Dua Rasa Es Krim

Cerpen

Reza Fahlevi
3 min readApr 9, 2022

Sumber foto: pexels

Seketika aku dikejutkan dengan hadirnya dia tepat di hadapanku. Baik aku dan dirinya saling menatap dalam beberapa detik. Lalu aku seolah terbawa dalam perasaan, seakan waktu berhenti sejenak. Memerhatikan gadis yang sedang jauh berada dalam kendali ilusi pikiranku.

Adalah aku kemudian mengetuk pintu hati. Selama tatapannya masih berada di garis lurus pandangaku, ku coba alihkan warna cerah dari balik pancaran bola matanya. Tapi sesaat ku sadari, aku tak mungkin bisa berlalu dari indahnya cahaya itu.

Terasa seperti candu. Aku ingin menatapnya lama. Ku biarkan saja ia seperti itu karna aku suka. Dan tak ku hiraukan ia ingin mencari tahu, aku kini terlalu masuk dalam pesona keindahan. Yang semua itu berasal darinya.

"Haikal... Haikal..."
Suara merdu dari seorang wanita terdengar lembut di telinga. Aku spontan menoleh ke kiri dan melihat Syahdu berjalan mendekat.

"Oh ya, maaf. Gimana? Aman?" Tanyaku.

Ia baru saja kembali dari swalayan. Ku lihat dia memegang kantong plastik hitam yang tak ku ketahui apa isinya.

"Amanlah. Nih..." ia memberikan es krim coklat padaku dari dalam plastik tadi.

"Ohh, tau aja aku suka es krim. Gak ada yang vanila ya?"

Sebenarnya aku lebih suka rasa vanila ketimbang coklat.

"Ada nih, tapi gak boleh. Duluan aku."

"Lah... tapi katanya lebih suka rasa coklat…?" Aku bingung.

“Heh, aku yang beli, jadi suka-suka aku dong. Lagian hari ini aku lagi pengen nyicip rasa vanila aja, gak ada salahnya kan…?”

“Yaa enggak salah sih…” sahutku sambil tertawa mengangguk-angguk.

Hari ini memang agak panas, gerah juga. Cocok untuk mencicipi es krim. Apalagi berdua dengan Syahdu, rasanya lebih spesial. Aku memang sudah lama menyimpan rasa terhadap gadis ini. Entah dia tahu ataupun tidak, aku tak pernah mencari kebenarannya.

Tapi terkadang gerak-gerikku mencoba untuk memberi kode kepada Syahdu, bahwa sebenarnya aku menganggapnya lebih dari sekedar teman. Tak dapat ku pungkiri, semakin hari, aku ini seakan malah semakin memikirkannya.

Di kampus pun, aku sering mencuri-curi pandang. Sesekali ia menyadari tingkahku. Dan cukup hanya dengan balasan senyumannya itu — dia — sudah meluluhkan aku untuk terjebak dalam bayangannya.

Syahdu bagiku manis, apalagi setiap saat ia menatapku dalam-dalam — sambil mengumbar senyuman. Ia sering melakukan itu ketika kami sedang ngopi bareng di kantin. Entahlah, tapi aku malah suka dia seperti itu.

"Haikal, jam berapa sekarang?"

"Dua kurang," jawabku.

"Tugas pak Said udah siap kan?" Tanyanya.

"Udah dong, aku kan rajin... kamu sendiri?"

"Udah dong, aku kan rajin..." Syahdu malah mengikuti caraku menjawab pertanyaannya tadi.

Kami berdua duduk di bawah pohon rindang, tak jauh dari pustaka kampus. Sesekali ku tatap Syahdu yang sedang asik dengan es krim-nya. Tak luput juga ia lalai dengan sosmed di ponsel. Dalam hati aku ingin berkata, “Syahdu, kamu itu rupanya memang betulan cantik...”

Ya, apa boleh buat, aku belum berani mengungkapkan perasaanku kepadanya. Mungkin kurang nyali pun benar juga. Karna itulah, aku hanya bisa memendam perasaan ini dan lebih mengaguminya dalam diam.

Tapi setidaknya, sudah berjumpa dengannya, meluangkan waktu bersamanya, bercerita hal-hal yang tak penting berdua, itu sudah membuatku merasa lebih baik.

"Gerak yuk, bentar lagi masuk nih..." ujar wanita ini sambil memasukkan ponsel ke dalam tas kecil berwarna pink.

Aku mengangguk lalu menaruh novel yang ku baca tadi ke dalam ransel. Sejak dari tadi aku memang membaca buku "A Piece of Heaven" ini ketika menunggu Syahdu balik dari swalayan.

Tak lama setelah itu…

"Syhadu, aku mau minta maaf."

"Maaf kenapa?"

"Sebenarnya… selama ini aku udah nyimpan rasa ke kamu. Aku sebetulnya suka sama kamu… sejak dulu."

Tiba-tiba saja aku mengungkapkan perasaanku tepat di hadapannya, spontan keluar begitu saja.

Dan ya… Syahdu terkejut. Mungkin ia tak menyangka aku akan mengatakan ini.

"Jangan tanya kenapa. Jujur aku memang suka kamu. Setiap kita duduk bareng, aku ngerasa nyaman aja gitu bisa luangin waktu sama kamu, bercanda bareng..." aku malah terus melanjutkan.

"Yaa, aku sih gak maksa kamu untuk harus ini atau itu. Makanya, aku minta maaf karna gak bilang-bilang udah nyimpan nama kamu... lebih tepatnya karna ti a-tiba gini." Lanjutku lagi.

Syahdu yang awalnya hanya menatap ke bawah, kini mulai melirik ke arahku. Ia tersenyum, dan wajahnya sedikit memerah saat itu.

Aku pun terikut membalas senyumannya, seakan kini kami sudah saling mengerti apa yang ada di balik hati masing-masing. Tak lama kemudian, baik aku dan Syahdu malah salah tingkah. Ku lihat wajahnya semakin memerah senja. Dan mungkin, wajahku juga sama.

2014: Sebuah Catatan di Jalan Hamzah

— BREAKING REZA —

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

Responses (1)