Haruskah Berputus Asa?

Reza Fahlevi
5 min readJan 7, 2021

--

Cerpen oleh: Reza Fahlevi

Aku mengenal sosok Angga sebagai seorang lelaki hebat. Di usianya yang kini memasuki 30, masih saja bingung dengan arah tujuan hidupnya. Adalah beban yang terus membawanya demikian, beban hidup yang telah menekan hidupnya sejak berumur dua puluh tahun. Terkadang dirinya mengeluh, tapi tak jarang pula ia mengabaikannya. Itu semua ada di dalam dirinya.

Ku kenali karakternya, sebab ia masih saja takut. Takut mencoba hal baru, takut akan perasaan cinta, takut terhadap kegagalan, dan takut jika nanti ia tak pernah sukses seperti teman-temannya sekarang. Dan rasa takutnya itu dibersamai dengan gelisah yang tak menentu. Hingga dirinya pun tak tahu harus berbuat apa. Masih saja terhenti di tempat ia berada.

Angga yang ku kenal, sahabat karibku. Telah banyak cerita yang menghiasi hari-hari kami untuk berimajinasi tentang semua cita-cita masa kecil. Ia bermimpi menjadi pilot sedangkan aku begitu terobsesi menjadi pelukis.

"Terbayang gak nanti kalo kita udah besar, aku jadi pilot dan kau akan ku antar ke negara mana saja yang kau suka?"

Begitulah angannya dahulu.

Tapi hingga kini ia sama sekai tidak menjadi pilot. Hanya seorang tamatan kuliah S1 yang sedang mencoba peruntungan melanjutkan studi ke jenjang S2, jika memungkinkan. Sejak tamat dari SMA, Angga sudah mengubur dalam-dalam mimpinya menjadi pilot dan mengantarkanku ke negara mana saja yang ku mau. Kini ia hanya seorang lelaki yang sedang berjuang melawan dirinya sendiri. Entah apa yang membuatnya terus merasa tak berguna. Depresi, stres, bahkan hingga rasa putus asa telah lama ia hadapi. Seperti ada sesuatu yang masih belum tuntas dan terus terganjal di balik pikirannya.

Terkadang ia bercerita tentang teman-temannya yang sudah menjadi pakar politik, pakar ekonomi, pebisnis, polisi, MC dan lain-lain. Angga kagum terhadap mereka semua, sebab mereka masih muda dan sudah berhasil meraih apa yang sebelumnya dicita-citakan. Sedangkan dirinya, masih harus mencari sosok dalam dirinya, siapakah dia, kenapa dia, apa tujuannya, dan kenapa dia harus berada di dunia ini. Itulah, Angga.

"Keren ya Riko udah jadi polisi. Ika juga, berhasil kejar mimpinya jadi MC. Sedangkan aku, masih terapung-apung gak ada tujuan".

Begitulah celotehnya.

Kenapa aku menyebutnya demikian? Ada satu ungkapan yang ku dengar dari dirinya saat kami ke pantai Lam U. Kami menghabiskan waktu senja di sana berdua. Dan itu adalah yang pertama kali Angga mengungkapkan permasalahan hidupnya padaku. Padahal sejak dulu aku mengenalnya sebagai orang yang seperti tak ada beban sedikitpun. Tapi saat di pantai itu, sepertinya ada sesuatu yang sudah dialaminya sejak lama, dan baru terungkap saat ia merasa sudah tak sanggup lagi menahan beban itu.

"Feri, entah kenapa selama ini aku merasa sangat gak berguna. Ngeliat teman-temanku mencapai kesuksesan, meraih apa yang mereka impikan, punya penghasilan sendiri yang bisa dibilang lebih dari cukup. Sedangkan aku, ya begini-begini aja. Tamatan kuliah di jurusan Teknik, tapi malah jadi penjual roti bakar."

"Tapi kau punya penghasilan sendiri, kan..." Sahutku.

"Itu sih betul. Tapi, kau tau kan apa yang sebenarnya ku impikan, sejak dulu. Tapi gak pernah bisa ku gapai. Malah waktu kuliah pun aku merasa seperti salah masuk jurusan. Hanya modal beruntung aja aku bisa lulus di situ."

"Ngga, kenapa?" Tanyaku spontan.

"Beban Fer, makin lama aku ngerasa begitu tertekan. Kau tau? Aku mau jadi ini tapi malah jadi kayak gitu. Aku suka ini tapi malah dapat yang gak aku suka. Bahkan urusan cinta pun, aku harus rela orang yang ku suka ditikung sama laki-laki lain. Orang tuaku terus membandingkanku dengan yang lain. Dan aku di sini, iya masih di sini dengan beban yang udah gak sanggup lagi ku pikul. Sepertinya begitu."

"Seberat itu, Ngga?"

"Mungkin gitu, Fer."

"Aku bertanya-tanya kenapa aku jadi begini. Maksudku, apa yang ku impikan semuanya gak pernah ada yang bisa ku gapai. Kadang, aku juga bertanya untuk apa aku hidup? Apa tujuanku hidup? Kenapa sepertinya masalah gak pernah abis-abis? Bingung... berat."

Aku melirik Angga saat ia senantiasa berbicara menatap ombak yang bergantian menyambut pantai. Ku teliti bentuk kelopak matanya, ada rasa lelah di balik itu semua. Ku lihat pula bibirnya saat kata per kata keluar dari mulut, seperti memang sudah begitu berat beban yang dihadapinya. Terkadang kedua tangan mengelus dagu sambil menghisap rokok yang ketika mulai habis langsung diambil sebatang lainnya. Kini aku paham, sepertinya Angga terlalu membebani dirinya dengan terus memikirkan hal yang tak penting. Tapi tetap ku dengar apa yang dikatakan olehnya,

"Pernah aku datang ke pengajian, aku dengar isi kajiannya yang tentang motivasi hidup. Dan satu yang ku tangkap dari ustadz itu, mengetuk pintu langit..."

"Apa maksudmu mengetuk pintu langit?"

"Orang sepertiku ini ada karna ada beberapa hal yang harus ku hadapi dan ku selesaikan. Dan saat sepertinya aku ngerasa udah gak sanggup lagi, mengetuk pintu langit adalah solusi terakhir untuk menenagkan diri sendiri."

Angga menatapku sambil tersenyum.

"Maksudnya berdoa, Fer."

Lanjutnya. Aku pun mengangguk.

"Kau tau, memang beban ini sangat melelahkan, bahkan menyakitkan. Iya, aku merasa sakit dari dalam dan itu berdampak buruk untuk motivasiku juga fisikku. Tapi selalu ku ingat apa yang kau katakan dulu..."

"Apa itu?" tanyaku.

"Kau sudah memulai, maka kau harus mengakhirinya. Jujur… aku bingung waktu kau bilang begitu padaku. Tapi perlahan ku coba pahami dan yang ku dapat adalah, ketika aku melakukan sesuatu dan kemudian menemui berbagai masalah, yang harus ku lakukan adalah mencari solusi, bukan lari dari masalah itu. Itukan yang kau maksud Fer?"

"Ya… kurang lebih gitu."

"Trus pertanyaannya, gimana kalo aku gak pernah dapat solusinya?"

"Usaha terakhir adalah serahkan ke Tuhan. Dapat ku katakan, itu bentuk dari ketidakberdayaanku sebagai manusia. Dan juga sebagai rasa ikhlas terhadap apapun ujian yang menimpaku. Setidaknya begitulah ajaran untuk diriku sendiri."

"Kenapa?" tanya Angga.

"Ayahku pernah bilang, setiap orang punya impian, sesuatu yang ingin ia capai. Maka hal utama yang harus dipikirkan adalah kesiapan dalam menghadapi kegagalan kalo misalnya impian itu gak dapat diraih. Karna, untuk apa punya begitu banyak cita-cita tapi gak ada satupun kesiapan dari kita untuk menghadapi kegagalan? Itu sama aja bohong."

Angga membisu, dan pembicaraan kami terhenti selama beberapa menit sebelum akhirnya ia kembali bertanya,

"Fer, sebetulnya apa tujuan hidupmu?"

"Aku cuma mau jadi orang baik, dan berusaha berbuat baik ke orang lain."

"Itu aja?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan dari Angga.

"Berbuat baik akan menyenangkan hati orang lain. Dan kalo orang senang atau bahagia, perasaan itu menular ke aku. Karna aku juga sepertimu, penuh beban dan tekanan. Yang ku mau adalah rasa tenang, maka ku coba sebisa mungkin untuk berbaur dalam kebaikan."

Angga lalu kembali membakar sebatang rokok. Ia juga menawariku, dan ku ambil satu. Kini tempat kami duduk penuh dengan gempulan asap. Angga terus melihat senja yang sebentar lagi akan menghilang.

"Itulah kenapa aku mengajakmu ke sini, Fer."

Aku mengangguk.

"Sekarang, entah aku bisa hadapi semua ini, ataupun gak sama sekali. Tapi, setelah obrolan kita ini aku putuskan untuk mengakhiri ini semua, karna aku udah memulainya. Begitu kan Fer..."

Aku hanya tersenyum mendengar Angga.

"Kenapa kau jadi yakin gitu?"
Tanyaku.

"Ustadz Akhyar pernah bilang kalo setiap orang bakal hidup dengan penuh ujian dan cobaan. Tapi itu semua udah ditentukan oleh Tuhan bahwa masalah yang dihadapi setiap orang gak akan melebihi dari kesanggupan mereka. Jadi harusnya aku sadar masalah yang ku alami sekarang ini ada karna Tuhan percaya aku pasti bisa ngatasinya. Penjelasan ini ada di dalam surat Al-Baqarah ayat terakhir."

Luar biasa, pikirku. Baru kali ini ku lihat Angga sebijak ini. Tapi bukankah masalah-masalah ada untuk menjadikan setiap pribadi menjadi lebih dewasa dan bijaksana? Begitulah kira-kira.

Itulah Angga, sahabatku. Sosok hebat yang masih berusaha keluar dari segala beban mental yang dihadapinya. Memang harus diakui, ia terlihat seperti tidak lagi kuat untuk menghadapi itu. Tapi setidaknya ada satu rasa percaya yang tertanam dalam hatinya. Itu adalah keyakinan akan kesanggupannya menghadapi setiap ujian yang menghadangnya.

Hal tersebut akan terus membuatnya kuat dalam mencari solusi permasalahannya. Dan jika pun nanti tak pernah didapatkan jalan keluarnya, Angga sudah mampu mengikhlaskan apa yang menjadi takdir untuknya.

Maka, pantaskah ia berputus asa? Ku rasa Angga lebih tahu jawabannya.

— Breaking Reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet