Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Kapak Berdarah

Reza Fahlevi
17 min readMay 21, 2022
Foto oleh Monstera dari Pexels

“Sepi sekali…” aku bergumam dalam hati.

Aku berhasil menyelinap diam-diam ke sekitar rumah ini. Ada kabar yang ku dapati — kabar burung sebenarnya — bahwa pernah terjadi pembunuhan sadis di sini. Aku datang hanya sekedar memastikan saja, karena itu aku tidak memberi tahu Kapten Tiyo. Sebab, informasi yang ku terima belum benar kepastiannya.

Miaawww…

Suara kucing belum berhasil mengagetkanku yang sedang mencoba mengintip ke dalam dari jendela kaca yang tertutup tirai. Tidak bisa ku pastikan apa ada orang di dalam, tapi cahaya lampu yang terbias keluar melalui kosen jendela, seharusnya rumah ini ada penghuni.

Ku lihat jam sudah pukul dua belas malam,

Cteng ctengg

Praangg

Rumah ini mulai bersuara, ku anggap saja itu sebagai kode. Aku menoleh ke kanan dan kiri, lalu menatap ke atas untuk memastikan, dari sudut mana aku dapat menerobos masuk ke dalam.

Aku memutuskan menyelinap dari belakang, siapa tahu ada celah dari sana. Saat hendak melangkah, aku menangkap sesosok pria di jalan. Ku lirik sejenak, aku yakin dia tak menyadari kehadiranku.

Bruummm

Ia menyalakan motor dan berlalu pergi. Aku curiga, tapi tak ada waktu untuk memikirkannya. Begitu orang itu menghilang dari tatapanku, aku bergegas jalan ke sisi belakang rumah dan menemukan hanya ada dinding rata. Sebenarnya terdapat sebuah pintu tapi sudah ditembok mati.

Lalu ku toleh ke atas, ada besi — tak ada salahnya jika mencoba peruntungan dari situ.

Ctukk

Seett, tang…

Tali dari grapple gun tersangkut sempurna di besi itu. Ku tekan lagi pelatuknya, menarikku ke atas… langsung di situ aku dikejutkan dengan temuan beberapa tulang manusia — tidak lengkap — hanya potongan tangan, dan juga sepertinya tulang bagian paha.

Ku lirik mata ke arah jam delapan—terdapat seperti sebuah ruangan — berjalan… ruangan ini hanya ditutup dengan selapis kain hitam dan langsung menghubungkanku ke dalam. Di depan, aku menemukan tangga.

Ku telusuri saja ke bawah sambil tetap waspada. Tangan kanan meraba-raba jubah mencari pistol…

“Sialan, apa pistolku tertinggal di mobil?” bisikku.

Yang terambil hanya sebilah pisau… apa boleh buat.

Aku terus berjalan perlahan dan memeriksa setiap sudut; ruang tengah, ruang tamu, dapur — anehnya, rumah ini terlihat sangat rapi dan bersih.

Tidak seperti halaman di luar; kotor, kumuh, rumputnya juga sudah pada panjang. Jika diterawang, rumah ini seakan-akan tidak ada yang menempati.

Praaangg

Sialan, suara pecahan lagi. Aku berlari bersembunyi di balik tembok yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang tamu.

Aaaahhhh

Dari tadi memang ada orang di dalam sini. Aku harus tenang, caranya adalah… kegelapan. Ku padamkan listrik rumah ini dengan sebuah alat yang ku punya. Kini kondisinya gelap gulita.

Alih-alih menelusuri seisi rumah ini menggunakan senter, aku memilih memakai kacamata pelacak khusus dalam situasi gelap. Ketika ku pakai, aku dapat melihat setiap benda yang ada.

Kemudian kembali berjalan ke tempat suara tadi berasal. Sepertinya dari sebuah kamar, tak dapat ku pastikan yang mana — ada dua kamar — di kiri dan kanan, saling berhadapan. Barangkali aku masuk dulu ke kamar yang pintunya sedikit terbuka.

Baru ku buka pintunya — posisiku bersembunyi di depan kamar ini — aku menemukan darah , masih segar. Ku telusuri dari mana darah ini dan tiba-tiba aku terkejut ada seseorang yang tergeletak di lantai — sepertinya wanita — ia terluka parah.

Ku toleh ku belakang sejenak untuk memastikan jika-jika ada orang lain yang membuntutiku.

“Sepertinya aman…” kataku dalam hati.

Aku terpaksa menyalakan senter, ku lihat leher wanita ini sudah koyak, tapi bukan luka serius. Namun wajahnya dipenuhi darah, sedangkan tangan dan kakinya lebam. Seperti baru saja dipukuli dengan sesuatu — ku yakin bukan menggunakan tangan. Tapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah… wanita ini dalam posisi telanjang.

Ia terbaring lemah tak berdaya, terpaksa ku nyalakan lagi listriknya untuk memastikan kondisi wanita ini — dia masih hidup — sekarat. Ku tatap ke sekujur tubuhnya, dapat ku pastikan mungkin ia mengalami kekerasan seksual. Memang dirinya tak mampu lagi berbicara, hanya mendesah seakan memberi bahasa tersirat meminta pertolongan.

“Bertahanlah, aku akan membantumu.” aku berjalan ke sana kemari, berusaha mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya dan membawanya keluar dari sini.

Begitu aku kembali dan hendak menutupi tubuhnya, ku lihat wanita ini sudah tidak mengembuskan napas. Ku sentuh pergelangan tangannya, memastikan jika nadinya masih berdenyut. Dengan perasaan bersalah, ku tutupi seluruh tubuhnya dengan seprei,

“maafkan aku tak sempat menolongmu…”

“Tak perlu minta maaf, dia memang layak mati…” Sahut seseorang dari belakangku.

Sialan!!! Siapa yang mengoceh?

Tak ada waktu untuk panik atau menoleh ke belakang. Langsung diriku bergerak cepat, berguling ke kanan dan memutar balik posisi badanku menghadapnya bersamaan dengan tanganku melempar pisau kecil ke arah orang asing itu.

Dooorr

“Akkhh…”

Keparat… ia menembakku, beruntung hanya mengenai lengan. Dan sepertinya aku juga berhasil melukainya dengan pisau, tertancap mulus di pahanya.

Namun orang ini sedikit tangguh, seketika benda tajam itu dilepasnya dan mencoba menembakiku lagi. Aku beruntung lagi sebab kembali berhasil membuat pistolnya tidak bekerja.

Caraku sederhana, saat pisauku mengenai pahanya, dan bersamaan saat kami mengerang rasa sakit, di waktu itu aku diam-diam menekan sebuah tombol cahaya laser dari jam tanganku untuk melumpuhkan senjatanya. Bisa dikatakan, pistolnya rusak akibat sinar laser ini. Dan ia tak menyadari itu.

Akan tetapi, lelaki ini pantang menyerah. Ia mengambil sebuah kapak dan berniat membacok kepalaku. Serangannya brutal, membuatku sulit mengelak, meskipun memang tak satupun aksinya mengenai kepala atau leherku.

Sialnya, aku lengah sedetik, seakan membuka ruang baginya menyayat dadaku dua kali.

Dan kali ini ia benar-benar melakukannya. Aku mulai tak berkutik, sebisa mungkin ku hindari orang ini. Ia terlalu berbahaya dan lumayan liar. Tadi tanganku yang tertembak, sekarang dadaku. Bajingan ini berniat membunuhku di sini.

Dengan diriku yang tidak membawa senapan, di sisi lain aku harus memaksa diri untuk tetap tenang walaupun aku bisa saja mati seketika.

“Dasar bedebah” aku mencacinya dalam hati.

Sedangkan pria ini tak henti-henti menyerang. Yang bisa ku lakukan hanya mengelak. Aku terus menjauh mundur hingga baru ku sadari kini, ia memojokkanku sampai ke ambang pintu kamar.

Ini kesempatan…! Pikirku.

Langsung saja tanpa pikir panjang aku melarikan diri, melewati ruang tamu kemudian mendobrak pintu depan. Ku coba secepat mungkin mencari tempat berlindung karena firasatku berkata, orang itu mengejarku dan hanya berjarak kurang dari sepuluh meter dari posisiku.

Sialnya lagi, tak ku temukan satu pun tempat untuk sekurang-kurangnya bersembunyi. Aku tak bisa berdamai dengan diri sendiri yang sudah terjebak dalam kepanikan.

“Mati kau…!”

Keparat ini menyasar kepalaku dari belakang dengan kapak tadi. Aku berhasil menghindar — oleng, terjatuh begitu saja di rerumputan. Aku mulai pusing, mungkin karena rembesan darah yang masih keluar dari lengan yang terkena tembakan.

Segera diriku bangkit untuk mengantisipasi lelaki itu. Dia bukan tipe bandit yang banyak basa-basi, pikirku.

“Takkan ku biarkan kau kabur, bodoh. Kau pikir aku ini siapa…”

Tapi bajingan ini mulai mengoceh, wajar karena kini posisinya di atas angin, lebih beruntung dari diriku.

“Berani-beraninya kau datang ke rumahku…”

Sambil ku dengar dirinya *prak haba, ku koyak kecil kemeja untuk menutup luka di lengan yang tertembak tadi. Aku merasa sepertinya wajahku sedikit pucat karena terkena tembakan.

“Aku tau kau Detektif Jimmy, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang. Apa kau ke sini untuk menangkapku…?”

Aku menatapnya serius, tapi tak ku sahuti pertanyaannya. Hanya waspada menanti serangan yang mungkin saja dilakukan secara tiba-tiba. Bagaimanapun juga, aku berada dalam kondisi amburadul, sedikit saja lengah, dia pasti akan membunuhku.

“Jawab aku, bodohh!”

Seketika ia melempar kapak itu, tertancap tepat di dadaku, hampir mengenai jantung.

Tubuhku terpental jatuh, tergeletak tak berdaya. Saat itu, yang dapat ku yakini adalah, pria ini datang, mencabut kapaknya lalu kembali menyayat dadaku berkali-kali — habis-habisan.

Sedangkan aku tak dapat berbuat banyak, sungguh tak berkutik. Hal terakhir yang terlintas dari pandangan mataku yang mulai buram ini… hanyalah darah — merembes deras membasahi baju dan kapak orang itu.

“Detektif Jimmy sudah mati, ha ha ha. Santapan tengah malam, dagingmu akan sangat berguna untuk nutrisi di tubuhku.”

Suaranya terdengar samar-samar. Setelah itu, aku hilang kesadaran.

— —

Lima detik kemudian…

“Apa-apaan ini…? Kau — ”

Lelaki ini terkejut parah. Ia berpikir bahwa aku sudah sekarat atau bahkan mati. Tapi malah sebaliknya.

Aku tahu dia hendak melakukan sesuatu. Ketika ku rasakan dirinya mencoba menebas habis leherku, seketika aku membuka mata dan menarik bajunya… kemudian, ku antukkan kepala kami berdua. Hantamannya keras! Harus ku pastikan seperti itu.

“Aakkhh…” ia mengerang dan memegangi kepalanya. Akibat antukan ini, ia kini terduduk, barangkali sedikit pusing.

Sedangkan aku bergegas bangkit, cairan seperti darah masih menyembur dari dadaku. Dan bajingan ini seakan tak percaya. Mungkin baginya, aku adalah orang gila… lebih gila darinya.

Langsung saja, saat aku datang menghampirinya, ia kabur masuk ke dalam rumah. Tak tinggal diam, aku pun membuntutinya. Ia berlari jauh ke belakang, masuk ke kamar di tempat wanita tadi tewas.

Ternyata, di kamar ini ada satu ruangan — ruang bawah tanah. Letaknya persis di samping lemari di dekat tubuh perempuan yang telah tewas ini, hanya ditutupi dengan sehelai kain hitam

Ia masuk begitupun aku. Entah apa rencananya, yang jelas aku mesti tetap waspada meski saat ini aku merasa sedikit di atas angin.

Di ruang bawah tanah ini, sambil terus mengejar orang itu, mataku tak pernah meninggalkan satu sudut pun dengan terus melirik kanan dan kiri. Aku baru menyadari, ada beberapa potongan tubuh manusia tergantung di sepanjang lorong diriku mengejarnya. Ya, si keparat ini rupanya pembunuh yang sadis.

Tapi hal itu ku kesampingkan dulu, sekarang aku harus menghentikannya yang sudah terpojok tak tahu lagi harus lari ke mana.

Ia berhenti karena ruang bawah tanah ini buntu.

Tidak, bukan.

Sekarang kami berdua malah berada di sebuah tempat, terlihat seperti ruangan kerja karena ada dua lemari buku, beberapa meja yang di atas salah satunya terdapat sebuah komputer.

Dan, juga ku temukan berbagai macam senjata tajam serta senapan. Kini, aku mulai mengerti mengapa ia berlari ke sini.

“Takkan ku biarkan kau hidup…” teriaknya.

Lelaki ini mengambil mesin pemotong kayu dan menyerangku seperti anjing gila.

Bahaya!!!

Alat ini… sedikit saja aku hilang fokus, habislah sudah. Apalagi sasarannya adalah kepala. Sebisa mungkin ku hindari — kiri, kanan, atas, bawah — berbagai sisi ku coba mengelak diri dari mesin itu. Tiba-tiba posisiku terhenti oleh dinding ruangan ini.

Dalam satu dua detik, langkahnya dapat ku prediksi semakin mendekat ke arahku. Ini adalah waktu krusial, aku terus membuat perhitungan untuk menghindari benda tersebut ketika ia melancarkan serangan.

Bersamaan dengan itu, tubuhku spontan bergerak ke sisi kiri. Sedang mesin pemotong kayu-nya hanya memotong angin. Prediksiku tepat, ia menyasar bagian leher kananku.

Di sela-sela ini, aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Belum sempat ia menarik mesin itu, pertahanannya lemah. Aku yang tadi menghindar ke sisi kiri, tangan kiri sudah siap memberi satu pukulan terarah—

Duukkk…

Mengenai pipinya. Ia tercampak beberapa langkah.

Tak sampai di situ, ku tendang kepala bagian belakangnya, lelaki ini pun terbentur dinding dan mesin pemotong itu terlepas dari genggamannya.

Namun, ia memaksa diri agar kuda-kudanya tetap kokoh dan menjauh lima langkah dariku.

“Keparat kau…!” teriaknya lagi.

Dia tak sadar diri rupanya, gumamku dalam hati.

“Apa yang kau lakukan di sini? Berapa banyak orang yang sudah kau bunuh?” aku mulai berbicara.

“Bukan urusanmu!”

“Sekarang sudah menjadi urusanku.” Nada bicaraku menjadi dingin.

Ku lirik setahap demi setahap; napas orang ini semakin memburu, ia tertekan dan mulai tidak bisa mengatur ritme serangan. Ku dapati juga, tangannya gemetaran, dan matanya menunjukkan ia sedang menghadapi rasa takut yang ku yakin mulai menyerangnya saat mengetahui aku tidak mati setelah dirinya menyayat habis dadaku.

“Dia semakin terpojok…” aku berkata dalam hati.

Mataku mempelajari cepat ke berbagai sisi ruang bawah tanah ini. Dalam lima detik aku menangkap, arah jam satu terdapat pedang — tepat di belakangnya. Arah jam sebelas, dua parang. Dan jam sembilan, pisau memotong daging. Hanya itu yang ku raih.

Aku harus membuat keputusan untuk bergerak sebelum keparat ini bereaksi lebih jauh… juga memperhitungkan segalanya.

Maka, aku mulai menyerang. Langkah pertama; aku berlari ke arahnya, tangan kanan meraba isi di dalam jubah sebagai pengecoh. Sedangkan mataku melirik lurus bajingan ini.

Langkah kedua; ia memulai pergerakan dan mengambil pedang dari belakangnya — sesuai prediksiku lagi — ku ambil sebuah besi padat dari dalam jubah, ukurannya sebesar anak peluru, ku lempar dengan sengaja ke pedang itu — patah — lelaki ini spontan menoleh dan melihat pedangnya sudah patah.

Langkah ketiga; saat ia sadar diriku sudah dekat dengannya, ia menoleh padaku dan

Dukkk…

Ku layangkan sebuah tinju di pipi kanannya, membuat orang ini oleng dan terbentur dinding lagi.

Namun ia sigap dan mempersiapkan pedang untuk melancarkan serangan balik.

Sedangkan aku tak sedikitpun memberinya ruang, langsung langkah ke empat; ku raih tangannya yang sedang mengganggam pedang, ku putar hingga ia menjerit, seketika pedang ini jatuh.

Dan langkah ke lima; ku daratkan tinju demi tinju di dada dan perutnya sampai ia tak berkitik — badannya menekuk, kedua tangannya pun memegangi perut.

Aku berhenti sejenak, memberi waktu baginya untuk mengatur pernapasan.

“Aku masih berbaik hati. Sekarang jawab pertanyaanku, berapa banyak yang telah kau bunuh?”

Jarakku dan dirinya hanya tiga langkah saja, posisi kami saling berhadapan.

Ia menoleh menatap sinis kepadaku, “persetan denganmu… kau bajing — ”

Duaakkk

Belum selesai ia memaki, tanganku bergerak sendiri melayangkan pukulan ke rahangnya. Dalam sekejap, tubuhnya terangkat dan terpental ke lantai.

Keparat ini tergeletak lemah, sepertinya ia tak sanggup lagi berdiri. Ku ambil pedang dan berbalik mendekatinya. Aku dalam posisi berdiri di hadapan orang ini. Ia masih mencoba menatapku,

“siapa kau sebenarnya?”

“Kau tau siapa aku, kan…?”

“Lalu, kenapa kau tak mati, detektif? Padahal aku sudah berhasil membuatmu sekarat saat itu.” ujarnya.

Aku melihatnya dengan tatapan serius,

“itu bukan urusanmu.” sembari ku dekatkan pedang ini ke lehernya.

“Ha ha ha. Kau tau, kau tak punya cara untuk menakutiku dengan pedang itu, bahkan jika kau membunuhku sekarang…” ia mengoceh.

“Aku tidak menakutimu. Orang gila sepertimu tak perlu ku takut-takuti, tapi memberi pelajaran yang pantas dan sesuai.”

Tiba-tiba matanya menunjukkan tatapan terkejut. Ku tarik bajunya dengan tangan kanan — ada pedang juga yang sedang ku pegang di tangan ini. Kemudian, memaksanya berdiri, tangan kiri mencekik lehernya — sedangkan kepalan sisi kananku siap untuk menyerang. Bersamaan dengan menggenggam pedang, tanpa ampun ku hantam sekeras mungkin dada orang ini.

“Aaakkkkhhh…”

Erangannya cukup sebagai sinyal bahwa pertarungan kami sudah usai. Ia benar-benar tak berkutik maupun bergerak, hanya bernapas — berusaha bernapas agar tetap sadar.

Yang tadi itu adalah pukulan pamungkas. Ku yakin beberapa tulang rusuknya retak.

“Jika kau tak mau buka mulut sekarang, tak apa… aku tak memaksa. Tapi tunggu saatnya…” ujarku.

Ku jatuhkan pedang dan mulai menelusuri ruang bawah tanah ini dari sisi ke sisi. Berbagai macam benda tajam tergantung rapi di dinding. Ia juga memiliki dua senapan.

Sejetika aku penasaran dengan potongan tubuh-tubuh manusia tadi, maka ku putuskan berjalan ke sana. Begitu tiba, ada enam, — dan semuanya wanita. Tubuh-tubuh mereka tidak utuh, hanya dari kepala sampai ke pinggang saja, dan — semuanya telanjang.

Mayat-mayat ini digantung menggunakan rantai yang dililit di tangan, lalu di sangkut ke sebuah besi penyanggah yang mungkin memang sengaja dibuat oleh orang itu. Sudah seperti hewan qurban yang diperjual belikan di pasar.

Kondisinya pun juga miris. Leher para jasad perempuan ini tergorok — nyaris putus — beberapa dari puting payudara juga tak ada. Namun yang mengejutkanku adalah, mayat-mayat ini bersish, maksudku tak ada sedikitpun bercak darah menempel. Yang ada hanya bekas luka sayatan, serta bekas pukulan .

“Dia memutilasi jasad mereka. Apa yang terjadi? Apa tujuannya?” gumamku dalam hati.

Lalu aku kembali ke tempat lelaki itu tergeletak. Di samping dirinya, ada sebuah meja dan kursi — seperti tempat kerja. Aku berjalan ke sana dan menemukan beberapa foto wanita. Mereka adalah orang-orang yang sudah dibunuh oleh laki-laki ini. Aku mengenalinya karena wajah di foto-foto ini mirip dangan mayat-mayat tadi.

Tiba-tiba aku mendengar suara orang berjalan. Aku berlari dan bersembunyi di balik lemari yang ada di ruangan ini.

“Satt… Satria, kau kenapa…?”

Lelaki yang baru sampai ini langsung menghampiri orang yang ku habisi tadi. Sepertinya mereka teman.

Ia mengeluarkan pisau dan berteriak,

“Siapa yang melakukan ini…? Keluar kau bajingaann!!!”

Seketika listrik padam, ini ulahku.

“Aku.”

Ucapku singkat bersamaan dengan menyalanya listrik. Ia terkejut melihatku yang sudah berada di hadapannya. Dengan pergerakan cepat, ku rebut pisau yang dipeganginya, lalu tanganku mengunci erat kedua tangan orang ini.

“Detektif Jimmy…?!”

Aku mengangguk.

“Apa kau komplotan si bajingan itu?”

Ia tak menyahutiku, membuatku harus menggunakan cara yang lebih tegas kepadanya. Hanya dengan tatapan lurus ke matanya, lelaki ini menganggukkan kepala sebagai jawaban bahwa ia adalah kerabat pria yang sudah ku habisi tadi.

“Ikut denganku. Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan.” kataku dengan memborgol tangannya.

“Ta-tapi, aku tidak membunuh. Aku bukan pembunuh. Dia yang melakukannya.” ia mencoba melindungi diri.

“Setidaknya kau tau banyak tentang temanmu, kan…”

Ia terdiam.

Setelah itu, ku minta lelaki ini berjalan keluar dari ruang bawah tanah menuju halaman depan rumah. Sedangkan pria yang ku kalahkan tadi, ku rangkul saja di bahuku.

Sambil berjalan, ku hubungi Kapten Tiyo agar ia mengirim beberapa bawahannya ke sini. Aku juga menelepon pihak rumah sakit agar mereka mempelajari jasad-jasad wanita di rumah ini.

Dan dalam hitungan menit, mereka semua tiba. Para polisi membawa laki-laki yang terluka itu ke klinik terdekat, sedangkan yang satunya lagi langsung dibawa ke markas besar.

“Detektif, kau terluka…” ujar Zaydan, ia seorang anggota polisi yang juga sering bekerja sama denganku.

“Tidak, hanya luka ringan.” sembari menunjukkan tangan yang tertembak.

“Bukan itu maksudku, dadamu — berlumuran darah.”

“Oohh, ha ha ha, ini hanya pengecoh saja.” jawabku singkat. Zaydan masih tak mengerti maksudku.

Di Kapolda Cot Jambee

Aku membuka pintu dan masuk ke dalam ruang penyidik. Di sini sudah ada Kapten Tiyo dan Benny, juga Awsya. Untuk kali ini, ku serahkan saja kepada Kapten bertanya-tanya tentang pembunuh sadis itu.

Pria yang tadi dibawa ke markas besar, Ismail, memberi semua keterangan terkait pembunuh sadis itu. Namanya Satria, seorang mahasiswa yang sudah tidak melanjutkan lagi kuliahnya.

“Semua berawal dari cinta,” Ismail mulai berbicara.

Pacar Satria, Vionny, memutus dirinya sebab kedapatan berselingkuh. Berbagai cara dilakukan oleh Satria agar sang pacar memaafkannya. Tapi, Vionny menolak karena ia sudah berulang kali melihat lelaki itu kencan dengan wanita lain.

Mereka pun putus. Berawal dari sakit hati, Satria pun berubah. Ia sempat tertekan bahkan sampai depresi, tak menerima kenyataan Vionny memutuskan-nya.

Maka, suatu malam, Satria mengajak Vionny bertemu dengan dalih ia ingin agar mereka berdua memberi kesan terakhir sebelum berpisah total. Keduanya menghabiskan waktu di sebuah klub malam hingga pukul dua belas. Dengan kondisi keduanya setengah mabuk, Satria membawa Vionny ke rumahnya — rumah yang ku datangi pada saat itu.

Sepanjang malam mereka melakukan hubungan intim, karena inilah yang dari memberikan “kesan terakhir”. Sampai saat paginya, ketika Vionny hendak pulang karena menurutnya ia sudah memberi kesan terakhir yang sangat manis, saat itu Satria mencegah wanita ini.

Ia menyiksa perempuan tersebut, menelanjanginya lagi, kemudian kembali memperkosanya. Ia melakukan itu sambil menggorok leher Vionny perlahan-lahan. Melihat sang mantan pacar semakin lemah, Satria mengambil kapak dan mulai menyayat sekujur tubuh sang mantan pacar.

Namun ada bagian tubuh yang tidak disentuh oleh Satria, itu adalah wajah dan payudara. Dari keterangan Ismail, temannya itu sengaja menyisakan bagian tubuh tersebut sebab ia menyukainya. Dengan begitu, Satria masih dapat menggunakan jasad Vionny sebagai pelampiasan nafsunya.

“Jasad Vionny dan yang lainnya sudah diawetkan. Satria menggantung mayat-mayat itu di ruang bawah tanah agar tak ada yang mengetahui aksinya. Di sana, jika ia sudah menuju ke ruangan itu, dapat dinpastikan ia sedang melakukan onani.” terang Ismail.

Ternyata, dugaanku bahwa Satria adalah orang gila, sepertinya tidak berlebihan juga. Ia memperkosa korban-korbannya, membunuh dan memutilasi mereka. Bahkan jasad wanita-wanita itu dijadikan wadah pelampiasan nafsu olehnya.

Ismail berujar, saking nafsunya, temannya itu sampai menggigit-gigit bibir dan puting payudara mayat-mayat tersebut. Maka tak heran, terdapat luka juga di bagian vital itu.

“Tubuh dari paha sampai ke bawah… Satria menyantapnya sendiri. Sedangkan kemaluan mereka, diawetkan dan di simpan di dalam lemari es.” Ismail menjelaskan semuanya.

Kapten Tiyo seakan tak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh anak laki-laki itu. Terlalu sadis, terlalu tidak manusiawi. Sedangkan beberapa polwan yang juga berada di dalam ruang penyidik, termsuk Awsya, membungkam mulut mereka dengan tangan. Seperti, mereka sedang melihat langsung kejadian yang dilakukan oleh Satria.

Aku membakar rokok dan meminta para polwan untuk keluar dari ruangan ini, menyisakan aku, Kaoten Tiyo dan Benny yang tiba tak lama aku setelah aku berada di markas.

“Jadi, motifnya adalah sakit hati…” ujar Kapten Tiyo.

“Hmm, juga balas dendam…” sahut Benny.

“Apa semua korban perempuan itu mantan pacar Satria?”

“Tidak, hanya Vionny. Yang lain adalah teman wanita itu. Satria membunuh mereka sebab merekalah yang memberi tau Vionny jika dirinya berselingkuh.” Ismail menjawab pertanyaan Kapten.

“Kecuali yang baru saja ia bunuh tadi, Alya… itu adalah selingkuhan Satria. Ia membunuh perempuan itu karena kesal, gara-gara dirinya, hubungan Satria dan Vionny hancur. Itu menurut temanku.” sambung lagi lelaki ini.

Alya adalah wanita yang ku temukan sekarat di dalam kamar rumah Satria sebelum akhirnya tewas.

Kapten melirik ke arahku, ia sepertinya bertanya-tanya apa yang telah terjadi antara aku dan Satria. Matanya seakan tak habis pikir melihat baju di bagian dadaku berlumuran darah — lebih tepatnya seperti darah.

“Kau mengaku diri tak terlibat, tapi kenapa tidak melaporkan kasus ini kepada polisi.” tanyaku.

“Satria adalah teman masa kecilku, aku sudah menganggapnya sebagai adik kandung. Aku… tak bisa melihatnya dihukum. Aku — aku… hanya ingin menyadarkannya bahwa perbuatannya itu tidak benar.”

“Apa kau berhasil?” ku embuskan asap rokok, tangan kiriku menumpang diri di pinggang.

Ismail menggelengkan kepala menjawab pertanyaanku.

Ku tarik lagi rokok, gumpalan asap bersamaan keluar dari mukut dan hidungku,

“Kapten, aku minta izin, serahkan Satria padaku.”

Kapten Tiyo paham maksudku, ia mengangguk.

“Tapi kau… harus tetap di sini. Aku yakin kau juga tau kenapa, kan…”

Ismail juga mengangguk menyahuti pertanyaanku. Ya, bagaimanapun, ia tetap bersalah karena membiarkan temannya terus-terusan membunuh. Meski niatnya ingin menyadarkan Satria, tapi cara yang dilakukan berlawanan.

Setelah berada di ruangan penyidik selama satu jam lebih, kami bertiga keluar dan Ismail dibawa ke dalam sel.

“Detektif, tunggu..” Kapten memanggilku.

Aku berhenti dan menoleh kepadanya. Ia membakar rokok sejenak,

“Beraksi diam-diam tanpa memberi tahuku, luka di tangan dan luka berat di dada. Aku menunggumu di kantin, ada banyak hal yang ingin ku tanyakan. Sekarang, giliranku…”

Aku tersenyum,

“Apa sepenting itu?”

Kapten mengangguk, “kau beraksi malam-malam hingga membahayakan dirimu sendiri. Keras kepala seperti biasa.”

Ia pasti kesal padaku. Ya, mau bagaimana lagi. Ku turuti saja permintaannya.

“Beri aku waktu untuk mengganti pakaian ini.”

Ia pasti masih penasaran dengan lumuran darah di bajuku. Padahal ini bukan darah melainkan cairan merah biasa. Sengaja ku pakai saat menjalankan misi seorang diri, berguna untuk mengecoh musuh jika ia menyerangku di dada, otomatis cairan ini akan menyembur layaknya darah.

Dan, saat aku menyelinap ke rumah Satria dan bertarung dengannya, ia menyerangku di dada sebab sasaran yang ia tuju tak pernah bisa mengenaiku — ia menyasar kepala atau leher. Sejak awal bajingan itu memang berniat membunuhku.

“Detektif, sebaiknya kau bergegas ke ruangan medis. Ayo, akan ku temani…”

Tiba-tiba saja Awsya menghampiriku. Perkataannya membuatku senyum-senyum membuat polwan ini sedikit bingung.

“Kenapa? Jangan sok kuat begitu, dong…” ujarnya.

Baiklah, ku turuti saja pinta Awsya. Kami lalu berjalan berdampingan ke ruang medis.

“Dari mana kau tau kasus pembunuhan ini?”

“Ada kabar angin yang ku dengar. Aku ke sana hanya untuk memastikan, ternyata malah harus bertarung dengan orang itu.” sahutku.

“Karena itu kau terluka, kau kurang persiapan.”

“Tidak juga…”

Tiba di ruang medis, kami pun masuk. Di dalam ada beberapa perawat; laki-laki dan wanita. Mereka sigap menuntunku ke kasur darurat.

“Mohon berbaring, Detektif…” ujar seorang perawat laki-laki.

“Tak apa, aku lebih nyaman seperti ini.” maksudku dengan posisi duduk.

Ia menurut. Beriringan dengan bajuku yang hendak ditanggalkan olehnya, tiba-tiba Kapten dan Benny malah masuk ke sini juga. Mereka memperhatikanku setahap demi setahap, Awsya pun demikian, wajahnya terlihat seperti mengkhawatirkanku.

Begitu seluruh baju ini terbuka, semua terheran-heran — terkejut juga.

“Apa-apaan itu, Jim…” Kapten mengoceh, sedangkan Benny menahan diri, ia tersenyum.

“Sudah ku katakan untuk tidak perlu mengkhawatirkanku…”

Aku menaruk cairan merah ini ke dalam plastik yang kujadikan seperti rompi, menjulur menutupi dada hingga perut. Di balik plastik yang lumayan tebal ini, aku mengenakan setelan anti peluru dan senjata tajam.

Ku lepaskan hingga menyisakan pakaian anti peluru.

Semua geleng-geleng kepala kecuali Benny.

“Kau sepertinya sudah tau ini, Ben…?” Tanya Kapten.

“Hampir seluruh isi di perkantorannya aku tau, termasuk mainan-mainan seperti ini.” sahutnya menatapku.

“Sialan, aku hanya buang-buang waktu ke sini.”

Kapten mengambil rokok, “Jim, sebagai gantinya, kau wajib membayar kopiku di kantin.”

Semua tertawa mendengar ocehan polisi yang memiliki pangkat tertinggi di sini.

“Tenang saja…” gumamku.

Benny dan Kapten Tiyo keluar, para perawat juga mulai sibuk ke pekerjaan masing-masing meski kejadian tadi masih juga menjadi perbincangan heboh di antara mereka. Satu perawat masih di sebelahku, ia mengobati tangan yang terkena tembakan saat aku begulat dengan Satria di sana.

Sedangkan Awsya mendekatiku, “kau memang orang yang sulit untuk ditebak, ya. Dan selalu berhasil membuat panik orang lain.”

“Maaf sudah membuatmu panik.”

“Tidak…”

Awsya duduk di sampingku, “kau memang seperti itu. Begitulah dirimu — Detektif Jimmy — tak pernah gagal membuatku kagum. Selalu saja ada rahasia di balik rahasia.”

Awsya mengutarakan itu sembari tersenyum manis kepadaku. Jika aku selalu seperti apa yang dikatakannya tadi, maka wanita ini selalu seperti ini… memberikan kesejukan padaku. Senyumannya selalu meluluhkan pandanganku, menimbulkan kecanduan setiap saat ku tatap.

“Hhhmm, yaa meskipun kau juga tak jarang membuatku kesal…”

Aku tertawa mendengarnya mengoceh.

“Lalu, bagaimana dengan orang bernama Satria ini? Ku dengar kau meminta Kapten untuk menyerahkannya padamu.” ujarnya lagi.

Aku mengangguk, “aku harus melakukan sesuatu padanya. Walaupun dia itu pembunuh, dan telah melakukan aksi sadis sekalipun — aku tak bisa membiarkannya berkeliaran atau hidup bersama tekanan yang ia rasakan.”

Akan ku minta bantuan Khalid untuk memulihkan kondisi kejiwaan Satria. Ia adalah spesialis di bidang itu.

Bagiku, sebelum semuanya terlambat, masih ada waktu bagi Satria untuk berubah, menyadari dan menyesali perbuatannya. Meskipun, semua yang sudah dilakukannya tetap harus diterima dan dijalani konsekuensinya.

“Paling tidak, sebelum detik-detik terakhir kehidupannya nanti, ia sudah bertobat.”

Aku menoleh kepada Awsya. Wanita ini paham maksud perkataanku.

Prak Haba (Bahasa Aceh): mengumbar obrolan atau kata-kata yang tidak penting.

-Breaking Reza-

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet