Hai, Agustus
Bulan ke-8 menyapa, dan aku masih tak tahu harus menjawabnya seperti apa.
Ini sudah memasuki hari kedua dan aku masih membisu tidak melakukan berbagai cara — berusaha keluar dari bayangan masa lalu.
Tawa menjadi tangisan;
Senyum berubah menjadi air mata penyesalan;
Wajah yang sumringah cerah memudar seperti langit mendung…
Sudah hampir setahun aku mengikhlaskan wanita yang ku cintai — sampai sekarang masih ku ingat dengan jelas bagaimana semua itu terjadi dengan sangat cepat — sangat cepat meluluhkan diriku yang sudah mencintainya sejak lama.
Tak pernah ku bayangkan bahwa dalam salah satu realita kehidupanku, aku harus melihat, bersaksi dan memaksa diri untuk menerima takdir bahwa wanita yang ku cintai telah bahagia bersama lelaki lain.
Di usia yang akan memasuki angka ke 27, lagi dan lagi aku harus tersentak… ketakutan yang sangat ku hindari malah datang dan menghantuiku sampai hari ini… sampai di bulan Agustus ini.
Sedangkan di sisi lain…
Bulan Agustus punya sisipan kenangan tersendiri di dalam laci hatiku. Dulu aku pernah ingin mengungkapkan perasaan kepada wanita itu, tapi dengan segala kondisi dan situasi… aku hanya dapat menyimpannya rapat-rapat sampai akhirnya ku dapati kabar — kabar duka untukku.
Agustus bagaikan sosok yang bersaksi bagaimana aku mencoba merelakan wanita itu di tengah perasaanku yang sangat berharap dapat memilikinya. Aku berjuang di titik terendah, bangkit, menopang batin yang hancur, dan mencoba berbohong dengan menganggap semua masih baik-baik saja… semua itu ku lakukan dengan penuh kepiluan.
Agustus melihat sendiri bagaimana aku tetap mencoba tegar saat mengajar sebuah pelajaran di kelas… di hadapan para murid… sampai aku sudah tak terlalu mampu lagi melakukannya lalu beberapa dari mereka bertanya, “bapak hari ini sakit, ya…?”
Sekarang… fase itu sudah tertinggal di belakang dan sesaat lagi akan menjadi genap setahun. Aku yang sudah berjanji untuk terus bahagia, sampai sekarang masih juga tak tahu cara melakukannya. Sudah ku cari sebisanya ke berbagai penjuru, bahkan sampai mendaki-daki bukit, bersepeda, menulis novel, berpuisi, mengaji hingga ku pasrahkan semua dalam doa — ya ampun… aku masih belum bisa berdamai juga rupanya.
Aku bukan menggalaukan perempuan itu, tapi untuk mencari sosok lain bukan perkara mudah bagiku. Butuh waktu… benar-benar butuh waktu.
Jujur… aku sama sekali tidak menggalaukan dia, hanya saja penyesalan di setiap punya kesempatan untuk mengungkapkan cinta tak pernah ku gunakan semaksimal mungkin, dan semua itu membuatku muak. Aku benci kekurangan ini…
Aku memang pandai berpuisi dan lumayan lihai untuk merangkai sajak tentang cinta, tapi…
Aku juga bisa menulis novel tentang cinta; terlalu mudah bagiku untuk membuat si tokoh utama menyatakan cinta kepada wanita yang dia kagumi, tapi…
Tapi di dunia nyata, aku sama sekali tak mampu melakukannya. Dan hal ini membuatku benci, muak, marah… namun yang paling terasa adalah aku benar-benar trauma mengalami pengalaman seperti ini untuk kesekian kalinya.
Trauma yang kini menyerang, membuatku ragu untuk menatap masa depan. Sekarang, aku merasa seperti terombang ambing di tengah lautan tanpa ada tujuan pasti. Ku biarkan saja diriku terbawa arus — entah ke mana arus ini akan membawaku, aku sama sekali tak peduli lagi. Yang jelas… aku bisa merasakan satu sikap dalam diri ini — aku mulai menyerah untuk jatuh cinta lagi.
Dari Agustus 2022 sampai Agustus 2023… ya ampun… aku benar-benar kacau balau. Situasinya tak kunjung membaik, bahkan luka cinta ini juga tak ada tanda-tanda akan terobati.
Yang ku rasakan sekarang hanyalah hampa — kehampaan yang nyata.
Bagaimana caranya agar aku tidak diselimuti oleh rasa trauma mendalam?
Bagaimana caranya agar aku yakin bahwa masih ada wanita yang mau menerima perasaanku?
Semua yang sudah terjadi… aku menyesalinya.
Seharusnya, di Agustus ini, aku punya kabar menarik untuk ku ceritakan bersama para kerabat.
Seharusnya, Agustus ini aku sudah lebih termotivasi dan mulai fokus untuk melanjutkan perjalanan yang lebih menantang.
Seharusnya… seharusnya… seharusnya…
Entah sampai kapan aku bisa kembali seperti dulu, kembali merasakan diriku yang sejati. Tapi sekarang aku mengerti bahwa setiap rasa cinta yang timbul di hati terhadap seorang wanita, aku benar-benar harus melibatkan Allah. Semua agar aku tidak menaruh harapan kepada orang lain dan hanya berharap kepada Sang Khaliq saja.
Di bulan Agustus ini, aku tidak meminta yang aneh-aneh. Cukup kembalikan diriku yang sebenarnya agar aku mampu berpikir jernih dan mampu melanjutkan perjalanan dengan hati yang tenang.
Akan tetapi, sekarang ku akui bahwa aku tak mampu melakukannya seorang diri. Karena itu… tolong… tolong… tolong sekali… beri aku kesempatan sampai waktu yang tak ditentukan agar diriku mampu bangkit seutuhnya… menjadi diriku yang berprinsip teguh seperti dulu.
Wahai Agustus… ku minta kau untuk melihatku — aku pasti bangkit dan menemukan diriku lagi bersama wanita yang ku cintai. Walaupun aku merasa sudah menyerah… di dasar hati aku masih berniat untuk bangkit.
Maka Agustus, jika dulu kau bersaksi melihatku merelakan wanita itu, sekarang… jadilah saksi bahwa aku adalah laki-laki yang menepati janji.
Sekarang… aku tahu cara terbaik untuk menyapa Agustus, yaitu dengan rasa optimis.
02.08.23 — 01:09