dari 100 km/jam sampai tak lama kemudian diriku pun sampai ke tujuan.

Adapun tempat yang ku datangi adalah sebuah kantor yang terlihat seperti rumah — ini merupakan lokasi shooting video klip Tari. Dari sisi belakang, aku berjalan masuk melewati pagar.

Tak ada pintu masuk yang ku lihat di sisi belakang kantor ini melainkan hanya jendela yang tertutup rapat . Maka, aku pun berjalan perlahan-lahan hingga tiba di situ. Ku lirik-lirik sejenak sambil meraba-raba jendelanya, laku ku sadari bahwa jendela ini hanya memiliki satu kunci jenis bacokan. Lantas aku mengambil sebuah pisau yang sangat kecil dan tajam, ku masukkan benda ini ke sela-sela jendela dan memotong kuncinya tanpa ada suara keributan.

Begitu terputus, ku buka jendelanya dan mulai masuk. Tak ku ketahui ruangan apa yang ku masuki ini. Yang jelas, di sini terdapat banyak peralatan shooting seperti kamera, lighting dan lain-lain.

Di momen ini, aku melirik ke atas sejenak dan memutuskan untuk menerobos masuk melalui langit-langit. Awalnya ku cari-cari cara untuk naik sebab tidak ada tangga. Dan karena tak menemukan apapun untuk membantuku naik, maka satu-satunya cara adalah menggunakan perlatanku sendiri.

Aku mengambil dua pisau lainnya yang berbeda dari sebelumnya, lalu ku tusuk dindingnya dengan hati-hati. Ujung mata dari kedua pisau ini lantas masuk ke dalam pori-pori dinding. Untuk seterusnya, aku terus melubangi beton dan merayap naik seperti seekor tokek sampai kemudian diriku berada di langit-langit.

Gagang serta besi dari pisau ini sangat tebal dan kuat sehingga mampu menopang tubuhku. Lantas, begitu sampai di langit-lamgit, aku mencabut satu pisau dan melubangi plafon, adapun yang satunya tetap berada di dinding untuk menahan tubuh yang sedang merayap.

Ku lubangi plafonnya sebesar diriku dapat memasukinya, begitu selesai, aku lantas memanjat dan sukses berada di dalamnya. Di sini, aku lantas memakai kacamata tembus pandang dan seketika diriku dapat melihat keadaan di sisi dalam kantor dengan lebih leluasa. Ku lirik ke sekitar sejenak lalu memutuskan berjalan ke arah jam 2.

Saat berada tepat di tempat yang ku tuju, dapat ku lihat ada beberapa pria serta 3 wanita termasuk Tari yang ternyata sudah tiba. Mereka sedang duduk bersama —seperti sedang mengadakan sebuah rapat. Adapun orang-orang ini berada di dalam sebuah ruangan.

Lalu, aku menoleh ke kanan di mana beberapa meternya, jika aku berpindah ke sana, maka aku berada di sebuah ruangan lain. Maka, aku pun berjalan ke sana dan melubangi plafonnya lagi. Begitu terbuka, aku pun melompat ke bawah dan mendarat dengan sangat baik ke dalam sebuah ruangan yang sangat gelap tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Setelah itu, aku berjalan ke dekat dinding dan menempelkan sebuah alat penangkap suara. Alat ini mampu mendeteksi suara dari ruangan lainnya dengan catatan kedua ruangan tersebut saling bersebelahan. Seraya mendengar percakapan antara Tari dan beberapa orang di sana, aku senantiasa memerhatikan gerak-geriknya dari tempat ini dengan bantuan kacamata tembus pandang. Ku lihat, ia sedang duduk dengan wajah murung. Tak lama kemudian, wanita itu malah menangis sejadi-jadinya di tengah pembahasan yang mereka obrolkan. Adapun pembicaraan tersebut menyangkut paut tentang kematian Andi.

Inti dari pembahasan Tari di sini adalah dia takut untuk pulang ke apartemennya. Lalu, di tengah-tengah tangisannya, ada seorang wanita yang menawarkan si penyanyi itu untuk menetap di rumahnya.

Aku terus memperhatikan; Tari menolak berkali-kali untuk menginap di rumah temannya.

“Lalu kau akan tidur di mana? Di bawah kolong jembatan?” Ujar seorang wanita… ku lihat ia mengenakan kemeja dan memakai jilbab putih yang dililitkan ke leher.

Lantas Tari menjawab, “aku bingung…”

Percakapan itu menjadi semakin panjang di antara para wanita, bahkan Tari sampai curhat panjang perihal perasaannya yang sangat kehilangan sosok Andi. Sedangkan para pria hanya duduk diam saja sambil mendengar curahan penyanyi itu. Mereka semua turut bersimpati dan menunjukkan sikap empati kepada Nadia.

Setelah hampir setengah jam, pembahasan mulai mereda. Kini, Tari sudah memutuskan ia akan bermalam di mana. Dan ketika dirnya bersiap-siap pergi, aku bersegera berjalan ke dekat pintu dan membukanya sedikit. Seraya mengintip ke luar, aku menyetel sesuatu di arloji.

Lantas wanita itu pun berjalan, ia sama sekali tak menyadari diriku yang berada di dalam ruangan ini karena memang sangat gelap. Ketika ia berbelok dan berjalan, aku pun meletekkan tangan kiri yang tersemat arloji ke hadapan wajah sambil membidik. Hanya berselang sepersekian detik, sebuah jarum meluncur deras dan menempel di pakaian Tari — tepat di punggungnya.

“Itu saja sudah cukup…” cetusku dalam hati. Lalu, aku pun menutup pintu dan keluar dari dalam kantor ini.

Pukul 1 Dini Hari

Saat ini, aku sedang berada di jalan Mawar Handitta, tepatnya di sebuah rumah bernomor 10. Di dalam sebuah kamar yang gelap gulita — di sinilah aku terus memantau pergerakan Tari melalui ponsel pelacak. Ya, sekarang ini, ke manapun ia pergi akan terus terdeteksi olehku. Dan sekarang ia sedang berada di sebuah kafe bersama seseorang yang tak ku kenali.

Di sisi lain, aku juga bisa melihat dari ponsel ini; ada dua polisi yang mengawasi Tari. Dan juga, sebanyak lima bawahan kapten Tiyo terus bersiaga di apartemen wanita itu. Sejak dari kantor tadi, Tari masih belum juga kembali ke kediamannya dan malah singgah ke sebuah kafe tengah-tengah malam. Padahal, besok dia memiliki agenda shooting video klip sesuai janji dari hasil rapat sebelumnya.

Lumayan lama Tari berada di kafe itu . Aku menghitung… dirinya menghabiskan waktu selama lebih dari dua jam di sana. Sedangkan aku, dari dalam rumah ini tidak hanya memantau gerak-gerik Tari saja, tapi juga menguping setiap pembahasan yang ia utarakan bersama seseorang di sana. Dan pembahasannya masih berkaitan dengan Andi; Tari ragu apakah ia akan melapor kasus ini kepada pihak polisi atau tetap didiamkan. Padahal, polisi sendiri sudah tahu, tapi Tiyo meminta bawahannya agar seolah-olah pihak berwajib terlihat tidak ada pergerakan yang nyata.

Sejenak aku melirik arloji, sudah pukul setengah tiga dini hari. Lalu ku lihat ponsel pelacak, ternyata Tari sudah mulai bergerak. Akan tetapi, ia tidak kembali ke apartemennya melainkan ku tatap ke layar — wanita itu sedang menuju ke tempatku berada.

Dan tepat pukul 3, Tari pun tiba di rumah ini. Aku yang sedang berada di dalam sebuah kamar dapat mendengar suara pintu yang dibuka, juga suara obrolan dari Tari dan seorang wanita lainnya. Lantas, cepat-capat aku pindah menuju toilet. Untuk sementara di sini saja dulu, pikirku. Itu karena di tempat inilah satu-satunya lokasi yang bagus untuk bersembunyi — dalam situasi gelap gulita.

Mengenai Tari yang datang ke sini, ia memang memutuskannya sendiri saat masih berada di kafe tadi. Adapun rumah ini merupakan kediaman sahabat karibnya. Tari takut bermalam di apartemennya; satu sisi ia takut jika pembunuh itu tiba-tiba datang menghampirinya; kedua ia tak sanggup berada sendirian di apartemen karena terus kepikiran Andi. Jadi, alasan Tari menginap di rumah ini hanya agar situasi batinnya menjadi sedikit membaik sebab besok ia akan melalukan shooting video klip.

Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu kamar tempat diriku bersembunyi, lalu seketika ruangannya menjadi terang benderang.

“Pokoknya kau harus segera tidur, Tari. Ingat besok kau ada jadwal penting. Jangan sampai telat.” Ujar seorang wanita.

Di dalam toilet ini yang sengaja tidak ku tutup pintunya, aku terus mendengar wanita itu berbicara kepada Tari hingga ku di ujung percakapan, penyanyi tersebut membalas, “iya…”

Tak lama berselang, suasana menjadi hening. Lalu, tiba-tiba Tari sudah berada di depan toilet. Akan tetapi, ia tidak menyadari kehadiranku sebab lampu toilet tidak menyala, ditambah lagi aku mengenakan pakaian serba hitam... hal ini cukup membuatku tidak terdeteksi setidaknya sampai sejauh ini.

Ku perhatikan saja wanita itu — ia berdiri di ambang pintu dengan hanya mengenakan celana pendek ketat di atas lutut serta tanktop hitam. Saat ini, dirinya mencoba menyalakan lampu tapi tak kunjung bisa.

Oleh karena tak kunjung menyala, Tari lantas masuk saja tanpa peduli apapun lagi dan menanggalkan celana kemudian berjongkok. Setelah beberapa menit, ia mengambil air dan menyiram lantai beberapa kali. Setelah itu ia pun keluar dari toilet.

“Kau tidak apa-apa jika begitu saja…?” Lagi-lagi aku mendengar percakapan, kali ini dari Tari.

“Memangnya kenapa? Tidak ada laki-laki di sini. Lagipula, kita kan sama-sama perempuan.”

Percakapan mereka terus mengarah mengenai urusan wanita. Sepertinya sahabat Tari sedang menenangkan dirinya yang kehilangan Andi. Aku bisa mengetahui ini dari suara tawa yang terdengar dari mereka berdua.

Di sela-sela ini, suara kapten Tiyo terdengar olehku melalui radio penghubung yang ku sematkan di telinga. Ia menanyakan di mana lokasiku berada saat ini. Tapi aku tidak merespon — hanya diam sambil tetap menguping apa yang dibicarakan oleh kedua wanita itu sampai beberapa waktu kemudian suasana menjadi sunyi.

Aku tetap berdiam diri di toilet sekitar lima menit, dan tak lama berselang tiba-tiba saja Tari menjerit histeris. Suara teriakannya menusuk gendang telingaku. Lalu, seketika aku mendengar sepertinya mulut penyanyi itu dibungkam paksa; dapat ku yakini dengan suara teriakannya yang terdengar seperti tertahan oleh sesuatu.

Kini, aku dapat merasakan suasananya berubah menjadi mencekam dalam sekejap. Seraya menyetel sesuatu di ponsel pelacak, aku pun berjalan perlahan-lahan keluar dari sini.

Begitu berada di luar toilet, aku menatap ke arah ranjang dan melihat Tari sedang dicekik oleh sahabatnya sendiri dalam posisi terbaring. Dan wanita yang menyerang penyanyi itu sama sekali tidak mengenakan pakaian; ia telanjang bulat.

“Kau sudah merebut Andi dariku. Dasar perempuan murahan. Akan ku bunuh dirimu seperti aku membunuh Andi.” ujar wanita itu.

“Li…sa… ja…ngan…” kata Tari dengan terputus-putus. Ia berusaha keras menyingkirikan sahabatnya.

Aku sendiri masih diam tanpa reaksi; ku perhatikan dengan seksama wanita itu sambil terus berjalan mendekati mereka. Tak lama kemudian, ia menyadari kehadiranku dan seketika terkejut. Lisa — sahabat Tari — dengan cepat melepaskan cengkeraman tangannya dari leher sang penyanyi dan bergegas turun dari ranjang.

“Ka… kau…” teriak Lisa seraya menutupi payudaranya. “Tak salah lagi, kau orang yang berada di apartemen Andi pada malam itu. Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana caramu masuk?”

Aku tidak menjawabnya melainkan melihat Tari yang terbatuk-batuk dan berusaha menormalkan pernapasannya. Kemudian, ku tatap Lisa dengan sangat dingin hingga ia menjadi ketakutan. Akan tetapi, dirinya cepat-cepat membuka sebuah laci yang memang terletak bersebelahan dari ranjang, lalu mengambil pisau.

Lisa lantas menjambak rambut Tari seraya menempelkan ujung pisau ke leher wanita itu.

“Ku minta kau untuk segera pergi dari sini jika tak ingin melihat leher wanita ini putus…” ancam Lisa.

Balik mengancam, aku mengambil pistol dari dalam jubah dan mengarahkannya tepat ke kepala Lisa. Seketika itu juga tangannya menjadi gemetaran.

Melihat aku yang sangat serius membidiknya, Lisa pun melempar pisau ke arahku. Namun, benda tajam itu dapat dengan mudah ku tangkap hanya dengan satu tangan. Hal tersebut semakin membuat dirinya panik dan segera berlari ke pintu.

Tapi, belum pun dirinya sampai ke situ, aku sudah lebih dulu melempar sebuah besi berlapis baja tertancap tepat di gagang pintu, bahkan juga menembus ke dinding. Hal itu membuat Lisa tak bisa membuka pintunya.

Kini, Lisa sudah tak tahu harus melakukan apa. Ia berdiri menatapku dengan penuh rasa takut. Saking takutnya, ia sampai tak terpikir lagi untuk menutupi payudara serta area kewanitaannya. Adapun aku menyimpan pistol ke dalam jubah dan mulai berjalan mendekatinya.

“Setelah aku mengalahkanmu, ku minta kau untuk menceritakan semua hal yang kau lakukan saat membunuh Andi.” Gumamku dengan suara berat.

“Ta… tapi… bagaimana kau bisa tahu aku yang membunuhnya?” Tanya Lisa, namun aku tidak menggubriskannya.

Saat langkah yang kelima, Lisa lantas memberanikan diri; ia berlari mengambil stik golf, kemudian datang padaku seraya melayangkan benda itu ke kepalaku. Di sini, aku hanya menghindari pukulannya.

Lisa tak menyerah, ia kembali melayangkan pukulan menggunakan stik golf bertubi-tubi ke wajahku. Tapi tetap saja aku masih dapat menghindarinya dengan mudah. Sampai yang kesekian kalinya, sambil berteriak Lisa mengayunkan benda tersebut sekencang-kencangnya ke bagian dadaku. Dan hanya dengan satu gerakan, ku tangkis pukulannya dengan lengan, seketika alat pukul bola golf itu patah.

Lisa yang melihat aksiku tadi langsung terdiam; matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar seakan tak percaya terhadap apa yang ia saksikan barusan.

“Kau… Detektif Jimmy…” tiba-tiba Tari berujar.

Lisa melirik penyanyi itu sejenak lalu menoleh padaku, “De… Detektif… Jimmy…?”

Tak lama setelah mengatakan itu, terjadi ledakan beruntun dari dalam ruangan ini hingga membuat Tari dan Lisa berteriak panjang. Sekitar satu menit berselang, ledakan pun berhenti. Meski begitu, tak ada yang berantakan — semua peralatan yang ada di sini masih tertata utuh.

“Ledakan apa itu tadi…?” Tanya Tari seraya menatapku dengan sikap yang masih tak percaya. Aku lantas menoleh padanya — ku beri lirikan dingin tanpa berujar apa-apa. Dan sepertinya sikapku ini cukup membuat penyanyi tersebut paham.

Sedangkan Lisa… ku lihat sekujur tubuhnya gemetaran hebat. Lalu tak lama berselang dirinya malah berlutut sambil merundukkan kepala.

“Motifmu membunuh Andi hanya karena cemburu. Kau tak terima pria itu berpacaran dengan Tari setelah putus darimu. Tidak hanya itu, setelah membunuh Andi, kau juga berencana membunuh Tari. Sekarang coba katakan, apa omonganku itu salah?” Tanyaku kepada Lisa. Ia tidak menjawab melainkan hanya duduk berlutut dan masih dengan kepala yang tertunduk.

Adapun Tari menyanggah. “Kau benar-benar biadab, Lisa. Kau sudah menghancurkan kehidupanku.” Ujarnya.

Mendengar itu, emosi Lisa tersulut. Ia spontan membalas, “itu semua karena kau sudah mengambilnya dariku. Kau penyebab semua bencana ini terjadi. Kau tak pernah tahu bagaimana perasaanku terhadap Andi. Aku mencintainya dan tak ingin dia berlabuh ke hati wanita lain. Tapi, ternyata diam-diam dia berselingkuh denganmu. Sejak saat itu hubungan kami berantakan hingga akhirnya ia memutuskanku dan beralih padamu. Tidakkah kau tahu bagaimana hancurnya hatiku sedangkan kalian malah tega bermesraan di depan mataku? Apa kau tidak merasakannya Tari? Kaulah yang menyebabkan ini semua.”

“Jika kau tak suka dengan hubungan kami, kenapa sejak dulu tidak kau katakan? Kenapa kau malah mendukung diriku untuk berpacaran dengan Andi? Apa kau tak ingat dulu aku meminta saran darimu? Tapi kau malah menyarankanku untuk menerima Andi. Kenapa sejak dulu kau tidak jujur saja dan mengatakan kau masih mencintainya…? Kenapa, Lisaaa…?”

“Aku tak mungkin melakukannya…!” teriak Lisa. “Andi benar-benar mencampakku setelah mengenalmu. Tapi… tapi kau sahabatku… kau tahu aku berpacaran dengannya… seharusnya kau bisa mengerti dengan perasaanku saat itu. Tapi, kau malah mengabaikannya. Kau benar-benar perempuan murahan… kau perampas kebahagiaan orang lain. Kau sudah merampas satu-satunya pria yang ku cintai.”

“Hey…” Tari langsung memotong omongan Lisa. “Kenapa kau malah menyalahkanku? Sadar diri… kau sudah membunuh Andi, lalu tanpa rasa bersalah berkata dia pria yang kau cintai dan menuduh aku sudah merampas kebahagiaanmu. Sadar diri, Lisa. Kaulah yang sudah merampas kebahagiaanmu sendiri. Kau juga sudah merampas kebahagiaanku dan malam ini kau bahkan mencoba membunuhku. Kau benar-benar wanita jahanam.”

“Jangan katakan omong kosong! Andi itu milikku, sedangkan kau mencurinya dariku.”

“Setelah membunuh Andi kau masih bilang dia milikmu? Dasar tak tahu malu. Asal kau tahu saja, Andi sendiri yang memilihku. Dan dia datang kepada sosok wanita yang tepat, bukan kepada wanita pembunuh sepertimu. Kaulah… kaulah yang sudah merampas Andi dariku. Kau menghancurkan cintaku… kau menghancurkan seluruh kehidupanku.”

“Diaaammmm…!” Teriak Lisa histeris. Kini ia mulai bernapas dengan menggebu-gebu sambil menangis terisak-isak.

Adapun Tari berujar, “detektif, tolong jangan beri ampunan pada Lisa. Hukum dia seberat-beratnya. Dia itu pembunuh.”

“Sebaiknya pakai dulu pakaianmu dengan bagus…” balasku kepada Tari. Seketika ia menyadari bahwa selama ini dirinya masih mengenakan tanktop dan celana pendek. Lantas ia pun bergegas mengambil pakaian serta jilbab dan mengenakannya.

Di sisi lain, aku mengambil pakaian Lisa dan berjalan mendekatinya. “Tutupi tubuhmu sebelum yang lain datang.” Kataku seraya memberikan baju serta celana.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara mobil polisi. Mereka datang setelah aku memberi tahu lokasiku kepada kapten Tiyo melalui ponsel pelacak. Tak hanya itu, anjing-anjing yang menggong-gong pun juga menggema di waktu menjelang subuh ini.

Ketika ku dengar seseorang mendobrak pintu rumah Lisa, aku lantas bergegas pergi dari kamar tanpa sepengetahuan Tari serta sahabatnya itu.

Kini, posisiku berada di atap rumah dan seketika mendengar keributan dari dalam kamar Lisa. Adapun Tari menjelaskan semua kejadian yang baru saja terjadi termasuk mengatakan bahwa Lisa merupakan tersangkanya.

Setelah itu, aku melompat dari atap dan mendarat sempurna di pekarangan rumah. Gerak cepat, aku langsung berlari menuju Trail yang ku parkir di suatu tempat. Begitu menyalakan mesinnya, aku segera menancapkan gas.

Dua Hari Kemudian

Di suatu sore, aku duduk di sebuah kafe bersama secangkir espresso. Dengan mengenakan jaket kulit dan kaos oblong hitam di dalamnya, aku duduk sembari membaca buku. Tak lama berselang, mata spontan melirik ke kiri dan melihat Awsya sedang berjalan ke sini.

Begitu sampai, ia pun mengumbar senyuman seraya menarik kursi dan duduk. Sedangkan aku, mulai terpana terhadap caranya yang tersenyum tadi, tapi kemudian dengan cepat ku alihkan pandangan dari polwan itu.

Hanya sesaat setelah Awsya duduk, seorang pelayan wanita datang dan membawakan segelas lemon tea. Ia menaruhnya dengan sangat sopan di depan sang polwan, kemudian bergegas pergi.

“Belum pesan, tapi minumannya sudah tiba…” kataku.

“Siapa bilang…?” balas Awsya. “Aku sudah memesannya tadi.” Lanjutnya saraya menyeduh lemon tea menggunakan sedotan. Sedangkan aku beralih untuk kembali fokus membaca. Tanggung, pikirku… sebab ceritanya hampir selesai.

Dan begitu ku habiskan bacaannya, aku menutup buku dan meneguk espresso. “Jadi, ada keperluan apa mengajakku ke sini?” Tanyaku kepada Awsya.

“Memangnya tidak boleh aku mengajakmu?” Ia bertanya balik.

Aku lantas spontan menaikkan satu alis sambil bertanya-tanya, lalu menjawab, “yaa boleh-boleh saja. Aku cuma penasaran sebab jarang-jarang kau mengajakku ngopi.”

“Karena itulah aku mengajakmu sesekali di balik kesibukanmu mengurus para mafia.”Sahutnya sambil minum. “Ngomong-ngomong, kapten Tiyo menitip pesan untukmu. Ia menyampaikan terima kasih karena kau sudah membantunya menangkap pembunuh Andi.”

Aku menanggapi perkataan Awsya dengan anggukan. “Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menyampailannpesan itu kepadaku… walaupun sebenarnya Tiyo juga sudah menghubungiku melalui Whatsapp. Jadi, bagaimana kelanjutan dari kasus itu?”

“Lisa bisa terjerat hukuman mati. Tapi semua tergantung Tari sebagai saksi… jika dia bersedia memaafkan Lisa, ada kemungkinan hukumannya diringankan. Yaa paling tidak penjara seumur hidup.”

“Hmm… begitu ya…”

Lalu Awsya melanjutkan. “Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa tahu bahwa Lisa pembunuhnya? Ku dengar kapten sendiri saat itu tak menyangka bahwa pembunuh Andi itu seorang wanita.”

“Sederhana… aku hanya menjalankan tugasku sebagai detektif.” Jawabku.

Di sini, ku lihat Awsya sedikit kesal dengan jawaban yang ku berikan. “Selalu saja seperti itu… setidaknya kau merincikan setiap hal yang kau lakukan ketika mencari bukti.”

Lau aku pun tersenyum. “Banyak hal yang ku lakukan termasuk menyelidiki apartemen Andi di mana terdapat kamera pengintai dan alat penangkap suara yang sengaja ditaruh oleh Lisa. Inti dari itu semua… dapat ku katakan kasus ini mulai terarah setelah aku berhasil mempergoki seorang penjaga apartemen. Lisa bekerja sama dengan orang itu ketika membunuh Andi, dan itu pula yang menyebabkan polisi tidak menemukan apapun setelah memperdalam rekaman CCTV. Intinya, si penjaga apartemen tidak memberi semua rekaman CCTV kepada polisi dengan alasan listrik padam. Adapun listrik padam dari pengakuan orang itu terjadi pada pukul 5 sampai 6 sore — di waktu itu sebenarnya Lisa sudah berada di apartemen Andi dan menunggu lelaki tersebut sampai ia tiba.”

“Jadi, Lisa sudah berada di apartemen sebelum Andi tiba?”

“Ya…”

“Kalau begitu, seharusnya Andi terkejut ketika melihat ada Lisa di apartemennya.”

“Tidak juga, mereka sempat saling berbalas pesan Whatsapp sebelumnya. Sebenarnya, baik Lisa dan Andi sudah janjian untuk bertemu di apartemen itu. Tapi wanita tersebut memilih datang lebih awal… itu pun ternyata karena dia punya kunci apartemennya. Sebagaimana yang kita ketahui, Andi dan Lisa sempat berpacaran, kemudian hubungan mereka berakhir dan pria itu beralih pada Tari. Dan mengenai pertemuan Lisa serta Andi — mereka merencanakan sesuatu...”

“Apa itu?” Tanya Awsya penasaran.

“Sejak awal Lisa memang berniat membunuh Andi karena cemburu lelaki tersebut lebih memilih Tari. Tapi sebelum itu, ia ingin menguji sesuatu… Lisa berpura-pura merelakan keperawanannya demi membuktikan rasa cintanya kepada Andi . Ia ingin melihat apakah pria itu tergoda atau tidak setelah berpacaran dengan Tari. Dan ternyata Andi sama sekali tak menolak dan bahkan meminta Lisa untuk menunggunya di apartemen setelah ia selesai konser bersama bandnya. Intinya, Lisa menyadari sesuatu bahwa Andi merupakan tipe laki-laki cabul… ia mulai mengerti mantan pacarnya itu menggaet perempuan hanya untuk mendapatkan perawannya saja. Jadi sebelum membunuh, keduanya sudah saling bercumbu. Dan Lisa sengaja membuat Andi lengah dengan tampil telanjang bulat di hadapannya. Ia tahu itulah kelemahan mantan pacarnya, lalu tanpa ragu wanita itu langsung melancarkan aksi.” Jelasku panjang lebar.

Awsya lantas mengangguk-angguk. “Jadi ini semua perkara cinta. Terkadang cinta memang bisa membuat seseorang buta jika dia tak mampu mengontrolnya. Dan sepertinya cinta juga bisa menyeret seseorang ke dalam petaka besar; setelah membunuh Andi, Lisa bahkan berniat membunuh Tari. Padahal, Tari sama sekali tidak tahu menahu permasalahan ini.”

Adapun aku melanjutkan. “Sebenarnya, Lisa tidak berniat membunuh Tari. Mereka berdua bersahabat dan sangat dekat. Niat Lisa membunuh Andi karena pria itu juga berhasrat ingin mendapatkan keperawanan Tari. Itu diungkapkan oleh Andi sendiri sebelum Lisa membunuhnya. Tapi, karena hasutan dari seseorang, Lisa juga berniat membunuh Tari sebab ia merasa si penyanyi itu sudah merebut pacarnya.”

“Wah, sungguh di luar perkiraan. Tapi, bagaimana kau bisa tahu sejauh itu? Jangan-jangan sejak awal kau memang sudah tahu bahwa Lisa tersangkanya.”

“Sudah ku bilang, aku bisa mengetahuinya setelah memergoki petugas penjaga apartemen. Ia membuka semua rahasia karena takut terhadap ancamanku. Dari dialah aku tahu bahwa Lisa pelaku pembunuhan ini. Dan sejak saat itu, setelah aku mendapatkan informasi mengenai wanita tersebut, diam-diam aku terus mengintainya. Selain itu, aku sengaja meminta kapten Tiyo untuk mengawasi pergerakan Tari — semua untuk mengecoh Lisa.”

“Tunggu…” sahut Awsya. Ia meneguk lemon tea sejenak kemudian kembali berujar. “Semudah itu kau mengintai Lisa? Maksudku, para polisi saja tidak tahu di mana ia akan membunuh Tari. Mereka bahkan salah mengawasi tempat dengan berjaga-jaga di apartemen Tari, mengingat Andi juga terbunuh di apartemennya. Tapi kau — kau malah sudah tahu bahwa Lisa akan membunuh Tari di rumahnya. Bagaimana kau melakukannya sampai sejauh itu?”

“Itulah yang ku maksud mengecoh Lisa. Dengan para polisi yang berjaga-jaga di sekitaran apartemen, hal itu membuatnya memilih untuk membunuh Tari di tempat lain. Asal kau tahu saja Awsya, Lisa ini tipe wanita cerdas. Diam-diam dia menaruh kamera pengintai dan juga alat penangkap suara di apartemen Andi. Dia berniat melihat serta mendengar pergerakan polisi selanjutnya ketika dirinya hendak membunuh Tari. Aku yakin, dia mendengar semua percakapanku dan Kapten Tiyo saat menyelidiki kematian Andi. Dan mungkin sialnya wanita itu adalah aku mengetahui rencana senyapnya itu.”

“Hanya karena temuan-temuan itu kau lantas menduga Lisa akan membunuh Tari di kediamannya?”

“Tidak…” sahutku seraya menggelengkan kepala. “Sebenarnya itu hanya kebetulan. Malam itu, aku ke rumah Lisa untuk mencari sesuatu saat ia sedang berada di luar. Dan kebetulan, aku sendiri juga sedang mengawasi pergerakan Tari, aku menaruh sebuah kamera pengintai di pakaiannya. Jadi pada malam itu, ternyata Tari malah datang menemui Lisa. Nah, berawal dari situ lantas Lisa mengajak Tari bermalam di rumahnya sebab si penyanyi itu tidak berani tidur sendirian di apartemennya. Ia juga tidak mempercayai rekan-rekan kerjanya. Satu-satunya orang yang ia percayai hanya Lisa. Itulah yang terjadi. Ada unsur kebetulan di balik kasus ini, dan ku pikir keberuntungan sedikit berpihak padaku.”

Lalu, Awsya menatapku dengan sangat serius. “Begitu ya…” jawabnya. “Tapi untuk orang yang sulit ditebak sepertimu… ku rasa hanya sekedar kebetulan saja tidak masuk akal. Bahkan Tari dan Lisa saja tak menyangka kau tiba-tiba sudah menghilang dari dalam kamar itu hanya selang beberapa detik saja. Belum lagi, kau sering menangkap mafia di saat-saat tak terduga. Pergerakanmu dan kehadiranmu sama sekali tak mampu mereka ketahui. Jadi aku yakin, sebenarnya ada hal lain selain kebetulan yang membuatmu tahu semua rencana Lisa. Detektif, aku tahu kau tidak mengatakan semuanya sesuai dengan apa yang kau lakukan. Ada beberapa yang kau sembunyikan.”

Aku lantas tertawa. “Lagipula, untuk apa ku katakan semuanya? Toh, itu juga tak penting. Tapi yang terpenting, jangan panggil aku dengan nama itu jika kau melihat penampilanku seperti ini — cukup saat aku mengenakan jubah saja ini. Dasar… padahal sudah berapa kali ku ingatkan.”

Awsya pun tertawa. “Maaf… maaf.”

Setelah memberi penjelasan tak penting ini kepadanya, suasana seketika menjadi senyap. Awsya malah sibuk sendiri dengan lemon tea. Ia menyedot minuman itu dengan perlahan-lahan sambil meletakkan kedua tangan di atas meja.

Di momen ini, aku mengambil buku dan hendak memasukannya ke dalam tas kecil. Tapi, tiba-tiba Awsya memukul meja, membuatku spontan kaget dan menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

“Kau…” ujar Awsya sambil mengarahkan jari telunjuk kepadaku. “Kau melihat tubuh Lisa kan… dia tertangkap tanpa mengenakan busana — kau pasti melihatnya, kan…?”

“Iya, memangnya kenapa?” Tanyaku.

Awsya spontan mencubit lenganku. “Kau benar-benar melihat dia seperti itu…?”

“Ketika aku memergoki mereka berdua… Lisa memang sudah menanggalkan seluruh pakaiannya.”

“Dasaarr…” celotehnya geram. Awsya mencubitku dengan sangat keras sampai aku kesakitan dan spontan menyingkirkan tangannya dari lenganku.

“Ada apa?” Tanyaku lagi. Adapun ia segera meletakkan kedua tangan di sekitaran dada seolah-olah sedang menutupi area itu.

“Hey Awsya, kau pikir aku secabul itu?” ujarku.

“Tapi kau melihatnya tanpa busana…”

“Lisa itu pembunuh, mana mungkin aku menyuruhnya untuk mengenakan pakaian terlebih dahulu kemudian baru aku membersekannya.”

“Tapi kau tak seharusnya menatap…”

“Jadi bagaimana juga? Apa aku harus menangkapnya sambil menutup mata?”

“Dasarrr…” ia mencubitku lagi.

Di sini, aku malah tertawa melihat tingkah Awsya. Ku pandangi dirinya sedikit dalam hingga sepertinya ia mulai malu.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” Gumam Awsya.

“Aku baru sadar, ternyata kau lucu juga saat sedang kesal.”

Lantas Awsya lagi-lagi meletakkan kedua tangannya di dada. “Awas saja jika kau berani macam-macam denganku…”

“Apa aku terlihat seperti pria cabul?”

“Untuk orang yang bisa menyelinap diam-diam sepertimu, kau bisa melakulan segalanya. Apa lagi jika hanya sekedar mengintip perempuan.”

Ha ha ha… memang mudah saja jika aku mau melakukannya. Tapi, coba tatap mataku, apa kau pikir aku akan melakukan hal bodoh itu pada setiap wanita atau kepadamu? Awsya, aku punya kepentingan lain, dan itu adalah saat diriku mengenakan jubah di malam hari sambil menyusup ke markas musuh ketika mereka lengah. Untuk sekedar hal-hal cabul… aku sama sekali tidak sempat memikirkannya.”

“Tetap saja kau sudah melihat bentuk tubuh Lisa.”

“Sudah ku bilang… aku sedang berurusan dengan seorang pembunuh. Lagipula, aku sama sekali tidak menyentuh Lisa bahkan ketika ia menyerangku dengan stik golf, sedikitpun aku tidak menyentuh area tubuhnya — yang ada hanya aku menangkis stik golf itu yang seketika patah. Selebihnya, jemariku suci dari tubuh Lisa.”

“Lantas bagaimana kau mengalahkan wanita itu jika tidak bersentuhan dengannya?”

Sambil tersenyum aku menjawab, “ledakan. Aku sudah mensetel kamar Lisa tanpa sepengetahuannya… termasuk menyiapkan beberapa peledak. Dan ledakan tersebut berhasil membuat mental Lisa jatuh. Selain itu, aku sama sekali tidak menanggapi setiap omongannya — aku berlagak sangat dingin di hadapan Lisa, bahkan juga di hadapan Tari yang sejatinya merupakan korban. Bisa ku bilang, Lisa kalah karena melihat gelagatku — dia kalah tanpa satu pukulan mendarat di tubuhnya… apalagi sekedar menyentuh.”

“Hanya karena ledakan?”

“Iya… kau masih tak percaya? Harus dengan cara apalagi ku jelaskan padamu, Awsya…?” Tanyaku.

Tiba-tiba, Awsya terdiam. Ia melirik minumannya, lalu seketika tersenyum lebar hingga susunan giginya yang putih itu terlihat jelas olehku.

“Barangkali itu sudah cukup. Lagian, sebenarnya aku juga yakin kau bukan tipe pria cabul. Sikapmu itu… kau sangat dingin, tapi juga elegan. Aku tahu, kau yang sedang duduk bersamaku sekarang ini hanyalah sisi lain dari karaktermu. Karakter sesungguhnya dari sosokmu adalah saat kau beraksi di malam hari menangkap penjahat — sikap yang dingin dan ditakuti oleh para mafia — itulah dirimu yang sebenarnya, bukan yang saat ini sedang duduk bersamaku. Betul, kan?” Kata Awsya.

“Hmmm… begitu ya…”

“Tapi dari sikapmu yang dingin itu… aku malah tertarik untuk mengetahui bagaimana kau di masa lalu. Sosok yang saat ini sangat ditakuti oleh para mafia… sebenarnya bagaimana dirimu sebelum menjadi seperti sekarang? Aku ingin mendengarnya sebab menurutku, sepertinya dulu kau tidak bersikap seperti ini.”

“Dari mana kau tahu?”

“Aku hanya menebak saja. Apa betul?”

“Tidak sepenuhnya salah.”

“Kalau begitu, apa kau tak keberatan menceritakan tentang dirimu di masa lalu? Ini momen yang tepat kita membahas sesuatu di luar dari misi kita masing-masing. Sepertinya, cerita pada masa-masa SMA menarik untuk ku dengar.”

“Tak perlu…” sahutku. “Kau tak perlu mendengar kisahku semasa SMA karena terlalu banyak orang terbunuh — mereka semua sangat dekat denganku. Dan kau pasti takkan sanggup mendengarnya karena terlalu menyedihkan…”

“Menyedihkan…? Apa itu alasan kau menjadi sedingin ini?”

“Banyak hal terjadi di masa itu… yang terpenting, kau wanita yang beruntung bisa melihat aku bisa bersikap hangat setiap saat bersamamu. Walaupun senyuman yang terlihat dariku tidak secerah di masa lalu, paling tidak aku tak lupa caranya untuk tersenyum di balik banyaknya tragedi menyedihkan di kala itu.” Jelasku.

Awsya seketika tersenyum setelah mendengar ucapanku. “Mungkin kau masih ingat caranya senyum, itu karena adanya aku…” gumamnya.

“Ya, mungkin saja ini semua karenamu…” pungkasku.

Sedangkan Awsya ku lihat malah tersipu malu. Pipinya bahkan sampai merah merona, membuatku tak bisa mengalihkan pandangan dari dirinya yang seperti itu. Entah kenapa aku merasa sangat nyaman setiap saat bersamanya di waktu-waktu luang begini.

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet