Di Kota Mafia

Seutas Kisah dari Detektif Jimmy

Reza Fahlevi
14 min readNov 6, 2021
Foto oleh Justin Hamilton

Cerpen

— —

“Jangan… tolong jangan… aku cuma punya seratus ribu.”

Seorang janda muda sedang berusaha mengamankan dompetnya dari lelaki bertubuh kekar. Rambutnya panjang sebahu, juga punya sebuah tato bergambar “love” di wajah sebelah kanannya.

“Ooo, melawan ya… mau aku culik ya nanti malam?”

Gumam lelaki itu, suaranya mulai sedikit lantang.

Aku yang sedang berdiri menunggu sebuah taksi ingin menghampiri mereka berdua. Tapi seorang teman menahan niatku.

“Biar aja…” ujarnya.

Barangkali ia paham, jika aku ikut campur malah akan menjadi lebih kacau.

“Yang kayak gitu udah sering terjadi. Masih bagus laki-laki itu minta dengan cara begitu. Padahal coba liat…” temanku ini mengarahkan telunjuk kanannya ke lelaki tadi.

“Dia punya pisau, bisa aja dia tikam perempuan itu sekarang juga.” lanjut Teo.

Apa yang dikatakannya ada benarnya juga. Dari jarak sekitar 7 meter, kami hanya diam saja tanpa melakukan apapun. Dan tak lama kemudian, janda muda itu memilih memberikan dompetnya. Diriku hanya memperhatikan wanita itu yang sepertinya ia tak tahu harus berlagak sedih atau bagaimana.

Sekitar dua menit kemudian, taksi tiba. Aku dan Teo bergegas masuk.

Jam 09.00 pagi di kantor polisi

Para polisi sibuk nongkrong dengan kelompok mereka masing-masing. Ada yang berghibah, bermain game, ngopi sambil bermain kartu. Sialan, kenapa mereka terlihat begitu santai di tengah jam kerja begini.

Dan tujuanku ke sini bukan untuk bergabung dengan mereka, melainkan untuk menjumpai seorang kapten bernama Gabriel. Ya, dua hari lalu ada bandar narkoba yang berhasil kabur dari sergapan polisi. Dari jejak yang dicari, ia melarikan diri ke kota ini, Lhök Juröng.

Tepat tadi malam, oleh Letnan Tiyo, ia memintaku untuk mendalami kasus pelarian ini. Setidaknya ada beberapa bukti yang nanti dapat ku berikan padanya untuk berburu bandar narkoba itu.

“Permisi, kalo boleh tau, ruangan Kapten Gabriel di mana ya…” aku bertanya pada sekelompok polisi yang sedang bermain kartu.

Kesalnya, tak ada satu pun dari mereka yang menjawab pertanyaanku. Bahkan tiga di antara mereka malah menatap sinis padaku.

Aku sendiri bukanlah orang yang suka mengulangi pertanyaan yang sama. Maka ku tunjukkan lencanaku, seketika mereka yang jumlahnya sebanyak tujuh orang langsung berdiri. Ada yang merapikan baju, memberi hormat, salah seorang ku lihat bergegas mematikan rokok.

“Mari saya antar ke ruangan beliau…” sahut seorang polisi bernama Yulli.

Tanpa berbicara lagi, ku ikuti saja orang ini. Lagipula aku juga tak punya banyak waktu saat ini.

Tok tok tok…

Yulli mengetuk pintu, tapi aku tak yakin ini ruangan Kapten Gabriel. Dan tak lama setelahnya lelaki ini langsung membuka pintu, ia sedikit bertanya-tanya kepada seseorang di ruangan ini. Lalu Yulli menatapku,

“tunggu di sini aja, detektif. Saya akan panggil kapten.” ujarnya.

Aku masih tak menyahut apa-apa.

Tiga menit kemudian, Kapten Gabriel datang.

“Selamat datang, detektif. Maaf sudah buat anda menunggu.” Kata kapten, ia menjulurkan tangannya padaku yang dalam waktu bersamaan ku julurkan juga punyaku.

“Saya yakin anda sudah dapat kabar dari Letnan Tiyo…”

Kapten Gabriel mengangguk.

Aku langsung mengambil selembar foto bandar narkoba itu beserta beberapa bukti lainnya.

“Tim jaguar memberikan ini padaku, juga sebuah barang bukti berupa senjata api.”

“Apa kalian tau rute mana dia melarikan diri waktu itu?” tanya sang Kapten.

“Tidak tau pasti. Tapi dia menaiki sebuah mobil minibus putih. Dan beruntungnya… salah satu anggota tim Jaguar berhasil mendapatkan plat mobil itu.” kataku sambil memberi sebuah buku catatan pada Kapten.

Kapten Gabriel mengangguk. Ia lalu berkata bahwa sekarang ini akan mengadakan rapat mendadak dengan sebuah tim khusus pelacakan, Leo. Ia juga memastikan rapat itu akan segera tuntas beserta dengan kesimpulannya. Sebab, lanjutnya lagi, malam pukul sembilan, misi pencarian akan dioperasikan.

Pukul 09.00 malam

Semua pasukan sudah bergerak mencari target. Aku juga ikut bersama Kapten Gabriel. Sedangkan Teo ku larang sebab terlalu bahaya bagi orang biasa sepertinya. Dan lagi, firasatku berkata, bandar narkoba ini pasti bukan orang sembarangan. Lagipula, aku tak pernah menganggap remeh siapapun buronan yang sedang dalam pencarian.

Di dalam mobil patroli, kapten berbicara terlalu banyak, dan semuanya tak ada yang penting. Ia terus saja berbicara hingga sampai di sebuah tempat, aku menyuruhnya berhenti.

“Kenapa di sini?”

“Mulai dari sini, aku punya firasat. Dia sedang berada di sekitar.” sahutku.

“Tapi, sebaiknya kita tunggu dulu yang lain. Bala bantuan diperlukan karna kita gak tau si bandar itu orang yang kayak gimana…”

“Jika kau butuh bantuan, berhenti mengoceh sekarang dan ikuti. Itu sudah cukup menunjukkan bahwa kita tak menganggap enteng orang itu.” Ujarku.

Kapten Gabriel diam saja dan menuruti apa yang ku katakan. Kami pun keluar dari mobil dan menemui dua orang laki-laki di sebuah warung kopi, letaknya pas di seberang jalan dari mobil patroli ini.

“Maaf, mengganggu waktunya, kami sedang cari buronan bandar narkoba. Apa kalian kenal dengan orang ini?” Kapten langsung memperlihatkan wajah orang itu.

Tapi, jawaban yang kami harapkan malah tak sesuai. Dua laki-laki ini langsung menggelengkan kepala. Kapten menatapku, sedangkan aku kembali menoleh kepada dua lelaki tadi.

Tiba-tiba terdengar sebuah ledakan dan seketika lampu padam. Situasi mulai agak mencekam, bersamaan dengan itu juga suara tembakan malah menghiasi telinga — dua kali.

Dalam situasi gelap, ku yakini semua orang sudah panik, suara-suara langkah kaki begitu jelas masuk ke dalam gendang telingaku. Beberapa menit kemudian lampu kembali menyala.

Kapten Gabril melihatku yang kini sudah memegang lengan seorang lelaki yang barusan kami jumpai. Melihatku seperti itu, Kapten cepat-cepat menahan laki-laki satunya yang sudah menundukkan kepalanya di atas meja, ia duduk tepat berhadapan dengan temannya itu.

“Yang itu gak perlu kau tahan, dia sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus ini.” ujarku.

Kapten melirikku dengan mata bertanya-tanya. Tapi ku katakan saja apa yang ada dalam benakku agar dia paham apa yang ku maksud.

“Sedangkan orang ini, patut kita asingkan sebentar.” lanjutku lagi.

Orang-orang yang sedang santai menyeduh kopi hanya menatap kami dalam raut ketakutan. Aku mengerti, mereka sudah terganggu dengan keadaan ini.

“Mohon maaf semua udah buat gak nyaman, sekarang situasi udah normal. Lanjut aja ngopinya…” ujarku pada orang-orang yang berhadir.

Ku pinta Kapten Gabriel memborgol lelaki yang ku tahan tadi, dan membawanya masuk ke dalam mobil patroli. Dalam perjalanan, Kapten mulai berlagak keras. Barangkali itu dilakukan agar pria yang tadi ku tahan menjadi ciut.

Tapi, berbagai cara kapten bertanya padanya, ia terus saja mengelak, meyakinkan kami bahwa dirinya tidak bersalah.

Aku yang dari tadi diam saja, meminta kapten untuk segera bertemu dengan tim Leo. Lima menit perjalanan, kami tiba.

Aku meminta kapten Gabriel untuk keluar dan meninggalkan diriku berdua saja dengan laki-laki tadi.

“Tak apa-apa?”

“Semua akan baik-baik aja…” gumamku.

Kapten lalu meninggalkan kami berdua. Bersamaan dengan itu, aku langsung pindah posisi ke belakang dan duduk di sebelahnya.

“Uki… kau lahir di kota Pahlawan. Berusia 30 tahun. Apa aku salah?”

Sontak lelaki itu terkejut, sepertinya ia bertanya-tanya bagaimana diriku bisa tahu identitasnya.

“Jangan kaget begitu. Tadi jam enam sore, ada seorang polisi mengirimimu pesan singkat, berisi tentang pencarian seorang bandar narkoba. Sekarang, jawab aku… apa itu salah?”

Ajuan pertanyaan ini ku barengi dengan menampakkan sebuah hape miliknya. Ia semakin panik. Mataku terus menatapnya sedangkan dia tak berani membalas tatapanku.

“Sekarang, bilang aja yang sebenarnya. Semua yang kau sembunyikan, polisi yang memberitau informasi pencarian ini, dan dia… Sayuti… si bandar yang kau lindungi. Katakan semuanya padaku.”

Akhirnya, laki-laki ini mengakui. Ia pun bersedia menceritakan semuanya. Sekitar lima belas menit aku menanyakan informasi, setelah itu aku keluar dan menemui Kapten Gabriel.

“Suruh anak buahmu untuk bawa orang itu ke markas.”

“Udah selesai…?” tanya Kapten, aku mengangguk.

Tapi Kapten sama sekali masih belum mengerti kenapa laki-laki yang ada di warkop tadi menjadi tersangka. Ia bertanya-tanya mengapa aku bisa tahu secepat itu.

“Aku melihatnya bersama Sayuti, si bandar itu. Bahkan, yang bawa kabur Sayuti yaa dialah orangnya.” jelasku.

“Kau juga ada di lokasi saat penyergapan Sayuti malam itu?”

“Ya…” sahutku singkat.

“Tapi…” lanjut Kapten. Sepertinya ia masih belum mengerti semuanya.

Lalu ku jelaskan bahwa saat suara ledakan yang terjadi di warkop tadi adalah ulahku. Itu merupakan sebuah alat kejut yang jika meledak maka akan memutuskan aliran listrik untuk sementara waktu. Ku lakukan itu agar lelaki bernama Uki tadi tidak melarikan diri.

“Begitu lampunya mati, aku langsung mengambil ponsel Uki tanpa disadarinya. Posnsel itu, adalah bukti penting.”

“Lalu, suara tembakan tadi…?” tanya lagi kapten.

Ya, suara tembakan itu memang Uki sendiri yang melakukannya. Barangkali ia panik saat lampu di warkop itu padam dan ingin melarikan diri. Saat itu pula aku sigap menahannya. Saking paniknya, ia mengambil pistol. Tapi aku sudah lebih dulu mengarahkan pistol itu ke atas, ku rampas senjata tersebut di dalam jubahku agar orang lain tidak bertambah panik.

Jika orang-orang di warkop itu sadar, ada sedikit kerusakan di bagian atas warung. Mungkin, hanya sebuah lubang kecil.

“Aku gak nyangka kau bakal melakukan itu semua seorang diri.” ujar Kapten.

“Kan udah ku bilang, aku gak pernah nganggap remeh penjahat ini. Begitulah caraku.”

Kapten Gabriel akhirnya paham. Setelah itu, kami melanjutkan perburuan Sayuti. Semua informasi sudah didapat, tinggal tiba di tempat setepat waktu mungkin. Itu karena, bisa saja si bandar itu akan kabur.

“Boleh aku yang kasih perintah?” bisikku kepada Kapten. Ia mengangguk.

Aku langsung membentuk tim Leo menjadi dua bagian. Tim A akan menuju ke kampung Bukèt, sisanya tim B ke arah pusat kota.

“Kapten, aku akan bergabung dengan tim A, dan kau di B. Dari sini kami akan langsung menuju ke tempat target, sisanya Kapten tunggu di pusat kota. Ku pikir, ada sebuah tempat pas di sana untuk berjaga-jaga jika si buronan berhasil kabur.” Ujarku.

“Maksudmu di simpang Mangga dua?” tanya Kapten. Aku mengangguk.

“Jadi kami akan melihat pergerakan buronan dari arah jalan Bermekar — itu karena dari kampung Bukèt — ada kemungkinan dia kabur ke jalan Bermekar. Dari situ dia dipastikan akan ke simpang Mangga dua. Apa begitu, detektif?”

Aku mengangguk lagi. Intinya adalah persiapan dalam perkiraan. Sebab, Sayuti memegang senjata berteknologi canggih. Di kota ini, hanya dia seorang yang punya senjata secanggih itu, para polisi lain belum sampai ke tahap itu.

Oleh karenanya, jika ia berhasil kabur, akan banyak kemungkinan-kemungkinan buruk terjadi. Mungkin, korban luka-luka atau bahkan yang mati pun tak dapat dielak.

“Sayuti ini… dia penembak jitu, punya lisensi resmi dari kepolisian. Sudah sepatutnya kita waspada pergerakannya, sebab dia bukan orang biasa.” ujarku.

“Aku paham. Tapi, lagi-lagi kau berargumen seolah-olah kau sudah tau kemana ia akan kabur. Dari penjelasanmu tadi, seyakin mana dirimu…?”

“Itu semua firasatku. Dan… aku selalu memperhitungkannya dengan bijak”

“Mulai sekarang aku tak lagi meremehkan firasatmu…” tutur Kapten Gabriel.

Di Kampung Bukèt

Aku melihat jam sudah di pukul 12 pas. Tengah malam adalah aksi yang sangat efektif untuk melarikan diri dengan cara membabi buta.

Di sebuah rumah bernomor 14, gelap, tapi ada secercah cahaya yang dapat terjangkau oleh mata. Saat ini, aku tak tahu ada berapa orang di dalam sana. Tim Leo yang sudah ku bagi menjadi dua terdiri dari lima orang, tidak termasuk diriku.

Aku mengajak dua polisi, Arjuna dan Darko, sisanya mereka berjaga di depan. Tapi ku pinta kepada dua polisi ini untuk waspada, sebab ada kemungkinan jika Sayuti kabur, barangkali ia akan keluar dari arah belakang. Jika demikian, hal terakhir yang dapat ku lakukan adalah, menyerahkan semuanya pada tim Leo A di pusat kota sana.

Arjuna, Darko, dan aku langsung masuk. Kami sepakat untuk masuk lewat belakang. Situasinya begitu sunyi hingga sepertinya, langkah kami di atas kerikil ini terdengar lebih bising dari biasanya. Itu dapat ku pastikan dengan padamnya lampu di dalam rumah ini sesaat kami berada di halamannya.

Aku memberi kode untuk menyelinap masuk dari sebuah jendela yang terbuka begitu saja. Aksi diam-diam ini sukses membuat kami berada di dalam… setidaknya untuk sementara masih aman, pikirku.

Aku yakin, yang kami masuki ini adalah sebuah kamar, ada ranjang yang tak berkasur, penuh dengan jaring laba-laba. Di bawah ranjang itu, ku temui sebuah senjata AK-47 yang kosong. Dua polisi ini langsung mendekati pintu kamar, aku sudah bersiap dengan pistol. Begitu pintu itu dibuka oleh Arjuna,

kreeeekkkk…

Sialan, ternyata suaranya agak bising. Tapi tak ada waktu untuk berpikir ini itu, aku langsung berjalan ke depan dan mengarahkan pistol ke kiri, lalu dengan cepat ku banting ke arah kanan — kosong.

Arjuna dan Darko sudah menyiapkan ancang-ancang di belakangku. Aku lalu menunduk dan ku letakkan jari telunjuk kananku ke lantai. Ku pejamkan mata sesaat dan mencoba fokus mendengarkan ke mana firasatku ini menunjukkan arah. Lalu ku buka mata, ku tatap mereka sambil memberi isyarat ke sebelah kiri. Mereka langsung berjalan dengan Darko menghadap ke depan dan Arjuna ke belakang.

Senter di helm Arjuna sama sekali tidak membantu penglihatan. Dalam situasi gelap gulita ini, aku harus siap terhadap kejadian-kejadian di luar dugaan.

Di tengah perjalanan mencari, tiba-tiba ada cahaya lampu yang nyala begitu saja dari sebuah kamar lainnya. Dan dengan gegabahnya Darko berlari memasuki kamar itu.

“woy tunggu…” ujarku, tapi dia tak menghiraukannya. Keparat!!!

Dan

Dor dor…

Sepertinya Darko tertembak. Aku dan Arjuna bergegas ke sana, benar saja, ia sudah terbaring tak berdaya. Kedua kakinya penuh darah.

“Menyerah sekarang, kau sudah terkepung!!!” teriak Arjuna, ia mengarahkan pistol ke arah Sayuti yang berdiri tenang saja di sudut ruangan.

Dengan santai Sayuti meletakkan senjatanya di lantai dan mengangkat kedua tangan.

“Lalu sekarang apa…?” Sayuti melayangkan sebuah pertanyaan sebagai bentuk meremehkan kami.

“Setelah itu…” sahut Arjuna, ia lalu berbalik dan menodong pistolnya tepat ke kepalaku. Posisi Arjuna dan diriku memang tidak berjauhan.

“Detektif, kau yang menyerah sekarang…” ujar Arjuna.

Ternyata, memang Sayuti tidak sendirian. Polisi ini merupakan rekannya.

“Letakkan senjatamu, Detektif…”

“Atau apa?” sahutku.

Sepertinya Arjuna sedikit kesal dengan ucapanku. Ia mengarahkan pistol itu ke kakiku dan bersiap menembak.

“Jangan kau pikir dirimu detektif, aku meragu. Aku gak segan-segan menembakmu sekarang.”

Bersamaan dengan itu, aku pun tersenyum yang membuat Arjuna semakin panas. Dan…

Tuk tuk tuk…

Ya, pistol Arjuna tidak ada pelurunya. Aku sudah menggantinya dengan pistol kosong saat kami memasuki rumah ini dari jendela tadi. Dan sepertinya dia memang tak menyadari pergerakanku ini.

Tahu senjata itu kosong, saat ia memalingkan wajah ke arahku, langsung sebuah sikut kiriku mendarat mulus di leher bawah kirinya, seketika Arjuna terpental ke lantai.

Melihat rekannya sudah tak berkutik, Sayuti bergegas mengambil lagi senapan yang tadi dengan sombongnya ia letakkan di lantai. Tapi pergerakannya terlalu lamban, kakiku spontan menendang pistol milik Darko yang mengenai tepat dahinya. Lelaki itu pun tersungkur, tapi masih dalam keadaan sadar, hanya sedikit pusing.

Setidaknya aku punya beberapa waktu untuk membereskan dua bandit ini. Aku menyeret Sayuti ke tempat Arjuna, kedua tangan mereka ku borgol dalam posisi saling membelakangi . Setidaknya untuk sesaat dapat menahan pergerakan.

Sedangkan Darko dalam posisi tidak baik-baik saja, aku langsung menghubungi ambulan. Sebelumnya, ku koyak kaos putih yang dikenakan Sayuti untuk menutup luka tembak di kaki polisi ini. Wapaupun tak ada jaminan darahnya akan berhenti dalam waktu singkat.

Pssssttt

Suara HT Darko berbunyi.

“Tim Leo B, bagaimana perkembangan situasi?”

Dari suara dapat ku pastikan itu Kapten Gabriel.

“Lapor, di sini detektif Jimmy… situasi aman terkendali. Kami butuh ambulan segera, satu personel terluka.”

“Siap, dimengerti. Ambulan dan tim Leo B akan segera ke sana dalam waktu lima menit.”

“Dimengerti, Kapten.”

Selesai membalut kaki Darko, tak lama dua polisi yang tadinya berjaga di pos depan menyusul kami ke dalam. Mereka berdua terkejut karena Arjuna yang ku borgol, dan Darko yang terluka.

“Darko kena tembak, lukanya tidak dalam tapi dia butuh pertolongan segera.” ujarku.

“Dimengerti detektif.”

Salah satu dari mereka merawat Darko, dan yang satunya masih menatap Arjuna dalam kondisi pingsan.

“Dia terlibat…” kataku.

“Bagaimana bisa?” tanya Zaydan.

“Banyak hal terjadi, aku sudah mencurigainya sejak awal aku ke kantor kalian.”

Tepat lima menit kemudian, Kapten Gabriel, tim Leo B dan tim medis sampai. Darko langsung dibawa ke klinik terdekat.

“Apa Arjuna sejauh ini terlibat, detektif?” tanya Kapten.

“Dia anak muda yang pintar. Tapi sayang, semua rahasianya udah terbongkar waktu pertama kali aku tiba di sini.”

“Kenapa kau gak mengatakannya dari awal?”

“Kalo begitu, rencananya gak bakal semulus ini.” sahutku.

Memang semua hanya firasatku saja. Tapi, jika saat itu aku langsung membeberkan Arjuna ini adalah dalang di balik kegelapan, kemungkinan Sayuti melarikan diri akan lebih besar. Setidaknya, itulah yang aku dapat dari Uki.

Lelaki itu mengatakan padaku sebelumnya bahwa Arjuna akan menjumpai Sayuti di rumah ini sebelum pukul satu. Jika dia tidak sampai dalam waktu itu, maka artinya ada apa-apa yang sedang terjadi. Dan ini akan membuat Sayuti kabur.

Oleh sebab itu, ku biarkan saja Arjuna bermain peran, agar semua tidak ada yang curiga. Lagipula, aku sudah mengatur waktunya sesuai dengan keinginanku atas informasi Uki.

Selain itu, ia juga mengatakan, jika Arjuna tidak sampai di rumah kampung Bukèt itu di jam yang sudah ditentukan, maka Sayuti akan menuju ke jalan Bermekar, tepatnya di simpang Mangga Dua. Uki mengatakan bahwa nanti di sana si bandar ini akan mengambil motor dan melarikan diri ke pusat kota. Dari pusat kota nanti Sayuti akan bergegas ke Kampung Cöt Baèt untuk singgah ke rumah sahabat lamanya. Dan besok pagi dari sana, ia akan pulang ke kampung halamannya.

Akan tetapi, Sayuti hendak mengambil rute yang dikatakan oleh Uki, bagiku itu kecil kemungkinan. Itu sebab adanya Arjuna yang akan memberi kabar kepada dirinya. Oleh karena itu, aku meyakini dia akan mengambil jalan Juni 06 menuju ke pusat kota. Karena, selain jalan Bermekar, hanya rute itu saja yang jaraknya dekat ke simpang Mangga Dua dibanding jalan lainnya.

Dan jika Sayuti memilih jalan Juni 06, aku sudah memberi kabar kepada timku sendiri untuk melacak keberadaannya. Ya, sebelum aku tiba di kota ini, aku sudah membentuk tim khusus untuk berjaga-jaga jika semua rencana tidak berjalan sesuai prediksi.

Juga, terkait Sayuti yang akan ke kampung Cöt Baèt, aku juga sudah menginstruksikan timku ke sana tepat setelah Uki mengatakannya padaku. Demikian juga kepada timku yang lainnya, untuk bergerak cepat ke kampung halaman si bandar ini, seandainya lelaki tersebut kembali lolos. Bisa dikatakan aku punya lima tim, masing-masing berisikan sepuluh anggota, termasuk sahabatku, Benny.

Semuanya sudah ku atur sedemikian rupa sebab seperti yang ku katakan, Sayuti merupakan buronan tingkat tinggi yang tak bisa dianggap remeh. Tapi, hadirnya Arjuna memudahkan segalanya. Berkat isi pesan singkat Uki, Sayuti dan dirinya di hape-nya Uki yang berhasil ku ambil saat insiden di warkop, aku mulai memahami alur kasus ini.

Dan lagi, pergerakan Arjuna yang ku persempit membuat dirinya sulit untuk memberi kabar terkini kepada Sayuti. Alasanku membagi tim Leo menjadi dua dan memasukkan Arjuna ke dalam timku, itu merupakan strategiku yang tak diketahui oleh siapapun termasuk Kapten Gabriel.

Bukan apa-apa, sejak Letnan Tiyo menugaskan kasus ini padaku, aku ragu terhadap kerja para polisi di sini. Itu pun terbukti saat aku tiba paginya, banyak dari mereka yang bersantai di saat jam kerja. Perawakan yang tak bersahabat saat aku mengajukan pertanyaan kepada seorang polisi di kantor tadi pagi, membuat kesabaranku habis.

Tapi, misi tetaplah misi, meskipun aku berkesimpulan bahwa timku dan diriku sendiri mampu mencari keberadaan Sayuti tanpa bantuan personel dari Kapten Gabriel. Meskipun begitu, instruksi Letnan Jey tetap harus ku hargai.

Markas Besar Polisi Lhök Juröng

Aku menanti kehadiran Kapten Gabriel di ruang tunggu. Sambil merokok, pemandangan yang ku benci masih saja terlihat jelas di mataku, sebagian polisi yang bersantai di jam kerja.

Sialan, apa mereka gak ada kesibukan nyata???

Gumamku dalam hati.

Dua menit berselang, Kapten menemuiku dan mempersilahkanku masuk ke ruangannya.

Ruangan yang sangat luas, ada dua AC juga tiga kipas angin besar, semuanya nyala membuat tubuhku tak tahan akan sejuknya.

Kapten duduk di tempat kerjanya, ia juga mempersilahkanku.

“Mereka akan disidang minggu depan.” ujar Kapten.

Aku lalu memberi sebuah catatan, berisi tentang anak buah Sayuti yang belum tertangkap.

“Catatan ini barangkali akan perlu, sabab jika ada salah satu dari anak buah Sayuti yang kembali kabur ke sini, Kapten bisa langsung mengejarnya.”

“Aku mengerti, akan kami berikan info ter-update mengenai buronan ini. Makasih udah bekerja sama. Baru kali ini aku kerja denganmu, detektif.”

Aku mengangguk dan bergegas keluar.

“Barangkali, ngopi santai bentar, ya sebagai ucapan terima kasihku untukmu.”

“Yaa, boleh juga.”

Di warkop Kuphi

Kapten Gabriel masih tak percaya bahwa satu anak buahnya terlibat sebagai tersangka. Bagiku, itu wajar. Terlepas dari apa niat Arjuna, biar menjadi alasannya saja.

“Tapi, aku tak pernah menduga bahwa kau akan beraksi se “sunyi” itu.” ujar Kapten.

“Aku sudah menghadapi banyak kasus, kemungkinan rencana yang sudah diatur bisa saja tidak berjalan sesuai harapan. Aku hanya mencoba merealistiskan kemungkinan-kemungkinan, walaupun ku akui sebagiannya di luar dugaan. Tapi ku lakukan itu sebagai bentuk bahwa aku tak ingin menganggap remeh bandit.”

Kapten mengangguk.

“Aku tak pernah tau apa yang akan dilakukan oleh Arjuna dan Sayuti pada malam itu. Tapi, strategi yang sudah kita atur bersama, aku hanya memercayainya lebih dari apapun.”

Kapten meneguk kopinya yang masih berasap-asap. Lalu membakar rokok, aku pun juga.

“Sejak kejadian di warkop itu, aku mulai paham seperti apa kau orangnya.” ujarnya.

“Tapi… ku pikir ada hal yang ingin kau sampaikan padaku…?” lanjut kapten.

Aku menarik dalam rokok mungil ini, bersamaan dengan embusan asap, aku berujar,

“ada baiknya kau harus sedikit lebih tegas kepada bawahanmu. Bersantai saat jam kerja bukanlah sebuah hal sepele. Mereka harus mulai menyadari prioritas wajib sebagai polisi. Tapi ku yakini, kau juga beranggapan sama sepertiku, kan…”

Kapten mengangguk. Tak lama setelah itu, Benny dan Teo pun bergabung bersama.

Memang, Sayuti sebagai bandar narkoba yang paling dicari sudah tertangkap. Tapi di luar sana masih ada Sayuti-Sayuti lain yang menurutku lebih berbahaya.

Aku sendiri tak pernah tau, keahlian macam apa yang mereka punya. Tapi, mencari informasi lanjutan adalah langkah untuk menuntaskan kasus demi kasus. Walaupun ku ketahui di kota Lhök Juröng ini, banyak mafia yang bebas berkeliaran. Dan butuh waktu untuk menuntuaskannya. Aku sendiri tidak begitu yakin sebab banyak yang bermain… sebagian besarnya adalah para polisi nakal.

— breaking reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet