Engaku Bersama Kebencianku

Reza Fahlevi
3 min readDec 8, 2020

--

Foto oleh: Adonyi Gabor dari pexels.com

Ku dengar sebuah berita dari seorang teman tentang diriku yang masih berlabuh di hatimu, dengan dirimu yang telah bersama lelaki di seberang sana. Dan kau ceritakan itu kepadanya, tanpa ku ketahui apa kebenaran di dalamnya. Tapi ku anggap semua sebagai dusta darimu, karna hatiku telah lama padam terhadap rasa cinta kepadamu, bergejolak terus-menerus selama tiga tahun lalu kepada wanita lainnya tanpa pernah satu kata pun terlantunkan namamu dari hatiku. Bahkan kau tak pernah mengetahui itu sebelumnya. Dan ketika lelakimu punya seribu alasan untuk murka padaku, aku bahkan punya sejuta alasan untuk lebih ku merahkan amarah ini kepadamu. Dan kebohongan dari lisanmu, dengan cepat berubah menjadi benci di dalam batinku. Aku yang mengenalmu sebagai sahabat, ku benci dirimu mulai detik itu… karna engkau sendiri yang minta. Dan ku tau kau pasti takkan paham alurnya, kau takkan pernah ingin melihat kebenaran dariku. Cahayamu telah padam dan ku padamkan pula cahayaku. Maka, bacalah puisi ini. Yang ku tulis dengan tinta api. Agar kau rasakan kebencianku, agar dengan cepat terhanguskan kenanganku ataupun milikmu…

Seperti melayangnya debu yang tak bertujuan
Dan begitulah kau memaknai kepedulian
Dariku
Terhantarkan seutas pesan bermakna

Akhirnya, semua berujung pada kebencian
Ku pasrahkan pada Tuhan
Karna ku yakinkan apa pilihanku
Akan menjadi kebaikan untukmu ataupun diriku

Kini kebenaran terlihat seperti lautan kebohongan
Tapi ku sudahi saja karna nanti takkan berujung
Ku ukir sebuah titik tepat di kata terakhir
Tepat di mana kebencianku terbit

Dan tak ku pedulikan lagi tentangmu
Sedikitpun tak ingin memahami lagi ceritamu
Biarkan saja, pikirku
Sebagaimana aku telah mengungkapkan kejujuran di balik hatiku

Ku hapus canda tawa kita
Ku benamkan semua kenangan di masa lalu
Sungguh memang menyia-nyiakan waktu
Jika terus terperangkap di dalam jeruji yang sama

Ku ukir benci untukmu karna aku peduli
Ku hantarkan ia tepat di hatimu agar terasa menyakitkan
Semua hanya untuk menyadarkan kita
Bahwa kebenaran terkadang harus dimulai dengan sejuta rasa sakit
Juga mengandung banyak pertanyaan
"Mengapa?"

Tak lagi ku hiraukan pesan kata-katamu
Tak lagi ingin ku lihat bingkai fotomu
Ku tutup semua buku harian kita
Yang dulu selalu kita menganggapnya sebagai sahabat
Baik dirimu ataupun diriku

Pergilah
Berlalulah
Damailah di setiap langkahmu
Kau tak pernah tau bagaimana ku panjatkan setiap bait doa di sepertiga malam
Untuk hidupmu yang lebih baik
Agar Tuhan mengampuniku
Agar aku memaafkanmu

Mungkin kau tak pernah menyadari kesalahanmu
Mungkin kau tak pernah tau apa yang ku amarahkan
Aku membencimu...
Untuk ku maafkan segala kebohongan yang telah tersebar
Darimu kepadanya
Tentangku yang kau anggap sahabatmu

Dan dengan begini aku belajar arti kehidupan
Yang terkadang bahagia dan kesedihan terus bergantian menyapa
Nanti suatu hari
Aku kan lebih kuat dari saat ini

Ukirlah apa yang kau suka
Kejarlah apa yang kau impikan
Aku akan terus berada di jalanku
Sebagaimana ku harapkan kau juga demikian
Aku hanya benci sifatmu
Aku hanya benci karaktermu
Tapi di balik itu semua
Ada ribuan rasa peduli terhantarkan
Padamu

Tapi aku sudah memaafkanmu
Bahkan di saat kau masih belum juga menyadari apa kesalahanmu itu
Aku akan terus berlalu
Di saat badai semakin menggoyahkan pendirianku
Aku takkan pernah berhenti berlalu

Maka bencilah aku
Sebagaimana yang ku lakukan terhadapmu
Bangkitkan rasa amarah dari dalam
Sebagaimana aku yang telah dendam untukmu

"Sadarilah... murkaku penuh makna saat kau tak pernah paham akan pesan tersirat dariku. Ketahuilah, amarahku selalu berbalut rasa peduli, sebagai temanmu yang senantiasa mencoba menghibur di kala gulana menyempitkan kebahagiaan.”

Hey... sadarlah, buku cintamu telah lama ku bakar sejak tiga tahun yang lalu, saat aku kian terjebak dalam besi kokoh milik dia si Syahdu. Diary cintaku telah hangus tak tersisa sedikitpun. Ketahulihah itu duhai wanita. Sadarilah, tentang kebohonganmu yang kini telah tersebar kepada mereka.”

“Hatiku tak pernah lagi melantunkan namamu, mataku telah buta akan keindahanmu, mulutku tak pernah lagi bersaksi akan keelokanmu. Sudah tertutup semua sejak tiga tahun yang lalu. Sadari ini, sadarilah duhai wanita. Sadarilah engkau wahai sahabatku..."

"Engkau tak pernah tau betapa ribuan doa terlantun dari bibirku agar ku maafkan dirimu. Agar, hidupmu senantiasa bersama damai. Agar ku terima apa yang kau caci. Agar ku ikhlaskan semua kebohongan darimu itu."

Maka, terbenamlah semuanya. Tak ada lagi, tak tersisa lagi. Sudah berakhir...

"Semoga kebaikan senantiasa menyertai setiap langkahmu."

Selamat tinggal

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet