Pukul sembilan pas. Saatnya aku masuk ke kelas selanjutnya. Tidak ada jeda bagiku sedikit untuk relax dan mengkhayal sejenak, jarak pergantian jam begitu tipis untuk bersantai sekedar meneguk air putih di kantor. Aku buru-buru keluar dari lokal XII IS.2 dan segera mengajar di kelas XII IA.4.
Di tengah perjalananku menuju ke kelas tersebut, Pak Yanto, seorang satpam di sekolah menyapaku.
“Pak Saiful, apa kabar hari ni?”
Beliau tampak riang dari biasanya. Sepatu kulit hitamnya pun bahkan terlihat mengkilat. Padahal, sejak pertama kali aku mengenalnya, jarang-jarang dia merawat sepatu itu.
“Baik bang,”
“nanti jangan lupa ngopi ya…”
Aku bersama dua rekanku, Pak Anis dan Pak Akbar, sering menyeduh kopi ketika istirahat. Sesekali ku ajak juga Pak Yanto ikut dengan kami.
Sambil terus berjalan, ku acungkan jempol kepadanya pertanda bahwa nanti kami akan ngopi bareng.
“Assalamu’alikum”
Semua siswa menjawab serentak salamku. Seperti biasa, di lokal XII IA.4 ini, begitu jam pelajaran pertama habis, tiga orang siswi, Hanifa, Kalya dan Venny, hampir selalu pergi ke kantin. Banyak guru yang sudah memperingatkan mereka, termasuk diriku juga. Tapi tidak mudah untuk meredam pergerakan geng siswi ini. Mereka adalah siswi yang begitu sulit untuk ku hadapi. Belum lagi sikap mereka yang berlagak mentel manja di hadapan guru laki-laki terutama yang muda-muda.
Kebiasaanku setiap di awal masuk ke kelas adalah mengecek kehadiran siswa walaupun tidak langsung ku bubuhi titik di daftar hadir. Tak tega juga berlaku seperti itu kepada mereka. Hanya saja aku akan bersikap lebih tegas ketika ada siswa yang kelewatan batas. Semua ada waktu dan tempatnya untuk berlagak demikian.
Lima menit kemudian, aku langsung menagih hutang antara guru dan murid. Dua hari yang lalu, mereka sempat ku berikan PR dan harus dikumpul hari ini juga. Sebelumnya sudah ku sampaikan, siapa saja yang tidak mengerjakan PR atau lupa membawanya, akan dikenakan hukuman.
Sebenarnya, ini hanya ancaman belaka. Bagaimana tidak, dari sekian tugas yang ku berikan, sedikit saja dari mereka yang mengumpulnya. Seolah-olah tugas yang ku berikan itu tidak penting dan sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka. Maka, untuk menggerakkan mereka; lebih tepatnya sedikit memaksa; aku harus mengancam dengan hukuman.
Memang sudah beberapa kali ku terapkan model begini, meskipun masih terhitung jarang karena aku memang hampir sama sekali tak pernah menghukum murid-muridku. Tapi ku harap, kali ini terapanku berjalan sesuai harapan.
“Pak, kita gak ke lapangan?” Tanya sorang siswa bernama Tengku.
“Iya bentar lagi. Kalo PR-nya udah terkumpul semua baru kita ke lapangan. Hari ini saya bebaskan kalian mau olahraga apapun, tapi khusus untuk yang buat tugas. Bagi yang tidak, ada hukuman dari saya.”
Sebagian dari mereka tersenyum-senyum mendengar ucapanku. Entah apa maksudnya tak jelas. Lagian aku tak terlalu mempedulikan itu.
Satu persatu mereka meletakkan buku PR di atas mejaku. Dan tak lama kemudian, Hanifa, Kalya dan Venny masuk. Nama kedua dari mereka mengucapkan salam dengan nada yang menggoda. Aku pun menjawab salam, setelah ku lirik mereka bertiga, langsung saja ku alihkan mataku ke arah buku-buku yang terkumpul ini. Entah kenapa, aku merasa sedikit risih dengan kedatangan geng ini. Dan aku jadi lebih malas untuk bicara sekarang.
Bukannya malah langsung duduk, ketiganya berdiri di depanku dan mulai berlagak manja-manjaan. Hanifa malah menarik buku milik Ahmad yang sedang ku pegang. Sialan, gumamku dalam hati. Mentang-mentang aku baru mengajar di sini selama enam bulan, mereka berani memperlakukanku seperti itu. Dasar.
“Pak ini PR ya…? Saya ada kok buat. Mau saya kumpulin pak?” Ujar Hanifa.
“Oh PR ya…??? Pak, tapi buku saya ilang. Gimana nih?” Kalya ikut-ikutan bicara.
“Yang gak kumpul saya hukum.”
“Tapi bohong pak… hahahaha” sahutnya dengan terbahak.
Aku berdiri dan tak menghiraukan mereka. Dengan suara yang lumayan kencang, ku katakan pada semua siswa bahwa waktu untuk mengumpulkan tugas tersisa dua menit lagi. Aku sendiri bingung, entah apa yang membuat mereka semua bergerak lamban begini. Padahal aku hanya menyuruh kumpul saja. Sungguh banyak tingkah siswa-siswi ini.
Dan waktu dua menit pun habis, semua sudah mengumpulkan PR kecuali Benni. Ku lihat, ia sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya di saat teman-teman yang lain sudah bersiap mengganti seragam putih abu-abu untuk kemudian mengenakan pakaian olahraga di ruang ganti.
Ketika kelas sudah kosong, ia datang padaku. Sambil tersenyum ia mengatakan terus terang bahwa ia memang lupa mengerjakan tugas ini. Di satu sisi, aku lega Benni sudah berkata jujur. Tapi hukuman tetap berjalan sebab aku orang yang menepati janji. Dengan sukarela dan pasrah, akhirnya ia menerima sanksi ini.
“Benni, kamu mau saya hukum fisik atau yang lainnya?”
Ia hanya tersenyum merunduk dan tidak menjawab pertanyaanku. Sepertinya siswa ini bingung harus memilih jenis hukuman apa. Bagiku, perlu untuk menanyakan ini kepada Benni karena jika aku asal-asalan menghukum siswa, juga apabila ada kejadian yang tak terduga terjadi, pasti akulah yang harus bertanggung jawab.
Aku terus menanti jawabannya. Tak sedetik pun wajahku ku palingkan darinya. Mungkin karena sudah begitu ia pun mulai bersuara,
“kalo bisa jangan yang fisik pak. Takut gak sanggup nanti…”
Dan setelah itu, ku bawa Benni ke kelas X.1. Kebetulan kelas itu sedang tak ada guru, dan sebagian siswanya malah duduk bebas di depan kelas. Sebenarnya itu adalah sebuah pelanggaran, tapi ku lihat guru piket tak satu pun bergerak menegur mereka-mereka ini. Jadi ya sudahlah. Aku tak ingin banyak ikut campur dengan permasalahan lain karena ada kelas yang menjadi tanggung jawabku.
“Kenapa kalian di luar?” Tanyaku, padahal aku sudah tahu sebabnya.
“Buk Vera gak datang pak. Jadi kami menikmati udara segar aja di sini.” Ujar seorang siswa.
Iyaa pak, di dalam ribut kali. Kayak pasar…” Sahut temannya.
Tanpa berlama, aku menyuruh Benni untuk mengatakan sesuatu di hadapan mereka.
Dengan satu telunjuk ku arahkan ke dirinya, ia sudah paham apa maksudku ini.
“Hari ini, saya mau minta maaf karena tidak buat PR pelajaran pak Saiful. Saya menyesalinya. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan ini lagi. Dan saya harap adik-adik, jangan contoh perbuatan buruk saya…” Kata Benni di hadapan mereka.
Sebelumnya di kelas, aku sudah mempersiapkan kalimat ini untuk dibacakan oleh Benni di hadapan adik kelasnya. Dan karena dia memilih hukuman yang bukan fisik, maka ku putuskan untuk menghukumnya dengan cara ini.
Alasanku melakukan ini sebab ku lihat Benni memiliki mental yang lemah. Ia termasuk satu dari sekian siswa yang sedikit penakut dan malu. Bahkan, saat ia membaca teks yang ku tuliskan untuknya, kedua tangan Benni gemetaran. Lagi, ku lihat ia malah berkeringat dingin.
Maka, dengan hukuman ini, ku harap dapat mendongkrak mentalnya agar dia lebih berani berbicara di depan orang lain. Meskipun dengan cara yang sedikit memaksanya.
Tujuan lainnya adalah, agar siswa lain lebih bertanggung jawab ketika ada tugas yang diberikan kepada mereka. Ini perlu untuk membentuk karakter mereka, dan juga menyadarkan mereka apa tujuan mereka bersekolah dari pagi sampai sore. Benar-benar waktu yang melelahkan.
Kalimat itu ku minta Benni membacanya sebanyak tujuh kali. Begitu ia selesai, kepalanya tertunduk lesu. Tapi aku langsung memegangi pundaknya.
“Kerja bagus… anggap aja ini latihan mental.” Bisikku.
Benni lalu ku persilahkan untuk mengganti pakaian dan segera bergabung dengan teman lainnya di lapangan.
Sedangkan siswa kelas X.1 ini sedikit keheranan dengan kejadian ini. Mereka bertanya padaku dengan wajah penasaran. Aku tak menjawab apa-apa, hanya menyarankan agar mereka jangan sampai tidak membuat PR atau tugas lainnya. Lalu aku pun langsung berlalu dari mereka dan kembali bergabung dengan siswa-siswi kelasku.
Kriiing kriiing kriiing
“Halo…”
Tak biasanya Pak Hendra menelponku setelah Maghrib. Ia bermaksud mengajakku ngopi. Dan ini lebih lagi terdengar tak biasanya. Tapi tak apalah, aku tahu beliau orang yang jarang mengajak ngopi malam. Biasanya jika tidak saat istirahat di sekolah, ia pasti mengajakku ketika waktu pulang sekitar pukul setengah lima sore.
Aku bergegas bersiap-siap. Cuaca malam ini sedikit dingin, maka ku kenakan jaket kulit hitam serta topi.
“Husna, abang keluar bentar ya, nanti abis Isya langsung balik.” Aku datang menemui istriku di dapur.
“Mau ke mana bang?”
“Pak Hendra, gak biasanya dia ngajak ngopi malam-malam.”
“Bungkus mie ya bang, goreng…” pintanya dengan senyuman manis.
Selalu saja aku senang saat dia berlagak manja malu seperti itu. Terasa seperti sejuk ketika aku meliriknya.
“Okee… abang pamit ya.”
Ku keluarkan sepeda gunung berwarna hitam kebiruan. Gak ada salahnya juga bersepeda. Lagian warkopnya juga tidak begitu jauh dari rumahku.
Sepuluh menit kemudian, aku tiba. Dari parkiran, aku melihat di mana posisi Pak Hendra, tapi sepertinya dia belum sampai. Aku berjalan saja sambil ku pinta kepada tukang parkir untuk menjaga sepedaku. Siapa tahu ada orang jahil yang mencoba mengambil atau merusak sepedaku, karena lima bulan yang lalu, sepeda istriku, Husna, hilang saat kami sedang beristirahat di sebuah warung, di sela-sela gowes kami.
Tak lama berselang, Pak Hendra tiba bersama Pak Yanto. Dua menit kemudian Pak Anis juga datang. Ramai ternyata. Sepertinya, Pak Hendra sedang ingin berkumpul, sahutku dalam hati.
Setelah memesan kopi, kami mulai bercengkrama. Mulai dari yang tidak bermanfaat hingga saling bertukar pendapat. Banyak isu yang kami bahas. Bahkan Pak Hendra tak henti-henti menarik rokok Marlboro-nya. Beliau termasuk perokok berat. Tapi tetap profesional dengan tidak merokok di lingkungan sekolah.
Tanpa kami sadari waktu berlalu begitu cepat hingga adzan Isya pun berkumandang. Aku sudah janji pada Husna akan segera pulang setelah shalat. Saat aku hendak pamit, tiba-tiba ada pembahasan yang sangat menarik untuk disimak. Sialan, selalu di ujung-ujung seperti ini, pasti ada saja pembahasan yang jika ditinggalkan, terasa seperti ada yang kurang. Maka, aku duduk lagi. Lagipula, mie pesanan istriku belum selesai.
“Siswa kita ini banyak kali tingkahnya. Udah lebih berakal dia daripada kita. K.O kita dibuatnya kalo lagi berdebat.” Pak Hendra mulai pembahasan.
Aku senyum-senyum saja mendengar omongan ini. Baik Pak Anis dan Pak Hendra saling bertukar asumsi tentang tingkah siswa, Pak Yanto juga tak ingin ketinggalan. Aku lebih banyak diam karena dibandingkan dua guru ini, aku lebih junior. Maka aku mencoba untuk tidak menyanggah apapun argumen mereka sebelum giliranku tiba.
“Si Bobby, udah keterlaluan dia. Tadi siang jam saya ngajar, berani-beraninya dia nujuk-nunjuk saya. Emosi liatnya…” Kata Pak Hendra.
“Iya, Bobby tu harus kita ajarkan etika. Masih kelas satu udah banyak masalah, apalagi nanti kalo udah kelas tiga,”
Ternyata, bukan diriku saja yang mendapat perlakuan buruk dari murid. Bahkan Pak Anis dan Pak Hendra yang terkenal tegas saat mengajar pun mendapat perlakuan lebih buruk dariku. Satu sisi, aku merasa beruntung karena selama ini murid-muridku hanya bertindak masih sebatas wajar seperti perlakuan tiga gadis di kelas XII IA.4 itu, mereka hanya bertindak manja dan terkadang mencoba menggodaku dengan gaya bicara yang dibuat-buat. Meskipun begitu, aku tetap tidak nyaman apalagi ini berhubungan dengan kewibawaanku sebagai guru olahraga. Jelas, aku harus bertindak layaknya lelaki sejati, jangan sampai lengah sedikitpun atau petaka pun tak dapat ku elakkan.
“Memang, anak-anak kayak gitu harus kita perhatikan terus. Karna kalo gak, di luar sana dia pasti buat ulah dan yang jelek itu ya nama sekolah kita…” Ujar Pak Yanto.
Kami serentak mengangguk.
“Tapi…” lanjut pria berbadan tegap itu, “terlalu keras pun ke mereka juga bahaya bagi kita. Bisa aja nanti mereka dendam trus malah balik nyerang kita dengan fisik. Padahal tujuan kita baik, mau mengingatkan, mau mendidik. Tapi sikap dia yang masih labil jelas masalah besar untuk dia sendiri. Banyak tuh guru-guru jadi korban kekerasan siswa cuma karna disuruh shalat, tapi siswanya gak mau. Trus malah nyerang guru. Kan keterlaluan itu.”
Memang benar apa yang dikatakan Pak Yanto, kasus kekerasan siswa terhadap guru semakin lama semakin marak saja. Ya walaupun tak sedikit juga kekerasan guru ke muridnya terjadi, bahkan ada yang cabul sekalipun.
“Sesekali, hukuman tegas harus kita terapin supaya mereka sadar.” Ujar Pak Anis.
“Saya tu, kalo di kelas segala aturan jadi milik saya, termasuk hukuman.” Sahut Pak Hendra.
“Saya setuju kalo kita mulai terapin peraturan tegas. Saya sendiri agak kualahan hadapin siswa yang telat-telat ini. Masalahnya yang telat orang yang sama.” Kata Pak Yanto sambil menggusuk-gusuk kepalanya, tak ketinggalan ia menyeduh kopi yang sudah mendingin.
“Saran saya, boleh kita hukum. Tapi tetap jaga kewibawaan mereka.”
Kami jadi mulai serius mendengar ucapan Pak Yanto. Beliau sudah seperti penasehat kami saja.
“Maksudnya begini, jangan buat hukuman untuk memalukan mereka, tapi hukuman itu untuk menyadarkan mereka. Contohnya, jangan hukum senior-senior di depan adik kelas. Karna mungkin bisa menyebabkan hilangnya respek adik kelas ke abang kelasnya. Dan juga nanti mungkin ada kemungkinan para senior ini jadi benci ke adik kelasnya. Ini semua bisa jadi masalah baru untuk kita semua.”
Benar juga apa yang dikatakan beliau. Hukuman memang tak bisa dilakukan asal-asalan, lebih tepatnya jangan sampai melenceng dari arah mendidik siswa.
Tapi tunggu dulu, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku pernah menghukum Benni di depan anak kelas X. Walaupun bukan hukuman fisik, tapi aku melakukannya di hadapan adik kelas.
Sialan aku baru menyadari ini. Padahal selama aku mengajar di mana pun, aku berusaha mati-matian untuk buat anak muridku senyaman mungkin ketika belajar bersamaku. Jadi, apa tindakan aku terhadap Benni itu sudah di luar batas? Mungkin saja batin muridku ini tertekan waktu itu, tapi dia berusaha menyembunyikannya dariku.
Wah, bukan main. Setelah perkataan Pak Yanto, aku jadi merasa bersalah kepada Benni. Bagaimanapun aku tahu dia itu murid yang kurang dari segi mental. Dan aku malah menyerangnya di bagian itu pula.
Tapi, sebenarnya niat aku menghukum dia itu bukti aku peduli terhadapnya. Ya, karena aku tak ingin dia sampai mengabaikan tugas-tugas dari guru. Aku malah kepikiran sekarang dan sudah tak fokus lagi mendengar obrolan mereka bertiga.
Bagaimanapun, Benni adalah muridku. Dan aku sepenuh hati menuntunnya ke arah yang benar. Namun mungkin, ada satu kesalahan yang ku buat, dapat ku pastikan itu karena kini aku semakin dihantui dengan raut wajah anak itu saat dia sedang membaca teks pemberianku di hadapan siswa kelas X.
Tak lama kemudian, pesanan istriku selesai, tanpa berlama lagi aku langsung pamit kepada mereka bertiga.
Tiba di rumah nanti, aku ingin menceritakan kejadian ini ke istriku. Karena aku tahu, Husna adalah orang yang tepat untuk membantuku mencari solusi saat pikiranku sedang bermasalah.
Teet teet teet
Akhirnya bel pulang pun berbunyi. Ini hari sabtu, waktu sekolah hanya sampai pukul 12 siang saja. Dari kelas XI. IA.1 aku bergegas menjumpai Benni di ruangannya. Ku harap dia masih di sana.
Biasanya dia pulang sekolah dengan berjalan kaki. Jadi ini kesempatan yang bagus bagiku untuk mengajaknya makan siang sekaligus ku antarkan anak itu ke rumahnya nanti.
Dua malam sebelumnya, aku sudah menceritakan kejadian ini kepada Husna. Ia menyarankanku untuk datang dan bicara dengan Benni, jika memang hukuman yang ku berikan padanya tetap masih mengganggu pikiranku. Dan memang, sampai saat ini, masih mengganjal di kepalaku. Jadi ku jalani aja apa yang disarankan oleh istriku.
Aku mencarinya ke kelas, ternyata dia sudah tak ada. Kemudian bergegas ke gerbang depan dan ternyata dia sudah lebih dulu bersiap untuk pulang. Dengan langkah cepat, ku temui dia,
“Benni, ada waktu kosong?”
“Sekarang? Iya pak, kosong. Kenapa ya pak?”
“Ini penting sekali, ikut saya sebentar ya…”
“Boleh pak.” Sahutnya.
Tanpa berlama langsung ku bonceng dia dengan motorku dan ku bawa dirinya makan siang di Ayam Penyet Terkejut. Entah mengapa pemilik warung menamai tempat usahanya seperti itu, mungkin karena sambalnya yang berlevel-level. Level terpedas bisa membuat orang terkejut-kejut.
Kami pun makan siang bersama. Benni lahap memakan semua sajian yang telah terpesan. Sesekali tangan kanannya menghapus keringat yang muncul di sela pori-pori wajahnya. Matanya juga berkaca-kaca, mungkin terlalu pedas. Tapi anak ini menyukainya.
Setelah makan, aku berbincang-bincang ringan dengannya. Mulai dari aktivitasnya di sekolah selama seminggu, lalu rutinitasnya di rumah, juga hobinya. Ku tanyakan saja karena memang aku ingin mengenalnya lebih dalam.
Benni pun bercerita padaku dengan suasana hati yang riang dan bersemangat. Tak biasanya ku lihat dia seperti ini bahkan di sekolah pun belum pernah. Dan lagi anak ini memang tipenya banyak bicara ternyata, padahal di sekolah selama pelajaranku, dia seringnya diam dan pemalu.
“Sebetulnya saya pengen kayak bapak. Selalu berpakaian rapi, tegas tapi kadang-kadang lucu juga. Bapak lebih tenang dari guru-guru lainnya. Dan lebih paham saya dari semua guru di sekolah.”
Tiba-tiba saja Benni malah mengatakan itu kepadaku. Dan karena dia sudah mengarah ke sana, aku pun bertanya,
“kamu risih gak waktu saya hukum di depan adik-adik kelas waktu itu?”
“Hahaha, gak sih pak, biasa aja…”
“Tapi awalnya, saya liat kamu kayak malu ketika sedang baca teks dari saya.”
“Iya sih pak, awalnya gitu…”
“Mau lagi saya hukum gitu?” Tanyaku sambil bercanda.
Ia hanya tertawa kecil, “jangan pak. Gak sanggup saya… kalo boleh hukuman lain aja”
“tapi kamu lebih suka hukuman gitu daripada fisik?”
“mungkin besok-besok saya dihukum fisik aja pak.” Ujar Benni sambil tertawa.
Firasat aku pun benar, ia tak nyaman dengan hukumanku. Dan mungkin jika ku telusuri lebih dalam, bisa saja batinnya sekarang tertekan atau ada rasa trauma di dalam dirinya. Untuk kali ini, ku akui aku sudah berbuat salah sebagai guru, sekarang sudah saatnya aku bertindak lebih bijak di hadapan Benni, siswa yang telah ku hukum ini.
“Maaf ya, saya sudah hukum kamu seperti itu…”
“gak apa-apa pak. Lagian memang salah saya sendiri gak buat PR. Tapi berkat hukuman itu saja jadi lebih giat sekarang pak.”
“Itu bagus berarti. Tapi jujur, saya orang yang sangat jarang hukum siswa kecuali kalo sudah melewati batas. Apabila hukuman itu sempat membuat kamu malu atau apalah yang lainnya, saya minta maaf ya…”
Benni melihatku dengan tatapan heran. Mungkin baginya baru kali ini ia mengenal guru yang meminta maaf langsung di hadapannya, apalagi guru itu adalah aku, orang yang sudah menghukumnya.
“Saya selalu percaya sama kemampuan kamu karna itulah tugas saya. Maka, kalo saya sudah bersikap seperti ini, kamu harus bersikap lebih lagi setidaknya untuk lebih percaya diri.”
Benni terdiam. Aku terus melanjutkan pembicaraan,
“intinya, di sekolah kamu punya banyak pelajaran yang harus kamu pelajari. Saya paham, sulit untuk bisa menguasai semua itu. Tapi pastikan ada satu pelajaran yang bisa kamu kuasai. Apapun, gak mesti pelajaran saya. Kalo kamu suka Matematika, maka tingkatkan lagi usahanya. Kalo kamu suka Fisika, fokus ke situ. Trus yang lain bagaimana? Kamu ikuti saja, dan yang terpenting, kamu harus menghormati guru-guru kamu. Dikasih tugas, ya dibuat. Gak bisa? minta bantu sama kawan tapi bukan nyontek ya…”
Benni tertawa mendengar ucapanku. Aku pun malah sedikit tersenyum melihatnya.
“Hormat ke guru, Inysa Allah kamu akan dihormati sama orang lain. Yang pasti jalani aja semua pelajarannya, dan fokuskan lebih ke pelajaran yang paling kamu suka. Saya selalu percaya sama kamu dan semua teman-teman kamu.”
Ia mengangguk,
“Tapi kalo boleh saya kasih saran… bolehkan?”
“Boleh pak…”
“Kamu harus lebih berani lagi sekarang. Malumu juga, maksudnya, malu itu memang manusiawi tapi terlanjur malu juga gak bagus. Kamu harus percaya diri. Ingat, saya percaya sama kamu, sekarang giliran kamu yang percaya pada dirimu sendiri, oke…!”
Benni mengangguk sambil berterima kasih padaku. Di jeda pembicaraan ini, ku ambil kerupuk yang ada dalam plastik dan ku nikmati satu persatu dengan suara kriyuk masuk ke gendang telinga. Dia juga ku berikan satu. Di sela-sela itu bahkan ku tawari lagi dirinya jika memang ingin pesan sesuatu lainnya. Tapi dia menggeleng sambil tersenyum.
“Untuk hukuman kemarin, saya pastikan kamu gak lagi dihukum di hadapan adik-adik kelas. Sebagai gantinya…”
Benni serius mendengar omonganku,
“ sebagai gantinya akan saya cari tau lagi nanti.” Ia pun tertawa sedangkan aku hanya tersenyum saja.
Akhirnya, perasaanku kini menjadi lebih baik. Aku sudah tahu apa yang dirasakan oleh Benni saat itu. Tapi aku sebenarnya harus berterima kasih pada Pak Yanto, karena berkat perkataannya, aku jadi menyadari sesuatu apa kesalahanku terhadap muridku.
Lain kali ku pastikan, aku harus lebih bijak dalam bertindak apapun itu. Karena prinsipku mengajar adalah membuat murid senyaman mungkin belajar bersamaku. Aku tak ingin mereka malah terbebani dengan caraku memperlakukan mereka. Dan lagi, aku harus paham setiap karakter muridku, karena mereka semua punya potensi yang mungkin sekarang belum terlihat, tapi akan tercapai ketika mereka sudah menyadarinya.
Lagipula, aku percaya setiap anak itu cerdas; cerdas di bagiannya masing-masing. Tujuanku adalah mendidik dan membimbing untuk menggerakkan mereka ke arah cita-cita mereka. Begitulah yang guru-guruku ajarkan padaku saat aku masih di bangku sekolah hingga aku menjadi seperti sekarang ini.
— Breaking Reza