Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Sudut Pandang Ke Tiga: Para Polisi Berbakat
Bagian I
Suara-suara anjing dari kejauhan saling sahut-menyahut, semakin lama terdengar semakin dekat saja. Ada banyak. Mereka mencari seorang buronan bernama Nadi, bandar narkoba yang baru saja kabur dari Rumah Tahanan Tanjung.
Awsya sudah berada di sebuah gedung tua, lebih tepatnya wisma yang tidak lagi digunakan. Ia waspada dengan kedua tangan memegang pistol sembari bersembunyi di balik tembok yang kusam. Mata wanita itu sigap melirik ke kiri dan kanan. Meski begitu, detak jantungnya berdenyut sangat tenang.
Tak lama berselang, hujan turun dan langsung mengguyur deras. Jilbab hitam serta hampir seluruh pakaian Awsya basah. Di waktu yang sama, radio penghubung yang ia lekatkan di kerah dalam jaket kulit memberi tanda.
“Di sini Fuad. Awsya, bagaimana situasi di sana?”
Wanita ini menatap jam tangan sejenak lalu menjawab, “tidak ada tanda pergerakan orang itu.”
Lalu polisi yang bernama Fuad tadi melanjutkan, “tetap waspada. Buronan ini orang yang terlatih. Jangan gegabah.”
“Dimengerti.”
Hanya lima detik berselang, suara tembakan sebanyak tiga kali terdengar dari lantai atas gedung tua ini. Lalu tiba-tiba seluruh lampu di sekitaran halaman wisma padam total.
Dengan kondisi gelap, Awsya kesulitan melihat ke sekitar. Ia pun terpaksa menyalakan senter untuk memastikan keadaan. Dari balik tembok, polwan ini mengarahkan cahaya putih yang menyilaukan tersebut ke dalam gedung.
“Awsya, apa ini ulah Detektif Jimmy…?” Lagi-lagi polisi itu menghubungi Awsya dari radio penghubung.
“Entahlah, Fuad. Ku pikir detektif sedang berada di luar kota sejak dua minggu lalu.”
Seketika suara jeritan lelaki menggemakan seluruh isi gedung tua ini. Awsya spontan mematikan senter sejenak.
“Awsya, tim Jaguar sedang dalam perjalanan ke tempatmu. Begitu mereka sampai, kau yang memimpin.”
“Aku…?” Awsya bingung.
“Sudah jangan membantah. Dengar, situasinya tidak bisa kita prediksi. Beberapa polisi sudah berada di atas sedangkan kita tak tahu berapa jumlah musuh meski si buronan itu melarikan diri sendirian. Maka dari itu, lakukan dengan strategi yang sudah kita rencakan.”
“Tapi, aku harus mengarahkan ke mana tim Jaguar nantinya?”
“Kita akan masuk dan membagi tim Jaguar ke dalam tiga kelompok. Dan kau akan memimpin salah satu kelompoknya untuk masuk dari sisi belakang wisma.”
“Baiklah kalau begitu…” sahut Awsya.
Sebelum mereka berdua selesai berbicara, Awsya mendengar Fuad mengatakan sesuatu. Suaranya agak samar-samar tapi ia yakin bahwa rekannya itu baru saja menyebut Detektif Jimmy. Begitu wanita ini hendak mengatakan sesuatu kepada Fuad, tiba-tiba radio penghubung mereka kehilangan sinyal, terputus begitu saja.
“Kenapa detektif ada di sini…?” Awsya bergumam dalam hati.
Sang polwan tetap bersembunyi di balik tembok gedung tua itu hingga pada akhirnya, lima menit kemudian Tim Jaguar yang beranggotakan 10 personel tiba. Kini tinggal menunggu Fuad yang seharusnya juga tiba bersamaan dengan yang lain.
“Detektif Jimmy ada di atas, kami melihatnya saat sedang menuju ke sini.” Ujar salah satu anggota Tim Jaguar, Wahyu.
Sedangkan Awsya tidak menyahut apa-apa. Ia mengambil ponsel dan melakukan sesuatu dengan sangat serius. Saat sedang sibuk dengan urusannya, Fuad pun tiba. Napas polisi itu terengah-engah, menandakan ia baru saja berlari kencang sebelumnya.
“Apa kau baik-baik saja, Fuad?” Tanya Awsya.
“Aku tadi melihat Detektif Jimmy… ia masuk melalui jendela yang ada di lantai dua.” Jawabnya sambil mengatur pernapasan.
“Fuad, aku tidak merasakan adanya tanda-tanda detektif di sini.”
“Tapi yang ku lihat tadi memang dirinya. Siapa lagi orang yang terbang menggunakan grapple gun dari tempat tinggi lalu menerobos masuk lewat jendela yang sempit, apalagi lampu-lampu di halaman sini mati. Sudah pasti itu ulahnya… lagipula detektif sering mengenakan jubah hitam, kan…”
Mendengar perkataan Fuad membuat Awsya kembali menatap layar ponsel. Lalu dirinya menoleh ke lelaki itu yang memang berdiri berhadapan dengannya.
“Siapapun orang yang kau lihat tadi, kita harus berhati-hati. Aku punya firasat buruk.” Gumam sang polwan.
“Apa kau punya kesimpulan lain, Awsya?” Fuad bertanya.
“Entahlah. Aku hanya tak yakin orang yang kau lihat tadi itu Detektif Jimmy. Tapi lupakan saja…” ujarnya sembari memperbaiki jilbab yang sedikit berantakan karena basah kuyup terkena hujan.
Tanpa berlama-lama, Awsya mengarahkan Tim Jaguar yang sudah terbagi dalam tiga kelompok untuk masuk ke dalam wisma.
Kelompok pertama akan tetap di lantai satu sambil bersiaga… Wahyu menjadi ketuanya. Sedangkan kelompok kedua, Fuad mengkomandoi pasukan ke lantai dua. Adapun kelompok ketiga, Awsya dan yang lainnya bergerak ke sisi belakang gedung untuk naik ke lantai tiga… lantai terakhir. Sang polwan menamai masing-masing kelompok dengan sebutan Jaguar 1, Jaguar 2 dan Jaguar 3.
Setelah mendiskusikan strategi perencanaan, para polisi terlatih ini bergegas menjalankan tugas masing-masing. Mulai dari sekarang, suara detik jarum jam terdengar lebih jelas masuk dari telinga Awsya.
Pukul 01:30 Malam
Situasi di dalam wisma semakin tidak bisa diprediksi. Dengan keadaan gelap, para polisi mesti menggunakan senter untuk menerangi jalan. Fuad yang memimpin tim Jaguar 2 sudah berhasil masuk ke dalam dan menaiki tangga untuk menyusuri lantai dua. Sedangkan Jaguar 1 tetap berada di luar sembari memantau situasi.
Adapun Awsya bersama Jaguar 3 sedang bersiap-siap naik ke lantai tiga dari sisi belakang wisma. Di sana, mereka menemukan sebuah tangga kecil yang menyatu dengan tembok luar wisma dan menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua.
Tanpa bersuara sedikitpun, Awsya memberi kode isyarat untuk menaiki tangga tersebut. Dua polisi kemudian berjalan di depan, senjata sudah siaga di tangan masing-masing. Awsya membuntuti dua polisi tersebut dan diikuti juga dengan yang lainnya.
Mereka berjalan beriringan dan saling melindungi satu sama lain. Ketika semua sudah berada di lantai dua, seketika terdengar suara tembakan. Kepanikan mulai mengacaukan tim Jaguar 3. Mereka terlihat bersiap membalas tembakan walaupun ragu ingin menembak ke mana sebab keadaan di dalam wisma lebih gelap dari di luar. Hanya ada senter yang menjadi penerang, benda bercahaya putih itu memang sudah menyatu dengan senapan.
Awsya lantas menaruh jari telunjuk di bibirnya, memberi tanda untuk tidak gegabah. Lalu sang polwan menunjuk dua orang untuk berjalan ke sisi kanan dan dua orang lagi ke sisi kiri. Sedangkan dirinya menuju ke sebuah pintu yang ada di situ.
Begitu wanita ini membuka pintu, ia terkejut karena melihat sesosok orang yang terbang ke atas dengan membawa satu orang yang sudah tidak berdaya. Sosok tadi membuat Awsya penasaran karena terlihat persis seperti Detektif Jimmy. Ya, seperti yang dikatakan oleh Fuad tadi, ciri-ciri utamanya jelas sebab detektif juga memakai jubah.
“Kapten, itu detektif…” ujar seorang polisi kepada Awsya.
Sang polwan terdiam sejenak, terlihat ia sedang memikirkan sesuatu. Lalu dirinya berujar, “tetap waspada.”
Wanita ini lalu memberi aba-aba untuk masuk ke dalam wisma dan segera naik ke lantai tiga. Saat sedang berjalan, ponsel Awsya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Kapten Tiyo.
“Berhati-hatilah. Ada orang asing yang ikut campur.”
Pesan dari kapten membuat Awsya menghubungi Fuad melalui radio penghubung, tapi dia baru teringat bahwa radionya sudah terputus sejak sebelum mereka masuk ke dalam wisma.
Dengan keadaan yang semakin mencekam, wanita ini memutuskan untuk langsung naik ke lantai tiga dan menelusuri setiap kamar yang ada. Ia mengesampingkan seseorang yang ikut campur tadi dan fokus saja kepada Nadi sang bandar narkoba.
Dalam perjalanan menuju ke sana, setidaknya ada beberapa kali suara tembakan yang terdengar. Hal ini membuat beberapa polisi yang bersamanya sedikit panik.
“Kapten, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah seorang polisi.
“Entah siapa yang menembak, kita tak tahu. Yang jelas, kita harus cepat untuk menangkap Nadi.” Jawab Awsya.
Para polisi lain terlihat ragu untuk meneruskan pencarian si bandar narkoba itu. Mereka mulai goyah.
“Dengar, detektif tidak ada di sini. Orang yang tadi kita lihat tadi pasti bukan dirinya.” Lanjut wanita ini.
“Bagaimana kau bisa mengatakan itu?”
“Aku tidak terlalu yakin juga, tapi ini hanya firasatku. Dan aku sama seperti detektif… tak pernah meragukan firasatku sendiri.”
Lalu, mereka pun melanjutkan pencarian. Melalui sebuah tangga utama dari lantai dua, Awsya dan tim Jaguar 3 langsung menginjakkan kaki di lantai tiga. Gerak cepat, mereka membagi tugas untuk mencari keberadaan Nadi.
Wisma ini memiliki 15 kamar dan setiap lantai terdapat lima kamar. Maka, Awsya dan seorang polisi berbelok ke kiri untuk memeriksa kamar 13, 14 serta 15. Sedangkan dua polisi lainnya menuju ke kamar 11 dan 12.
Kamar bernomor 13 dan 14 tidak ada tanda-tanda Nadi. Lantas, Awsya berjalan ke kamar terakhir, ia langsung mendobrak pintunya dan di waktu yang sama, dirinya bersembunyi di balik tembok kamar tersebut. Sembari mencoba mengintip ke dalam, ia memberi tanda jari telunjuk kepada rekannya untuk masuk.
Awsya pun berjalan dengan sangat waspada sedangkan polisi satunya mengikuti wanita ini dari belakang. Mereka saling melindungi; sang polwan menghadap ke depan sedangkan rekannya menghadap ke belakang dan berjalan beriringan.
Begitu keduanya melewati ambang pintu, seseorang keluar dari kegelapan dan menembak Awsya — tepat mengenai dadanya. Ia pun seketika tergeletak.
“Kapten…!” Teriak rekannya.
Panik… polisi yang menemani Awsya langsung berbalik badan dan membalas tembakan, mengenai paha kanan musuh. Di waktu yang sama, polisi ini berlari dan menghujani wajah orang yang menembak polwan tadi di wajah, membuatnya tergeletak tak ada perlawanan.
Setelah itu, polisi ini menoleh ke arah Awsya dan memburu langkah menghampiri sang polwan.
“Kapten…! Kapten…!” Ia memanggil-manggil wanita ini yang terbaring di lantai.
Tak ada darah yang menodai pakaian Awsya dan ini membuat rekannya kebingungan. Hanya berselang beberapa detik, ia membuka mata dan duduk. Sedangkan polisi tadi terkejut melihat kejadian ini.
“Apa yang sebenarnya terjadi, kapten?” tanyanya.
“Bukan apa-apa. Aku beruntung mengenakan setelan anti peluru di dalam — tembakannya tadi tidak melukai dadaku sama sekali.”
“Kau sudah seperti Detektif Jimmy… buat panik saja.”
Awsya hanya tersenyum mendengar ocehan polisi itu, lalu mengambil pistol yang sempat terlepas dari genggamannya, kemudian berdiri dan berjalan mendekati si bandit. Rekannya juga mengikuti wanita ini.
“Kau bawahan Nadi, kan…?” Awsya mengajukan pertanyaan kepada berandar itu.
“Terserah apa yang akan kau lakukan, aku takkan pernah mengatakan apapun tentang Nadi.” Sahutnya.
“Aku mengerti…”
Lantas Awsya memborgol pria itu. Dengan kondisi kaki yang sudah terluka, sepertinya lelaki penembak tadi tidak bisa melarikan diri.
“Sobek bajunya dan lilitkan di tempat luka. Bahaya jika darahnya terus keluar.”
“Baik, kapten…” sahut polisi pria.
Lalu Awsya mencoba menghubungi Fuad, namun radio penghubung mereka masih juga terputus. Sambil memikirkan cara lain, tiba-tiba bandit tadi mulai mengatakan sesuatu.
“Rekanmu Detektif Jimmy, sepertinya dia bekerja sedikit berlebihan, hmm…”
Awsya memandangi orang itu dengan wajah yang bertanya-tanya, “apa maksudmu?”
“Aku tahu detektif tidak membunuh orang-orang seperti kami. Tapi malam ini dia sudah melakukannya sebanyak dua kali kepada rekan kami. Kalian memang berniat menghabisi kami semua di wisma ini…”
“Jika yang kau maksud demikian…” Awsya seketika mengarahkan pistol ke bandit tersebut, lalu melanjutkan, “apa kau sudah siap mati sekarang?”
Bandit itu seketika tersulut nyalinya. Ia seakan tak percaya bahwa dalam satu detik, kepalanya bisa saja meledak. Matanya hanya memandangi Awsya dengan tatapan penuh ketakutan.
Sang polwan sendiri melihat lelaki itu sejenak, lalu menurunkan senjatanya.
“Aku bisa saja membunuhmu di sini… lantas, sikapku ini sudah cukup memberi bukti padamu tentang Detektif Jimmy?” Gumam Awsya.
Sebenarnya, wanita ini juga masih bertanya-tanya tentang sosok yang ia lihat ketika hendak memasuki wisma — sosok yang sangat mirip dengan Detektif Jimmy. Ia berpikir keras kenapa bisa menjadi seperti ini. Maksudnya, kenapa malah ada pemandangan yang terlihat seolah-olah Jimmy sedang berada di wisma. Padahal, beberapa hari yang lalu, detektif pergi ke luar kota bersama Benny karena ada satu urusan penting. Meski demikian, pria berjubah hitam itu memang terlihat jelas seperti Jimmy.
“Kapten…?” gumam rekan polisi wanita ini yang terlihat sedang kebingungan.
Awsya lalu menoleh ke polisi tersebut tanpa menyahuti sepatah kata pun. Di saat yang sama ia membelokkan arah pandangan ke bandit, pria itu terlihat ingin mengatakan sesuatu.
“Jangan bunuh aku…” ia memohon.
“Apa sikapku tadi belum cukup memberi bukti?” sahut Awsya.
“Tapi Detektif Jim — ”
Sang polwan langsung menyanggah. “Kau akan tetap di sini sampai polisi yang lain tiba. Aku… punya urusan untuk menangkap bosmu.”
“Tolong jangan bunuh dia…”
“Apa artinya Nadi bagimu?” Tanya Awsya.
“Kami juga berhak untuk hidup. Kami punya keluarga, sama seperti kalian juga. Oleh karena itu, jangan bunuh kami. Tolong hentikan Detektif Jimmy agar dia tidak membunuh bos kami. Beri kami kesempatan.”
Si bandit terus memohon kepada Awsya. Di sisi lain, sang polwan mulai risih dengan kata-kata orang itu yang terus-terusan membawa-bawa nama Detektif Jimmy. Ia lalu mulai mengancam.
“Semua tergantung padamu. Jika kau mau mengatakan di mana Nadi berada, nyawanya dan juga nyawamu akan selamat. Sekarang, apa yang kau pilih?”
Awsya menatap bandit tersebut dengan serius. Matanya tertuju lurus sembari menanti respon dari orang itu. Sedangkan sang berandal masih terdiam belum mengeluarkan sepatah kata pun untuk setidaknya dalam beberapa detik. Lalu kemudian…
“Tadi dia bersamaku di sini, tapi sekarang mungkin ia kabur ke atap wisma karna detektif itu…” gumam pria tersebut yang tiba-tiba berhenti berbicara.
Awsya lantas menyahut, “orang yang kau sebut Detektif Jimmy menembakinya, kan…?” Ia mencoba menebak kejadian yang dialami oleh Nadi.
“Iya…” lelaki itu menjawab sambil mengangguk. “Detektif memburu kami seperti anjing. Aku tahu dia pasti akan membunuh kami… seperti yang sudah ku bilang, dua teman kami sudah tewas.”
“Berapa orang dari kalian?” tanya Awsya.
“Kami berempat di sini.”
“Apa itu sudah termasuk Nadi?”
Berandal tadi mengangguk menjawab pertanyaan Awsya.
“Lalu kenapa kau bisa selamat?” Lanjut sang polwan lagi.
“Ketika menemukan bos yang sedang bersembunyi di sini, ia segera kabur karena melihat detektif. Jika ku duga, target utama Detektif Jimmy adalah bos. Ia ingin Nadi mati. Setelah itu, baru diriku.”
Ketika masih berbicara, suara tembakan kembali terdengar. Awsya dan rekannya bersiaga dengan pistol.
“Ku mohon… siapapun kau… selamatkan Nadi sekarang.” ujar bandit itu kepada sang polwan.
Kini, Awsya terdiam, ia sedang memikirkan tindakan apa yang harus ia ambil. Nadi sang bandar narkoba seharusnya menjadi target satu-satunya, tapi dengan kehadiran orang misterius berjubah hitam itu, wanita ini mulai bingung. Siapa yang mesti ia kejar menjadi sangat krusial sekarang.
Ia lalu menoleh kepada rekannya, di saat yang sama polisi itu juga melirik Awsya.
“Apa ada perintah, kapten?” tanyanya.
“Kau tetap di sini, aku akan ke atap.”
“Terlalu berbahaya jika kau pergi sendirian…”
“Tidak… justru berdua yang akan lebih berbahaya.”
“Tapi kapten — ”
“Dengar…” Kata Awsya, tangannya sibuk mengutak-atik pistol. “Ini bagian dari strategi. Kau tetap di sini sambil menanti bantuan… aku sempat menghubungi Kapten Tiyo untuk mengirim bala bantuan. Begitu mereka sampai, bawa bandit itu keluar. Kita akan berjumpa lagi di halaman depan.” Wanita ini sudah bersiap-siap untuk berangkat.
“Dimengerti.” Sahutnya. Ia hanya melihat Awsya yang mempersiapkan senjata lain.
“Kapten, berhati-hatilah.” Pungkas polisi ini lagi.
Awsya mengangguk dan langsung pergi ke atap. Ia keluar dari kamar 15 dan berbelok ke kanan, berlari sekencang mungkin menuju ke gudang wisma yang berada di lantai 3.
Begitu sampai, Awsya menendang pintu, seketika tebuka. Ia nyalakan senter yang ada di pistol, cahaya penerang itu silih berganti ia arahkan ke depan, kanan dan ke kiri… sesekali ia arahkan juga ke belakang apabila sewaktu-waktu ada sesuatu yang tak terduga.
Wanita ini terus menelusuri gudang hingga di sudut paling belakang ia menemukan tangga darurat yang barangkali menghubungkannya ke atap. Ia naiki satu per satu anak tangganya yang terbuat dari besi itu dengan sangat tenang. Nyaris tak terdengar sama sekali suara tapak sepatunya saat menaiki tangga.
Ketika sampai di anak tangga terakhir, ia berhenti sebab ada sebuah pintu. Memilih untuk tidak tergesa-gesa, Awsya menggunakan jemari kanannya untuk meraba-raba pintu tersebut, ia sedang memperhitungkan sesuatu, atau mencari tanda-tanda jikalau ada orang di balik sana.
Beberapa detik berselang, ia mematikan senter, menarik napas panjang lalu mengembuskannya — Awsya melakukan ini sebanyak tiga kali. Setelah itu ia pegang gagang pintu untuk membukanya perlahan-lahan… namun terkunci.
Tak ada pilihan lain, Awsya kembali mendobrak pintu… ini sudah yang kesekian kalinya ia melakukan itu. Begitu terbuka, dirinya langsung berjalan dan memang menghubungkannya ke atap.
Sebuah pistol sudah siap siaga di tangan. Di pinggang sebelah kirinya, ada pisau kecil yang tersangkut sedangkan di sisi satunya terdapat sebuah pentungan besi yang padat.
Situasi di atap terbuka bebas; ada kardus-kardus besar yang sudah kusam, beberapa ranjang di sudut atap sebelah kanan, juga lemari-lemari rusak. Awsya masih berada di ambang pintu, lalu berjalan ke depan dengan pistol ia arahkan lurus.
Dari ambang pintu, terdapat dua sisi tembok; kanan dan kiri. Jaraknya sekitar sepuluh hitungan langkah kaki. Awsya berjalan setapak demi setapak hingga akhirnya ia berada di garis yang sama dengan dua sisi tembok tersebut.
Wanita ini berdiam diri sejenak, ia menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan. Dan sepertinya tak ada tanda-tanda orang dari belakang. Lalu ia kembali berjalan. Baru satu langkah kakinya melangkah, tiba-tiba dari sisi tembok kanan, seorang lelaki menyerangnya dengan sebuah besi yang sangat padat dan besar.
Di waktu yang sama, Awsya spontan mengarahkan posisi tubuh sedikit ke kanan lalu menekukkan kepala serta dadanya beberapa senti ke belakang untuk mengelak serangan tak terduga itu yang tak lain dilancarkan oleh Nadi.
Tepat waktu, Awsya berhasil menghindar pukulan lelaki tadi, dan sepertinya ia memang sudah berfirasat bahwa ada orang di balik salah satu tembok. Tapi tak cukup sampai di situ, pria tersebut kembali menyerang. Kali ini Nadi mencoba peruntungan dengan menancapkan besi itu ke perut sang polwan.
Di sepersekian detik, Awsya mengambil pentungan lalu dalam sekejap…
Tiiiingg…
Awsya sigap menangkis besi padat itu dengan cermat. Gerakannya seperti kilat, seakan-akan ia mampu memprediksi arah serangan sang bandit.
Setelah dua percobaan gagal, lelaki tadi memilih mundur beberapa langkah. Sedangkan Awsya terlihat tenang-tenang saja, ia hanya berdiri sembari mengatur pernapasan.
“Menyerahlah, Nadi.” Ujar polwan ini. Ia mengarahkan pistol ke bandit itu.
“Tak kusangka malah kau yang datang bukannya Detektif Jimmy.”
“Maaf sudah mengecewakanmu…”
“Ooo tak apa juga. Aku bersyukur karena bertemu dengan wanita manis sepertimu.”
Awsya tersenyum sinis mendengar ocehan Nadi.
“Bawahanmu sudah kami atasi. Sekarang kau sendirian, maka menyerahlah…” Awsya memperingati lelaki itu.
“Jika ini hanya di antara kita, berarti bukan masalah besar.”
“Kau memang keras kepala…”
Nadi malah tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Awsya. Ia lalu juga mengambil sebuah pistol dari balik kantong jaket.
“Kita bisa beradu tembakan dari sini. Dan siapa yang telat akan mati seketika. Tapi…” Nadi tiba-tiba malah meletakkan senjatanya ke lantai.
“Aku suka membuat perempuan menjerit-jerit meminta ampun. Lalu, apa kau siap untuk berduel tanpa menggunakan senjata?”
Awsya tak menyahutinya dan terus ia arahkan pistol tepat ke kepala Nadi.
“Kalian sudah membunuh teman-temanku, sekarang aku punya kesempatan besar untuk melakukan hal yang sama. Bahkan, lebih kejam dari yang kalian lakukan.”
Awsya menatap lurus lelaki itu, sesekali matanya melirik lantai. Ia sedang menghitung dan memprediksi berapa langkah Nadi akan berlari untuk menyerangnya. Kemudian wanita ini juga memperhatikan sisi kanan dan kiri. Awsya, benar-benar membuat analisis untuk bertahan dan menyerang sekaligus.
“Barangkali, ia meletakkan pistol sebagai pengalihan.” pikir wanita ini dalam hati.
Ia tatap kaki, tangan serta wajah Nadi secara bertahap. Pergerakannya dengan tangan kosong barangkali dapat menjadi petaka.
Tak lama kemudian, Nadi melakukan pergerakan, ia berlari ke kiri sembari meraba punggungnya. Ternyata bandit itu masih menyimpan sebuah Shotgun dan langsung ia membidik Awsya.
Tapi, dengan firasat tajam, Awsya menggerakkan kakinya lalu melompat ke sisi kanan. Sepersekian detik setelah pergerakannya itu, satu peluru terbang namun hanya menyasar lantai.
Awsya tahu bahwa Nadi akan melancarkan tembakan selanjutnya. Maka, setelah menghindar dari serangan pertama, ia langsung membawa diri berguling sebanyak tiga kali — bersamaan dengan itu pula tiga peluru menyasar sang polwan— tak ada yang kena namun tubuhnya membentur tembok.
Dalam situasi ini, Nadi mencoba peruntungan terakhir namun Shotgun-nya kehabisan amunisi. Kesal, ia berlari kencang untuk kemudian mendaratkan sebuah pukulan keras di wajah Awsya yang baru saja bangkit menggunakan senapan.
Pukulan Nadi membuat muka sang polwan terhempas jauh ke kiri. Tumpuan kakinya mulai goyah dan penglihatannya juga menjadi buram. Adapun si berandal itu kembali menghujani serangan. Kali ini ia mengarahkan Shotgun-nya mengenai dagu Awsya, seketika tubuh wanita ini terangkat beberapa senti dan ambruk tak berdaya. Ada darah yang keluar dari mulutnya.
Belum cukup, Nadi meraih lengan Awsya, menarik paksa wanita itu untuk berdiri. Dalam kondisi lemah, sang polwan tak mampu melakukan perlawanan. Dan situasi ini menjadi angin segar bagi Nadi, ia langsung mencekam leher Awsya dari belakang dengan kedua lengan.
Adapun Awsya terus melakukan berbagai cara dengan memukul-mukul tangan Nadi meski itu hanya sia-sia.
“Ooo… kau kasar juga. Tapi bagaimana jika begini…” ujar Nadi. Ia mencekam leher Awsya lebih kuat dari sebelumnya, membuat wanita ini merintih tak karuan.
“Aakkhh… aakkhhh…”
Sedangkan Nadi malah tertawa riang. “Ha ha ha… ya, mendesahlah, terus begitu. Tapi ngomong-ngomong, desahanmu seksi juga. Kau membuatku semakin bernafsu untuk segera membunuhmu.”
Awsya sudah tak berdaya tapi tetap berusaha untuk membebaskan diri. Dalam momen tragis ini, ia berusaha untuk tetap tenang sembari mencari celah. Beberapa saat kemudian, ia mengambil pisau kecil dari sisi kiri pinggangnya kemudian menusuk paha Nadi.
Tusukan itu membuat si berandal tersebut menjerit namun masih belum cukup melepas cengkaraman tangannya dari leher Awsya.
“Sialan kau… cepat mati, jangan banyak tingkah.” gumam Nadi.
Lalu tusukan kedua dengan otomatis membuat Nadi terpaksa mendorong jauh Awsya. Ia terlihat sedikit menekuk menahan kesakitan sembari memegang pahanya yang mengeluarkan darah. Sedangkan sang polwan berusaha berdamai dengan dirinya sendiri, sebisa mungkin memperbaiki ritme pernapasannya yang terengah oleh sebab cekikan si berandal itu.
Setelah agak stabil, Awsya sudah bersiap untuk menyerang Nadi sebelum lelaki itu juga menyerangnya. Dan baru ia sadari ternyata pistolnya terlepas dari tangan saat ia berjibaku dengan Nadi tadi.
Wanita ini menatap si bandit sejenak yang masih juga kesakitan, lalu melakukan ancang-ancang pergerakan untuk mengambil pistol yang ada di lantai… kira-kira berjarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri.
Nadi menyadari itu, ia pun bergegas mengambil amunisi lain dan memasukkannya ke dalam Shotgun. Keduanya harus cepat mengambil tindakan atau salah satu dari mereka bisa terluka lebih parah atau bahkan mati seketika.
Situasi ini dimenangkan oleh Nadi, ia berhasil lebih dulu mengisi amunisi dan membidik Awsya.
“Jangan coba-coba…” ancam bandit itu tepat di saat Awsya hendak mengambil pistolnya. “Sekarang… berdiri menghadapku.” Lanjutnya lagi.
Tak punya pilihan, Awsya ikut saja apa yang dikatakan oleh si napi bandar narkoba.
“Polisi manis,” ujar Nadi. Ia mengarahkan senapan tepat ke kepala Awsya. “Ucapkan selamat tinggal sekarang.”
Setelah mengatakan itu, Nadi menekan pelatuk Shotgun…
Dooorrr…
Tak disangka-sangka, Nadi malah ambruk. Si bandar narkoba itu lebih dulu tertembak. Awsya yang berdiri di hadapannya, hanya berjarak sekitar 20 meter saja, terkejut bukan main.
“Apa yang terjadi? Siapa yang menembak?” Gumamnya dalam hati.
Begitu seluruh tubuh bandit itu ambruk dalam posisi telungkup, Awsya membawa mata untuk menatap jauh ke depan. Di ambang atap wisma, ada seseorang berjubah hitam memegang senjata laras panjang.
“Detektif…?” Awsya spontan membatin.
“Heyyy apa yang kau lakukan, detektif?” Sang polwan seakan tak percaya terhadap apa yang ia lihat tadi.
Meski Awsya bertanya seperti itu, namun dirinya masih belum dapat memastikan siapa sosok berjubah tersebut sebab wajahnya tidak tampak jelas, hanya cara berpakaiannya yang terlihat mirip seperti Detektif Jimmy.
Ia pun segera menekukkan badan dan mencoba mengambil pistol di lantai. Namun belum sempat Awsya mendapatkannya, orang berjubah hitam tadi mengeluarkan tembakan peringatan yang ia arahkan ke lantai, nyaris saja terkena kaki wanita ini.
“Senjatanya bukan sembarangan, pistol otomatis jenis MAC-10. Apa-apaan orang itu…” Awsya kembali berceloteh dalam hati.
Perlu diingat, senjata model seperti itu juga dimiliki oleh Detektif Jimmy namun ia jarang menggunakannya sebab bagi detektif, pistol itu agak sulit ia control. Terhitung hanya beberapa kali saja Jimmy membawa serta senjata tersebut. Selebihnya ia sering menggunakan senjata-senjata unik yang ia rancang bersama seorang polisi bernama Jack. Polisi itu merupakan ahli dalam merakit senjata.
Kembali kepada Awsya dan lelaki berjubah hitam.
Orang itu memberi tanda dari jari telunjuk kiri agar Awsya tidak mencoba-coba mengambil pistol. Dan karena hal itu, ia hanya dapat berdiam diri di saat sang pria berjubah hitam itu berjalan mendekatinya selangkah demi selangkah. Tapak sepatunya terdengar lebih jelas di telinga Awsya.
“Siapa kau…?” tanya Awsya namun orang itu tidak menyahut sepatah kata pun. Ia terus mendekati Awsya.
“Berhenti…! Jangan mendekat…! Atau, aku akan melempar pisau ini” Polwan ini mengarahkan senjata tajam tersebut.
“BERHENTI DI SITU!!!” Awsya berteriak lantang. Kini napasnya mulai memburu. Adapun darah yang dari bibirnya masih juga menetas akibat pukulan keras Nadi tadi.
Lelaki berjubah hitam itu lantas berhenti, namun sekarang dia malah membawa senapannya membidik Awsya. Pemandangan ini seketika membuat polisi wanita itu tersentak. Dalam hati ia berkata bahwa kematian akan segera menghampirinya.
Seiring dengan detik berjalan, jari orang itu sudah tinggal menekan pelatuk senapan. Lalu, ia pun menembak…
Dooorrr
Melesat.
Tapi tidak juga…
Itu karena Fuad. Ia datang tepat waktu dari belakang kemudian menarik lengan Awsya lalu mencampaknya jauh ke sisi kiri bersamaan dengan dirinya juga berguling-guling sebanyak empat kali ke sisi yang sama. Berkatnya, Awsya selamat dari sasaran peluru tajam. Kejadian ini cukup membuat si pria berjubah hitam itu terheran-heran sesaat.
Tanpa berlama-lama, Fuad langsung membalas tembakan tepat setelah tubuhnya berhenti berguling. Dalam posisi berbaring menyamping, polisi ini menghujani dua peluru sekaligus, namun lelaki berjubah tadi masih sigap menghindar.
Melihat ada dua polisi yang tangguh dan bertalenta tinggi, lelaki itu mulai goyah. Sepertinya ia menyadari kemampuan Fuad sebagai penembak jitu. Maka ia berbalik badan dan langsung berlari ke tepian atap. Tujuannya jelas yaitu terjun dari atas sini.
Akan tetapi, hal yang tak terduga lainnya kembali hadir. Ketika dirinya hendak melompat, tiba-tiba saja Kapten Tiyo datang dan menedang lelaki berjubah hitam itu, mengenai tepat di perut sebelah kanannya, ia pun tercampak jauh.
Bergegas bangkit, dirinya berusaha secepat mungkin mengarahkan senjata untuk menembak Tiyo. Namun, polisi berpangkat AKBP tersebut melakukan pergerakan lebih cepat dari pria berjubah hitam itu. Sang kapten mengambil pisau yang terekat di pinggang kanannya lalu dengan jeli melempar benda itu ke arah lawan.
“Aaakkkhhh…” pria itu berteriak karena pisau tadi mengenai tangannya.
Masih belum menyerah, ia tetap berusaha untuk menembak meski genggaman tangannya terhadap pistol otomatis semakin melemah. Di momen ini, Tiyo berlari dan lagi-lagi ia tepat waktu. Seakan tak ingin memberi kesempatan, sang kapten berhasil merebut senapan musuh lalu melayangkan kepalan tinju ke wajahnya — serangan ini mengenai pipi kanan dan kiri pria itu secara bergantian.
Pukulan ketiga juga tak mampu ia hindari, Tiyo menyasar hidung orang itu, membuat kepalanya terdorong ke belakang. Kini, kedua kakinya mulai sulit menopang tubuh, lelaki itu sudah hampir ambruk.
“Ternyata, kau memang bukan Detektif Jimmy. Berani sekali kau menirunya sampai sejauh ini.” Ujar Tiyo dengan satu tangan mencekik keras leher lawannya. Mereka berdua berdiri saling berhadapan.
“Dan kau juga mencoba melukai rekan-rekanku… orang sepertimu sangat berbahaya, maka aku tak boleh membiarkanmu berkeliaran bebas… tidak di kotaku Cot Jambee ini.”
Dalam situasi buruk, pria berjubah hitam itu malah menyempatkan diri mengumbar senyuman. Padahal, napasnya sudah mulai tersangkut akibat cengkraman hebat tangan Tiyo di lehernya.
“Asal kau… tahu…” ia mencoba berbicara dengan suara terputus-putus. “Cot Jambee… juga kotaku”.
“Ooo begitu ya. Lalu kenapa kau malah membuat onar dengan meniru Detektif Jimmy…?”
“Kau… ingin tahu? Tunggu… kode dariku…” pria ini bergumam.
Tahu posisi kapten sedikit lengah, pria ini lantas memasukkan tangan kanannya ke dalam jubah, mengambil sebuah benda berbentuk bulat lalu menjatuhkannya ke lantai.
Beriringan dengan jatuhnya benda itu, mata Tiyo sigap meliriknya. Dan begitu menyentuh lantai, polisi ini punya perasaan buruk. Ia pun segera melepas cekikannya dan melangkah menjauh.
Hanya dalam satu detik setelah benda itu menyentuh lantai, tiba-tiba asap mulai muncul dan terjadi ledakan kecil sebanyak lima kali. Kesempatan ini menjadi angin segar, pria berjubah tadi kabur, mengambil grapple gun untuk menyasarkannya ke sebuah pohon yang tak jauh jaraknya dari gedung wisma.
Ia menekan pelatuknya, lalu tali pun menjalar keluar tersangkut di sebuah dahan pohon.
Taapp…
Tubuhnya segera tertarik ke sana.
Namun, ia salah memperhitungkan jarak, begitu pria itu melompat dari atas gedung, dahan yang menjadi penyanggah terhadap tali grapple gun malah patah. Ia pun terjatuh ke bawah. Beruntung, tubuhnya tertimpa beberapa kardus besar sehingga menghindarinya dari luka berat.
Di sisi lain, dari atap wisma, Tiyo mengambil pistol dan menembaki pria itu dari atas — kapten tidak menyasar area vital seperti kepala atau bagian dada, ia hanya menembak agar orang itu tidak kabur. Dan dari empat peluru yang keluar dari senjatanya, satu berhasil mengenai lengan si peniru Detektif Jimmy itu.
Akan tetapi, pria berjubah hitam tersebut tetap tidak menyerah. Dengan posisi terluka, ia berusaha sekuat mungkin untuk kabur. Dirinya bergerak cepat dari tumpukan kardus, kemudian melarikan diri.
Ternyata di dekat situ ada sebuah sepeda motor sport. Segera ia nyalakan dan berlalu pergi. Bersamaan dengan itu, Tiyo terus menembak tapi tak ada satu pun yang tepat sasaran.
Tiba-tiba Awsya datang, berdiri di samping Kapten Tiyo — di tangannya sudah ada sebuah pisau. Dari atap wisma dan jarak yang lumayan jauh dari pria berjubah hitam itu, polwan ini melempar pisaunya. Senjata tersebut terbang, meluncur deras melewati hadangan angin dan berhasil mengenai ban belakang sepeda motor pria itu.
“Woow…” Tiyo takjub melihatnya.
Akibat pisau itu, lelaki yang meniru detektif tersebut hampir saja terjatuh. Tapi dirinya tak peduli dan terus menancapkan gas meski sepeda motor besar yang ia tunggangi mulai oleng, dengan perlahan hilang dari tatapan mata.
“Akhirnya bakat terpendammu muncul. Kau cocok jadi seorang sniper, Sya…” pungkas Tiyo lagi.
Sang polwan hanya tersenyum sembari membersihkan bekas darah dari bibrnya. Tak lama kemudian, Fuad juga bergabung bersama mereka dan mulai berbicara tentang kasus ini sedari dari kaburnya Nadi si Bandar narkoba hingga ia tewas tertembak oleh sosok pria berjubah hitam tadi.
“Siapa dia?” Fuad bertanya tentang orang yang mirip Detektif Jimmy itu.
“Entahlah…” sahut Tiyo.
“Awalnya kupikir detektif sampai pada akhirnya aku menemui Awsya di sini. Sepertinya orang itu memang berniat membunuhmu tadi.” Fuad bergumam dan menoleh ke Awsya.
“Boleh aku berpendapat?” Ujar wanita ini. Kapten mengangguk.
“Sejak aku bertarung dengan Nadi hingga orang itu tiba-tiba muncul dan menembak si Bandar narkoba, ku pikir awalnya lelaki berjubah hitam itu hanya menargetkan Nadi untuk mati. Namun entah karena sikapku atau ada faktor lainnya, ia juga mencoba membunuhku.” Awsya menjelaskan.
“Dari mana kau tahu?”
“Bahasa tubuhnya…”
“Haah…” Tiyo tak mengerti.
“Setelah menembak Nadi, ia memberi isyarat agar aku tidak menyerangnya. Tapi ku abaikan sebab… siapa yang tidak khawatir berhadapan dengan orang misterius seperti itu. Lagipula, senjata yang ia gunakan juga levelnya berbeda dari punyaku. Aku hanya berprasangka bahwa tak ada satupun yang dapat ku lakukan untuk mempercayai orang itu.”
Tiyo mengangguk lalu merespon, “kau benar Sya. Dan jika kita melihat lebih teliti, benda yang ia gunakan sebagai peledak tadi… lelaki itu bukanlah orang sembarangan. Dia memakai jubah persis sama seperti yang dikenakan detektif, bahkan… di balik jubahnya ia menyimpan senjata lain.”
“Perlu diingat juga…” Fuad menyanggah, “dia memutuskan radio penghubung kami, memadamkan lampu, juga menggunakan grapple gun lalu terjun dari atas gedung untuk kabur. Detektif sering melakukan hal serupa saat menjalani kasus.”
“Ya…” jawab kapten. “Tapi apa tujuannya berlagak seperti detektif?”
Mereka bertiga serentak berbalik badan dan melihat jasad Nadi yang tergeletak tak bernyawa. Suasana menjadi hening untuk sesaat. Tak lama kemudian, gerimis kembali turun setelah sempat berhenti.
“Aku punya informasi… terdapat tiga orang lainnya selain Nadi di sini, mereka adalah bawahannya.” Awsya memulai pembahasan lagi.
“Kau dapat dari mana?” Tanya kapten.
“Anak buah Nadi. Timku berhasil menangkap orang itu di lantai tiga kamar 15.”
“Lalu di mana yang lainnya?”
“Dari pengakuan bawahan Nadi,” Awsya menoleh ke Tiyo, “mereka semua tewas, lelaki berjubah itu membunuhnya. Dan sekarang Nadi sendiri mati.”
“Berarti, sejak awal orang berjubah itu memang berniat membunuh para Bandar ini.”
Kapten Tiyo lalu mengambil bungkus rokok dari saku celana lalu mengeluarkan satu batang dan membakarnya. Setelah kepalan asap menyembul dari mulut serta hidungnya, ia kembali berujar, “siapapun orang berjubah hitam itu, kita harus mencarinya. Gayanya yang mirip seperti Detektif Jimmy membuatku khawatir. Dia adalah seorang keparat… pembunuh bajingan.”
Tiyo begitu geram terhadap sosok pria misterius berjubah hitam yang menyerupai Detektif Jimmy. Sambil merokok, ia mengepal tangan kirinya dengan sangat keras, menandakan bahwa polisi berpangkat AKBP ini tak ingin memberi ampun kepada orang itu.
“Apa yang harus kita lakukan?” Fuad bertanya.
“Aku sendiri bingung.” Sahut Tiyo yang menyembulkan asap lalu melanjutkan, “jujur, aku tak bisa menangkap orang itu sendirian. Ku harap detektif segera kembali dari luar kota. Tanpanya, sepertinya agak mustahil.”
“Aku akan membantumu, kapten…” Awsya menyahut. “Akan ku lakukan sebisa mungkin untuk melacak orang itu.”
“Tapi, terlalu berbahaya, Sya.”
“Selama ini aku sudah banyak menjalani misi bersama detektif, ia mengajariku banyak hal untuk mencari jejak di dalam kegelapan.”
Tiyo dan Fuad tersenyum mendengar ungkapan Awsya. Bukan mengejek, mereka senang akhirnya polwan ini berani mengambil keputusan berdasarkan dirinya sendiri. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Ya, Awsya dulu hanyalah seorang polwan biasa, namun sejak keikutsertaannya bersama Jimmy, wanita ini patut diperhitungkan keahliannya. Apalagi Awsya merupakan orang yang jitu dalam hal menganalisis situasi.
Tidak hanya itu, kemampuannya dalam menembak juga tak bisa diremehkan. Baik itu menggunakan pistol atau hanya sebuah pisau kecil, Awsya hampir sama sekali tak pernah meleset menyasari tagetnya meski sasaran yang ia tuju berada dalam jangkauan jarak yang jauh.
Apa yang ia lakukan terhadap pria berjubah hitam tadi ketika dirinya melempar pisau dari atap hingga mengenai ban sepeda motor, itu adalah salah satu contoh kemampuan Awsya yang dulunya tidak terlihat.
“Kita akan bekerja sama. Tapi ingat, untuk kasus orang berjubah itu, jangan sebarkan ke yang lainnya. Cukup kita saja. Jangan katakan bahwa kita punya misi khusus untuk memantau keadaan. Aku khawatir jika ternyata lelaki peniru detektif adalah salah satu dari polisi.” Jelas Awsya.
Adapun Tiyo mengangguk setuju, “ya, jika tersebar, misi kita menjadi lebih rumit. Kau memang hebat, Sya.”
“Lalu, dari mana kita dapat memulai misi ini?” Fuad terlihat sangat bersemangat.
“Aku punya ide. Tapi, lebih baik kita membahasnya di ruanganmu saja, kapten.” Ujar Awsya. Semua setuju.
Setelah itu, mereka membawa Jasad Nadi ke Rumah Sakit Umum Cot Jambee, beserta bawahannya yang juga telah tewas. Adapun satu orang yang selamat, Awsya, Fuad, dan sebagian dari Tim Jaguar membawa lelaki itu ke Markas Besar Kepolisian Cot Jambee.
Bersambung…