KISAH INDAH DAN TARI
Tertulis dalam sebuah buku harian tentang senyumannya
Breaking Reza
Seakan semua akan indah. Seiring berjalannya waktu, semakin ia berharap semua kan menjadi kenyataan. Seiring bergantinya hari, semakin ia melihat dirinya berada di sana, bersama wanita itu.
Saat sore hari, selalu ia duduk dan menunggu. Sengaja mengulur waktu, hanya untuk melihat seorang wanita berjalan pulang. Karna dengan demikian ia dapat tersenyum ‘tuk disimpannya wajah itu dalam mimpinya.
Tepat di jarum ke dua belas, matanya melebar. Seolah wajahnya dara itu memancarkan sinar jingga. Tak kuasa melihat pesonanya, seperti singgahan senja yang indah.
Dalam hati terus ia lantunkan namanya, “Tari, aku di sini sedang melirikmu.” Tanpa bersuara, langkahnya berlalu hanya dalam beberapa menit saja. Dan meninggalkan lelaki itu bersama bayangannya, untuk saling bercerita pesona wanita itu, Tari.
Esok ia kembali bercerita. Dalam buku hariannya yang telah menghabiskan 10 halaman. Ia hanya ingin menandainya pada nomor ke delapan. Sungguh ia memiliki dua nomor ‘tuk dikenang. Nomor di mana hanya ia yang mengerti alur ceritanya.
Di sudut sana ia kembali melihatnya. Tari dengan senyuman khasnya. Terkadang mereka saling bertatapan muka. Dan meninggalkan sedikit kesan dengan saling menyapa. Terdengar suara wanita itu yang sedikit gugup. Namun lelaki ini lebih gugup lagi untuk membalasnya. Dan kemudian berlalu dengan saling menebar senyuman. Tapi dari kedua senyuman itu ada perbedaan kisah, nanti pada akhirnya.
Setelah berhari-hari ia menghabiskan waktunya tuk melihat pesona dara itu. Setelah sekian lama perasaan itu tersembunyi rapat di balik hatinya. Kini ia mulai memberanikan diri tuk berkata jujur, di hadapan Tari. Namun tetap dalam imajinasinya itu.
Sebuah kartu ‘AS’ nya terbuka, tanpa disengaja, ia membiarkan orang lain masuk kepada rahasianya yang selama ini tertutup rapat. Namun tak ada yang peduli, karna ia hanya lelaki biasa yang tqk bisa apa-apa. Juga tak sekeren teman-temannya di sekolah. Bahkan dikenal sebagai lelaki pendiam yang cupu. Selalu memasukkan sergamnya ke dalam. Memakai sepatu hitam kusam dengan kaus kaki yang panjang. Hingga tawa menyertai hari-harinya.
Namun lelaki ini berwujud, tampak dan nyata. Bahkan imajinasinya terlihat nyata baginya, saat ia hendak meraih tangan Tari tuk digenggamnya. Namun hanya dalam imajinasi saja.
Maka, suatu hari ia terluka parah. Hatinya berdarah namun tak tampak. Matanya menangis namun tanpa air mata. Bibirnya gemetar kaku namun tak bersuara. Itulah akibat dari rasa yang telah terpendam layaknya ribuan tahun. Juga disertai dengan permainan imajinasinya. Hingga pada akhirnya ia merasakan apa yang selama ini ia takutkan. Gelisah dalam dinginnya malam. Sunyi dalam keramaian. Tapi Tari tak tau jika lelaki itu terus melantunkan namanya bahkan dalam doanya, ketika ia tak sanggup lagi menahan beban di hatinya.
Dan esok kembali bercerita, Tari yang ku sebut namanya, ada di hati lelaki itu, saat itu.