Dua Sisi Jimmy

Reza Fahlevi
6 min readJun 16, 2020

--

Jimmy dan Obsesi Pada Sepakbola

Sore kamis. Jimmy sudah bersiap-siap bermain sepakbola bersama teman-temannya di lapangan Tugu. Tepat setelah shalat Ashar, ia langsung mendayung sepedanya ke lapangan bersama Heri, sepupunya. Tiba di sana, mereka sudah ditunggu oleh para rekan lainnya.

"Yoo, cepat. Jangan lama pakai sepatunya." Seru Eric.

"Tenang. Santai saja." Ujar Heri.

"Kenapa kau tidak memakainya saat di rumah tadi?" Tanya Eric.

Heri hanya menggeleng saja. Sedangkan Jimmy langsung melakukan pemanasan. Ia terlihat berlari-lari kecil agar kakinya tidak terlalu kaku.

"Hey, Jim. Sudah dapat sepatunya?" Tanya salah seorang teman bernama Zacky.

"Belum, Ky, uangku masih belum cukup untuk sepatu bola." Jawab Jimmy.

"Kalau begitu berhati-hatilah bermain dengan kaki telanjang. Karna kami semua memakai sepatu." Kata Zakcy.

"Jangan khawatir. Aku sudah terbiasa." Sahut Jimmy lagi.

Sepuluh menit kemudian, laga pun dimulai. Seru dan sangat berkualitas. Begitulah cara mereka bermain bola. Memang permainan ini hanya sebagai hiburan saja. Tapi mereka tetap serius. Terlihat Jimmy, walaupun hanya ia seorang yang tidak memakai sepatu, tapi permainannya tak terganggu akan hal itu. Bahkan ia masih mampu mencetak satu gol dan dua assist. Ciri khas permaianan lelaki ini adalah, menggiring bola, menghancurkan lawan satu demi satu, dan membantu rekannya mencetak gol jika memang peluang yang dimiliki oleh temannya itu lebih besar ketimbang dirinya. Bagi Jimmy, kepentingan tim lebih utama dibandingkan individu per individu. Oleh karena itu ia mencoba untuk tidak bermain egois.

Jimmy suka sepak bola. Selain itu, ia juga suka bersepeda, jogging, dan badminton. Secara garis besar, ia suka olahraga. Itu adalah hobinya sejak SD.

Namun sepakbola adalah sesuatu baginya. Sejak Heri pertama kali mengajaknya bermain bola di lapangan tugu, itu tepatnya saat mereka masih tk, dan sejak saat itu Jimmy telah jatuh cinta terhadap permainan yang dominan digunakan dengan kaki tersebut.

Jimmy banyak belajar dari Heri tentunya karena ia sudah lebih dulu mendalami cara bermain bola, bahkan juga teknik men-juggling. Keduanya juga suka mengoleksi jersey bola. Heri yang menjagokan Manchester United, tentu ia juga suka dengan jersey klub tersebut.

Namun Jimmy, walaupun menyukai Real Madrid, ia suka mengoleksi berbagai macam jersey bola dari beberapa klub. Bahkan Jersey klub rivalnya, Barcelona pun pernah dibelinya. Pastinya, saat Heri baru saja membeli jersey M.U, Jimmy selalu bertanya di mana belinya, berapa harganya, atau apa ada jersey klub lainnya di toko tersebut. Seperti itulah dirinya.

Pernah suatu waktu saat Jimmy masih duduk di bangku SMP, ia rela tidak jajan di sekolah dan menahan lapar hingga waktu pulang, hanya untuk menabung uangnya dan membeli jersey bola. Seminggu ia tidak jajan, maka sudah terkumpul uangnya sebesar enam puluh ribu. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membeli jersey bola yang diincarnya.

Khusus untuk bola, Jimmy pernah benar-benar menjadi sangat terobsesi. Itu dibuktikan dengan inginnya ia memiliki perlengkapan olahraga tersebut seperti, sepatu, pelindung tulang kering, jersey bola tentunya, bahkan sarung tangan kiper pun pernah dibelinya.

Selain itu, Jimmy begitu tergila-gila dengan Real Madrid. Sejak SD, ia sudah sering begadang untuk menonton bola, khususnya Real Madrid. Setiap malam minggu, ia sudah bersiap di depan tv untuk menanti pertandingan klub tersebut. Dan apabila tidak ada jadwal pertandingan, ia pasti merasa kecewa. Maklum saat ia masih SD atau SMP, Jimmy jarang melihat berita tentang sepakbola, karena ia memang sama sekali tidak menggunakan internet pada saat itu. Dan lagi saat itu hp secanggih sekarang belum ada.

Biasanya Jimmy berlangganan tabloid olahraga. Di situlah ia membaca segala berita sepakbola mulai dari rumor transfer pemain, statistik setiap klub, hingga papan klasemen.

Tapi entah apa yang membuatnya begitu menyukai klub Real Madrid hingga ia rela begadang sejak usia dini. Lebih lanjut, obsesi Jimmy terhadap tim sepakbola tersebut terlihat saat tim kebanggaannya itu kalah. Pasti ia kecewa tak karuan. Pasti sepanjang hari ia lesu karena terus menerus terpikir akan kekalahan klubnya itu.

Saat SMA, Jimmy sangat behasrat untuk bergabung bersama klub sekolahnya itu. Tujuannya jelas, bermain, bermain dan menjadi bintang di tim sepakbola sekolahnya. Tapi ada satu yang membuatnya tidak bisa ikut seleksi saat itu. Ya, itu karena Jimmy tidak memiliki sepatu bola. Ia pun mencari cara bagaimana agar ia bisa memiliki sepasang sepatu.

Dalam keluarga, Jimmy sudah dikenal sebagai orang yang menyukai bola. Maka suatu hari, ayah Jimmy membelikan sepatu untuknya. Sungguh ia sangat bahagia. Dan dimulai saat itu, ia tak pernah bermain bola di Tugu dengan kaki telanjang lagi. Bahkan permainannya lebih hidup dengan sepatu. Bagi Jimmy, bermain bola di Tugu adalah bagian dari latihannya mengolah si kulit bundar, agar saat ia ikut seleksi di sekolahnya, ia sudah siap.

Tapi, berkali-kali ia mengikuti seleksi, tidak pernah sekalipun ia lolos. Hingga ia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang salah pada dirinya. Namun demikian, Jimmy masih belum menyerah. Masih ada satu kesempatan baginya untuk dapat bergabung dengan tim sepakbola di sekolahnya.

Maka, demi persiapan matang, ia rela membagi waktu bermain sepakbola dan jogging. Ia membaginya menjadi tiga dalam setiap minggu dengan senin sampai rabu ia fokus bermain bola dan kamis hingga sabtu ia memilih jogging agar fisiknya bertambah. Sedangkan minggunya ia memilih istirahat bersama keluarganya.

Dan hasilnya? Kali ini ia benar-benar kecewa. Setelah melakukan persiapan sedemikian rupa, masih saja ia tidak lewat seleksi. Jimmy pun harus menerima kenyataan bahwa ia tidak akan pernah bisa bermain di tim sepakbola sekolahnya.

Dimulai dari situ, ia menjadi tidak termotivasi lagi bermain bola di lapangan Tugu bersama rekan-rekannya. Selain itu, sepatunya pun juga sudah koyak dan tidak layak untuk digunakan lagi. Maka sejak itu, ia hanya fokus jogging dan bersepeda saja untuk mengisi waktu sorenya.

Motivasi Jimmy untuk bermain bola kembali ia rasakan saat ia duduk di bangku terakhir SMA. Sesaat lagi setelah ujian akan ada ekstra kurikuler. Berbagai macam perlombaan diadakan oleh sekolah dan juga OSIS. Salah satunya tentu saja bola, lebih tepatnya futsal.

Dengan teman-teman sekelasnya begitu semangat untuk berlaga, secara otomatis pula aura ini menuju kepada Jimmy. Dan sebagai persiapannya, kini ia mulai ikut bermain futsal bersama teman-temannya atau pun bersama abangnya.

Jimmy kembali berlatih dengan maksud agar kakinya tidak kaku lagi. Dan kali ini ia tidak perlu khawatir lagi akan sepatu karna sang abang melihatnya yang sudah kembali rajin bermain bola. Maka abang Jimmy pun membelikan sepasang sepatu futsal untuknya.

Jimmy pun berjanji pada dirinya bahwa dengan sepatu tersebut, ia akan memenangkan ajang futsal di sekolahnya sekaligus menjadi ajang pembalasan dendamnya yang selalu gagal lulus seleksi di tim sepakbola.

Saat pertandingan dimulai, Jimmy bermain dengan berapi-api. Kini, si kulit bundar seperti mendengar aba-aba darinya ke mana saja Jimmy ingin bola itu di tendang.

Dari seorang yang biasa saja, kini Jimmy malah menjadi musuh bebuyutan bagi lawannya. Mereka seperti yakin, Jimmy yang di kala itu menggunakan nomor punggung delapan, adalah pemain berbahaya dan harus dikawal seketat-ketatnya.

Hingga pada akhirnya, Jimmy benar-benar melampiaskan 'amarahnya' dengan menjuarai turnamen futsal tersebut. Ia bahkan mencapainya dengan sedikit gaya. Ya benar, Jimmy dinobatkan sebagai top assist dan menjadi pencetak gol terbanyak ke tiga di ajang tersebut.

Tak ada yang menduga Jimmy akan menjadi salah satu pemain yang sangat bersinar. Tapi setidaknya, menjuarai turnamen futsal di sekolahnya sudah cukup menutup kisahnya di SMA NEGERI 5 tersebut. Saat ia sama sekali gagal bergabung dengan tim sepakbola di sekolahnya, tapi akhirnya ia berhasil menjadi pemenang walau hanya sebatas dari tim kelasnya. Menjuarai turnamen futsal benar-benar akhir dari cerita Jimmy di sana. Ia berhasil menjadi bintang dengan caranya sendiri.

"Heri dan aku adalah rival walaupun ia yang dulunya memperkenalkanku pada sepakbola. Tapi aku termotivasi karena ia dua langkah lebih hebat daripadaku. Saat ia mengidolakan Cristiano Ronaldo, aku juga harus mengidolakan pemain lainnya, Iker Casillas. Saat Heri mendukung Manchester United, Aku harus mendukung Real Madrid. Bahkan saat ia baru saja membeli jersey bola M.U, besoknya ku pastikan aku juga harus punya satu atau dua dari jersey Madrid. Dia terobsesi begitupun aku. Dia bermain, begitupun aku. Dia menonton pertandingan bola, aku pun takkan mengalah. Tapi ku kira, saat ini sudah cukup untuk terus-menerus terobsesi pada sepakbola. Aku tau, waktu ku di situ sudah selesai. Karena kini ada mimpi yang harus diwujudkan, baik bagiku dan juga Heri. Tapi sepakbola akan terus melekat dalam diriku. Sebagaimana aku tau Heri juga demikian."

-breaking reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet