Effeminate
Oleh Breaking Reza
___
Dia lelaki yang berlalu
Memilih kehidupannya yang berlawanan
Tak lagi mengakui diri sebagai ciptaan murni
Malah pergi mencari jawaban
Tanpa diketahui sedikitpun
Seluk beluk dan kebenarannya
Berjalan melambai
Tubuh berdansa ke kanan dan ke kiri
Berlenggak lenggok seakan diterpa oleh angin yang tersesat
Diabaikan saja walau ribuan mata menyaksikan dirinya
Tumbuh bersama kekerasan
Bertambah usia di tengah ejekan masa kecil
Ia memilih melampiaskan kekesalan
Memaksa diri menjadi sosok lain
Keluar dari fitrah
Mengkhianati dirinya sendiri
Di saat hati sudah penuh dengan amarah dan kepedihan
Ia tak mampu mengontrol batin untuk tetap memberi aura kesejukan
Ia memilih untuk bergaul bersama para wanita
Hingga mengubah perilaku menjadi sosok “hawa”
Tak peduli ocehan mereka
Ia hanya ingin hidup di atas luka yang dulunya pernah memberi kesan air mata
Wajah tampannya tertutupi oleh karakter palsu
Ia memilih menjadi wanita karna merasa sudah terlalu berat memikul beban kehidupan
Sosoknya terlupakan
Hanya menyisakan cacian dan ejekan
Ke manapun,
Dan di manapun dirinya berada
Kini bibir merah merona, berbicara sayu kemayu. Hiasan make up menutupi seluruh wajah. Mengenakan bra seakan ber-payudara, bersenda gurau dengan sentuhan nakalnya di tubuh para wanita. Ia melawan kebenaran di depan mata… sebab pengaruh bisikan kejahatan, menembus gendang telinga dan relung sukma
Bukanlah kemauannya
Tapi, lingkungan masa kecil
seakan memaksanya untuk merubah jati diri
Bekerja di malam hari
Menghibur jalanan yang mulai sepi
Ia mengakui diri telah berada di arah kesesatan
Tapi... sulit untuk mencari jalan keluar
Arah pandang hanya tertuju pada cara bertahan hidup
Tak peduli nasib yang kini menjadi bulan-bulanan
Karna dia tak pernah ingin menjadi demikian
Tapi, sejauh mana kehidupan ini bermakna?
Saat ia mengubah pribadi menjadi sosok yang sangat berlawanan
Tapi,
Sejauh mana kehidupan ini bermakna?
Saat lisan tajam mengincar sukmanya untuk bertahan hidup
Jangan menyalahkan jika tak ingin disalahkan
Jangan menghakimi, jika tak ingin dihakimi
Jangan menghujat, jika tak terima untuk dihujat kembali
Kehidupan ini bagaikan lingkaran yang berputar
Masa kecilnya memang telah terlewati
Kini hidup sebatang kara,
bertahan sambil memalsukan identitas
Bisa saja di masa depan, Tuhan membawanya kembali kepada kebaikan
Karna ada air mata yang tak pernah berhenti memohon
Dalam ketulusan
Ketidakberdayaan
Adalah salah satu drama kehidupan
Dan tangisan
Sebagai bentuk kita butuh pelukan dalam perlindungan
Mengakui diri sendiri sebagai seorang yang ber-ada
Merupakan kunci utama untuk menerima segala kekurangan yang dimiliki
Bertindaklah sebagai manusia
Dan berlisanlah atas kasih sayang
Yang dititpkan Tuhan
Kehidupan ini tak akan berakhir hanya karna ada banyak ujaran yang tertuju sebagai bentuk serangan batin
Kehidupan ini tidak tercipta untuk menyiksa diri
Juga bukan sebagai ajang pelampiasan amarah dan dendam
Dia adalah lelaki yang sedang mencari kebenaran di dalam pekatnya hitam
Tak ada cahaya
Melainkan harapan yang diyakini pasti akan datang menyambut dirinya
Sekali, dua kali, hingga berkali-kali
Dari setiap embusan napas yang silih berganti
Dia... sampai detik ini, masih juga bernapas
Karna proses dirinya untuk menjelajahi hari yang terik dan kering ini
Masih menyisakan banyak kisah
Sebagai simpanannya untuk bercerita
Kepada mereka yang menganggap diri tak berguna
Nanti, mata akan menjadi saksi
Bagaimana ada seorang lelaki yang mencoba
Mengembalikan jati diri
Karna telah melalui rintangan yang sukar dipahami
Tapi, dia memilih untuk tetap percaya
Di saat harapan itu terlihat sia-sia tak bermakna
___
Catatan pengingat
Puisi ini tidak ditulis melainkan untuk mencoba melihat setiap kejadian di depan mata, sambil menyadari hal apa yang jauh sebelumnya pernah terjadi yang membuat seseorang berubah; dari yang semestinya menjadi tidak pada semestinya.
Lelaki yang memilih diri menjadi seorang wanita, bertindak dan berperilaku di luar kelakuan pria pada umumnya. Bukanlah kita yang berhak untuk memberi penilaian ataupun menghakimi, bukan pula urusan kita untuk mem-bully dan mengutarakan lisan mengejek.
Jauh daripada itu, cobalah untuk memahami sebab dirinya berubah menjadi demikian. Memahami ujian macam apa yang dulunya pernah dilaluinya, tapi ia merasa diri tak sanggup memikul itu dan memilih untuk berubah.
Puisi ini, mengajak penulis dan para pembaca untuk merasakan derita yang sesungguhnya sebelum seseorang itu berubah total. Barangkali, bukanlah kemauannya untuk berperilaku bak “banci”, melainkan ada sebuah atau banyak hal yang memaksanya memilih seperti itu.
Dan apabila kita diberi kemampuan untuk merubah seseorang menjadi lebih baik, lakukan sebaik mungkin, setulus mungkin, dan selembut mungkin tanpa meninggalkan rasa sakit yang mana itu hanya membuatnya semakin jauh dari fitrahnya.
Tak ada waktu untuk membenci, karena setiap pribadi akan ada masa untuk berubah. Barangkali Tuhan ingin mengajarkan hamba-Nya untuk belajar dari sebuah drama yang Ia tahu bahwa kita mampu menghadapinya.
Jika pun harus benci, bencilah sifatnya bukan sosok orangnya. Manusia ada untuk saling merangkul bersama, bukan saling menjatuhkan. Hidup ini akan terasa lebih bermakna jika kita memahami rasa sakit orang lain tanpa perlu berujar ini itu yang tidak penting.
Penulis bersimpati dan menjauhkan diri dari berlisan tajam kepada orang lain yang menurut penulis dia tidak sejalan (semoga Tuhan memberikan perlindungan-Nya). Bahkan Tuhan adalah Maha Penyayang, jika kita ingin menyayangi diri sendiri, dan peduli terhadap orang lain.
Dan jangan memaksa diri untuk mengubah setiap orang kepada kebenaran jika pada ujungnya hanya meninggalkan bekas luka baru. Kita tidak hidup untuk ikut campur. Kita hidup untuk saling memahami. Jika pada akhirnya lisan tak mampu merubah, tindakan yang kita berikan tidak cukup untuk mengubah seseorang, maka doakan dia dalam diam. Sudah semestinya kita jangan pernah meremehkan doa.
Setiap orang berada pada fitrahnya masing-masing. Mereka yang memilih keluar daripada itu, yakinkan saja agar suatu hari nanti, Tuhan memberi mereka cahaya penuntun untuk kembali kepada semestinya. Sebagaimana itu juga merupakan bantuan yang tak terlihat dari kita.
“Do not jugde but feel it. Do not talk but listen it. Do not blame but try to understand it. It is not about who the ones are, it is about the proccess on how they survive of this unpredictable life; living, seeing tragedies, acting, fighting for dreams, falling to learn, crying because of weak, climbing as there is still hopes alive, rising to try again and again, smiling because finally you’ve become stronger to love yourself and aware of the others’ pain to give them a hand when they need. When you are going under, there’s someone helped you. Now your turn, since you understand pain through that deep heart”.