Hai, Rani…

Reza Fahlevi
4 min readJun 11, 2024
Photo by Amy Tran on Unsplash

Dia adalah teman yang membuatku jatuh cinta.

Ya, barangkali begitulah ungkapan yang harus ku tulis tentang dirinya.

Dia — si wanita — sudah tak asing lagi dengan perasaanku. Aku pernah mengungkapkan cinta kepadanya walaupun dia tak bisa membalas perasaan itu atas satu alasan tertentu.

Ku hargai pilihannya meski ada sedikit rasa sakit di hati. Rasa sakit ini tak pernah ku sangka akan timbul dan membuatku sedikit menderita.

Jadi, tepat setelah aku menyatakan cinta padanya, aku merasa seperti patah. Ku coba telusuri ulang kenapa hal itu bisa terjadi, padahal dalam hati diriku pernah menganggap bahwa aku takkan tersakiti walaupun dia akan menolak cintaku.

Setelah menelusuri apa-apa yang sudah terjadi di belakang sana, baru kemudian ku sadari kenapa aku merasa sakit ketika dia tak bisa membalas perasaanku. Jawabannya hanya satu; aku sudah merangkai wanita itu ke dalam bentuk puisiku — dia hidup bersama hamburan kata yang ku ciptakan. Hal itu yang menjadikan alasan diriku merasa seperti hancur saat dia tidak bisa membalas cintaku.

Aku ini lelaki yang mudah takjub terhadap sosok wanita. Tapi, aku bukanlah tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta. Aku lebih memilih diam dulu sambil terus mengajukan pertanyaan dalam hati, “apa aku sudah benar-benar jatuh hati padanya?”

Seiring waktu berjalan, dan seiring pertanyaan yang sama terus terucap di dalam hati, hal itu lantas membuatku semakin penasaran. Itulah momen di mana aku harus memilih; menyatakan cinta atau memilih memendamkannya saja. Dan selalu saja, di momen saat aku harus memutuskan dua perkara itu, pikiran pasti kacau amburadul — satu sisi aku tak sanggup menahan lagi perasaan hati ini — di sisi lain aku takut jika orang yang ku tuju ternyata sosok yang yang memang tidak ditakdirkan untukku. Maka, dalam momen itu, biasanya aku menyempatkan diri untuk menulis apapun itu, asalkan pikiran bisa kembali jernih. Dan ternyata, entah fakta ataupun tidak, jika aku menulis tentang perempuan yang ku cintai, berarti aku memang sudah benar-benar menyukainya. Aku sudah harus cepat-cepat mengambil keputusan untuk mengungkapkan cinta.

Itulah yang terjadi terhadap seorang perempuan yang sejatinya merupakan temanku. Saat awal aku merasa seperti sudah menyukainya, itu ku anggap biasa saja. Tapi aku tak menyadari bahwa ketika diriku berada di momen antara menyatakan cinta atau memendamkannya, ada beberapa waktu yang ku sisihkan untuk menulis. Dan semua tulisanku mengarah pada si perempuan. Hal ini juga secara tak langsung membuatku malah semakin mengagumi wanita itu tanpa ku sadari.

Jadi, saat pada akhirnya aku memberanikan diri menyatakan perasaan cinta itu — dan ketika si perempuan merespon bahwa dia tak bisa membalasnya karena ada satu alasan tertentu, awalnya aku biasa-biasa saja. Tapi setelah beberapa menit diriku mulai termenung, dan selanjutnya aku pun mulai merasa sedikit sakit — hatiku seperti patah.

Tak ku sangka, ternyata perasaan cintaku pada si perempuan sedalam itu. Aku baru menyadarinya setelah mengilas balik ke belakang, di mana semua bentuk tulisan yang ku rangkai itu seluruhnya menceritakan tentang harapanku terhadap si perempuan. Padahal, niatku menulis hanya untuk menjernihkan kepala; nyatanya aku malah curhat bersama kata-kata yang ku ciptakan sendiri.

Entahlah… entah si perempuan tahu bahwasanya aku sudah begitu banyak menulis tentangnya di Medium ini — yang jelas, sejak aku menyatakan cinta, dan sejak dia meminta maaf karna tak bisa membalasnya… sampai detik ini kami masih berhubungan baik. Barangkali hal ini terjadi karna aku berhasil mengenyampingkan ego pribadi dan tetap menganggapnya sebagai teman. Lagipula, si perempuan pun juga sangat menghargai diriku yang sudah jatuh cinta padanya. Kata-katanya yang membuatku sedikit tenang adalah saat dia mengucapkan terima kasih karena sudah menjadi sosok yang mencintainya.

Secara pribadi, aku pun tak bisa melakukan banyak hal. Aku yang mencintai temanku sendiri jelas tak bisa memaksanya untuk menyukaiku juga. Siapa saja yang jatuh cinta, maka dia harus siap menerima dua kemungkinan dari kenyataan; diterima atau ditolak. Dan barangkali, yang menjadi permasalahannya adalah saat menerima penolakan — seseorang harus siap menahan rasa sakit di hatinya.

Memang seperti itu.

Tapi, aku mencoba sesuatu yang berbeda. Perempuan yang ku cintai ini adalah temanku — kami sudah berteman cukup lama. Aku hanya tak ingin hubungan kami menjadi retak atau bahkan sampai pecah berkeping-keping karena urusan cinta. Jadi, saat dia meminta maaf karna tak bisa membalas perasaanku, yang dapat ku lakukan adalah menerima kenyataan itu walau terasa agak berat.

Aku menghargai pilihan si perenpuan — dan sampai detik ini, kami masih saling berinteraksi. Bedanya, dulu kami mengobrol tanpa tau isi hati masing-masing — sedangkan sekarang, kami bicara dan tertawa bersama-sama tanpa harus canggung lagi sebab dia sudah tau perasaanku, dan aku pun tau pilihannya.

Barangkali, sampai nanti dia sudah menemukan kebahagiaannya — maka aku pun juga akan bahagia.

Perkara cinta ini rumit. Aku sudah berkali-kali menderita. Dan karna diriku paham bagaimana rasa sakitnya, aku tak ingin kembali patah oleh karena tak bisa mendapatkan sosok perempuan yang ku cintai. Aku hanya terus berusaha untuk tetap hidup normal sambil menulis novel sebanyak-banyaknya.

Nanti, semua kisah ini juga akan berakhir.

Aku tak bisa menyingkirkan dirimu begitu saja. Maka, ku biarkan engkau tetap eksis di dalam dunia imajinasiku sampai waktu yang tak ku ketahui. Aku sama sekali tak terganggu dengan kehadiranmu, bahkan setelah kau meminta maaf karna tak bisa menerima cintaku. Pada akhirnya, kita masih bisa saling tersenyum sebagai sesama kawan — bukan saling buang muka sebagai pembenci.

— Breaking Reza —

--

--