Februari

Reza Fahlevi
9 min readFeb 12, 2022

--

Cerpen oleh Breaking Reza

Foto oleh Reza Fahlevi

-- --

Sambil menahan napas dalam-dalam, beberapa saat kemudian Furqan menghela panjang. Ia memandangi buku harian yang selalu dibawa ke manapun dirinya pergi. Halamannya pun sudah menghabiskan lebih dari setengah buku, ia masih saja setia menulis, barangkali sebagai pelipur lara atau hanya sekedar mencari kebahagiaan sesaat yang tak didapatinya di dunia nyata.

"Kamu yakin mau pergi...?" Tanya Nazira, tiba-tiba wanita ini sudah berada tepat di belakang Furqan.

Lelaki itu menyadarinya, sontak ia segera menutup buku harian tadi dan memasukkannya ke dalam tas kecil berwarna hitam.

"Apanya...?" Tanya Furqan. Seolah-olah dirinya menyembunyikan sesuatu.

"Kan kamu nulis tuhh, katanya mau pergi jauh untuk mencari tau sesuatu, hmmm...?" Nazira tersenyum.

Dugaan Furqan benar saat ia mengira wanita ini sudah membaca sedikit hal-hal yang ditulisnya dalam diary tersebut.

"Mungkin itu salah satu caranya..." ujarnya.

Nazira mengerutkan dahi seakan menimbulkan sebuah pertanyaan besar saat teman lelakinya menyatakan itu.

"Pergi jauh-jauh cuma demi buktiin ke diri sendiri kamu tuh cinta sama dia atau enggak???"

"Ya trus kenapa...?"

Nazira lalu duduk tepat di sebelah Furqan. Ia membagikan es krim stroberi yang barusan dibeli — satunya lagi rasa vanilla menjadi milik perempuan ini. Bersamaan mereka membuka es krim itu,

"kamu tuh aneh ya... aku gak abis pikir, deh."

"Aneh apanya sih, kan aku cuma pengen tau sejauh mana aku ini suka sama dia."

"Tapi kan, buang-buang waktu tau gakk..." Gumam Nazira sambil menatap Furqan yang sibuk melirik-lirik cup es krim.

"Heeh, kalo cinta tu diungkapin ke orangnya, bukan malah pergi jauh-jauh dengan alasan nyari kebenaran dari perasaan itu." Lanjut wanita ini.

Ia menaruk es krim-nya di atas paha dan membalas tatapan Nazira dengan lebih dalam.

"Kamu kira gampang?"

Dan tiba-tiba teman wanitanya ini tertawa dengan nada meledek.

"Kamu tu cowok, memang udah kodratnya kalo suka sama cewek, yaa ungkapin."

"Iyaa Naziii..." Furqan merasa seakan dirinya begitu sulit untuk menjelaskan isi pikirannya kepada wanita itu.

"Aku tau... dari dulu bahkan, aku pengen banget ungkapin rasa ini ke Awsya — "

Belum habis dirinya menjelaskan, Nazira menyerobot ocehan Furqan, "delapan tahun lho Qan kamu udah mendam rasa ke Awsya. Itu bukan waktu yang singkat. Seharusnya rentang waktu selama itu udah lebih dari cukup buat kamu sadar, cinta kamu ke dia tuh udah nempel banget di hati. Tinggal diolesin dikit lagi aja... ungkapin. Lain gak ada..."

Furqan langsung terdiam, seakan dirinya terpaku oleh omongan Nazira. Apa-apa yang diujarnya, sebenarnya memang merupakan kebenaran.

"Aku tu ngerti kamu banget, aku tau kamu cowok yang kayak apa, dan aku juga tau kalo kamu memang betulan suka sama Awsya. Nih aku bilang... udah sepuluh tahun lebih kita temenan, aku paham kamu luar dalam. Sekarang sih saran aku yaa ungkapin. Nih ya, coba dipikir, dengan kamu pendam-pendam gitu, emangnya Awsya bakalan tau apa? Bahkan kode-kode yang kamu kasih pun belum tentu dia ngerti. Solusinya? Ungkapin, bilang, nyatain... ngerti kan, FURQAAAN???"

Nazira memelototi lelaki itu sedangkan ia hanya bisa tertawa saja. Kemudian keadan menjadi hening dalam beberapa menit. Mereka berdua sibuk dengan es krim masing-masing. Saat itu di bawah rindangnya pohon yang menahan laju terik matahari, terdengar suara burung-burung yang lebih jelas memasuki gendang telinga. Desir angin pun memacu lembut udara sepoi-sepoi, membuat suasana menjadi lebih sejuk walaupun sebenarnya hari ini begitu cerah dan membuat gerah. Tapi, es krim yang diberi oleh wanita tadi benar -benar mengubah mood.

Ketika seakan hening mencoba mengambil alih peran, Furqan tiba-tiba bergumam, "aku gak tau caranya ungkapin cinta ke Awsya..."

Nazira melirik teman lelakinya, terlihat wajahnya seperti menyembunyikan tawa. Tapi tak lama kemudian malah pecah sejadi-jadinya. Sementara Furqan malah kesal dan ingin menarik-narik hidung mancung wanita itu yang memang sudah bawaan sejak lahir.

Tawa lepas tadi membuat perempuan ini terdiam sejenak, dan hanya selang beberapa detik setelahnya, rasa tak kuasa membuat dirinya pasrah larut dalam kelucuan. Tanpa disadari, Furqan pun malah ikutan tertawa juga, namun sedikit diselingi dengan aura malu karena lelaki ini tahu bahwa Nazira hanya meledek dirinya saja sebab tak tahu caranya mengungkapkan perasaan.

Kemudian suasana kembali sunyi. Es krim sudah cukup membawa mereka kembali senyap, keduanya silih berganti menikmati dinginnya es stroberi dan vanilla. Tak ada omongan, tak ada suara melainkan hanya raut wajah memperlihatkan betapa dua sahabat ini begitu akrab meskipun tak jarang juga sering berdebat sampai ngambek-ngambekkan.

Hingga waktu berjalan terasa lebih cepat, gerak-gerik Nazira seperti memberi pesan bahwa ia harus pamit duluan. Es krimnya sudah habis, ia mengambil kantong plastik dan memasukkan cup-nya ke dalam, disusul kemudian dengan Furqan.

Tapi, wanita ini tak ingin menyia-nyiakan waktu yang sesaat. Bisikan hati membuat ia harus mengungkapkannya kepada teman lelakinya itu, selagi masih ada kesempatan... gumamnya membatin. Dari arah pandangannya, seolah membuat dirinya yakin bahwa Furqan tidak main-main ingin pergi ke suatu tempat untuk mencari tahu sejauh mana lelaki itu mencintai sosok wanita bernama Awsya.

Bersama bola matanya yang terlihat sedikit kehijauan, Nazira untuk kesekian kalinya menoleh dan menatap dalam-dalam sahabatnya,

"Furqan, aku tau... kamu betulan suka sama Awsya, kan...?"

Lelaki itu mengangguk, sedangkan Nazira mulai menebarkan senyuman,

"Terus berjuang ya... apapun pilihan kamu sekarang ini, aku tau begitulah kamu berusaha dapatin cinta dia. Perasaan yang udah dipendam bertahun-tahun tuh pasti udah nyatu erat di hati kamu, aku yakin. Ibarat merajut tali dalam waktu lama, rajutannya pasti makin kuat dan gak mudah putus. Dan aku ibaratkan perasaan kamu kayak gitu. Sebagai cewek, aku ngerti kok arah hati kamu..."

Furqan mendengar dengan seksama bersamaan dirinya membalas senyuman yang tadi diberikan oleh sang sahabat. Ia lalu mengambil buku harian dan membuka satu persatu halamannya dimulai dari yang paling pertama. Kini, seakan dia tak lagi malu untuk memperlihatkan diary pribadi itu kepada Nazira.

Sampai di bagian terakhir, seperti Furqan sengaja membiarkan sahabatnya melihat isi catatan hariannya.

"Rupanya, kamu se-bucin ini ya kalo udah jatuh cinta..." ujar Nazira tertawa kecil, lelaki ini tanpa sadar juga terikut.

Bukan tanpa sebab, Nazira mengatakan itu setelah melihat di satu halaman terakhir, Furqan memenuhi lembarannya dengan hanya menulis nama "Awsya" saja.

"Qan, jangan sampe sia-sia. Aku selalu dukung kamu, kok. Sisanya, ada di kamu. Ingat ya, suka dan cinta itu gak cukup kalo cuma hanya ngasih kode-kodean. Tapi, ungkapin! Diterima atau enggak-nya, itu urusan belakang." Ujar perempuan ini.

Nazira lalu bangkit dan bersiap-siap pamit, beriringan dengan tatapan penuh optimis dari kedua bola mata sahabat lelakinya.

"Tapi — ” wanita ini menoleh ke arah Furqan, “aku selalu harapin yang terbaik untuk kamu kok. Semoga Awsya jadi cewek yang ngerti perasaan kamu. Daaahh..." ia pun pamit.

Kini Furqan seorang diri bersama keadaan positif yang sudah tersemat di dalam hatinya. Barangkali semua karena hadirnya Nazira yang sesaat; mengoceh, meledek, tertawa, sampai ujung-ujungnya selalu sama, tetap memberi dukungan kepada Furqan untuk terus maju menyatakan perasaannya kepada Awsya. Paling tidak, begitulah peran sahabat.

Jumat, 18 Februari

Semua persiapan sudah lengkap. Helm, jaket kulit hitam, sepatu, masker, sarung tangan, juga ransel yang berukuran agak besar dan padat, melekat satu di tubuh Furqan.

Greeengg...

Ia sudah membuat bising teduhnya waktu subuh dengan suara motor yang sedikit garang, tapi tidak terlalu memekakkan telinga. Sambil menunggu mesin kuda besinya panas, ia tarik sebatang rokok dari dalam bungkus lalu mengambil korek.

Ctekkk

Kepulan asap keluar dari hidung dan mulutnya, mulai mencemari udara di sekitar rumah lelaki ini. Sudah satu bulan ia tinggal sendirian di rumah karena kedua orang tuanya sedang berada di kampung halaman.

Sekitar sepuluh menit Furqan lalai dengan rokok, setelah memastikan motornya sudah cukup panas untuk berjalan, beriringan dengan mematikan racun batangan itu, langsung dirinya memacu dari kecepatan terandah hingga ke angka 100 km/jam. Kini, ia berada dalam perjalanan panjang menuju ke kota Merdu.

Di sisi lain, Nazira mengintip dari tirai gorden jendela kamar rumahnya yang memang terletak bersebelahan dari rumah Furqan. Sedari tadi ia menyadari bahwa sahabatnya akan segera pergi. Tak ada kata, hanya senyuman saja yang terlukis indah di bibirnya, membuat hidungnya sedikit mengerat, tapi masih tetap mancung dan tari jika ditatap dari depan atau sisi menyamping. Bola matanya yang agak kehijauan itu pun seakan bersinar terang di balik gelapnya langit subuh, seolah-olah menjadi tanda bahwa Furqan, sahabatnya, akan mendapatkan cinta sejati saat waktunya tiba.

Kota Merdu

Lima jam perjalanan dilalui, akhirnya Furqan tiba. Di kota itu, ia mengunjungi berbagai tempat ikonik atau yang menurutnya cocok dengan suasana hatinya saat ini. Setiap tempat yang disinggahinya, pasti lelaki ini tak ingin meninggalkan momen, yaitu menulis.

Hingga dirinya memilih beristirahat sejenak di Masjid Agung Merdu, Furqan menyempatkan diri untuk shalat Dhuha, berdoa, memohon, berserah diri kepada Tuhan. Ada perasaan gelisah yang mengerubungi isi kepalanya. Itu semua karena cinta yang dipendamnya bertahun-tahun... rasa yang seharusnya sudah bebas dari hatinya sejak dulu.

Selesai itu, tak sengaja Furqan melihat ada pasangan yang sedang melangsungkan pernikahan di masjid tersebut. Dari shaf yang lumayan agak jauh, dengan seksama dirinya menyimak ijab qabul yang dilantunkan oleh seorang lelaki yang mengenakan setelan serba putih. Saat itu, ia senyum-senyum sendiri sambil bergumam, "ketika waktunya tiba, Awsya... aku pasti akan melamar kamu".

Furqan kembali melanjutkan perjalanannya di kota Merdu sampai sore hari. Ia singgah di Pantai Asri, menyeduh kopi, membakar rokok, dan terus menulis apa saja yang ada di dalam kepalanya. Namun ombak yang tepat berada di hadapannya seketika membuyarkan inspirasi. Ia terpaku dan berhenti menulis, ada sesuatu yang mengacaukan.

Berulang kali meneguk kopi, rokok tak henti-henti dihisap yang begitu habis, langsung menarik batang lainnya. Ia berusaha mengembalikan inspirasi untuk melengkapi tulisan di dalam buku harian. Tapi, yang ada hanya Furqan semakin resah, gelisah, bahkan juga muncul rasa khawatir.

Lalu, ia mengalihkan pandangan lurus ke depan, menatap ombak sambil mendengar suaranya yang seakan membisikkan kata-kata ke dalam denyut nadinya. Baru, setelah beberapa menit melamun dan merenung, Furqan menyadari sesuatu,

"sejauh ini aku pergi demi mencari kebenaran. Ternyata, semakin jauh jarak kita terpisah, aku malah semakin kepikiran kamu. Apa ini yang namanya cinta, Awsya?" Gumamnya.

Tak lama kemudian, ia mengambil pulpen dan kembali menulis di halaman lain:

"Sejak SMA aku sembunyikan perasaan ini dan terus berlanjut sampai sekarang. Tidak ku ketahui betapa selama itu aku hidup di bawah gelisah... gelisah karena terus memikirkanmu. Dari waktu ke waktu hingga banyak tahun terlewati, aku terus bertanya dalam hati, apa aku benar-benar mencintaimu? Sahabatku selalu menyarankan agar aku mengungkapkan cinta kepadamu, tapi dari hari pertama aku terpesona akan dirimu, hingga detik ini masih dengan perasaan yang sama... aku tak pernah tau bagaimana caranya menyatakan cinta... entah kenapa aku tak bisa melakukannya."

"Sudah banyak hal yang ku lakukan untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa cinta yang sudah bersemi di hatiku merupakan wujud kesucian serta ketulusan yang murni. Aku, mesti membuktikannya terlebih dahulu pada diri sendiri sebelum ku buktikan padamu. Tapi, tak semudah yang ku duga. Aku tak tau, di bagian mana... atau di sisi mana diriku harus menetapkan bahwa cinta ini adalah perasaan tertulus yang pernah ku rasakan."

"Sejauh yang ku tau, aku selalu bahagia melihat kamu tersenyum... masih dengan cara yang sama seperti yang kau lakukan saat kita masih SMA. Tak ada yang berubah dari caramu menatapku. Sama sekali tidak kamu ubah sikapmu kepadaku, bahkan caramu berbicara sekalipun. Ku rasakan seperti, kamu selalu menerima kehadiranku... selalu mengakui keberadaanku."

"Aku selalu terngiang saat terakhir kali kita bersua — di rumahmu sambil mengoceh banyak hal yang tak perlu, menyeduh teh, mengumbar senyuman — semua kita lakukan di waktu yang sangat singkat di bawah awan mendung gerimis. Dan semua itu, membuatku sangat-sangat bahagia."

"Setelah itu, aku dengan lantang berani berujar dalam hati bahwa aku memang mencintaimu, Awsya. Tapi entah mengapa aku tak pernah bisa jujur untuk mengungkapkan rasa. Masih saja dengan kebiasaan lama, menipu diri, membuat batin tersiksa dari dalam... itu karena aku masih menyembunyikan perasaan ini. Padahal aku sadar, semakin ku pendam, semakin terasa sesak di dalam sini. Dan lucunya, aku terus memendamnya."

"Lalu aku pergi ke kota ini, yang jaraknya jauh darimu. Ku coba rasakan apakah ada yang hilang serpihannya dari hati. Aku mencoba memahami, jenis perasaan cinta yang seperti apa yang ada di kalbuku. Aku seperti memaksa diri menjawab pertanyaan yang ku ajukan sendiri... pertanyaan sama yang ku lontarkan sejak dulu. Aku pergi dengan harus merelakan hati ini menahan rindu yang mendalam, rindu padamu."

"Setelah ku pijaki kota di seberang gunung yang melintang, ku rasakan dan ku yakini bahwa semakin diriku jauh darimu, semakin aku memikirkanmu tanpa batas. Semua itu tidak ku paksa, melainkan hadir sendiri. Berbagai bentuk perasaan bercampur aduk; aku gelisah, resah, jantung berdebar panik, hati seakan menangis, bahkan juga khawatir — khawatir jika pada akhirnya kamu malah pergi bersama lelaki lain saat aku sudah terlalu lama memendam cinta."

"Awsya, di kota ini aku berani untuk jujur... sejak tahun pertama cintaku bersemi di hati, auranya terus mekar dan berbunga. Dan kini aku berani mengambil kesimpulan, Awsya... aku siap jika seandaninya ada satu kesempatan datang — aku siap untuk melamarmu. Lalu, izinkan aku bertanya, apa kamu sudi menerima pinanganku?"

"Sengaja aku menulis semuanya di Februari, karna di bulan ini kamu berulang tahun. Dan aku hanya ingin mengatakannya kepadamu melalui tulisan sederhana ini, Awsya... jangan lagi pergi untuk kedua kalinya. Maaf, aku sudah menyimpan namamu--namamu itu Fitria Awsya."

— —

Beriringan dengan lenyapnya cahaya senja, Furqan mengusap air mata yang menitik sendiri membasahi pipi. Bahkan, beberapa butirannya sampai menghujani halaman diary-nya — buku yang menjadi saksi betapa dalam perasaan cinta, ingin diungkapkan kepada Awsya.

Ditulis pada tanggal 9 Februari 2022

Meulaboh, Aceh Barat
05 - 02 - 2022

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet