Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Misi Penyamaran
Kapten Tiyo duduk di tempat kerjanya sembari menarik rokok. Lalu, ia berkata, “aku percayakan misi ini padamu.”
Aku lantas mengangguk dan segera keluar dari ruangannya.
SMA 5 Banda Raya
Hari ini, aku mengenakan seragam dinas biru yang biasa dikenakan oleh guru-guru setiap hari senin. Sebelum pelajaran dimulai, aku dan semua guru serta murid mengikuti upacara bendera. Kali ini, kepala sekolah bertindak sebagai inspekturnya. Dengan hari yang semakin terik, ku lihat para siswa mulai mengeluh; beberapa menutup kepala menggunakam tangan agar tidak mengenai sinar matahari. Sedangkan para siswi juga sedang mengipas-ngipas wajah dengan jilbab mereka.
Lima belas menit kemudian, upacara pun selesai dan semua siswa bergegas meninggalkan lapangan — mereka tidak menuju kelas melainkan menyempatkan diri ke kantin terlebih dahulu.
Sedangkan aku beranjak ke kantor untuk mengambil perlengkapan mengajar. Hari ini, jadwalku ada di kelas XII IPS-2. Dari yang ku dengar, siswa-siswa di kelas itu terkenal dengan kenakalan mereka baik yang perempuan maupun laki-laki.
Ketika sedang mengambil buku di atas meja, aku mendengar percakapan dua guru perempuan. Dan dari yang ku dengar, mereka bertanya-tanya siapa sosok guru baru ini yang tak lain adalah diriku sendiri. Tapi, aku tidak mempedulikan mereka. Setelah mengambil buku, aku langsung berjalan keluar dari ruang guru untuk menuju ke kelas XII IPS-2.
Begitu aku memasuki kelas, aku langsung mendapat pemandangan dua siswa-siswi sedang bercumbu ria di pojokan belakang kelas. Dengan santai aku terus berjalan ke meja guru dan duduk. Di sini, ku perhatikan saja mereka berdua — sepertinya keduanya tak menyadari kehadiranku.
Tak lama kemudian, si siswi mendorong lelaki yang mendekap tubuhnya hingga pelukan mereka saling terlepas. Adapun laki-laki itu sepertinya masih belum puas, ia hendak memeluk teman wanitanya lagi. Dan sebelum melakukan itu, si siswi melirik ke depan tepat ke arahku — spontan ia terkejut dan berlari menuju ke tempat dirinya duduk. Sedangkan yang laki-laki, ia juga menoleh ke belakang dan melihat diriku — pandangannya memperlihatkan ia seperti kesal terhadapku.
Lalu, tak lama berselang siswa-siswa lain memasuki kelas. Cara mereka masuk terkesan sangat tidak sopan dan mengacuhkanku yang sudah duduk di tempat. Terlebih lagi, merek sebenarnya telat lima menit, tapi sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan, setelah mengacuhkanku, beberapa siswa tidak langsung duduk melainkan malah mengoceh tak jelas dengan suara-suara besar.
Aku sendiri tidak berkata apa-apa melainkan hanya duduk tenang sembari melirik satu per satu kepada siswa-siswi ini. Caraku seperti ini tidak membuat mereka paham dan malah semakin bising saja, sampai-sampai ada yang tertawa terbahak-bahak sambil memukul meja. Sikap mereka membuatku penasaran, apa siswa-siswi ini bersikap sama dengan guru-guru lainnya, atau hanya kepadaku saja yang notabene merupakan guru baru — mereka masih asing terhadapku.
Di sela-selai ini, aku melihat arloji… sudah 30 menit terbuang hanya karena aku yang tetap duduk dan mereka yang terus mengoceh. Laki-laki dan perempuan sama saja. Barangkali, anggapan mengenai mereka anak-anak yang nakal bukan disematkan tanpa suatu alasan. Pemandangan yang ku dapat di hari pertama seolah-olah membuatku sedikit paham.
Dan karena mereka terus mengacuhkanku, lantas aku mulai bangkit dari duduk dan berdiri di hadapan mereka semua. Bahkan, dengan sikapku yang sudah begini masih belum mampu membuat semuanya paham.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh…” ucapku. Hanya segelintir siswa saja yang menjawab salam, selebihnya tak ada yang peduli.
“Ehemm…” gumamku dengan sedikit keras dan juga dengan suara yang lumayan berat. Seketika situasi menjadi hening.
“Silahkan duduk…” lanjutku.
Lalu, ada seorang siswa menjawab, “bagaimana jika aku menolak?”
Dengan tersenyum lantas aku membalas, “sudah pasti ada sanksinya.”
“Sanksi?” Ia bertanya balik dengan raut wajah penasaran.
Ku tatap wajahnya sekilas, sepertinya bocah itu sama sekali tak paham dengan kata sanksi yang ku katakan tadi.
“Hukuman, bodoh…” sahut temannya yang malah membuat semuanya tertawa.
Adapun siswa tadi kembali berujar, “woy pak, aku mau ke toilet dulu.”
Padahal ia baru saja masuk, tapi sekarang malah minta ke toilet. Dari sikapnya, ia sama sekali tidak terlihat kebelet. Sedangkan lima siswa lainnya juga malah ikut-ikutan ingin ke toilet. Karena semakin ribut, aku lantas mengangkat satu tangan sebagai syarat meminta mereka diam meski ada juga beberapa yang tak peduli.
“Aku akan mengizinkan kalian ke toilet, bahkan jika kalian semua berniat ke toilet sekaligus, aku tak peduli. Tapi ada satu syarat, dengarkan aku terlebih dahulu, kamudian lakukan apapun yang kalian inginkan.” Kataku.
“Kalau begitu cepatlah… aku tak punya banyak waktu untuk mendengarmu mengoceh…” jawab siswa tadi.
Dasar bocah… ia malah membuatku tertawa. Tapi sekarang giliranku.
“Aku tak suka basa-basi, jadi ku katakan terus terang… kalian semua — terserah mau menjadi siswa macam apa di sekolah. Tapi hati-hati, di luar pekarangan sekolah, kalian tak ada apa-apanya. Hari ini, aku sudah menandai kalian semua termasuk siapa saja yang melakukan aksi balapan liar tadi malam. Juga… aku tahu siapa yang bertawuran tadi malam, juga tahu bahwa beberapa di antara kalian akan kembali melancarkan aksi itu nanti malam. Jadi, siap-siap… bisa saja hari ini adalah hari terakhir kalian berada di sekolah.” Jelasku.
Sontak mereka semua terdiam bahkan juga terkejut. Tak ada yang berani menyanggah perkataanku tadi kecuali satu siswa yang duduk di paling belakang.
“Memangnya kau itu siapa? Kau datang ke kelas, tidak memperkenalkan diri, dan berlagak sombong seolah-olah kau tahu semuanya. Bagiku, kau hanya guru yang punya gaya culun, lltapi dengan lantang malah menebar ancaman seperti itu.” Kata bocah itu.
“Aku tidak mengancam… hanya mengatakan apa yang seharusnya ku sampaikan. Bisa saja aku mengatakan itu agar kalian berniat melakukan tawuran di tempat lain, secara diam-diam agar aku tidak mengetahuinya — atau pilihan terbaiknya adalah urungkan niat kalian untuk tawuran. Selain itu, tolong diingat bagus-bagus… jangan menilai seseorang dari gaya pakaiannya yang culun karena kau bisa menelan ludahmu sendiri.”
“Jika kau sudah tahu siapa di antara kami yang akan melakukan tawuran, kenapa tidak tangkap sekarang saja?”
Sambil tersenyum aku menjawab, “aku hanya sedang mempelajari sesuatu dari kalian. Tapi terserah, mau kalian percaya padaku atau tidak… tapi di dalam mataku ini wajah kalian sudah pernah ku lihat beberapa kali. Aku datang ke sini hanya untuk mencari tahu kebiasaan kalian di sekolah. Karena, aku orangnya suka mencari-cari sesuatu.”
“Kau sudah seperti polisi saja…”
“Bahkan polisi kewalahan menangkap para siswa yang tawuran juga mereka yang balapan liar. Jadi, simpulkan saja sendiri siapa diriku ini. Dan untuk sekarang, lakukan apa yang kalian suka, sebab nanti malam beberapa di antara kalian sudah tak bisa tertawa seperti yang kalian lakukan hari ini.” cetusku.
Markas Besar Kepolisian Cot Jambee
Aku sedang duduk di ruangan kapten Tiyo sambil meneguk kopi. Sesaat kemudian seseorang membuka pintu dan terlihat Tiyo datang bersama dengan Awsya. Dari sini, aku melihat keduanya yang sedang fokus membahas sesuatu. Lalu, kapten menoleh padaku — ia memperlihatkanku jari telunjuknya, pertanda aku diminta untuk menunggu sejenak.
Setelah berbicara dengan Awsya, kapten mendatangiku, sedangkan polwan tersebut langsung keluar.
“Bagaimana misi penyamaranmu?” Tanya Tiyo.
“Sedikit menyebalkan… bocah-bocah itu sangat menyebalkan. Tak bisa ku bayangkan bagaimana guru-guru di sana menghadapi tingkah laku mereka semua. Mungkin, jika aku guru tetap di situ, beberapa siswa sudah ku hantam.” Sahutku.
“Itu artinya kau sudah sangat sabar menghadapi mereka, ya…?”
“Barangkali karena tujuanku ke sana hanya sebagai mata-mata. Tapi, aku punya hal menarik.”
“Baiklah, tunjukkan padaku.” sahut Tiyo sambil berjalan menuju ke sebuah rak buku.
Ia lantas membuka pintu rak tersebut dan mengambil sebuah buku. Begitu ia membukanya, ku lihat kapten sedang menekan sesuatu. Kemudian, dinding di sudut kiri terbuka otomatis dan lantas dirinya berjalan ke sana — aku juga mengikuti Tiyo.
Yang kami masuki ini adalah tempat rahasia yang ada di dalam ruangannya — bisa ku bilang tempat penyimpanan senjata sebab ada berbagai jenis senapan di sini hasil rakitan Jack. Semuanya untuk keperluanku. Dan karena sangat rahasia, tak ada yang boleh memasuki tempat ini kecuali kami bertiga.
“Lalu… hal menarik apa yang kau maksud?” Tanya Tiyo.
Sebelum menjawab, aku mengambil kacamata dari dalam jubah yang ku gunakan selama berada di SMA Banda Raya. Kemudian, di sebelah kiri gagangnya, ada sebuah tempat untuk menaruh sebuah benda — adapun benda yang ku masukkan ke situ merupakan alat penyimpan data dan ukurannya sangat kecil.
Lantas ku ambil alat tersebut kemudian berjalan ke sebuah meja di mana terdapat laptop yang sudah menyala — aku memasukkannya ke tempat khusus yang tertera di sebelah kanan laptop. Hanya berselang satu detik, laptop ini memberikan kami rekaman video para siswa-siswi di kelas XII IPS-2.
Baik aku dan Tiyo memperhatikan video tersebut dengan seksama.
“Yang duduk di paling sudut kanan, dia merupakan ketua geng di sekolah itu — juga terlibat dalam aksi balapan liar serta tawuran.” Kataku, sementara kapten terlihat mengangguk-angguk.
Lalu aku melanjutkan, “kalau gadis itu,” ujarku sambil menunjuk ke arah laptop, “dia terlibat prostitusi online. Dia beraksi setiap malam Jumat. Selebihnya, ia melayani konsumen-konsumennya melalui telegram.”
“Malam Jumat? Berarti malam ini?” Tanya Tiyo, aku menjawabnya dengan anggukan.
“Dengar… aku akan mengurus para pelajar yang tawuran. Untuk gadis itu, ada baiknya kau tugaskan Awsya saja.”
Kemudian kapten membalas, “apa hanya di kelas itu saja?”
“Tidak… setidaknya aku sudah menemukan sekitar 30 siswa dari berbagai kelas. Mereka semua masing-masing terlibat dalam balapan liar, tawuran, begal, prostitusi, serta judi online. Dan dari mereka semua, rinciannya adalah 20 siswa kelas XI, 10 dari kelas XI, dan hanya satu orang yang masih duduk di jelas X.” Jelasku.
“Kau mendapatkan itu semua sejak tadi pagi?”
“Ya… tapi, sebenarnya jumlah itu belum termasuk semua.”
“Masih ada lagi?”
“Lebih dari setengah siswa siswi SMA Banda Raya terlibat aksi kenakalan remaja.”
Lantas kapten terkejut. “Woow…” gumamnya.
Adapun aku melirik arloji sejenak. “Dan sekitar 2 jam lagi, aku akan menebar ancaman.”
“Lalu, apa rencanamu?”
“Sederhana… aku hanya mencoba memberi mereka pelajaran. Sebagian akan ku serang mentalnya… sebagian lagi akan ku putuskan nanti.” Jawabku.
“Kalau begitu, aku akan mempersiapkan tim Jaguar.” Kata Tiyo.
Aku spontan menggeleng. “Jangan gegabah, mengirim tim Jaguar untuk sekelas bocah-bocah sangat berlebihan. Kita tidak sedang menangkap teroris, hanya calon teroris. Biar ku tangani sendiri saja.”
“Baiklah… lakukan sesukamu.”
“Tapi kau bisa mempersiapkan pasukan Rajawali…” cetusku.
Pukul 2 Dini Hari, di Jalan Rawa 16
Suara sepeda motor kebut-kebutan mulai membisingkan keadaan malam yang sunyi. Para remaja SMA terlihat sudah saling berkumpul di tengah jalanan.
Aku sendiri berada di atas pohon rindang. Dengan pakaian serba hitam, serta di balik remang-remangnya cahaya lampu, tak ada yang menyadari bahwa kini diriku sudah berada di tengah-tengah mereka.
Adapun para siswa ini berasal dari empat sekolah yang berbeda, salah satunya sudah pasti SMA 5 Banda Raya. Dan lagi mereka saling memegang senjata tajam; mulai dari parang, celurit dan rencong. Kemudian, dua laki-laki dari berjalan dan saling berdiri berhadapan. Ku lihat dari atas sini, mereka berdua sedang membicarakan sesuatu.
Sedangkan aku, sambil menunggu waktu tepat, ku ambil ponsel pelacak dan menekan sesuatu di layarnya. Setelah itu, aku mengambil senapan mungil — ku atur waktu selama lima menit yang memang tertera di badan senjata ini. Lantas aku mengarahkannya ke aspal sambil menekan pelatuk sebanyak lima kali. Adapun yang keluar dari senapan ini bukanlah peluru melainkan benda-benda bulat berukuran sangat kecil — tertempel mulus di aspal sekitaran bocah-bocah itu berada.
Lalu, aku kembali memperhatikan dua siswa yang sedang berdiri berhadapan itu. Kini, keduanya mulai menunjuk-nunjuk dan tak lama berselang malah saling dorong-mendorong. Perbuatan mereka lantas memancing para siswa lainnya; semua mengarahkan senjata ke depan dan bersiap menyerang.
Di momen ini, masing-masing saling melempar cacian hingga akhirnya keributan pun pecah. Para siswa itu berlari dan saling menyerang satu sama lain. Tapi, sebelum mereka berhasil mendaratkan serangan, tiba-tiba terjadi ledakan hebat sebanyak lima kali. Dan setiap ledakannya mengeluarkan asap yang sangat banyak. Bahkan, saking banyaknya, para siswa itu kesulitan untuk melakukan aksi tawuran.
Di tengah-tengah kabut asap tebal itulah aku lantas melompat dari atas dan mendarat di tengah-tengah mereka. Dengan bantuan lensa kontak yang sudah dirancang khusus, aku dapat melihat jelas walaupun gumpalan asap menyelimuti di sekitaran kami.
Di momen ini, dengan tenang aku menghabisi sepuluh siswa; ada yang ku tendang, ku cekik, ku banting ke aspal, ku pukuli wajah mereka… perbuatanku itu mampu melumpuhkan ke sepuluh siswa hanya dengan sekali serangan. Dan ketika ku sadari asap mulai menipis, lantas aku mengambil grapple gun dari dalam jubah dan menembak ke pohon tadi. Talinya menjalar dengan cepat bersamaan dengan diriku yang tertarik ke sana. Kini, aku kembali bersembunyi.
Begitu kabut asap lenyap seutuhnya, para siswa spontan terkejut. Mereka seakan-akan tak percaya beberapa teman mereka sudah pada terluka parah. Oleh karena panik, semua berusaha kabur. Akan tetapi, lampu jalanan seketika padam hingga membuat situasinya gelap gulita. Di waktu inilah aku kembali turun dari pohon dan menghabisi lebih dari setengah anak-anak remaja ini.
Ketika lampu kembali menyala, para siswa yang hendak tawuran ini sudah pada tergeletak lemah di aspal, beberapa bahkan juga ada yang tak sadarkan diri. Sedangkan yang tersisa… ada sebanyak 15 siswa dari empat sekolah yang berbeda. Aku yang sedang berdiri di tengah jalan lantas menatap ke arah mereka. Adapun bocah-bocah itu seketika ketakutan dan bersegera melarilan diri dari hadapanku. Yang tertinggal hanya mereka yang terluka-luka, dan ku yakini semuanya tak sanggup lagi untuk setidaknya kabur sebab aku sengaja menyerang mereka di titik vital.
Kemudian, aku menyeret satu persatu siswa ini ke pinggir jalan. Setelah itu, ku ambil rantai yang lumayan panjang dari dalam tas yang ku taruh tak jauh dari tempat persembunyian tadi, lalu merantai mereka semua agar tak bisa melarikan diri.
Begitu selesai, aku hendak pergi tapi menyadari sesuatu… ada seorang siswa Banda Raya yang sedang menatapku. Lantas aku menoleh padanya dan berjalan mendekat.
“Aku sudah bilang tadi pagi… kau bisa melakukan apa saja di pekarangan sekolah, tapi tidak jika kau berada di luar sekolah. Aku yakin kau sudah mengumbar tawa terakhir sejak tadi pagi, jadi malam ini aku memaksamu untuk berhenti tertawa…” ujarku kepadanya.
Ia adalah siswa yang sempat berlagak sok jagoan di hadapanku ketika berada di kelas. Sedangkan sekarang, tak ada yang bisa ia lakukan, bahkan pandangannya berubah menjadi sangat ketakutan.
“Ja… jangan-jangan… kau guru itu…” ucapnya.
“Sekarang akhirnya kau tahu siapa guru yang kau sebut culun. Inilah diriku sebenarnya…”
Bocah ini lantas merengek-rengek. Ia memintaku untuk membebaskannya sebab takut jika kedua orang tua mengetahui semua perbuatannya ini. Bahkan, saking takutnya, ia sampai menangis-nangis.
Sedangkan aku yang risih… tanpa basa-basi ku pukul saja wajahnya dan seketika ia pingsan.
Keesokan harinya
Aku masih menyamar sebagai guru dan kembali lagi ke SMA 5 Banda Raya. Ada berita menggemparkan pagi ini di mana sebanyak 50 siswa dari beberapa sekolah ditangkap oleh polisi… salah satunya berasal dari SMA Banda Raya. Adapun keadaan mereka saat ditangkap sangat memprihatinkan; semua dalam kondisi terluka dan terantai di pinggir jalanan. Lalu, terdapat banyak senjata tajam dari berbagai jenis sebagai barang bukti bahwa anak-anak itu merupakan pelaku tawuran. Setidaknya begitulah isi di halaman depan media Harian Cot Jambee.
Mengenai kabar tersebut, kini baik siswa dan para guru serentak terkejut, terutama pihak guru yang tak menyangka siswa mereka terlibat dalam perilaku kenakalan remaja. Sedangkan mereka yang tertangkap sudah berada di Markas Besar Kepolisian Cot Jambee. Kepala-kepala sekolah serta para orang tua murid ku dengar sedang mempermasalahkan nasib anak mereka. Tapi aku sudah berpesan kepada kapten Tiyo agar diriku sendiri yang menangani bocah-bocah itu, meskipun pihak sekolah atau orang tua meminta mereka untuk dibebaskan.
“Ku dengar ada 20 orang dari sekolah kita yang tertangkap karena tawuran tadi malam.” Ujar seorang siswi dari dalam kelas X yang terdengar olehku. Adapun posisiku sekarang sebenarnya sedang berada di dalam ruangan guru. Aku bisa tahu pembahasan itu sebab sebelum diriku tiba di sekolah ini, aku sudah lebih dulu meletakkan alat penangkap suara di semua kelas… termasuk ruang guru, kepala sekolah dan di beberapa sektor lainnya.
“Iya…” sahut siswi lainnya. “Kebanyakan yang tertangkap anak kelas XII.”
“Tapi aneh… kondisi mereka saat ditemukan oleh polisi dalam keadaan luka-luka. Aku tak yakin mereka terluka karena tawuran. Pasti ada seseorang yang menyerang mereka.”
“Ya benar… apalagi mereka ditemukan dengan kondisi terantai.”
“Kira-kira siapa?”
“Entahlah… yang jelas dia bukan orang sembarangan sebab selama ini polisi kesusahan menangkap anak sekolah yang tawuran. Mungkin saja orang itu bukan polisi.”
Aku yang mendengar pembahasan dua siswi itu lantas spontan bergumam dalam hati, “sebenarnya, yang tadi malam itu baru permulaan saja.”
Lima menit kemudian
Aku beranjak dari ruang guru dan bersegera menuju ke kelas XII IPS-2. Tampilanku masih tetap sama; mengenakan kemeja biru yang mana ku kancing sampai paling atas lalu ku masukkan ke dalam celana; memakai kacamata; menyisir rambut ke kanan; semua itu sudah cukup menggambarkan betapa culunnya diriku sebagai guru di SMA 5 Banda Raya. Dan lagi, aku merupakan satu-satunya guru yang berpenampilan seperti ini. Jadi tak mengherankan lagi gayaku sedikit menarik perhatian terutama di kalangan siswa-siswi.
Saat memasuki kelas XII IPS-2, aku langsung disuguhi hadiah; seorang siswa melempariku tepung dan mengenai tepat ke wajahku. Perbuatannya lantas membuat satu kelas tertawa terbahak-bahak… beberapa ada yang bersiul mengejek. Tapi, aku terus berjalan dengan santai menuju tempatku dan kemudian duduk. Sambil duduk, ku ambil sebuah kain dari dalam tas dan menghapus sisa tepung di wajah.
Lalu, siswa yang melempariku tadi datang dan berdiri di hadapanku. “Woy pak, maaf ya… tadi aku sengaja melemparimu tepung karena kau sangat menjengkelkan sejak hari pertama.”
Sambil tersenyum aku membalas, “tak apa. Tapi apa kau terganggu dengan sikapku ini?”
“Sangat… kau guru yang sangat ku benci karena terlalu sombong. Kesanmu di hari pertama hanya membuat kami semua muak.”
“Begitu ya… kalau kalian muak, lantas apa yang ingin kalian lakukan? Katakan saja, aku siap meladeni kalian semua.” Ujarku.
Si siswa ini menjadi sangat berang setelah mendengar ucapanku. Ia memukul meja dan membalas, “jangan sok jagoan. Jika kau memang bernyali besar, temui aku di Jalan Rawa 11 — kita bisa bertarung habis-habisan di sana.”
“Kenapa harus di Jalan Rawa 11? Jika kau memang bernyali besar, kita bisa langsung bertarung di halaman sekolah. Atau bila perlu, di depan ruang kepala sekolah. Bagaimana?” Tanyaku.
Si siswa ini seketika terdiam. Seakan-akan dirinya tak percaya dengan apa yang ku lontarkan barusan.
“Ku beri kau 15 detik untuk berpikir, jika kau menolak… ku pikir percuma saja kau punya batang kejantanan di balik celana dalammu.” Sambungku.
Lantas seketika bocah ini melayangkan pukulan, namun dalam posisi duduk aku dengan segera menahan kepalan tinjunya menggunakan telapak tangan. Hal tersebut membuatnya malah mengerang kesakitan sambil memegangi pergelangan tangan. Padahal yang ku lakukan baru menahan serangannya, tapi dia langsung menderita dan ketakutan — sorot matanya terlihat bahwa ia tak percaya dengan apa yang ku lakukan barusan.
Oleh karena perbuatanku itu, ia segera berlalu dan duduk diam tanpa mengoceh lagi. Sedangkan aku bangkit dari duduk dan berdiri di hadapan para murid. “Aku tak peduli dengan apa yang kalian perbuat untukku — silahkan saja jika kalian ingin membully-ku dengan cara seperti tadi atau yang lebih parah dari itu… aku sama sekali tak terusik. Tapi, jika kalian menantangku, lebih baik menantangku di pekarangan sekolah — itu pun jika kalian memang benar-benar mengaku pemberani.” Kataku.
Mereka semua terdiam membisu. Kini, tak ada satu siswa pun yang berani menyanggah ucapanku… tidak seperti di hari pertama diriku memasuki kelas ini.
“Dan asal kalian tahu saja…” lanjutku, “aku baru dua hari di sini tapi coba lihat suasana di kelas kalian… ke mana teman-teman kalian sekarang ini? Apa kalian pikir mereka sengaja tidak datang ke sekolah…? Atau sebenarnya mereka sudah berada di dalam penjara? Coba pikir… ketidakhadiran hampir dari setengah teman-teman kalian ini… apa semua terjadi secara kebetulan?”
Kemudian, ada seorang siswi yang menyahut. “Pak, sebenarnya anda itu siapa?” Tanyanya. Untuk seorang siswi dari kelas XII IPS-2, dia merupakan salah satu yang paling sopan saat berbicara denganku.
“Tak perlu tahu siapa diriku ini — pikirkan saja nasib kalian masing-masing… terutama bagi kalian yang suka berbuat kekacauan. Tadi malam, beberapa siswa yang tawuran serta siswi yang terlibat dalam prostitusi berhasil tertangkap. Selanjutnya, ku ingatkan juga bagi kalian yang suka balapan liar — lebih baik sekarang kalian mempersiapkan diri mulai malam ini, jika tak ingin bernasib sama seperti mereka. Asal kalian tahu, hidup dalam penjara tidak sebaik yang kalian pikirkan — ada mimpi buruk yang siap menakut-nakuti kalian. Jadi, bagi siapa yang merasa mentalnya masih sebatas nakal untuk mencari perhatian, lebih baik jangan lagi ikut-ikutan membuat kekacauan. Mereka yang tertangkap, ku harap bisa menjadi pelajaran untuk kalian… sebelum semuanya terlambat.” Jelasku dengan gelagat serius.
Pukul 10 Malam di Jalan Hamzah
Aku sedang berada di kediaman tepatnya di ruang bawah tanah. Diriku yang sedang fokus menatap layar komputer, tiba-tiba terdengar seseorang berjalan. Ku tatap ke kanan dan melihat kapten Tiyo berjalan ke arahku.
“Bagaimana kabar bocah-bocah itu di markas?” Tanyaku kepadanya.
Begitu kapten tiba di sebelahku, ia menjawab, “tak ada yang berhenti menangis. Mereka semua merengek meminta ampunan. Sepertinya kau melakukan sesuatu saat menghabisi mereka.”
“Sudah ku bilang, kan… tujuanku menyamar menjadi guru hanya untuk menebar ancaman. Dan bagi siapa yang tidak mendengar, aku akan menyerang mental mereka.”
“Tapi…” sahut Tiyo, “ku dengar tidak semua siswa yang tawuran itu tertangkap…”
“Ya, memang benar…”
“Jadi kau sengaja tidak menangkap yang tersisa dan memilih membebaskan mereka?”
“Tidak juga…” jawabku. “Yang tidak ku tangkap ada sebanyak 15 siswa. Dan sekarang mereka sedang berada di sini.”
“Haah…? Di sini?”
Lantas aku menunjuk ke arah kiri, tepat ke sebuah tempat yang sangat gelap gulita. Kemudian, kapten bertanya, “apa mereka ada di situ?”
Aku tidak menjawab, hanya menekan sebuah tombol di keyboard komputer dan seketika lampu di tempat yang ku tunjuk tadi menyala… memperlihatkan 15 siswa terikat dengan kondisi mata yang tertutup.
“Jim, apa-apaan itu?” Tanya kapten Tiyo. “Sepertinya kau sedikit berlebihan…”
“Untuk sekumpulan siswa yang melakukan tawuran dan begal… serta sudah pernah membunuh beberapa orang lain… ku pikir yang ku lakukan tidak terlalu berlebihan.” Sahutku.
“Mereka juga melakukan aksi pembunuhan?”
“Semuanya… mereka membunuh saat melakukan begal. Sudah tiga korban nyawanya melayang; satu laki-laki dan sisanya wanita.”
“Aku baru tahu itu… selama ini kabar yang terengar dari masyarakat hanya aksi-aksi mereka yang balapan liar serta tawuran.”
Adapun aku memberi penjelasan sedikit. “Sebenarnya, kejahatan yang dilakukan oleh segerombolan siswa di berbagai sekolah bukan cuma itu. Beberapa ada yang sengaja melakukan aksi pembunuhan — mereka melakukannya sebagai upaya membanggakan diri. Jadi, setiap siswa masing-masing memiliki geng tersendiri. Bagi mereka yang berhasil membunuh, atau sekurang-kurangnya mampu membuat orang lain sekarat, itu tandanya geng mereka sudah bisa dikatakan hebat. Selain itu, tawuran yang berlangsung pada malam itu sebenarnya bukan tawuran antar sekolah — mereka tawuran atas nama geng masing-masing.”
“Ternyata begitu — aksi mereka sudah mirip seperti yang pernah terjadi di masa lalu.”
“Ya… sekilas memang sangat mirip dengan kenakalan remaja yang terjadi di masa lalu.”
“Kalau begitu, apa aksi bocah-bocah ini juga dipelopori oleh seseorang?” Tanya kapten.
“Tidak… mereka bertindak murni karena kemauan sendiri. Jika ku telusuri, mereka hanya sekumpulan bocah yang gemar dianggap hebat — semakin hebat geng mereka, semakin ditakuti oleh yang lainnya. Tapi, jika terus dibiarkan, masalah yang pernah terjadi di masa lalu bisa saja kembali terulang. Karena itu, kita harus segera bertindak, apalagi masyarakat mulai banyak yang resah dengan perilaku anak-anak sekolahan.”
“Kau benar.” sahutnya. Ia lantas mengambil kursi dan duduk di sebelahku. “Lalu, apa yang akan kau lakukan terhadap anak-anak itu?”
“Seperti yang sudah ku katakan padamu, aku akan memberi mereka pelajaran yang pantas.” Pungkasku.
Satu Jam Kemudian
Aku membawa 15 siswa ini ke suatu tempat — kondisi mereka masih terikat dan juga mata masih tertutup dengan helaian kain hitam yang tebal. Tak ada yang terlihat tenang, semua merasa ketakutan bahkan ada tiga bocah yang malah terkencing-kencing.
Ku suruh mereka berdiri, dan aku lantas memotong ikatan tali di tangan anak-anak ini.
“Sekarang, bukalah lilitan kain di mata kalian…” ujarku dengan suara berat.
Mereka semua melakukan apa yang ku katakan dengan gemetaran. Saat sedang melepas kain, aku berdiri di hadapan bocah-bocah ini. Dan ketika satu persatu melihat ke arahku, mereka semua terkejut.
“Si… siapa… kau…?” tanya seorang bocah, ia berdiri di posisi paling tengah.
Sedangkan aku tidak menyahut mereka, hanya menatap setajam mungkin. Dan sikapku ini semakin membuat merrka semua ketakutan.
“Mulai dari sekarang, berlarilah sejauh mungkin dariku. Tapi ingat, jika kalian masih juga berbuat onar, aku pasti akan memburu kalian lagi dan ku lakukan lebih buruk dari yang sudah ku lakukan. Sekarang pergilah dan kabarkan kepada teman-teman kalian mengenaiku serta bagaimana perlakuanku kepada kalian selama ku kurung — sampaikan kepada mereka mengenai mimpi buruk yang kalian rasakan…” ujarku.
Tak lama setelah mengatakan itu, terjadi ledakan beruntun. Bocah-bocah ini pun menjadi sangat panik, adapun aku hanya berdiri tenang saja sambil memperhatikan mereka. Begitu ledakan berhenti, ku lihat wajah anak-anak ini menjadi sangat pucat — dua siswa bahkan sampai ambruk. Sedangkan yang lainnya… mereka mencoba memberanikan diri untuk kabur dari hadapanku. Awalnya mereka ragu, tapi karena melihat diriku yang sama sekali tidak melakukan pergerakan, maka siswa-siswa itu pun berhamburan melarikan diri, tersisa hanya dua saja karena sudah terlanjur tergeletak tak berdaya.
“Kau bilang mereka sudah melakukan aksi pembunuhan, tapi kenapa malah kau bebaskan?” Tanya kapten Tiyo padaku. Sedari tadi ia hanya bersembunyi di suatu tempat.
“Sementara… dua hari ke depan mereka semua juga akan tertangkap lagi.”
“Sepertinya kau sudah melacak semua anak-anak berandal itu, ya…”
“Jika tidak, mana mungkin aku berlagak sombong seperti ini. Lagipula, tujuanku hanya untuk menyerang mental mereka yang merasa sok jago…”
Tiyo lantas tertawa mendengar perkataanku. “Lalu, bagaimana dengan dua bocah itu? Sepertinya mereka pingsan.”
“Bawa saja ke markas. Aku sudah memberi bukti-bukti bahwa mereka melakukan aksi pembunuhan. Jadi, jika ada siapa saja yang meminta mereka untuk dibebaskan, jangan dipedulikan — sekalipun itu orang tua mereka.”
“Baiklah… lalu bagaimana denganmu?”
“Aku akan melanjutkan perburuan…”
“Sekarang…? Kenapa terlalu buru-buru? Barangkali secangkir kopi dulu bukan ide yang buruk.” Ujar Tiyo.
“Tengah-tengah malam? Bukan pilihan yang tepat untuk meneguk kopi. Tapi… tak ada salahnya juga.”
Hari ini, aku sedang berada di dalam ruang kepala sekolah, karena ia sendiri yang memintanya. Kami duduk di sofa tamu; sang kepala sekolah menghidangkan beberapa kue serta segelas minuman dingin.
“Bagaimana sejauh ini, detektif?” Tanya kepala sekolah, namanya Muzayyin.
“Sesuai rencana.”
“Tapi, belakangan ini, anak-anak sudah berani memulai aksi balapan liar lagi.”
“Ya, itu wajar sebab sudah beberapa hari aku tidak muncul di hadapan mereka.”
Setelah menangkap bocah-bocah yang tawuran, aku tidak lagi memburu mereka… setidaknya sekitar seminggu. Mungkin, hal itu membuat mereka menganggap ancaman yang ku tebarkan sudah tak ada lagi.
“Kenapa kau berhenti menangkap mereka?” Tanya Muzayyin.
“Aku hanya sedang membaca situasi.”
“Begitu ya… ngomong-ngomong, bagaimana penyamaranmu di sekolah ini?”
“Aman… dengan penampilanku yang culun, tak ada satupun yang tahu tentang niatku.”
“Kau memang sangat lihai menyamar. Tapi bagiku bukan caramu, lebih tepatnya pembawaanmu yang memang benar-benar terlihat culun.”
Saat sedang mengobrol, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk ruangan Muzayyin. Ia mengetuk sebanyak 3 kali lalu membuka pintunya dan terlihatlah seorang wanita yang berjalan masuk. Ia salah satu guru di sekolah ini — namanya Riska yang biasa dipanggil Ika.
“Pak, ada kabar buruk…” ujar Ika.
Muzayyin tidak berkata apa-apa, ia hanya menanti guru wanita itu untuk melanjutkan omongannya.
“Sepuluh siswi kita berada di kantor polisi. Mereka dituduh melakukan prostitusi online.” Lanjut Ika. Ia terus menjabarkan penjelasan dengan tergesa-gesa sampai Muzayyin memintanya untuk tenang.
“Tenanglah Ika… duduk dulu.” ujar kepala sekolah.
Ika lantas duduk di sebelahku dengan posisi tangan saling digenggam erat. Adapun Muzayyin bangkit dan berjalan entah ke kemana, ia meninggalkan kami berdua.
Di momen ini, Ika menatap ke arahku. “Pak Khalid…” katanya.
Aku membalas wanita itu dengan anggukan. Lalu Ika melanjutkan, “saya mendengar banyak laporan dari anak-anak mengenai dirimu saat di dalam kelas. Banyak yang mengeluh. Selain itu, guru-guru lain juga melaporkan bahwa anda sama sekali tidak mengajar di kelas… hanya mengobrol sampai jam pelajaran selesai. Apa itu benar, pak?”
Adapun aku mengangguk. “Ya, benar sekali.” Sahutku singkat.
“Itu bukan tindakan yang bagus pak. Seharusnya tugas anda itu mengajar bukan malah mengoceh di kelas.” Sahut Ika. Ia lantas menceramahiku panjang lebar sambil meluapkan semua kekesalannya. Tapi, yang ku dengar malah dirinya banyak mengeluarkan unek-unek pribadi daripada perihal diriku. Dan lucunya, Ika mengaitkan hal pribadinya untuk menyalahlanku.
Dan begitu ia selesai berceramah, aku membalas, “baiklah. Terima kasih atas semua masukanmu.”
Di sini, aku menatap Ika, ia sepertinya kesal dengan jawaban yang ku berikan.
Lalu, Muzayyin balik lagi sambil membawakan minuman. Ia meletakkan gelas tepat di hadapan Ika. “Jadi, bagaimana kelanjutan siswi-siswi yang tertangkap itu?” Tanyanya kepada guru wanita itu.
“Pokoknya, saya merasa kasihan pada mereka. Saya yakin mereka sudah dituduh. Lantas bagaimana dengan sikap anda, pak? Seharusnya anda mengambil tindakan — minggu lalu beberapa siswa kita juga ditahan dalam kondisi luka-luka karena tuduhan melakukan tawuran. Sepertinya polisi sudah melakukan tindakan yang berlebihan.” Sahut ika.
“Tapi, kita juga tidak bisa bertindak gegabah. Lebih baik biarkan diselidiki oleh polisi terlebih dahulu, bukan begitu pak Khalid…?” lanjut Muzayyin sambil menatapku.
“Ya…” jawabku singkat sambil mengangguk.
Sedangkan Ika bersikukuh meminta agar Muzayyin melakukan sebuah tindakan untuk membebaskan para siswi. Dan karena wanita itu terlalu banyak mengoceh, sang kepala sekolah lantas menaruh telunjuknya di bibir.
“Bagaimana pak Khalid… apa aku boleh membebaskan para siswi itu?” Tanya Muzayyin.
“Kenapa bertanya padanya…?” Ika menyanggah saat aku hendak menjawab. “Anda kepala sekolah, seharusnya keputusan berada di tangan anda. Lagipula, pak Khalid hanya guru baru di sini, bahkan ia belum juga sebulan mengajar.” Sambungnya.
“Asal anda tahu saja pak, guru ini tak pernah mengajar di kelas. Yang ia lakukan hanya berceloteh dengan murid-murid. Bahkan, anak-anak juga tak ada yang menyukainya di sini. Dia ini guru yang dibenci oleh para siswa.” Lanjut Ika lagi.
Lantas Muzayyin menyahut, “karena alasan itulah pak Khalid berada di sini.”
Perkataan kepala sekolah membuat Ika terkejut. “Apa maksud anda?” Tanyanya.
Kemudian aku pun menyeropot pembahasan. “Para siswi yang tertangkap itu bukan karena tanpa alasan. Ada banyak bukti yang membuat mereka ditangkap. Dengan kata lain, mereka memang melakukan tindakan prostitusi online.” Jelasku.
“Kenapa kau malah menuduh-nuduh? Setidaknya, berikan bukti secara konkret…” balas Ika.
“Aku sudah memberikannya. Dan lagi, siswi-siswi itu terlibat dalam prostitusi online karena tergoda oleh bujukan seseorang. Ada seorang guru yang mendalangi aksi mereka dari belakang — dan siswi-siswi itu… mereka harus menyetor uang yang mereka terima kepada guru tersebut. Sisanya, akan diberikan kepada mereka. Bukankah itu sudah sangat jelas?”
“Apa…? Ada seorang guru di balik ini semua?”
“Kenapa kau malah terkejut begitu?” Tanyaku sambil menatap Ika. Lantas aku memegang tangannya. “Bu Ika, semua rencanamu sudah ku ketahui. Jadi, tak ada yang perlu kau sembunyikan lagi.”
“Apa-apaan kau ini…? Mau menuduhku?” Balasnya sambil berusaha melepaskan tanganku dari lengannya.
“Dari semua siswi yang tertangkap, salah satunya bernama Nurmala — dia sempat menjumpaimu tadi malam di hotel Khair untuk menyetor uang kepadamu, hasil dirinya yang dipakai oleh seorang oknum pejabat. Setelah itu, ia pergi ke sebuah rumah, juga milik seorang pejabat. Tapi sebelum gadis itu tiba, ia malah tertangkap bersama oknum pejabat yang ingin memakai tubuhnya. Lalu, apa aku masih menuduh?” Jelasku.
Ika tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia hanya duduk dengan kepala tertunduk — matanya tersorot seakan-akan ia tak percaya dengan ucapanku barusan.
“Bu Ika, sudahlah… jangan kau tutupi lagi. Aku sendiri juga sudah melihat semuanya dari pak Khalid bahwa anda sebenarnya menjadi dalang di balik kasus prostitusi ini.” Sahut Muzayyin.
Ika lantas kembali mencoba melepaskan genggamanku dari tangannya. Tapi, kali ini aku bersikap tegas; ku ambil borgol dari dalam kantong celana, lalu meletakkan kedua tangan wanita ini ke punggung dan memborgolnya.
“Hey, lepaskan aku…!” Teriak Ika. “Pak Muzayyin… kenapa jadi seperti ini?”
“Bu Ika, lebih baik anda memberikan penjelasan di kantor polisi saja. Tapi, aku yakin kau takkan mungkin dibebaskan sekuat apapun kau berusaha. Itu karena semua bukti sudah terkumpul — anda tak bisa mengelak lagi.” Sahut Muzayyin.
“Ta… tapi, kenapa malah pak Khalid…?” gumamnya sambil melirikku. “Siapa kau sebenarnya…?”
Aku tidak menjawab pertanyaan Ika. Sebagai gantinya, Muzayyin yang memberikan alasan. “Bu Ika, dia adalah detektif itu.”
“Detektif itu…? Ma… maksudmu detektif yang sering menangkap mafia…?”
“Benar…” sahut Muzayyin. “Sekarang anda paham kan kenapa tak ada cara untuk membebaskan para siswi ataupun membebaskanmu? Itu karena di tangannya sudah ada bukti nyata. Kau pikir saja sendiri… siapa yang mampu mencari bukti sampai sejauh ini jika bukan Detektif Jimmy yang melakukannya?”
Di momen ini, aku melirik ke Ika sejenak di mana ia juga menatapku dengan sangat ketakutan. “Ka… kau… Detektif Jimmy?” Tanyanya yang mulai gemetaran.
“Maaf aku datang tiba-tiba…” sahutku.
“Ta… tapi… kenapa penampilan anda seperti ini…?”
“Karena aku sedang dalam misi. Apa masih ada pertanyaan lain sebelum aku membawamu ke kantor polisi?” Tanyaku balik yang seketika membuat Ika bungkam tak bersuara.
Dua Hari Setelahnya
Ternyata, diriku yang tidak menampakkan diri di hadapan remaja-remaja itu malah membuat mereka semakin semena-mena. Aksi balapan liar kembali berlanjut bahkan sudah empat malam berturut-turut.
Dan pada malam ini, mereka juga akan balapan tepatnya di daerah Teuku Umar. Dari yang ku dapat, bocah-bocah itu sengaja balapan di tempat-tempat berbeda. Seorang sumber mengatakan padaku bahwa mereka masih merasa terancam dengan kehadiran orang asing yang menangkap para tersangka tawuran — tak lain adalah diriku sendiri. Tapi, karena balap liar sudah menjadi kegemaran, mereka tetap melakukannya namun dengan lebih berhati-hari dan waspada. Bahkan, mereka juga rela menyewa beberapa orang terlatih untuk menjaga situasi agar aksi mereka berjalan baik.
Pukul 2 Dini Hari
Aku sudah berada di daerah Teuku Umar. Sekarang, diriku sedang bersembunyi di sebuah gedung — lebih tepatnya memperhatikan gerak-gerik siswa-siswa itu dari atap.
Jarakku dan mereka lumayan jauh tapi aku tahu lintasan balapan akan melewati area di tempatku ini. Sambil memperhatikan mereka menggunakan teropong; ku lihat semua pembalap sudah bersiap-siap. Selain itu, ada banyak gadis-gadis di yang duduk dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja. Selain itu, mereka sambil bercumbu dengan para laki-laki sambil meneguk minuman keras di tangan masing-masing.
Setelah itu, aku melirik ke sekitar area gedung. Di sini, tak sengaja mataku menatap Benny, ia sedang berada di seberang jalan. Lantas diriku mengacungkan jari jempol dan ia bersegera melumuri minyak di tengah hamparan aspal.
Kemudian, Benny menyalakan korek api kayu lalu melemparkannya ke aspal yang sudah basah dengan minyak — seketika api pun berkobar-kobar.
Tepat satu menit berselang, para pembalap sudah mulai melajukan sepeda motor. Perkiraanku, mereka akan tiba ke sini dalam waktu sekitar lima menit.
Dan benar saja, mereka tiba sesuai prediksi.
Semua seketika menghentikan laju sepeda motor begitu melihat api di depan. Adapun mereka tak bisa melanjutkan balapan sebab jalur lintasan tertutup.
Di momen inilah aku mengambil grapple gun dan menembak ke sebuah tiang lampu. Saat talinya terlilit ke situ, aku pun tertarik dan mendarat di tengah-tengah para bocah ini.
Awalnya mereka heran, bahkan ada seorang pembalap yang berani mendatangiku dengan lantang. Begitu dirinya berada di hadapanku, aku lantas memukuli wajahnya dengan keras hingga ia terkapar tak bergerak.
Yang lainnya… mereka bergegas memacukan sepeda motor untuk kembali lagi ke tempat semula. Akan tetapi, sebelum menancapkan gas, terjadi ledakan hebat yang berasal dari aspal juga. Ledakan itu menyebabkan kepulan asap tebal yang dengan cepat mengerubungi ke sekitar.
Tak ada jalan keluar untuk kabur, dan di sinilah aku datang — ku habisi bocah-bocah ini hanya dengan sekali pukulan hingga mereka tergeletak tak berdaya. Setelah itu, aku beranjak pergi. Ku ambil sepeda motor dari salah satu pembalap dan melajukannya dengan kencang melewati kobaran api yang menyala-nyala. Aku tidak terbakar sebab jubah yang ku kenakan anti api.
Di tengan jalan, aku mendengar suara orang-orang bersorak ria. Dan ketika diriku hampir tiba ke garis finish, perlahan-lahan suara itu menghilang dari telingaku. Bocah-bocah yang menanti para pembalap tiba merasa heran saat melihat malah diriku yang datang.
Begitu melewati garis finish, aku berhenti dan turun dari sepeda motor, tepat di tengah-tengah para bocah ini. Sedangkan mereka masih tetap melirikku, tapi kini situasinya menjadi sangat senyap. Ku lihat, gadis-gadis yang sebelumnya sedang bercumbu langsung memisahkan diri dari para lelaki dan berdiri dengan ketakutan. Bahkan mereka sampai lupa untuk mengenakan pakaian.
“Siapa kau…?” Tanya seorang laki-laki. Ia mengarahkanku sebuah pedang.
“Jawab aku!” Teriaknya sebab aku hanya diam saja tak menyahutinya.
Kini, beberapa orang mulai mendekatiku; mereka semua memegang pedang dan siap menyerang. Sedangkan aku dengan santai berjalan ke bocah yang bertanya tadi. Saat hampir sampai di hadapannya, ia berlari menyerangku menggunakan pedang. Adapun diriku dengan cepat menangkis serangannya lalu melayangkan pukulan keras ke perutnya. Dalam waktu itu juga ia terkapar dengan darah tersembur dari mulut.
“Habisi dia…!” Teriak seseorang dan seketika bocah-bocah yang memegang pedang datang menyerang.
Di sini, dengan sigap aku mengambil sebuah besi padat pendek; ku tekan tombol yang ada di batangnya dan seketika benda ini memanjang. Lalu, diriku bersegera menoleh ke belakang dan menghalau laju pedang.
Tiiing…
Besiku saling bertubrukan dengan pedang dari seorang bocah. Tapi, di waktu yang sama senjata anak itu patah, dan lantas aku memukuli wajahnya dengan besi ini. Setelah itu, aku mulai menghabisi semua bocah yang menyerangku. Mereka pun terkapar tanpa bisa mendaratkan satu tebasan untuk mengoyak pakaianku.
Sedangkan yang lainnya sontak panik dan berusaha kabur. Mereka buru-buru menyalakan sepeda motor tapi tak kunjung bisa… itu terjadi karena aku sudah menguta-atik semua kendaraan mereka sebelumnya secara diam-diam Oleh sebab frustasi, sebagian memilih lari saja termasuk para gadis; sedangkan yang lain memberanikan diri menyerangku.
Di momen ini, aku mengambil sebuah senapan dan menembak bocah-bocah yang melarikan diri sambil mengelak setiap pukulan yang dilancarkan oleh anak-anak lainnya. Adapun yang keluar dari senjata bukanlah peluru melainkan jarum-jarum kecil yang ku yakini tertancap di kaki-kaki mereka. Dan tak lama berselang, teriakan demi teriakan memekakkan telinga. Para siswa yang kabur tadi mulai berguling-guling di aspal sambil mengerang kesakitan.
Di sisi lain, aku terus mengelak pukulan; bocah-bocah ini menyerangku dengan membabi buta menggunakan balok, celurit dan juga rencong. Tapi, tak ada satupun yang berhasi melukaiku. Adapun yang gadis-gadis mulai menjerit histeris meminta tolong.
Lalu, sekitar dua menit kemudian, ledakan hebat terjadi lagi secara beruntun — satu-satu sepeda motor mereka meledak. Hal tersebut membuat semuanya terkejut. Di waktu inilah aku menghabisi semua siswa dengan tangan kosong; ada yang ku hantam dadanya, wajah, perut, bagian kaki, bahkan sampai kepala . Tak ada satu pun yang bisa melawan balik, semua terkapar tak berdaya di jalanan, kecuali para gadis sebab aku tidak menyerang mereka — mereka hanya terduduk lemas, bahkan satu orang tergeketak pingsan.
Aku lantas berjalan mendekati gadis-gadis ini yang masih mengenakan BH dan celana dalam. Begitu tiba dan berdiri di hadapan mereka salah satu siswi menangis-nangis.
“Jangaann… jangan lukai aku…” pintanya sambil merengek-rengek.
“Pakai ini…” sahutku sembari melempar pakaian kepada mereka.
Siswi-siswi ini pun memakainya dengan cepat. Dan karena masih ketakutan, mereka malah mengenakan pakaian dengan terbalik. Tapi aku tidak peduli — sebaliknya, ku ambil tali dan mengikat tangan serta kaki mereka. Juga, aku melilitkan lakban hitam di mulut gadis-gadis ini.
Tak lama berselang, sebuah mobil tiba dan ada seseorang yang keluar… dia adalah Benny.
“Sudah selesai? Cepat sekali… ku pikir kau akan menghabiskan waktu selama dua jam, tapi malah 20 menit.” Ujarnya.
“Apa kau sudah mengambil gambar para pembalap tadi?” Tanyaku.
“Sudah… pokoknya di sana sudah beres.”
“Kalau begitu, pastikan besok kau menerbitkan berita yang menggemparkan agar siswa-siswa lainnya tahu kabar terkini ini.”
“Apa kita tak perlu mengambil dokumentasi di sini?” Tanya Benny.
“Aku sudah meletakkan beberapa kamera, jadi tak perlu repot-repot lagi. Nanti dokumen utuhnya akan ku berikan saat kita tiba di rumahku.”
“Baiklah. Lalu sekarang apa? Bagaimana dengan bocah-bocah ini?”
“Biarkan saja. Besok pagi tim Rajawali akan datang ke TKP dan membawa mereka ke markas.”
“Haahh…? Kau membiarkan mereka begini saja? Bagaimana jika ada yang kabur…?”
“Tidak masalah, aku hanya tinggal menangkapnya lagi. Lagipula, aku sudah menyerang di titik vital… kecil kemungkinan bocah-bocah ini bisa kabur dengan rasa sakit seperti itu.” Pungkasku.
Setelah itu, aku lantas mengambil ponsel dan melakukan sesuatu. Agak lama diriku fokus hingga Benny membuyarkannya.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Mengirim bukti…” jawabku.
“Bukti? Untuk kapten Tiyo?”
“Bukan…” sahutku. “Untuk para orang tua bocah-bocah ini, serta guru-guru mereka.”
“Sepertinya kau bisa membuat kekacauan lain.”
“Aku hanya ingin menampakkan pada orang tua mereka yang selalu sibuk bekerja dan mengabaikan anak-anaknya yang berbuat onar sampai meresahkan sebagian masyarakat. Selain itu, aku juga ingin para guru sadar bahwa selama ini mereka tidak mendidik siswa-siswinya dengan benar. Dua pihak itu punya tanggung jawab besar terhadap bocah-bocah ini.” Jelasku.
“Terserahlah…”
Keesokan Harinya
Tim Rajawali sudah membawa para bocah yang melakukan aksi balapan liar ke Markas Besar Kepolisian Cot Jambee pukul 7 pagi tadi. Tidak hanya itu, sebenarnya tadi malam Tim Rimueng berhasil menggerebek beberapa oknum pejabat yang menggunkan jasa para gadis-gadis SMA yang mereka sewa melalui sebuah aplikasi online. Semua pejabat itu tertangkap di tiga tempat berbeda.
Selain itu, media Harian Cot Jambee merilis berita terbaru terkait kenakalan remaja. “Siapa Lagi Selanjutnya?” begitulah judul yang terpampang di halaman depan koran dengan suguhan foto para bocah yang ku habisi tadi malam. Dan yang menulis isi beritanya adalah Benny.
Markas Besar Kepolisian Cot Jambee
Pukul 8 malam… saat ini aku sedang berada di atap markas sambil memerhatikan ke sekitar. Desir angin malam ini terasa lebih sejuk bersama rintikan gerimis, membuat suasana malam terasa sedikit lebih syahdu.
“Sendirian saja…?” ujar seorang wanita dari belakang. Aku lantas spontan menoleh padanya dan melihat Awsya sudah berdiri sambil menggenggam kedua tangan.
“Ya… tadinya. Tapi sekarang kita sudah berdua.” sahutku.
Awsya lantas berjalan perlahan dan berdiri di sebelahku; ia menatap seisi kota dari atas ini. Ketika memerhatikan dirinya yang sangat fokus, dalam hati aku berujar bahwa pelan-pelan polwan ini sudah menjelma menjadi lebih baik. Setidaknya dia sudah mengerti mengrmban tanggung jawab ketika ada misi yang harus dijalankan.
“Bagaimana misimu malam itu?” tanyaku.
“Baik-baik saja. Berkat strategimu, aku bisa menjalankannya dengan sukses.”
“Baguslah…”
“Ku dengar, kau tidak menangkap semua anak-anak SMA tersisa… apa benar, detektif?” Tanya Awsya.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. “Aku sedang memberi kabar kepada bocah-bocah lainnya bahwa ancaman yang ku betikan itu nyata. Di sisi lain, aku sedang melihat… dengan ancaman yang ku berikan, apa anak-anak itu bisa berhenti berbuat onar atau malah semakin menjadi-jadi. Menangkap mereka semua mudah… tapi aku ingin melihat perubahan yang terjadi.”
“Memang terkesan mudah bagimu. Tapi aku penasaran…” sahutnya seraya menatapku. “Bagaimana caramu mengetahui semua rencana mereka? Bahkan kau juga tahu pergerakan-pergerakan anak-anak SMA itu meskipun mereka sudah mengubah tempat bermain.”
“Banyak hal yang ku lakukan… yang jelas aku sudah memata-matai bocah-bocah itu beberapa bulan yang lalu, termasuk mencari berbagai cara untuk melacak keberadaan mereka serta tempat-tempat yang sering mereka datangi. Tapi ini semua takkan berjalan lancar jika tanpa bekerja sama dengan beberapa orang, termasuk dirimu…”
Lantas Awsya tersenyum ketika mendengar jawabanku. Di sini, entah kenapa aku malah tertegun saat melihat wanita ini tersenyum. Rasanya seperti ada ketenangan yang menerobos ke dalam hatiku.
“Tapi… aku masih saja penasaran sebab kau melakukannya seorang diri.” kata Awsya.
“Itu tidak benar. Seperti yang ku katakan, ada banyak keterlibatan orang lain. Bahkan, aku takkan bisa merealisasikan misi ini jika bukan kau yang menangkap para siswi di hotel-hotel.”
“Tetap saja misi ini seolah-olah kau sendiri yang menjalankannya. Mendengar bahwa kau yang mengalahlan semua anak-anak SMA itu… bagiku itu sangat keren.”
“Mereka hanya anak SMA.”
“Bahkan jika pun SMA — bertarung dengan 50 orang sendirian, ku pikir para polisi pun belum tentu mampu melakukannya meski lawannya hanya anak SMA.” Sahut Awsya.
Di momen ini, aku hanya diam saja sambil menatap ke depan, memandangi lampu-lampu jalanan yang jaraknya jauh dari markas.
“Laki-laki sedingin dirimu terkadang memang selalu membuat orang lain penasaran. Semua bertanya-tanya bagiamana kau melakukan penyusupan yang sangat halus sampai-sampai musuh tak ada yang menyadari kehadiranmu. Dan lagi, kau melakukan cara yang sama ketika menyamar ke SMA 5 Banda Raya. Detektif, sebenarnya kemampuan seperti apa yang kau miliki hingga musuhmu seketika ketakutan bahkan ketika baru mendengar namamu. Aku jadi tertarik untuk menjalankan misi bersamamu.” Sahut si polwan lagi.
“Sebaiknya jangan karena terlalu bahaya.”
“Tapi, entah kenapa aku meras tidak khawatir. Mungkin karena aku merasa yakin, ketika aku dalam bahaya kau pasti akan datang melindungiku — seperti yang sering kau lakukan… iya, kan…?” Balas Awsya sambil tersenyum.
Aku lantas membalas senyumannya. “Awsya, aku hanya manusia yang punya dua tangan; ada kalanya aku tak bisa datang tepat waktu. Sudah banyak teman-temanku tewas, merrka semua sosok yang ku sayangi. Melepas kepergian mereka untuk selama-lamanya merupakan salah satu yang terberat dalam hidupku. Jadi, aku tak mau ada rekan lain yang tewas… termasuk dirimu.” Jelasku.
“Sepertinya kau yang malah mengkhawatirkanku…”
“Jika harus jujur… sebenarnya memang iya. Itu karena bagiku kau salah satu polisi terbaik yang dimiliki oleh Cot Jambee khusus dari kalangan perempuan. Tak banyak polwan sepertimu yang memiliki insting bagus — bahkan aku mengakui kau salah satu penembak terbaik. Aku sudah melihatnya langsung.”
Di sini, ku lihat wajah Awsya tiba-tiba menjadi merah merona. Entah sikap apa itu, tapi sepertinya ia merasa senang saat aku mengatakan itu kepadanya.
“Tak kusangka ternyata selama ini kau juga memerhatikanku.” ujarnya.
“Memangnya tidak boleh?” Tanyaku, sedangkan Awsya tidak menjawab melainkan memalingkan wajahnya dariku dan menatap lurus ke depan sambil terus tersenyum. Lagi-lagi aku terkesima ketika melihatnya seperti itu. Entah kenapa perasaan ini lagi-lagi muncul.
Oleh karena Awsya tidak lagi menyahut apa-apa, maka pembahasan tak penting ini ku anggap selesai. Lantas aku berjalan ke tepian seraya mengambil grapple gun dari dalam jubah.
“Detektif…” tiba-tiba Awsya memanggilku. Aku lantas menoleh padanya. Sambil tersenyum, ia melanjutkan, “terima kasih…” kata Awsya lagi.
Aku pun mengangguk menanggapi ucapannya. Setelah itu, ku tekan pelatuk grapple gun di mana talinya menjalar keluar dengan sangat cepat dan terlikit ke sebuah tiang yang jaraknya lumayan jauh dari markas. Lalu, ku tekan pelatuknya lebih dalam, di waktu yang sama diriku tertarik dan terbang di atas lampu-lampu kota yang menghiasi malam.