Hijrah

Reza Fahlevi
5 min readSep 8, 2020

--

Photo by: Breaking Reza

Dua puluh empat tahun sudah waktu berlalu saat aku menghirup napas untuk pertama kalinya. Dan kini, sudah tak terhitung lagi berapa banyak sudah udara silih berganti masuk dan keluar dari dalam tubuhku. Ku rasa, sudah saatnya kini tuk membuka mata yang sepertinya telah lama tertutup oleh derita kenyataan, yang di mana aku kian terbenam tak mengerti kenapa aku harus demikian.

Banyak hal yang telah diutarakan oleh bebearapa orang betapa berharganya waktu itu. Bahkan Allah SWT, dalam surat Al-’ashr (103), sudah lebih dahulu mengatakan bahwa waktu benar-benar penting dalam kehidupan setiap manusia. Baik aku, kamu, mereka dan semuanya, hidup dengan waktu yang berjalan mundur. Karena, setiap bertambahnya usia itu merupakan sebuah fakta bahwa satu dari usia kita sudah hilang walaupun angkanya terlihat semakin meningkat seiring bertambahnya umur.

Bagiku pribadi, ini mungkin sudah saatnya untuk membuka mata serta hati nurani yang paling dalam. Sudah saatnya ku kilas balik ke masa lalu, berapa banyak waktu yang berlalu sia-sia, baik yang disadari maupun tidak. Oh… sungguh tak sanggup jika aku harus menghitung satu persatu waktu itu.

Kini ku pikir, sudah tiba waktunya bagiku menyadari satu hal. Sebagai pribadi, aku adalah seorang anak kecil yang sudah tumbuh. Telah ku lalui berbagai kejadian unik dalam hidupku. Ku rasakan berbagai lika-liku kehidupan ini. Telah ku ketahui bagaimana rasanya saat hidup berada di atas juga hidup saat kian terbenam ke bawah. Dan seharusnya ku pahami pada diriku sendiri, “apakah dari sekian banyak kejadian dalam hidupmu ini masih belum cukup membuatmu menjadi lebih bijak dan dewasa?”

Sungguh bukan perkara mudah untuk tetap menjalani hidup atau mengambil berbagai keputusan yang dapat mempengaruhi alur kehidupan. Lelah pasti terasa, ingin menyerah terkadang terbesit dari dalam hati, tekanan batin serta penuhnya beban dalam pikirapun sering terjadi. Sudah 24 tahun berlalu, dan aku masih di sini, bernapas, melihat, mendengar, berjalan, menggerakkan kedua tanganku. Semua masih ku miliki. Semua masih ada di tubuhku sejak pertama kali Allah titipkan padaku.

Ku kira, kini sudah saatnya merenungi apa-apa yang telah berlalu sia-sia, di mana sejak awal perjalananku di dunia ini, Allah sudah memberikan sebuah amanah kepadaku; hidup, beribadah, berusaha, serta diwarnai oleh rasa syukur kepada-Nya yang telah memberikan begitu banyak nikmat terhadapku. Sebagai manusia lemah, ku akui, semua itu sudah ku lakukan dan Alhamdulillah masih ku lakukan sampai sekarang. Namun ada sewaktu-waktu aku lupa diri, khilaf, berbuat kesalahan, tidak mendengar nasehat-Nya. Aku pernah mengabaikan itu, tidak menghiraukan bahkan sampai tidak menyadari bahwa aku terkadang berada di ujung jurang yang mana sewaktu-waktu dapat mencelakakanku.

Dua puluh empat tahun sudah, apa yang telah tercapai? Apa yang sudah ada dalam genggaman? Apa yang sudah membentuk karakter sebagai pribadi? Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, semua tergantung padaku, apa aku ingin menemukan jawabannya dengan terus berjalan dan mencari, atau aku hanya akan terus-menerus bertanya tanpa mencari jalan keluarnya.

Sebagai lelaki aku tumbuh, kini apa yang mulai terasa di dalam jiwa sebagai sosok pemimpin? Sebagaimana lelaki memang ditakdirkan tuk memimpin, kini dengan waktu yang telah berjalan sejauh ini, sudah semampu mana aku dapat memimpin diriku sendiri? Semua ku lalui dengan rintangan, dan terus ku coba bisikkan dalam batinku bahwa seberat apapun rintangan hidupku, di luar sana masih banyak orang hidup dengan rintangan, ujian serta cobaan yang lebih berat di bandingkan diriku. Semua ku lakukan agar aku tak mudah menyerah jika sewaktu-waktu aku harus gagal, terjatuh, lelah dalam mencoba, atau merasakan setiap luka dan tekanan batin dalam diriku. Karena semua itu, dibutuhkan sebuah kekuatan, ketegaran, kesigapan, juga cara kita untuk tetap berpikir jernih, positif, serta kemampuan untuk mengontrol diri dari luapan emosi berlebihan.

Pernah ku berguru, belajar, memahami setiap hal yang telah terjebak dalam diriku sebagai pertanyaan-pertanyaan. Ada sebuah istilah yang dulunya pernah Allah perintahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, yaitu hijrah. Hijrah dari Mekah ke Madinah untuk melanjutkan dakwah di sana dan atas izin Allah, beliau beserta para sahabat dapat diterima oleh masyarakat Madinah.

Hijrah adalah berpindah, dan mungkin bagiku kini, sudah seharusnya aku hijrah kepada hal yang lebih baik lagi yaitu, menggerakkan tubuh dan ragaku kepada semestinya. Karena setelah sekian lama menjelajahi hidup ini, ada banyak kesan, pesan serta pelajaran yang ku dapati. Dari ketiga hal tersebut, harus ku pastikan bahwa aku harus belajar untuk terus tumbuh menjadi pribadi bijak dan dewasa. Dari ketiga hal tersebut aku dapat berlalu menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Ya, hijrah. Karena selama ini ku rasakan ada sesuatu yang salah terjadi, yang mana menggerakkanku untuk mengabaikan apa-apa yang perlu ku lakukan sebagai seorang pribadi. Dan aku mendapati diriku seperti seorang yang benar-benar ingin mendaki sebuah jurang kegelapan, di mana aku telah terjebak di dalamnya untuk waktu yang lumayan lama. Maka selama hati masih dapat merasakan cahaya Ilahi, aku mencoba untuk tetap meraihnya agar hijrah yang telah lama ingin ku lakukan dapat tercapai sesegera mungkin.

Dua puluh empat bukanlah angka yang sedikit. Juga itu bukan lagi usia yang muda, tahun berikutnya angka tersebut akan berganti ke-25 dan akan terus berubah jika Allah masih memberikan aku kesempatan hidup. Sudah banyak hal berakhir sia-sia dan aku tak dapat mengelak dari pada itu. Hijrah adalah satu-satunya cara agar aku dapat kembali ke tempat semestinya, agar aku dapat merasakan perdamaian di dalam hati yang terkadang gelisah hebat tak menentu.

Ku pikir, hidup ini keras, namun tidak juga. Keras, apabila aku tetap mengeluh dan bertanya-tanya tanpa mencari solusi. Namun hidup akan terlihat indah saat aku berhasil berpikir positif, menerima kenyataan yang tak sesuai keinginan, dan tetap percaya bahwa Allah selalu ada di sisi menolong diriku dari jebakan-jebakan dunia.

Aku ingin hijrah, keluar, berhenti, dan menutup pintu dari segala hal yang dapat membenamkan semangat dalam jiwaku. Aku ingin hijrah, kembali, serta melanjutkan mimpi-mimpi yang pernah ada di sisi sebagai penyemagat hidup. Dan semua harus diawali dari diri sendiri, semua harus dimulai dengan kaki dan tangan sendiri.

Karena aku masih punya satu mimpi yang ingin dicapai suatu hari nanti. Karena, itu masih menjadi misteri dalam hidupku tentang seseorang yang akan ada di sisi mendampingi. Dan jika pun aku tak dapat meraih mimpi tersebut, ku harap aku dapat terus berjalan dalam naungan Allah. Terus mencari jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan dalam hidupku sebagai jalan keluar yang selama ini sedang ku nanti. Aku hanya ingin kembali kepada Allah saat aku sedang menyebut nama-Nya di sepertiga malam atau di kala ujung senja menyapa.

Dua puluh empat untuk ku hijrah. Dua puluh empat untuk ku kembali. Dua puluh empat, sebagai perubahan alur hidupku yang telah melenceng jauh. Aku ingin hidup kuat, seperti nenekku yang senantiasa kuat menghadapi rasa sakit dalam tubuhnya, di penghujung hidupnya.

“Sudah ku lalui terjangan badai di samudra. Sudah ke lewati hempasan angin liar di gurun pasir. Sudah ku rasakan sejuknya angin malam yang menusuk kulit. Sudah ku mengerti caranya bertahan hidup di bawah teriknya matahari yang dapat melelehkan semangat langkahku. Dan telah ku kuatkan batin, saat aku terpaksa berjalan di tengah hujan lebat seorang diri. Tapi masih belum cukup, belum cukup tuk dapat ku sadari bahwa aku kian terbenam perlahan ke dalam sebuah jurang. Seiring waktu berjalan, Tuhan seperti menegaskan padaku bahwa aku harus terus mencoba hingga titik ujung kehidupanku. Tapi aku harus hijrah sebelum waktu terlambat. Aku harus segera hijrah sebelum September ini berakhir.”

(Q.S. Al-’ashr: 103)

09 September 1996 - 09 September, 2020

— breaking reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet