Ingatan, Kenangan…

Reza Fahlevi
4 min readOct 28, 2021

--

— —

Mereka semua pergi. Mereka telah jauh dari radar, tak lagi saling berkabar, tak juga saling bertanya.

Kita adalah kenangan, pada akhirnya menggoresi semua lembaran yang tertulis di setiap adegan; telah kita lalui itu.

Tawa, tangisan, saling berbagi dalam lantunan kata-kata penghibur. Terkadang membenci, namun itu bukti cinta yang tak akan padam. Sebab kita, adalah diri kita sendiri.

Seisi jalanan kota di malam hari, mereka menantiku dengan sebuah bingkisan bercerita. Di bawah redupnya cahaya lampu pijar, aku terharu.

Berharap yang tak mungkin, menjadikannya seakan nyata. Menghidupi asa yang semakin kabur, pandangan terus mencoba menerka, hati tak berhenti meraba perasaan.

Suatu hari, ku tumpahkan air mata, untukku lihat, sejauh mana diriku dapat melalui hambatan tanpa mereka di sisi.

Tak cukup hanya berlisan, mesti dibuktikan dengan ribuan tindakan. Mereka memberi contoh untuk dipelajari… cara bertahan hidup di tengah situasi yang tak pernah bisa ditebak sedikitpun, bertahan hidup di bawah tekanan batin.

Tapi, setidaknya berikan aku alasan mengapa mereka harus pergi tanpa permisi. Barangkali, aku dapat menyiapkan sebuah pesta perpisahan meskipun pada akhirnya nanti, semua akan berlinang air mata.

Kenapa harus ku ingat, tepat di halaman ke sembilan semua catatan tentang sahabat kembali terukir jelas di dalam bayang-bayang pikiranku. Mencoba menghapus, sungguh tak sudi.

Mengapa harus teringat, seharusnya tak ku hiraukan. Sebab, berulang kali adegan flashback itu datang, semua hanya melemahkan diriku untuk memacu diri dan berkembang.

Sejak tak lagi di sisi, aku tak pernah menamatkan cerita ini. Akan ku rangkai kembali di dalam bab terbaru — versiku — searah dengan yang ku inginkan… jika memang Tuhan berkehendak.

Tapi… bukankah mereka seharusnya berpamitan terlebih dahulu sebelum menyerahkan kisah ini seutuhnya padaku?

Linglung tak karuan. Ku pikir sejenak, ku teguk teh hangat, ku nyalakan sebatang rokok. Semua tak dapat menjernihkanku… setidaknya mengumbar sebuah kebohongan bahwa semua akan baik-baik saja meskipun sebenarnya tidak.

Bunga yang baru saja mekar langsung layu dan patah. Harapan yang baru saja tercipta malah seketika terkubur. Nyali yang baru saja ku persiapkan, pupus dalam hitungan detik. Mereka itu, sangat berarti terhadap alur cerita hidupku.

Kenapa di bagian awal aku harus berkumpul, jika pada akhirnya perpisahan adalah sebuah realita yang tak sanggup ku pikul seorang diri?

Mudah saja kau berkata di saat tak satupun hal yang kau ketahui kebenarannya.

Mudah saja kau memberi nasehat, tapi kau tak pernah ingin mengerti perasaan yang bercampur aduk ini.

Dua tahun berlalu, ku datangi “rumah” yang kini terpampang rapi batu nisan. Ku lihat ukiran tulisannya, ku perhatikan nama-nama mereka, ku lantunkan di dalam hati. Para sahabat yang ku rindukan, telah lenyap tak berbekas.

Lalu, coba katakan, bagaimana caranya agar rindu ini terobati…? di saat kenyataannya, orang yang ku rindukan sudah tak ada lagi di dunia ini.

Coba kau katakan, bagaimana caranya agar hatiku terhibur akan kehadiran mereka…? tapi, mereka tak ada lagi di sini.

Bahkan, pertemuan di alam mimpi hanya semakin membuatku terbenam.

Bahkan, sebuah lamunan yang ku ciptakan agar mereka datang di sisi, hanya semakin membuatku menangis pilu.

“Kita semua adalah kenangan. Tergantung, jenis kenangan apa yang akan kita tinggalkan kepada seseorang, mereka akan mengingat kita sebagai sosok jati diri asli.”

Mereka telah menjadi kenangan, dan terasa terus membuat ruang ilusi agar aku teringat.

Kini, mata memang tak lagi dapat melihat kehadiran mereka, tapi hati tak pernah gagal merasakan aura keberadaan para sahabat, seakan merangkulku saat terjatuh, dan menamparku jika terlampau jauh merasa diri hebat.

“Sahabat akan berakhir, tapi jejaknya akan terus tinggal sampai nanti kau memilih ‘tuk melupakannya. Semua karena alasan pribadimu, bukan hakku.”

“Dan sahabat pada akhirnya adalah kenangan. Kita menciptakan pertemanan untuk melampaui hari terbaru menuju kepada cahaya harapan. Sebab, di bagian akhir nanti, jika salah satu dari kita pergi, kita hanya akan teringat kejadian-kejadian yang semua itu membuat kita kuat dari hari ke hari.”

Mereka adalah kenangan yang jika tak hadir di sisiku, aku sama sekali tak bermakna.

Mereka adalah ingatan yang pantas untuk ku abadikan di dalam seluk beluk hati yang merasa.

Mereka adalah kisah cinta yang bersemi di detik pertama pertemuan.

Dan mereka adalah akhir kisah untuk menuju kepada cerita selanjutnya.

Mereka adalah sahabat yang terkenang di dalam buku harian pribadi.

Mereka… semuanya telah kembali kepada-Nya.

“Sahabat, bagaikan para pejalan kaki. Bertemu tanpa diharapkan, terkadang pergi tanpa berpamitan. Sebagian tetap singgah sebab ada beberapa jalan yang harus dilalui. Semua telah diatur sedemikian rupa, sebab rintanganmu tak akan sama seperti punyaku. Tapi persahabatan ini telah ditakdirkan, itu karna kita saling mengerti cinta dan kebencian.”

Aku benci untuk menghadirkan mereka di dalam puisi. Tapi, tak ada cara lain untuk melampiaskan rindu kepada orang-orang yang telah “berpulang”. Hanya dengan ini satu-satunya, aku dapat mengenang mereka dalam kebaikan yang mereka ukir di lembaran catatan hatiku.

Dan waktu terus bergulir, membawaku kepada bagian alur yang berbeda. Namun cerita ini, telah tertulis abadi di sisi Tuhan. Barangkali akan menjadi saksi bagaimana kita melewati hari dengan saling membahu untuk mencapai target sesuai kebutuhan.

Waktu sungguh akan bergulir, bab para sahabat akan berdebu dan dilupakan.

Sebab waktu juga akan bercerita tentang akhir kehidupanku… semua hanya tinggal kenangan bagi siapa saja yang ingin mengingat.

— breaking reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet