I Am (Not) Depressed

Reza Fahlevi
28 min readMar 29, 2020

--

“Pahami aku, pahami apa yang terjadi. Lihatlah aku, dari setiap sisi yang tak bisa kau lihat. Mengertilah kondisiku, semua yang telah ku alami selama ini. Dan jika kau tak bisa, biarkan aku, tinggalkan aku. Kesendirian ini kian memuncak tak menentu. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa lagi saat ini.”

Di saat hujan kian melanda deras di pagi ini, di mana semua aktivitas terhambat. Akbar, menunda dirinya untuk sarapan. Ia malah berdiam diri di kamarnya sambil memainkan handphone-nya. Matanya menunjukkan bahkan, apa yang sedang ia lakukan pun tidak membuatnya lebih bahagia. Sesekali mulutnya menguap, mungkin karena faktor cuaca juga. Terkadang pun matanya menatap keluar ke arah jendela, ia sama sekali tidak tertarik dengan pagi ini.

Tak lama setelah itu, ia bangkit dari ranjangnya dan mulai berjalan menuju dapur. Setelah ia mencari-cari sesuatu di sebuah lemari, ia hanya menemukan sebungkus mie instan dan sepotong roti saja. Ia lebih memilih mie. Kemudian mengambil sebuah wajan dan mulai memasak mie tersebut.

Tiba-tiba handphone-nya berdering, seseorang menelponnya.

“Ya, ada apa?” Kata Akbar singkat menjawab telepon yang masuk tadi.

“Oke, sekitar satu jam lagi aku akan ke sana.” Sahut Akbar lagi.

Akbar adalah seorang anak yatim. Ia telah ditinggal oleh ayahnya sejak lima tahun yang lalu karena penyakit kanker otak yang dialaminya. Kini Akbar tinggal sendirian saja di rumahnya. Walaupun masih memiliki ibu, ia tidak tertarik sedikitpun untuk tinggal bersama ibunya di New York. Baginya, tinggal di negeri orang sama saja, tidak membuatnya menjadi lebih tenang.

Akbar pengagum berat musik-musik cadas. Ia punya alasan tersendiri. Baginya, musik keras itu cocok untuk suasana hatinya yang kian hari tidak menentu. Akbar merasa begitu kesepian. Ia merasa bingung apa tujuan hidupnya di dunia. Akbar juga suka menyendiri. Ia tidak peduli dengan keramaian. Baginya bermain video game atau sekedar mendengar lagu sambil memetikkan gitar sudah cukup membuatnya nyaman. Oleh karena itu Akbar menyukai musik cadas, karena dari beberapa lagunya terdapat lirik-lirik yang sesuai dengan isi hatinya. Walaupun lagu-lagu tersebut tidak dapat membuatnya menarik diri dari kesendirian.

Akbar melaju motornya di tengah hujan. Dengan pakaian yang sudah cukup melindunginya dari basah, ia melaju dengan kecepatan 60 kilometer. Terkadang ia juga sedikit waspada karena jalanan yang licin.

Lima belas menit kemudian, Akbar sampai ke tujuan. Di sebuah rumah, tidak terlalu besar, namun halamannya sungguh menakjubkan, dapat digunakan untuk bermain bola.

‘tok tok tok’

Akbar mengetuk pintu…

“Assalamu’alaikum… Den,”

Sambil menunggu pintu dibuka, Akbar memainkan ponselnya. Ia melihat, sudah sepuluh pesan yang masuk. Dan jemarinya mulai membuka pesan tersebut satu persatu.

“Wa’alaikum salam. Masuk, Bar.” Kata salah seorang dari dalam rumah tersebut sambil membukakan pintu.

“Tak ku sangka kau rela menghantam hujan.”

“Ya begitulah. Jika aku tetap menunggu, tidak tentu kapan akan redanya.” Sahut Akbar sambil tersenyum.

“Tapi aku tidak sepertimu. Ada baiknya kita tunggu reda saja.” Sahut temannya itu sambil tersenyum.

“Ya tidak masalah.”

“Silahkan duduk, ku ambilkan minum dulu.”

Akbar pun duduk di sebuah sofa. Ia melihat ke sekitar, ada empat bingkai foto di ruang tamu. Ruangannya sederhana, namun tertata begitu rapi. Sungguh nyaman jika di pandang.

“Apa itu kau, Denny?” Tanya Akbar sambil menunjuk sebuah foto anak kecil yang terpajang di dinding.

“Iya. Itu saat aku berumur lima tahun.” Sahut temannya.

“Silahakan di minum dulu. Mumpung masih panas.”

“Aku terbiasa minum kopi, tapi teh juga tidak masalah. Terima kasih.” Sahut Akbar.

Di saat hujan mulai mereda, Akbar dan Denny mulai bergegas menuju ke sebuah perpustakaan. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari rumah Denny, hanya butuh waktu sepuluh menit saja jika melajukan kendaraan dengan kecepatan 40 km/jam.

Walaupun hujan baru saja reda, namun tidak membuat sepi pengunjung. Entah memang mereka itu hendak ke pustaka atau hanya sekedar singgah sambil menunggu hujan berhenti.

Ada sebuah buku yang ingin dipinjam oleh Denny. Akbar, walau bagaimanapun tidak terbiasa mengunjungi pustaka. Dan terlihat dari wajahnya, baru sekitar lima menit mereka di dalam, ia sudah mulai bosan. Sesekali ia memainkan ponselnya walaupun hanya melihat notifikasi saja.

“Sabar, setelah ini kita langsung ngopi. Alu hanya bingung di mana letaknya buku itu.” Kata Denny.

Akbar hanya menggeleng saja tanpa menghiraukan temannya itu lagi. Dan sepuluh menit kemudian, sepertinya Denny sudah menemukan apa yang ia cari. Wajahnya lebih ceria dari sebelumnya.

“Ini dia,…” Ujar Denny sambil memperlihatkan sebuah buku tebal.

“Mau sampai kapan kau pinjamkan buku setebal itu?” Tanya Akbar.

“Sampai aku selesai baca. Jika belum, akan ku perpanjang lagi.” Jawabnya.

“Oh, ide bagus. Tapi jangan pernah mengajakku lagi. Cukup hari ini saja aku di tempat yang membosankan ini.”

“Hahaha, tenang saja. Kau memang teman yang baik.” Kata Denny.

Di sebuah Cafe, Shelter, mereka berdua menyempatkan diri untuk istirahat sejenak sambil menikmati kopi. Cuaca yang mendung membuat suasana ngopi menjadi lebih nikmat. Di sela-sela ngopi, mereka tidak banyak berbincang. Akbar sibuk memainkan jarinya di atas keyboard laptop-nya, sedangkan Denny asik dengan buku yang baru saja ia pinjamkan tadi. Keduanya larut dengan dunia masing-masing. Sesekali Akbar menatap temannya itu yang tersenyum sendiri. Hal itu membuatnya penasaran apa isi buku yang sedang dibaca oleh Denny.

“Hei, kenapa?” Tanya Akbar.

“Apanya?”

“Dari tadi aku melihatmu tersenyum.”

“Buku ini lumayan seru. Coba saja kau baca, tapi aku tak yakin kau suka membaca.”

“Aku suka buku, tapi hanya yang sejalur dengan apa yang ku suka.”

“Kau harus lebih giat membaca, apapun itu.”

“Bukan caraku.” Ujar Akbar.

Dan keduanya kembali ke dunia masing-masing. Namun tak lama setelah itu, Akbar kembali melanjutkan perbincangan.

“Hei, Den…”

“Hmmm… Apa?”

“Ada yang ingin ku tanyakan.” Kata Akbar.

“Apa?”

“Apa kau pernah merasa kesepian?”

“Maksudmu?”

“Merasa kesepian, seperti hari-harimu hanya ada kekosongan.”

“Hmm… Tidak juga. Memangnya kenapa?”

“Entah kenapa, terkadang aku merasa sangat kesepian. terasa seperti aku hidup tapi tidak tau harus berbuat apa.”

Tiba-tiba Denny menutup bukunya dan mulai meneguk kopinya yang sudah mulai mendingin. Dan ia menatap sahabatnya itu dengan tatapan dalam.

“Apa lagi masalahmu selama ini? Ceritakan padaku.” Ujar Denny.

“Aku tidak tau pasti, tapi perasaan-perasaan seperti ini selalu saja menghampiriku.” Jawab Akbar.

“Kau sudah tau bagaimana hubunganku dengan ibuku sejak ayahku meninggal, benar kan?” Lanjut Akbar. Denny hanya mengangguk.

“Entah mungkin karena buruknya hubunganku dengan ibu, aku tidak tau pasti. Tapi ia rela meninggalkanku sendirian di sini dan, ia, tanpa tau sedikitpun perasaanku, dengan tenangnya melanjutkan pekerjaannya di New York. Bahkan, ketika ayahku sakit-sakitan, tak pernah sekalipun ibuku menjenguknya. Sedikitpun ia tidak merasa kehilangan atas kepergian ayahku.” Jelas Akbar.

Denny kembali meneguk kopinya dan menjelaskan sesuatu,

“Akbar, aku tidak tau pasti tentang hubunganmu dan ibumu. Tapi aku hanya dapat memberimu saran. Apapun yang telah terjadi padamu, ibumu dan bahkan ayahmu, percayalah semua terjadi karena ada sebuah alasan. Sesuatu tidak terjadi begitu saja. Dan percayalah, dari setiap kejadian, ada sebuah hal yang dapat kau jadikan sebagai pelajaran untukmu. Untuk hidupmu yang lebih baik.”

“Tapi dari setiap yang telah terjadi, aku merasa hidupku semakin buruk dan bahkan seperti hancur.” Kata Akbar.

“Kau hanya belum menemukan jawabannya. Tetaplah bersabar dan berdoa, agar Tuhan memberimu sebuah jawaban yang selama ini kau nantikan. Jawaban itu tidak akan kau temui jika bukan kau yang mencarinya.” Ujar Denny.”

Akbar tidak berkata-kata lagi, ia hanya meneguk kopinya lebih cepat dari sebelumnya. Denny melihatnya dengan perasaan sedih. Sebagai seorang sahabat, ia jelas mengerti apa yang selama ini dialami oleh Akbar. Bahkan, seminggu sebelumnya, Akbar pernah mengutarakan kepada Denny jika ia begitu tertekan. Ia ingin mengakhiri hidupnya yang sudah tidak lagi menentu baginya. Namun sejauh ini, nasehat Denny masih diikuti oleh Akbar.

“Dengar, apapun yang membuatmu berpikir buruk tentang ibumu, yang dapat ku katakan adalah, ia wanita yang telah berusaha keras melahirkanmu, yang telah merawatmu ketika kau kecil. Dirimu yang tumbuh hingga sekarang ini, itu adalah berkat ibumu dan juga ayahmu tentunya. Maka, cobalah lihat sesuatu dari segala sisi yang ada. Dan mulailah untuk menghapus segala kebencian dan hal-hal negatif lainnya. Aku percaya kau pasti bisa.” Jelas Denny.

Keesokan harinya, Akbar yang telah berpakaian rapi, bersiap-siap menuju ke Bukit Jalin. Ia memang suka berpergian ke sebuah tempat yang dapat membuat suasana hatinya menjadi lebih tenang. Pemandangan dari atas bukit adalah salah satu kesukaannya. Walaupun bukit tersebut jauh, ia tetap menyempatkan waktunya untuk singgah di sana hanya untuk menikmati pemandangannya saja, bahkan terkadang ia melakukan perjalanan seorang diri.

Butuh waktu hampir dua jam untuk sampai di sana. Dan tiba di puncak bukit itu, ia mematikan motornya dan menyalakan sebatang rokok. Belakangan ini, Akbar sering menghabiskan waktunya dengan merokok. Padahal dulunya ia bukanlah seorang perokok. Namun, mungkin benar, ada sesuatu yang terjadi padanya yang membuat batinnya sangat tertekan. Merasa kesepian, hati yang kosong dan bahkan terkadang depresi, membuat kepalanya seakan-akan ingin meledak. Tapi di balik segala rasa gelisahnya itu, ia mungkin merasa sedikit bersyukur karena Tuhan masih memberinya umur, bahkan di saat ia telah mengalami penurunan seperti ini.

Apa-apa yang telah ia ceritakan pada Denny merupakan sebuah perasaan yang memang berasal dari lubuk hatinya. Di satu sisi, ia merasa beruntung memiliki seorang sahabat seperti Denny. Di saat ia berharap ada banyak orang yang dapat mengerti dengan perasaannya saat ini, tapi yang benar-benar memahaminya adalah Denny. Lelaki itu adalah alasan bagi Akbar untuk terus bertahan di dalam situasi rumit ini.

‘Kriing kriing kriing’

Tiba-tiba ponsel Akbar berdering.

“Ya Denny, ada apa? Aku sedang di Bukit Jalin.” Kata Akbar menjawab telepon yang masuk.

“Akbar, ini ibu Denny. Cepatlah kembali, Denny saat ini dalam situasi buruk.” Kata ibu Denny sambil menangis.

Akbar terkejut, ia mencoba mengendalikan napasnya yang kian memburu.

“Di mana Denny saat ini, bu?” Tanya Akbar dengan suara panik.

“Rumah sakit Meuraxa. Kami di ruangan IGD.”

“Aku segera ke sana, bu.” Akbar langsung bergegas menuju rumah sakit.

Ia melaju kencang motornya sampai-sampai hampir menghantam seorang anak kecil yang hendak menyebrangi jalan. Suara klakson motornya terus menghiasi perjalanannya dari Bukit Jalin menuju rumah sakit Meuraxa.

Sesampainya di sana, ia langsung berlari ke ruang IGD. Di sana ia melihat kedua orang tua Denny sedang menggenggam tangan lelaki itu. Terlihat juga Al Hadi, adik Denny yang tak berhenti menangis. Akbar melangkah mendekat. Matanya mulai berkaca-kaca, tangan kanannya secara spontan membelai lembut kepala sahabatnya.

Denny melepas tangannya dari genggaman sang ayah, dan mulai menggenggam tangan Akbar. Matanya yang kini menitikkan air mata, menatap Akbar dengan penuh harapan. Ia lalu berusaha bangkit, namun tak ada daya. Akbar pun mendekati wajahnya kepada Denny.

“Aku tidak tau kenapa aku harus mengalami sakit ini sekarang.” Kata Denny dengan suara terbata-bata.

“Akbar, ketahuliah bahwa sudah begitu lama aku menderita kanker, tapi aku tetap berusaha hidup sebisaku. Jika pun Tuhan akhirnya mencabut nyawaku sekarang, aku hanya berharap Ia telah mengampuni segala dosaku.” Ujarnya lagi.

Kini, air mata Denny terus mengalir deras, seakan-akan menunjukkan betapa sakitnya penyakit yang ia alami.

“Akbar, lakukanlah yang terbaik. Jangan menyerah terhadap dirimu sendiri. Berjuanglah dengan penuh kesabaran. Aku melihatmu sebagai lelaki hebat. Itu karena, aku percaya padamu. Dan karena kau adalah sahabat terbaikku.”

Akbar pun mulai tak bisa menahan tagisannya. Ia larut dalam kesedihan setelah mendengar apa yang telah dikatakan oleh Denny. Dan perlahan tapi pasti, genggaman Denny mulai melemah, kedua matanya tertutup. Seketika Denny tak sadarkan diri lagi.

Dokter dan para perawat bergegas melakukan pertolongan pertama. Mereka terus menerus berusaha memompa jantung Denny agar kembali berdetak. Namun sepertinya sia-sia. Tuhan telah berkehendak lain. Denny dinyatakan meninggal dunia. Dokter pun pasrah.

Keluarga Denny serta Akbar, larut dalam kesedihan. Bagi Akbar, ini adalah kali kedua ia melihat seseorang yang ia cintai meninggalkannya. Ia sudah pernah mengalaminya saat sang ayah meninggal. Tapi Denny, adalah sesuatu baginya. Mereka telah melaui hari-hari bersama dengan saling mengerti.

Saat Denny dilarikan ke rumah sakit, mungkin ia tau jika ajalnya telah tiba. Dan mungkin, ia pergi dengan sebuah harapan di mana ia sangat berharap yang terbaik untuk Akbar. Sebagaimana kata-kata terakhirnya untuk Akbar, Denny selalu menyayangi sahabatnya itu lebih dari apapun.

Sebulan setelah Denny meninggal, Akbar mencoba hidup normal. Ia mendorong hatinya untuk terus berada di sisi semestinya, persis seperti apa yang disarankan oleh Denny padanya. Sulit memang ketika harus mengontrol diri yang sudah terlanjur berantakan tak terkontrol. Akbar mulai tak mampu mengendalikan emosinya. Setiap saat ia termenung dan bertanya-tanya, kenapa ia bisa menjadi seperti ini. Kenapa rasa gelisah terus menghantui batinnya. Ia terus bertanya-tanya dalam hatinya.

Merasa segala yang ia lakukan tak ada gunanya. Akbar seperti sedang mencari tau tujuan hidupnya, sebagaimana orang-orang yang mencari jati dirinya di tengah-tengah rasa gundah.

Jam satu malam, Akbar baru saja tiba di rumah. Ia bergegas mengunci pagar rumahnya. Matanya menatap ke sekitar, seperti sedang mencari tau keadaan di komplek rumahnya. Memang, malam ini terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin berhembus benar-benar menusuk dalam kulitnya. Ia pun bergegas masuk ke dalam.

Tak lama setelah itu, ponselnya berbunyi. Ternyata ada sepuah pesan whatsapp masuk.

“Suci? Di saat tengah malam begini masih saja menyempatkan diri mengirim pesan.” Ujar Akbar dalam hati.

“Tapi aku penasaran, mungkin ada sesuatu penting.” Lanjutnya lagi.

Akbar membuka pesan tersebut dan membacanya dengan serius. Namun belum pun selesai, tiba-tiba Suci meneleponnya.

‘Kriing kriing kriing”

“Halo…” Akbar menjawab telepon tersebut.

“Akbar, sedang apa? Apa kau sudah tidur?” Tanya Suci.

“Jika aku tidur, aku tak akan menjawab teleponmu. Ada apa malam-malam?”

“Ada sesuatu. Penting.” Sahut Suci.

“Jika penting, maka ceritakannlah.”

“Tidak malam ini, Akbar. Tapi jika kau ada waktu, aku akan menceritakannya padamu besok. Ku harap kau bisa karena ini begitu penting.”

“Besok?”

“Iya, bagaimana? Pukul sepuluh pagi.” Kata Suci.

“Boleh, di mana kita akan jumpa?” Tanya Akbar.

“Le More.” Sahut wanita itu.

“Oke, sampai jumpa besok.”

“Ya, terima kasih sebelumnya.” Sahut Suci.

Suci adalah teman kampus Akbar. Mereka dekat, namun hanya sebatas teman. Dan lagi, di kampus mereka berbeda nasib. Akbar sudah lebih dulu menyelesaikan kuliahnya, tepatnya lima bulan sebelum Denny meninggal. Sedangkan Suci, masih berjuang menyelesaikan kuliahnya. Dan walaupun demikian, Akbar masih sering menyempatkan waktu bersama wanita itu untuk membantunya menyelesaikan skripsinya. Dan karena sudah keseringan membantu, timbul sebuah perasaan dari dalam hati Akbar. Ya, ia mengagumi sosok wanita itu. Selain karena wanita itu akrab dengannya, Suci juga menjadi salah satu orang yang dapat membuat hati Akbar terhenti sejenak. Seperti, semua perasaan gelisahnya dapat ia buang jauh-jauh ketika sedang bersama wanita itu.

Lagipula, Akbar sudah pernah menyatakan perasaannya kepada Suci. Namun Suci tidak memberikan jawaban yang jelas bahkan hingga saat ini. Entah apa alasan wanita itu. Namun beruntungnya hubungan mereka masih berjalan normal dan baik-baik saja.

Tepat jam sepuluh, Akbar sudah tiba di Le More. Seperti kebiasannya, ia mengirimkan pesan kepada Suci bahwa ia sudah di tempat. Ia sering melakukannya ketika orang yang telah berjanji padanya untuk bertemu tidak tiba tepat waktu.

“Pesan apa?” Tanya seorang pelayan.

“Sanger Espresso…” Jawab Akbar sambil tersenyum.

Pelayan tersebut mengangguk dan berlalu dari hadapan Akbar sejenak. Tak lama kemudian pesanannya tiba. Akbar masih menunggu Suci. Ia bahkan berulang kali melihat ponselya, menanti kabar dari wanita itu. Sambil menunggu, ia menyempatkan bermain video game di laptop-nya.

Dan 15 menit kemudian Suci tiba.

“Maaf ya, sedikit telat.” Kata Suci.

Akbar hanya tersenyum. Padahal ia sudah menunggu wanita itu selama 30 menit. Namun ia tak menghiraukannya dan mempersilahkan Suci untuk duduk.

Mereka pun berbincang panjang lebar. Suci menanyakan apa pekerjaan Akbar selama ia selesai kuliah. Itu adalah pertanyaan yang lumrah untuk mantan mahasiswa yang baru saja lulus kuliah. Sedangkan Akbar hanya bertanya proses pengerjaan skripsi Suci.

“Ya itulah tujuannya aku mengajakmu ke sini. Aku sudah tidak tau harus menulis apa. Rasanya apa yang ku tulis selalu saja salah. Aku tak sanggup jika harus terus revisi dan revisi.” Ujar Suci.

“Mungkin kau bisa membantuku?” Lanjut Suci yang menatap Akbar dengan penuh harapan.

“Bisa saja, tapi aku harus mengerjakannya malam. Apa kau yakin bisa? Maksudku ini skripsimu, kau harus tau semua isinya, dan aku juga harus tau kelanjutannya darimu.” Sahut Akbar.

“Tak apa, skripsi ini ku serahkan saja padamu. Terserah kapan kau sempat melakukannya. Aku menyerah.”

“Lalu?” Tanya Akbar.

“Tolong selesaikan ya. Dalam beberapa hari ke depan aku harus sidang, atau aku harus menunggu hingga semester depan.” Kata Suci.

“Oke, akan ku usahakan.”

“Terima kasih Akbar. Kau memang pacarku.” Sahut Suci tersenyum.

Dan Akbar seketika tak percaya. Selama ini, Suci menganggapnya sebagai pacar. Walaupun ia tak pernah memberi jawaban yang jelas kepada Akbar, namun itu sudah cukup membuat lelaki itu tau. Ada satu wanita yang menerima dirinya.

Malam harinya, Akbar langsung mengerjakan skripsi Suci. Seperti semuanya sudah ada di dalam kepalanya. Ia begitu lancar menulis, hal yang tidak semua orang mampu melakukannya. Mungkin di satu sisi, itu di karenakan Suci, yang telah menganggapnya sebagai seorang yang spesial. Namun yang pasti, ada sebuah energi positif menerobos masuk ke dalam hatinya, yang mana telah membenamkan semua rasa tekanan batinnya.

Kepalanya pun terasa lebih ringan dari biasanya. Akbar benar-benar merasakan apa yang selama ini ingin ia rasakan. Dan ia benar-benar terbebas dari rasa depresinya, yang selama ini menghantuinya.

Hanya butuh waktu dua malam saja bagi Akbar untuk menyelesaikan skripsi Suci. Dan segera setelah itu, ia langsung menghubungi Suci bahwa skripsinya sudah selesai. Kini tugas Suci hanya menyerahkannya saja kepada dosen pembimbingnya untuk melanjutkan proses bimbingan. Suci berharap semoga skripsinya diterima dan ia dapat mengikuti ujian sidang pada lusanya.

Dan benar saja, skripsi Suci diterima dan ia pun dapat mengikuti ujian akhir. Suci langsung menghubungi Akbar yang sedang berada di Shelter, dan menyusul lelaki itu ke sana.

“Akhirnya, Pak Yudi mengizinkanku mengikuti ujian sidang Jum’at ini.” Kata Suci kepada Akbar.

“Baguslah, semoga beruntung di hari ujian terakhirmu.” Sahut Akbar bahagia.

“Kau memang hebat, Akbar. Tak salah jika aku selalu mengandalkanmu.”

“Jujur saja, semua itu bisa ku selesaikan juga berkat dirimu, yang telah menerima ku sebagai pacarmu.”

Mereka berdua pun tertawa sambil menikmati kopi.

Dua hari setelahnya, tepatnya di hari Jum’at, Suci akhirnya benar-benar menyelesaikan ujian sidangnya. Teman-temannya pun berdatangan dan menyelamatinya termasuk Akbar, yang merasa sangat bahagia atas pencapaian Suci. Namun lebih tepatnya lagi, ia masih tak percaya jika pada akhirnya Suci menganggapnya sebagai pacarnya. Hal itulah yang membuatnya menjadi sangat bahagia belakangan ini.

Suci benar-benar larut dalam kebahagian. Ia dan teman-temannya melanjutkan perayaan dengan makan bersama di sebuah cafe. Namun yang sungguh menjadi kejutan adalah, Akbar tidak ikut ke sana. Suci sama sekali tidak mengajakknya bergabung. Bahkan dari awal Akbar tiba di ruangan sidang, wanita itu sama sekali tidak mengajaknya berbicara atau hanya sekedar menyapa.

Akhirnya, Akbar memilih untuk ke Shelter, cafe yang selalu ia kunjungi belakangan ini. Dan ya, tiba-tiba saja hatinya mulai kembali down. Setibanya di sana ia langsung membakar rokok dan memesan segelas kopi dingin. Terlihat jelas dari wajahnya, depresi yang sempat hilang selama beberapa hari kini telah kembali dirasakannya. Seolah-olah tak percaya apa yang telah terjadi padanya. Ia benar-benar tak menyangka Suci akan melakukan ini kepadanya, dan di depan teman-temannya.

Perlahan tapi pasti, rasa gelisah terus menerus kembali. Terasa seperti kepalanya ingin meledak. Ia tak tau harus berbuat apa. Seandainya Denny masih ada, ia pasti akan mengutarakan semuanya pada sahabatnya itu. Karena pasti, Denny punya sesuatu yang dapat menenangkan hatinya. Tapi lelaki itu telah tiada. Dan ia benar-benar merasakan arti kehilangan yang sesungguhnya. Tanpa disadari ia memukul sebuah meja yang ia tempati itu.

“Ada apa?” Tanya seorang pelayan yang terkejut melihat tingkah Akbar.

“Tidak, ada nyamuk. Aku hanya kesal nyamuk itu menggigitku berulang kali.” Jawab Akbar mengada-ngada.

Tapi untung saja di Shelter tidak sedang ramai pengunjung. Jadi tak ada seorang pun yang peduli kecuali pelayan tadi. Akbar pun menghabiskan kopinya dan memesan kopi lainnya.

Tepat sebulan berlalu, Akbar kini benar-benar telah depresi. Kemarin ia baru saja menerima sebuah pesan Whatsapp dari Suci bahwa wanita itu akan menikah. Ya benar, ia akan menikah dengan seorang lelaki dan itu bukan Akbar. Sungguh kini Akbar larut dalam kekacauan. Inginnya ia marah, memaki, berteriak, namun untuk siapa? Suci? Ia tidak bersama wanita itu sekarang. Lalu memaki Tuhan? Ya, dalam hatinya, Akbar terus-menerus mengatakan hal-hal buruk kepada Tuhan. Ia seolah tak mengerti kenapa hidupnya penuh dengan tekanan dan terus menderita seperti ini.

Sedangkan Suci tanpa perasaan berdosa, dengan mudahnya mengundang Akbar untuk datang ke acara pernikahannya. Sungguh wanita itu tidak tau caranya berterima kasih. Sebab, ia sukses dan lulus ujian sidang itu karena berkat Akbar yang telah membantunya. Bayangkan saja, agar Akbar dapat bersemangat, ia rela berbohong dengan mengatakan Akbar adalah pacarnya. Itu semua dilakukan hanya agar skripsinya dapat segera selesai.

Dan setelah itu, Suci mencampak Akbar begitu saja, bahkan di tempat terburuk. Ia tidak lagi peduli kepada Akbar sejak hari sidangnya. Sama sekali tidak.

Namun Akbar tetap menerima apa adanya. Lagipula semua telah terjadi dan tidak mungkin untuk diulang. Dan ia mencoba untuk tetap berpikiran positif,seperti yang disarankan oleh Denny. Walau bagaimanapun, Akbar adalah seorang yang telah lama merasa depresi, kesepian tak menentu, gelisah di dalam hati. Tentu saja sulit baginya untuk mengontrol diri.

Ketika malam tiba, saat Akbar sedang memainkan gitarnya, dengan penuh emosi, kepalanya mengangguk-angguk dan secara spontan ia membanting gitarnya hingga hancur. Tak sampai di situ ia juga menghamburkan apa saja yang ada di atas meja kerjanya. Bahkan ponselnya pun juga dihancurkannya. Ia juga meninju-ninju dinding kamarnya hingga kedua tangannya berdarah.

Seketika ia menangis, menjerit, memaki. Semua hal yang telah bertahun-tahun ia pendam, pada malam ini semua itu keluar. Ia benar-benar tak berdaya lagi.

Tak lama setelah itu, emosi Akbar mereda. Ia melihat ke sekitar kamarnya. Semua berantakan. Semua hancur. Akbar memejamkan matanya, namun masih dalam keadaan menangis. Rasa benci kian menjadi-jadi terutama kepada ibunya dan tentu saja kepada Suci. Ia tak tau harus berbuat apa sekarang. Semua terasa buntu baginya.

Apa-apa yang ia harapkan dapat ia temui sebagai jawaban dalam kehidupannya, namun sepertinya sirna. Akbar telah berda di ambang kehancuran. Namun entah kenapa sejenak ia teringat akan saran Denny tepat sebelum ia meninggal. Akbar benar-benar mengharapkkan sebuah pertolongan dari seseorang.

Hari ini adalah hari pernikahan Suci. Wanita itu benar-benar melakukan sesuatu yang seharusnya tak ia lakukan kepada Akbar. Sedangkan Akbar sendiri tidak memperdulikannya. Ia telah berlalu dari bayang-bayang Suci. Ia juga merasa telah dibodohi oleh wanita itu, tanpa ia sadari.

Dengan kondisi dan situasi yang tidak berubah, malah menjadi kian memburuk. Sepertinya kini Akbar mulai menyerah. Semuanya. Ia merasa tak lagi sanggup untuk terus bertahan dalam situasi seperti ini. Segala hal telah ia lakukan seperti yang dipinta oleh Denny. Namun untuk yang kesekian kalinya ia meminta maaf kepada Denny, mungkin juga yang terakhir kalinya.

Kini ia persiapkan sebuah belati kecil dan ia masukkan ke dalam ranselnya. Sesuatu yang ditakuti oleh Denny akhirnya tiba. Akbar memilih mengakhiri hidupnya. Ya seperti itulah pilihannya sekarang.

Akbar sudah menentukan sebuah tempat di mana ia akan mengakhiri hidupnya. Sebelum melakukannya, ia akan lebih dulu singgah di Shelter, tempat terakhir di mana ia dan Denny ngopi. Ia hanya ingin mengucapkan kata-kata perpisahan di sana. Entah bagaimana caranya hanya Akbar yang tau. Lalu ia akan berkunjung ke perpustakaan hanya untuk mengenang kebersamaannya bersama Denny itu. Dan setelah itu ia akan kembali ke rumah dan melancarkan aksinya di sana. Ia telah mempersiapkannya.

Siang harinya, setelah ia kembali dari Shelter, Akbar menyempatkan diri untuk singgah di sebuah masjid. Ia merasa lelah dan ngantuk. Tepat saat Adzan tiba, Akbar duduk di halaman belakang masjid sambil merokok. Tak tergerak sedikitpun hatinya untuk melaksanakan shalat, oleh karena itu ia memilih duduk di belakang masjid agar tak ada seorang pun yang melihatnya. Beberapa menit kemudian, ia tertidur dan sangat pulas. Rokoknya dengan sendirinya terlepas dari genggaman dua jarinya.

Lalu Akbar memandangi dirinya di sebuah tempat dan melihat seseorang sedang menanti kereta. Tentu saja ini di dalam mimpinya. Dan yang membuat ia merasa sedikit lega adalah, orang yang menanti kereta itu adalah ayahnya. Ia tersenyum, seolah-olah menghilangkan rasa rindu yang begitu dalam. Senyumannya itu pun dibalas oleh ayahnya. Tak lama setelah itu ayah Akbar bangkit dan mendekatinya. Tak ada satu patah kata pun yang keluar. Ia hanya tersenyum kepada Akbar sambil menggenggam kedua tangan anaknya itu.

Akbar tak sanggup menahan air matanya yang tiba-tiba membasahi wajahnya. Langsung sang ayah memeluk Akbar hangat. Belum pernah sekalipun Akbar merasakan ini, sesuatu yang membuatnya tenang dan damai. Ia pun tanpa ragu membalas pelukan sang ayah. Hingga akhirnya kereta tiba, sudah saatnya sang ayah pergi. Namun Akbar malah menangis sejadi-jadinya, melihat ayahnya yang berlalu dibawa sebuah kereta putih.

Akbar tebangun. Ia melihat jam, kini menunjukkan pukul lima sore. Seharusnya pada jam tiga siang tadi, ia berada di perpustakaan, sebagai tempat persinggahan terakhirnya. Namun apa boleh buat, pustaka juga sudah ditutup sekarang.

Saat ia hendak kembali ke rumahnya, seorang wanita datang menghampirinya.

“Hai, maaf mengganggu. Setiap sore kami menyediakan makanan ringan untuk pengunjung masjid. Aku dengan senang hati jika kau sudi menerimanya, sebagai sedekah dari kami.” Kata wanita tersebut.

“Oh begitu ya. Sebetulnya aku sedang terburu-buru. Tapi tak apa. Akan ku terima.” Sahut Akbar.

Lagipula, Akbar memang sedang lapar. Betapa tidak, sejak tadi pagi hingga sore, ia sama sekali belum makan. Wanita tadi mengambilkan tiga potong kue dan secangkir teh hangat dan diberikannya kepada Akbar.

“Ini.” Kata Wanita itu.

“Terima kasih.”

“Sama-sama. Oh iya, sepertinya kau orang baru di sini?”

“Begitulah. Sebetulnya aku hanya singgah sebentar saja.”

“Sebentar? Tapi aku melihatmu sejak tadi siang. Sepertinya kau lelah hingga tertidur pulas.” Sahut wanita itu.

“Oh hahaha, iya. Sedikit lelah.”

“Kau boleh beristirahat di sini jika kau mau.”

“Ya, terima kasih.” Sahut Akbar.

“Oh iya, namaku Intan.”

“Aku Akbar.”

“Senang bertemu denganmu, Akbar. Nanti setelah maghrib, kami biasanya mengadakan makan bersama. Sebenarnya khusus untuk orang yang berpuasa saja. Tapi aku sengaja mengundangmu. Lagipula, aku sudah meminta izin kepada ketua panitianya. Jadi, jangan pulang dulu, ya.” Kata Intan.

“Tapi aku tidak mungkin seperti ini, maksudku, pakaianku kotor.”

“Tak apa, kita semua sama kok.

Akbar pun mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah. Lagipula, Intan terus memintanya untuk tinggal, setidaknya hingga Maghrib tiba.

Apa yang telah terjadi pada Akbar adalah, ia tak teringat sedikitpun niatnya untuk bunih diri. Seketika lupa begitu saja. Ia bahkan tidak pulang ke rumahnya pada malam itu dan lebih memilih bermalam di masjid Al-Agung.

Besoknya di waktu yang sama, masih seperti sebelumnya, ketika Adzan berkumandang, belum tergerak hatinya untuk melaksanakan shalat. Ia lebih memilih untuk merokok saja.

“Hai jumpa lagi. Mau ku ambilkan kue? Seperti kemarin.” Kata Intan yang tiba-tiba hadir di hadapan Akbar.

“Boleh”

Intan pun mengambil tiga potong kue dan secangkir teh hangat. Dan setelah Akbar menghabiskan kue dan tehnya, Intan mengajaknya berkeliling. Sepertinya ia tau jika Akbar sedang jenuh. Maka ajakan Intan langsung diterima oleh Akbar.

“Jadi, dari mana kau berasal.” Tanya Intan.

“Geucheu. Kau?”

“Jeulingke.”

“Oh, ku kira kau memang berasal dari sini.”

“Ahaha, tidak. Aku yatim piatu. Karena aku sednag kuliah dan tidak ada yang menanggung biaya kuliahku, maka aku tinggal di sini sambil mengajarkan anak-anak kampung sini mengaji. Walaupun tidak terlalu besar, tapi cukup untuk biaya kuliahku.” Jelas Intan.

Kau sendiri, kenapa tiba-tiba bisa ada di sini?” Lanjutnya lagi.

“Aku… tidak sengaja sedang dalam perjalanan pulang dan singgah di sini. Lalu bertemu denganmu.” Kata Akbar tersenyum.

“Maka sering-seringlah ke sini. Ya jika kau merasa bosan, apa salahnya ke sini.” Balas Intan.

“Bagaimana jika besok ke sini lagi? Sambil shalat berjama’ah.” Lanjutnya lagi.

“Ahaha, boleh. Kenapa tidak.” Sahut Akbar.

“Karena maaf, aku melihatmu hanya terduduk di belakang masjid saja. Mungkin dengan shalat bisa buat kita semakin akrab, hahaha.”

Akbar hanya tersipu malu mendengarnya. Bukan apa-apa, ia hanya malu karena dirinya selama berada di masjid itu tidak pernah melaksanakan shalat. Maka dalam hatinya, apa salahnya untuk shalat. Bahkan mendengar suara Adzan dapat membuat hatinya tenang, apalagi jika shalat, pikirnya dalam hati.

Pelan tapi pasti Akbar dan Intan menjadi sangat akrab. Intan bisa dibilang sebagai wanita sederhana. Itu dapat dilihat dari caranya berpenampilan. Memakai jilbab besar serta rok, memakai kaus kaki serta sendal jepit yang sudah agak tua. Namun pesonanya tetap dapat dinikmati, terutama bagi Akbar. Kecantikan Intan tidak luput hanya karena kesederhanannya itu.

Wanita itu juga orang yang mudah bergaul. Ia berteman dengan banyak orang baik dari laki-laki maupun perempuan, namun banyaknya dari kalangan anak-anak karena ia merupakan seorang guru mengaji. Hal ini pula yang membuat Akbar suka berteman dengan Intan. Namun yang pasti ada sesuatu yang ia rasakan. Akbar sepertinya mulai tertarik dengan Intan.

Ia bahkan sudah mulai shalat. Sejak Intan mengajaknya shalat, Akbar tak pernah lagi meninggalkan shalat lima waktu. Ia merasa ada dorongan batin dari Intan sehingga sesuatu yang ia lakukan terasa lebih ringan.

Dan yang paling penting adalah, ia sama sekali tidak berpikiran untuk bunuh diri. Walaupun belati kecilnya masih tersimpan baik di dalam ranselnya. Perlahan, Akbar mulai mendapat sentuhan batin. Secara tak langsung, Intan dan orang-orang di sekitar masjid Al-Agung memberikan energi positif untuknya.

Suatu sore, Akbar sedang duduk di tangga masjid. Seorang laki-laki bernama Aldi menghampirinya.

“Sore ini cerah ya.” Kata Aldi.

“Iya, apalagi ada suara burung, jadi terasa sejuk mendengarnya. Di tempatku sangat jarang seperti ini.” Sahut Akbar.

“Apa kau melihat Intan”? Tanya Aldi.

“Tidak. Apa kau ada perlu dengannya?”

“Hmm, iya sedikit. Tapi tak apa. Mungkin dia sedang mempersiapkan makanan untuk orang yang berbuka puasa.” Kata Aldi.

Seketika suana menjadi hening. Akbar seperti biasa, merokok. Namun tiba-tiba Aldi melanjutkan perbincangan.

“Bagaimana hubunganmu dengan Intan sejauh ini?” Tanya Aldi.

“Baik-baik saja.” Sahut Akbar.

“Ku lihat kalian begitu akrab. Aku hanya tidak pernah melihatnya seakrab itu dengan laki-laki.”

“Oh begitu ya. Intan sangat menjaga diri.” Kata AKbar.

“Ia hanya seorang yatim piatu. Namun begitu, aku salut dengan semangat hidupnya. Ia anak tunggal, hidup seorang diri sejak kedua orang tuanya meninggal. Namun ia tak pernah mengeluh. Memang, terkadang ia sedih, mungkin karena merindukan orang tuanya. Tapi dapat ku katakan adalah, ia seorang wanita yang kuat.” Jelas Aldi.

“Ya, aku juga bisa melihat karakternya.”

“Sepertinya Intan menyukai dirimu, Akbar.”

“Dari mana kau tau?”

“Dari gerak geriknya. Persisi seperti yang ku katakan padamu tadi.”

“Lalu jika memang ia menyukaiku, apa yang harus aku lakukan?” Tanya Akbar.

“Intan sudah ku anggap sebagai adikku sendiri. Jika memang ia telah menetapkan satu lelaki di hatinya, akan dengan senang hati aku mendengarnya. Dan jika memang Intan menyukaimu, ku harap kau bisa bertindak bijaksana. Apapun pilihanmu, jangan membuatnya sakit hati karena aku sangat mengerti perasaannya.” Kata Aldi.

“Ya, aku juga paham. Ketika hati dipermainkan itu akan sangat buruk. Apalagi jika kemudian hati itu menjadi sakit. Pasti akan bertambah buruk.”

“Tapi aku yakin kau lelaki yang bijaksana. Intan telah mengatakan perasaannya terhadapmu melalui aku. Sisanya ku serahkan padamu. Kau yang memilih. Tapi aku hanya bisa mengatakan yang baik-baik saja tentang dirinya. Persis seperti apa yang kau lihat ketika Intan sedang mengajar mengaji, atau saat ia sedang bermain bersama anak-anak.”

“Aku mengerti.” Sahut Aldi.

Seminggu berlalu, Akbar masih memikirkan sosok Intan. Ia masih tak percaya jika wanita itu benar-benar menyukainya. Dari segi apa Intan melihat Akbar yang membuatnya menjadi suka seperti itu. Akbar sendiri pun tidak tau.

Tapi yang ada di benak lelaki ini sekarang adalah, ia sama sekali tidak melakukan aksi bunuh diri. Padahal, rencananya itu telah ia persiapkan dengan matang. Malah kini ia menjadi sangat tertaik dengan masjid. Di samping karena ada Intan, orang-orang di sini pun sangat ramah dan menerima Akbar dengan hangat.

Ia pun mulai berpikir baik-baik. Dimulai saat kata-kata perpisahan Denny terhadapnya, lalu hubungannya yang buruk dengan sang ibu, pernah disia-siakan dan dibohongi oleh Suci yang kala itu merupakan wanita idamannya, lalu dirinya berubah drastis saat depresi kian menjadi-jadi, hingga pada akhirnya ia berlabuh di sebuah masjid dan bertemu dengan Intan.

Ia yakin, sesuatu yang telah ia lalui ada kaitannya dengan rencana Tuhan. Maka, tanpa disadari ia menitikkan air mata. Di satu sisi ia bersyukur karena dapat bertemu dengan orang-orang yang kini menerimanya apa adanya. Di satu sisi lain ia juga menyesal pernah berpikiran negatif dengan terus-menerus memaki Tuhan.

Saat setelah shalat Ashar, Akbar menjumpai Aldi yang sedang sibuk mengatur kue-kue dan cemilan lainnya. Melihat Akbar yang sedang menantinya, Aldi pun menemui lelaki itu.

“Kau mau coba kuenya? Biar ku ambilkan.” Kata Aldi.

“Mungkin kita bisa mencicipi itu setelah kau selesai urusanmu di sini.”

“Tapi, sekarang pun bisa. Sepertinya ada yang ingin kau bicarakan?” Tanya Aldi.

Akbar mengangguk. Aldi pun mengambil beberapa potong kue serta kopi untuk mereka berdua. Di halaman belakang masjid, mereka berbincang panjang lebar.

“Jadi, apa kini kau sudah memutuskan sesuatu?” Tanya Aldi.

“Sudah ku pikirkan baik-baik selama beberapa hari sebelumnya. Aku memilih untuk menghargai perasaan Intan terhadapku.” Kata Akbar.

“Saat aku mengatakan padamu bahwa Intan telah ku anggap sebagai adikku sendiri. Itu tandanya, saat ia mulai menyukai seorang lelaki, aku hanya ingin lelaki itu menikahinya. Karena dengan cara seperti itulah Intan dapat terjaga dan terlindungi.” Jelas Aldi.

“Lalu, mendengar penjelasanmu tadi bahwa kau juga membuka hati padanya. Kini, apa kau siap untuk menikahinya, Akbar?” Lanjut Aldi.

“Aku mungkin tidak terlalu paham soal agama, tapi aku mau berusaha dan belajar untuk mendalami agama khususnya pernikahan. Aldi, dari lubuk hatiku ini, aku siap untuk menikahinya.” Jawab Akbar mantap.

Aldi pun tersenyum. Ia yakin apa-apa yang telah dikatakan oleh Akbar merupakan sebuah ungkapan hatinya. Lagipula, Aldi selama ini tau siapa Akbar sesungguhnya, dan masalah apa yang dulunya pernah ia alami dulunya. Tapi bagi Aldi, Akbar sudah banyak berubah, terutama sejak ia mengenal Intan.

“Teruslah bersabar dalam menjalani hidup ini Akbar. Karena sungguh kau sudah pernah mengalami sesuatu yang sangat berat dalam hidupmu.” Ujar Aldi.

“Secepat mungkin akan ku kabarkan Intan tentang niat baikmu itu. Pasti, dia juga mengharapkan hal yang sama seperti apa yang telah kau pilih.” Lanjutnya lagi.

Dan mereka pun saling berpelukan. Ini adalah pelukan pertama Akbar sejak Denny meninggal. Akbar walaupun belum pulih total dari penyakit mentalnya, tapi hatinya kini telah mulai terbuka.

Malam harinya, di kamarnya yang masih sedikit amburadul, Akbar menyempatkan diri menulis sebuah surat. Sebuah surat yang isinya tentang perjalan hidupnya yang penuh lika-liku.

“Aku Akbar. Seorang pria yang dilahirkan ke dunia 25 tahun silam. Seorang pria yang terus merasa kesepian di tengah keramaian. Seorang pria yang sering menerima bully-an dari teman-teman. Seorang pria yatim yang sedang mencari jati diri. Aku hidup dengan penuh tanda-tanya tettang tujuan hidupku di sini. Dari hari yang kian menjadi sulit. Dari tekanan batin yang tak terkontrol. Dari rasa depresi yang kian membara. Terus ku bertanya, apakah Tuhan tidak menyayangiku? Kemudian Tuhan memisahkan aku dengan Denny, sahabatku. Dan Ia membiarkanku terlukaparah dari dalam. Lalu Tuhan mempertemukanku dengan seorang wanita pembohong, yang rela membodohiku dengan kelicikannya dan kemudian mencampakku ke tempat sampah. Lalu aku terbenam dalam sinar kegelapan. Di mana pikiran-pikiran jahat terus memainkan peran. Dengan ibuku yang tak pernah peduli terhadapku, lalu aku hanya hidup seorang diri tanpa ada yang mengerti diriku. Di saat aku ingin mengakhiri semua ini, lalu entah bagaimana aku bertemu dengan orang-orang yang belum pernah ku temui sebelumnya. Mereka datang, menarik tanganku, menggotongku ke tempat cahaya, tentu dengan suka rela. Lalu pikiranku mulai terbuka saat mendengar lantunan Adzan Aldi yang indah, merdu, damai. Kini aku mulai sedikit paham, Tuhan telah memberiku pilihan untukku memilih. Karena saat itu pilihannya hanya ada dua, mengakhiri hidup atau terus melanjutkan hidup. Sebagaimana Denny yang terus berharap aku untuk berjuang, entah pilihanku ini adalah yang terbaik ataupun tidak. Tapi sejauh ini, aku memilih untuk tetap hidup. Akan ku coba sekali lagi untukku melawan segala rasa tekanan batin. Itu karena Tuhan telah menuntunku melalui mereka. Dan untuk ibuku yang kini berada jauh dariku, dengarlah, bulan depan aku akan menikahi seorang gadis. Ia menerima ku apa adanya. Ia menerima semua kekuranganku. Aku telah menetapkannyauntuk menjadi pendampingku. Dan ku harap ibu, kau dapat merestuinya, walaupun kau tak tau. Dan untuk wanita yang pernah meperalatku, terima kasih atas pelajaran berharga yang pernah kau berikan untuk ku. Dengan begitu, aku menjadi lebih paham arti dari saling menyayangi dan menerima kekurangan. Di ambang pintu inilah aku selalu berdiri. Akulah Akbar, lelaki yang mereka anggap aneh. Terima kasih.”

Tepat satu bulan kemudian, Akbar dan Intan akhirnya menikah. Akhirnya, Akbar merasakan sendiri apa itu bahagia yang selama ini ia cari-cari. Walaupun memang ia belum pulih seutuhnya, di mana ia masih bingung terkait apa tujuan hidupnya di dunia ini. Tapi sosok Intan akan menjadi jawaban bagi Akbar. Dan Intan sendiri telah menemukan cintanya. Baginya Akbar adalah sesuatu yang membuatnya lebih bersemangat ketika beraktivitas.

Aldi bahkan tak dapat menyembunyikan tangisan bahagianya. Sejak pertama kali mengenal Intan, ia tau jika Intan merupakan seorang pekerja keras yang hidup dengan kesabaran. Kini ia tak perlu khawatir lagi tentang wanita itu. Akbar telah menjadi suami sekaligus pelindung Untuk Intan. Dan Intan akan menjadi penyemangat hidup Akbar.

“Hai, mau ku ambilkan kue? Teh hangat?” Tanya Intan kepada Akbar yang sedang terduduk di halaman belakang masjid sambil merokok.

“Seperti de javu ya. Hahaha. Boleh.” Sahut Akbar.

Tak lama kemudian Intan kembali. Kini tak ada penghalang lagi bagi mereka berdua untuk duduk bersama.

“Ini hari yang luar biasa.” Kata Intan.

“Iya, juga hari yang indah.” Sahut Akbar.

“Aku akan terus mengingatnya.”

“Aku juga.”

“Hei, apa kau terganggu jika aku merokok?” Tanya Akbar.

“Ahaha, hmm… Sebetulnya aku lebih suka jika kau tidak merokok. Itu akan membuatmu lebih berwibawa, dan tentunya lebih menarik bagiku.” Jawab Intan sambil tersenyum.

Dengan segera Akbar mematikan rokoknya dan mengambil sebungkus rokok di dalam sakunya untuk kemudian ia letakkan ke tempat sampah.

“Apa kau yakin?” Tanya Intan bingung.

“Sudah seharusnya begitu, kan…” Sahut Akbar tersenyum.

“Sekarang sudah lebih berwibawa?” Tanya Akbar.

“Sedikit lagi.” Sahut Intan.

Dan mereka pun tertawa lepas saat itu.

Malam tiba. Akbar lebih memilih untuk menetap di rumah Intan yang juga terletak di pekarangan masjid Al-Agung. Lagipula ia juga telah membawa sebagian pakaiannya ke sana. Tepat setelah shalat’ Isya, Akbar berjalan pulang dari masjid di mana Intan telah menantinya. Mereka kembali berbincang-bincang kecil. Akbar kembali menceritakan masa lalunya kepada Intan.

“Seperti itulah diriku dulu. Tapi hingga sekarang pun aku tau belum berubah seutuhnya. Aku bahkan terkadang masih bertanya-tanya, apa tujuan hidupku di sini.” Kata Akbar.

Intan tersenyum mendengar pertanyaan tersebut,

“tujuan hidup? Jangan khawatir, seiring berjalnnya waktu, tujuan hidup pasti akan didapatkan, atau mungkin hanya sekedar jawaban saja. Tapi yang jelas, kini, satu dari sekian banyak tujuan hidupmu telah kau dapatkan, yaitu menikahiku. Aku yakin itu adalah salah satu tujuan hidupmu karena itu juga salah satu bagian dari tujuan hidupku, menerima lamaranmu.” Sahut Intan dengan senyuman.

Mendengar itu, Akbar menjadi sedikit tenang. Ia pun menggenggam tangan istrinya itu.

“Tetaplah sabar dan berusaha. Semua akan terjawab. Jika tidak hari ini maka suatu hari nanti. Karena aku tau, kau lelaki hebat persis seperti yang dikatakan oleh Aldi.” Kata Intan.

Lima bulan setelah menikah, Akbar kini mendapat sebuah kabar duka lagi. Kini ibunya terkena serangan jantung. Kabar ini begitu cepat sampai ke telinga Akbar. Dengan segera setelah shalat Dzuhur, Akbar bersama Intan bergegas menuju ke rumah sakit Meuraxa. Ibu Akbar sengaja meminta dirawat di sana, walaupun selama ini ia bekerja di New York. Ia tetap ingin dirawat di kampung halamannya agar Akbar dapat melihatnya.

Begitu tiba di sana, Akbar dan Intan langsung dipersilahkan masuk menuju ruangan ICCU. Tidak ada yang boleh masuk kecuali merek berdua. Dengan pakaian khusus yang telah mereka pakai di dalam ruangan itu, Akbar untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun melihat ibunya lagi yang kini terbaring lemah.

Akbar mendekati ibunya dan lalu membelai kepalanya sambil menahan air matanya agar tidak berjatuhan. Sang ibu yang sadar langsung menangis, Akbar pun tanpa menunggu lama langsung memeluk wanita tak bersayapnya itu.

“Maafkan ibu, nak. Maafkan ibu yang selama ini tak pernah peduli dengan kondisimu.” Kata sang ibu dengan suara terbata-bata.

Akbar menebar senyuman pertanda ia telah memaafkan ibunya dan juga sudah melupakan apa yang telah terjadi sebelumnya.

“Jangan lagi dipikirkan yang sudah berlalu. Kini aku ada di sini bersamamu. Teruslah kuat agar kita bisa menjalani hidup bersama.” Kata Akbar.

Lalu sang ibu menatap Intan, masih sambil menangis. Intan pun juga langsung menggenggam tangan ibu mertuanya itu.

“Ibu, ini Intan, istriku.” Kata Akbar.

Mendengar ucapan anaknya itu, ibu Akbar langsung menarik Intan mendekatinya dan memeluknya hangat. Intan pun membalas pelukan mertuanya itu.

Suasana kian menjadi haru. Akbar yang semula menahan diri untuk tidak menangis, kini ia tak sanggup menahannya. Setelah bertahun-tahun lamanya, Akbar akhirnya melihat ibunya dari sisi yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Malamnya, kondisi ibu Akbar membaik. Namun ia masih harus dirawat setidaknya untuk beberapa hari ke depan. Akbar selalu berada di sisi ibunya, menyuapi nasi, memijit kakinya, bahkan sesekali ia mengaji walaupun masih belum telalu lancar. Sedangkan Intan juga selalu senantiasa bersama Akbar. Sesekali ia juga memperbaiki bacaan Qur’an-nya Akbar.

Dan seminggu kemudian, sang ibu sudah diperbolehkan pulang. Akbar membawanya ke rumah Intan. Sampai di sana, semua orang di pekarangan masjid Al-Agung menyambut mereka dengan hangat. Mereka bersyukur karena ibu Akbar telah sembuh dari penyakit jantung yang mematikan.

Intan menggotong ibu mertuanya masuk ke dalam rumah. Bagi Intan kini kesempatan untuknya merasakan sosok ibu. Maklum saja, Intan sudah lama tidak merasakan bagaimana memiliki seorang ibu.

Di luar, Aldi menjumpai Akbar,

“Syrukur akhirnya ibumu baik-baik saja.” Kata Aldi.

“Iya, ini semua berkat Tuhan dan tentu saja berkat doa kalian semua. Terima kasih.” Jawab Akbar.

Sudah beberapa hari ibu Akbar menetap di rumah Intan. Ia pun kini sudah membulatkan tekad untuk tidak kembali lagi ke New York. Sesuatu telah mengubah pola pikirnya kini. Mungkin salah satu alasannya karena melihat sang anak, Akbar, yang sudah banyak berubah. Maklum saja, sebelumnya Akbar sering ribut-ribut dengan ibunya. Tentu saja itu saat Akbar masih belum mampu mengontrol segalanya.

“Aku senang ibu akhirnya memilih untuk tinggal.” Kata Akbar.

“Sudah waktunya ibu di sini bersamamu. Bolehkan?” Tanya sang ibu.

“Atas dasar apa aku tak mengizinkan ibu tinggal bersamaku. Apalagi kini ibu memiliki teman,.” Sahut Akbar.

Teman yang dimaksud Akbaradalah istrinya, Intan.

“Kau beruntung memiliki istri seperti itu. Dia banyak membantu ibu sejak di sini.”

“Sama, ketika pertama kali aku tiba di sini, ia memperlakukan diriku seperti ini juga. Oleh karena itu aku tak ragu meminangnya.” Sahut Akbar.

“Tapi ibu tak bisa berlama-lama di sini. Ibu punya rumah di Geucheu. Ibu ingin untuk tetap tinggal di sana menghabiskan sisa hidup ini dengan memperhatikan foto-foto ayahmu.” Kata sang ibu.

“Jangan khawatir, segera mungkin kita kembali ke sana. Aku juga rindu rumah kita itu. Sederhana tapi begitu banyak kenangannya.” Lanjut Akbar.

Akbar lalu menemui istrinya di teras depan. Ia sedang menyapu halaman. Akbar pun ikut membantu.

“Kenapa malah ikut membantu?” Tanya Intan.

“Karena aku mau.” Sahut Akbar.

“Intan, apa titik balik antara aku dan ibuku juga merupakan sebuah tujuan hidup?” Tanya Akbar.

“Jika kau merasa bahagia melihat situasimu bersama ibumu saat ini. Maka jawbanannya iya. Tapi aku yakin kau bahagia, terlihat jelas dari wajahmu.” Kata Intan.

“Terima kasih telah membuat sesuatu menjadi hidup kembali. Kau kembali menghidupkan semangat juangku. Dulu aku pernah punya sahabat, namanya Denny. Ia seorang yang mampu membuatku merasa tenang dan nyaman karena ia mengerti dengan perasaanku. Saat ia meninggal, adalah di mana semua pribadiku berubah. hingga akhirnya aku betemu denganmu. Terima kasih, Intan.”

“Pasti sahabatmu bangga padamu.” Sahut Intan.

“Aku hanya berharap ia tenang di alam sana sebagaimana ia berharap yang terbaik bagiku di sini.”

“Saat ia pergi meninggalkanku. Ku kira ia tidak benar-benar pergi. Karena aku yakin, setengah diri Denny ada pada dirimu.” Kata Akbar

Setelah melalui begitu banyak lika-liku kehidupan, perlahan membuat Akbar kian menjadi dewasa. Kini ia telah menjadi seorang ayah. Dan anak perempuannya tersebut ia beri nama Fitri Aisyah.

Sebagaimana seorang manusia yang terus belajar dari kesalahannya, Akbar akan terus mengingat nasehat Denny. Karena baginya Denny adalah simbol kekuatan saat ia menghadapi rasa sakit yang dideritanya.

“Pernah aku terjatuh jauh ke dalam sebuah lubang. Pernah di kala depresi kian membara, menghanguskan setiap harapan-harapanku. Pernah ku rasakan tubuh ini hidup, namun hatiku mati. Dan Pernah ingin ku akhiri semuanya saat segalanya terlihat sirna. Di saat aku telah begitu jauh berjalan, tersesat dan kehilangan arah, maka satu-satunya jalan keluar adalah kembali kepada-Nya.”

Tamat

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet