Di Dalam Buku Harian Jimmy

Prolog 5

Reza Fahlevi
9 min readJun 1, 2024

Tahun 1994, di Desa Kiri no Mori

— —

Sejak menyelesaikan misi mengambil setangkai bunga berwarna biru, kini Khalid sudah melakukan berbagai macam latihan di desa Kiri no Mori. Mulai dari memanjat tebing, memanjat tembok hanya dengan perlengkapan seadanya, hingga latihan bertarung dengan sesama shinobi; Khalid melaluinya dengan suka duka.

Tuan Hatake sendiri percaya bahwa anak didiknya itu merupakan sosok yang cerdas. Namun begitu, sang anak didik memang harus berusaha keras untuk menjadi Ninja. Meskipun pengetahuan laki-laki itu tentang Ninja sudah tak perlu diragukan lagi, tapi kemampuannya untuk bertarung seperti Ninja masih di bawah rata-rata. Hal ini yang membuatnya sedikit lambat untuk berkembang.

Walau demikian, Tuan Hatake melihat ada potensi besar yang dimiliki oleh Khalid. Sang mantan pemimpin Ninja ini sudah melatih begitu banyak shinobi — mereka semua memiliki kemampuan serta sikap yang berbeda-beda. Tapi, dari sosok Khalid, Tuan Hatake merasa seperti ada sesuatu yang berbeda dari laki-laki itu.

Memang, sampai saat ini sesuatu yang berbeda itu masih belum terlihat jelas oleh Tuan Hatake. Tapi seiring waktu berjalan, juga seiring proses latihan yang Khalid lalui, mantan pemimpin Ninja itu percaya bahwa sebuah potensi besar akan muncul dalam diri anak didiknya tersebut. Barangkali, syarat agar potensi itu menjadi nyata, maka Khalid harus bersungguh-sungguh menjalani latihan yang cukup berat.

Di waktu subuh

Khalid sudah selesai menunaikan salat Subuh. Lantas, ia pun segera keluar dari dalam kamarnya menuju tempat latihan. Ada ruangan rahasia di kuil tempat lelaki itu menetap yang memang digunakan khusus sebagai lokasi berlatih — tempatnya ada di bawah tanah.

Khalid pun berjalan menuruni anak tangga yang jumlahnya tak terhitung. Saat kali pertama dia menuruni tangga ini, ia cukup kewalahan. Tapi setelah melaluinya beberapa kali, lelaki itu sudah mulai terbiasa. Ia tak perlu takut terhadap pernapasan karena dia sudah mampu mengontrolnya.

Begitu Khalid tiba ke tempat latihan, ia berdiri sambil menatap para shinobi yang sedang berlatih. Ketika mereka menyadari kehadiran lelaki itu, semua mata tertuju padanya.

Para shinobi segera berkumpul dan berbaris lurus di kiri dan kanan, seolah-olah sedang memberi penghormatan serta mempersilahkan Khalid berjalan melewati mereka dari sisi tengah. Lantas laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan perlahan-lahan — sambil berjalan, dia tak henti-henti melirik ke kiri dan kanan, menatap para shinobi yang mengenakan topeng khas mereka.

Tepat di langkah yang ke sepuluh, Khalid menolehkan kepala lurus ke depan — sekitar beberapa meter di sana terlihat Tuan Hatake. Pria kekar itu berdiri dengan cukup gagah dan penuh kharisma.

Melihat Tuan Hatake di depannya, Khalid pun segera merundukkan kepala untuk memberi penghormatan kepada sang guru.

“Ini akan menjadi hari yang panjang.” ujar Tuan Hatake dalam bahasa Jepang.

Khalid tidak menyahut apa-apa — dia masih dalam posisi merundukkan kepala. Di sisi lain, sang mantan pemimpin Ninja itu menatap Khalid dengan cukup serius, lalu bertanya, “apa kau siap melaluinya?”

“Asalkan aku tidak melewatkan rutinitas kewajibanku… itu semua tidak masalah.”

Tuan Hatake mengumbar senyuman saat mendengar perkataan Khalid. Ia cukup paham maksud lelaki itu yang mana dirinya sama sekali tak ingin meninggalkan waktu salat.

“Selain cerdas, kau juga cukup religius — karna itu aku tak pernah ingin mencampuri urusanmu setiap saat kau melakukan gerakan-gerakan serius itu.” sahut Tuan Hatake.

Khalid berdiri di atas kayu balok yang super besar dan padat, serta juga menjulang lumayan tinggi dari pijakan lantai. Ia tidak mengenakan baju, hanya memakai celana panjang saja. Wajah dan sekujur tubuhnya basah dengan keringat.

Ada banyak kayu balok yang tersusun rapi, dan di bawahnya, enam shinobi berdiri gagah sembari memegang tombak yang mereka arahkan kepada Khalid. Shinobi-shinobi itu mencoba melukai laki-laki tersebut — sedangkan Khalid mencoba sebisanya menghindari tombak-tombak yang datang hendak menusuk kakinya.

Khalid tak berhenti menghindar, bahkan ia juga tak jarang melompat dari satu kayu balok ke kayu yang lain agar tombak itu tidak melukai dirinya. Beberapa percobaan masih berjalan mulus, namun di satu kesempatan sebuah tombak meluncur deras menuju sisi kiri betisnya. Khalid lantas melompat ke kanan namun dia mendarat dengan sedikit buruk. Hal itu membuatnya seketika jatuh dari atas kayu balok. Untungnya, ia langsung menggerakkan kedua tangan untuk berpegangan di ujung permukaan kayu. Kini, lelaki itu bergelantungan sambil terus mempertahankan dirinya agar tidak jatuh.

Menolak menyerah, Khalid memaksa diri mengangkat tubuhnya agar bisa berada di atas kayu balok. Perlahan-lahan ia mampu memanjat tapi kemudian malah gagal. Di momen ini, sambil bergelantungan dia melirik ke arah Tuan Hatake yang sedang menonton dirinya berlatih.

Tatapan tajam Tuan Hatake spontan membuat nyali Khalid bergejolak — ia berteriak lantang sembari terus mencoba mengangkat beban tubuh.

“Aaaaaaaaa…” teriak Khalid.

Tak lama berselang, Khalid berhasil berada di atas permukaan kayu. Ia berjongkok sejenak dan mencoba mengontrol laju pernapasan. Saat dirinya sudah bernapas dengan normal, lelaki itu pun berdiri dan melirik kepada enam shinobi yang memegang tombak.

Wajah Khalid terlihat lebih serius — ia merasa seperti sudah lebih siap untuk melanjutkan latihan.

“Ku harap kalian tidak meremehkanku setelah melihat kejadian tadi…” gumam Khalid.

Perkataan Khalid terdengar jelas oleh Tuan Hatake, dan sang mantan pemimpin Ninja itu hanya merespon dengan senyuman saja. Dari lekukan bibir, terlihat jelas bahwa ia merasa sedikit bangga melihat kegigihan sang anak didik.

Memasuki waktu petang — saat ini Tuan Hatake dan Khalid sedang berada di tengah-tengah alam — tepat di tengah hamparan es yang membeku. Langit terlihat cukup gelap, hanya ada sedikit serpihan cahaya matahari yang sesaat lagi akan tenggelam.

Khalid menyadari bahwa waktu untuk menunaikan salat Magrib sudah tiba. Lantas, setelah mengganti pakaian serta bertayamum, ia pun mulai melaksanakan salat.

Tuan Hatake hanya duduk di dekat api unggun sambil memperhatikan Khalid melakukan salat. Hatinya sesekali bergumam bahwa ia merasa beruntung dipertemukan dengan sosok laki-laki seperti Khalid. Sebelumnya, sang mantan pemimpin Ninja itu belum pernah menemui orang yang cukup religius hingga kemudian dia melihat langsung dari laki-laki belia tersebut.

Sepuluh menit berselang

Khalid selesai melakukan salat, dan dia langsung bergabung dengan Tuan Hatake. Ketika laki-laki itu duduk di sebelah gurunya, ia lantas bertanya.

“Kenapa kau mengajakku ke sini?” tanya Khalid.

“Pemulihan — kau sudah berlatih sepanjang hari tanpa henti. Jadi, untuk memulihkan fisik dan batinmu, aku mengajakmu menikmati pemandangan.” jawab Tuan Hatake.

Khalid malah spontan mengekeh kecil. “Pemandangan apa…? yang terlihat hanya awan hitam yang tertutup oleh kabut.”

“Aku menyuruhmu menikmati… bukan untuk melihat.” balas Tuan Hatake.

Khalid pun paham maksud sang guru, dan ia hanya meresponnya dengan anggukan.

Dalam beberapa menit setelahnya, mereka berdua tidak saling berbicara. Sikap keduanya membuat situasi terasa sunyi; tak ada suara yang masuk ke dalam telinga kecuali hanya desir angin. Di momen ini, Khalid mengambil kesempatan untuk membaringkan tubuhnya.

Sembari berbaring dalam posisi telentang serta kedua tangan yang ia bentangkan, Khalid pun memejamkan kedua mata. Ia mengikuti perkataan Tuan Hatake yaitu, menikmati pemandangan menggunakan batin.

Di samping itu, Tuan Hatake melirik Khalid. Ia tahu bahwa anak didiknya itu sangat kelelahan sebab di hari inilah ia baru merasakan proses latihan yang cukup panjang. Tidak hanya panjang, latihannya pun juga sangat berat hingga tidak hanya fisik yang terkuras, tapi kejiwaan Khalid juga pasti lelah.

Setelah situasi sunyi nan panjang, Tuan Hatake lantas memecah keheningan.

“Apa kau merasakan sesuatu?” tanya sang mantan pemimpin Ninja.

“Hmmm… entahlah” sahut Khalid, “tapi, sepertinya momen ini sudah cukup membuatku merasa sedikit lebih baik walaupun cuacanya sangat dingin.”

Tuan Hatake berdiam diri sejenak — dan setelah beberapa detik, dirinya melanjutkan, “saat kau sudah menghabiskan semua proses latihan dan menjadi Ninja yang sesungguhnya, kau akan mengalami banyak hal. Hal-hal itu… barangkali dapat mengubah kepribadianmu.”

Dalam posisi yang masih memejamkan mata, Khalid membalas, “kepribadianku bahkan sudah lebih dulu berubah saat aku kehilangan satu per satu orang yang ku cintai. Kepergian mereka sudah cukup membuatku merasa seperti dicabik-cabik — hatiku tercabik-cabik.”

“Kau benar… mungkin kejadian-kejadian itu sudah mengubah dirimu. Tapi, menjadi Ninja adalah perkara lain. Kau akan mengalami hal-hal yang lebih berat dari sekedar kehilangan. Tak ada lagi dunia indah untukmu — kau akan menjadi orang yang dicari-cari. Musuh akan mencarimu untuk menyiksamu.”

“Musuh mencariku…? jujur saja, aku tidak masalah dengan hal itu. Bahkan jika mereka ingin menyiksaku, aku tak pernah takut.”

“Itulah yang menjadi titik permasalahannya.” pungkas Tuan Hatake.

Khalid tak mengerti dengan ucapan gurunya itu. Maka, ia membuka pejaman mata dan mulai kembali duduk. Kedua mata lelaki itu menatap serius Tuan Hatake.

“Permasalahan…?” tanya laki-laki itu dengan cukup penasaran.

“Maksud dari musuh mencarimu… bukan berarti mereka benar-benar mencarimu. Musuh mencari kelemahanmu dan dari kelemahan itu mereka akan menyiksamu. Kita sudah berulang kali berbicara tentang orang-orang yang sudah tak lagi bersama kita. Aku mendengar semua penjelasanmu, dan ku coba ambil kesimpulan… dari semua orang yang sudah pergi meninggalkanmu, bisa ku rasakan betapa terpukulnya dirimu. Bahkan, ada beberapa momen saat latihan, kau sempat hilang kendali karna aku terus menyinggung sosok-sosok yang sudah pergi dari sisimu. Jadi, bisa ku bayangkan… barangkali kelemahanmu ada dalam diri orang-orang yang kau cintai. Kau itu sebenarnya tipe laki-laki penyayang — karna itu setiap saat kau kehilangan orang-orang terdekat, kau cukup terpukul. Dan karna kau merasa terpukul, terkadang kau bisa lepas kendali dan sulit mengontrol emosi. Inilah makna di balik proses latihan pengendalian emosi. Dan… kau harus tau… kelemahanmu itu bisa dijadikan misi terselubung oleh musuh untuk menyiksamu secara tak langsung.”

Khalid terdiam seribu bahasa ketika mendengar penjelasan panjang lebar dari Tuan Hatake. Ia sama sekali tak memiliki kata untuk membalas ujaran sang guru, kecuali hanya merasa bahwa setiap perkataan guru mengenai dirinya benar-benar tepat. Ia tak bisa mengelaknya.

“Kehidupan Ninja itu sangat rahasia — karna itu, menjadi Ninja tak cukup dengan merahasiakan diri kita saja. Seorang Ninja juga harus merahasiakan semua hal yang berkaitan dengannya — termasuk para kerabat. Bahkan, saat kau menjadi Ninja, kau tak bisa sembarangan jatuh cinta sebab perempuan yang kau cintai itu bisa menjadi sasaran musuh untuk menyiksamu.”

Sebenarnya, tujuan Tuan Hatake mengajak Khalid menikmati pemandangan di tengah dinginnya cuaca bukan tanpa alasan. Ia ingin mengatakan pada sang murid bahwa menjadi seorang Ninja, maka akan ada banyak yang harus dikorbankan.

“Aku juga pernah mengalami rasa sakit ketika satu-satunya perempuan yang ku cintai — istriku sendiri — tewas. Dia bagaikan bidadari yang menghangatkan tubuhku — tapi musuh menyadari kehadirannya di sampingku, dan mereka pun merenggut satu-satunya perempuan yang ku cintai dari dunia ini. Aku paham rasa sakitnya… penderitaannya… luapan emosinya… aku juga sempat hilang kendali saat itu meskipun sejatinya aku merupakan Ninja profesional yang sudah cukup terlatih dari segi fisik dan jiwa. Pengendalian emosiku tak perlu diragukan lagi — tapi semua hancur ketika orang yang ku cintai tewas. Aku sempat lupa bagaimana kehidupan Ninja — aku sama sekali bukan Ninja pada momen itu terjadi. Dan kau tau…? Musuh hampir saja berhasil membunuhku tak lama setelah istriku terbunuh. Itu terjadi sebab mereka sudah tau sisi kelemahanku… sisanya tinggal menunggu waktu sampai aku menyerah. Untungnya… waktu itu tak pernah datang, dan aku memilih untuk tidak menyerah. Hanya saja, untuk kembali seperti semula bukan perkara mudah. Aku harus menjalankan misi dengan jiwa yang penuh dengan depresi, di mana rasanya seperti ada api yang membakar jiwaku.”

Itu merupakan kejadian yang jauh di masa lalu. Saat Tuan Hatake menjalankan sebuah misi di malam hari, ia malah mendapat kabar musuh berhasil menawan istrinya. Waktu itu, ia berada dalam pilihan tersulit.

“Aku harus memilih… meninggalkan misi lalu menyelamatkan istriku — atau tetap melanjutkan misi dan merelakan istriku.” kata Tuan Hatake kepada Khalid.

Meskipun berhadapan dengan pilihan yang sulit, Tuan Hatake tidak memilih salah satu dari dua pilihan itu. Ia malah mengambil pilihan dari dirinya sendiri.

“Aku memilih pilihan ketiga yang datang dari diriku sendiri yaitu, melanjutkan misi sekaligus menyelamatkan istriku. Aku memang sukses menjalankan misi itu, dan saat diriku juga hampir berhasil menyelamatkan istriku, di situlah takdir tidak merestuinya. Padahal, sedikit lagi… sedikit lagi aku membawanya kabur dari markas musuh — sayang sekali dia harus tewas di sana. Sampai sekarang, aku tak tau ke mana musuh membawa jasad istriku — aku tak pernah bisa memeluknya untuk yang terakhir kali.” lanjut pria itu.

Mata Khalid berkaca-kaca ketika mendengar ungkapan hati Tuan Hatake. Ia seperti membayangkan istri sang guru yang terbunuh di tangan musuh — juga membayangkan betapa hancurnya hati Tuan Hatake.

“Pasha…” gumam Tuan Hatake kepada Khalid, “cepat atau lambat kau akan berada di posisi yang sama sepertiku sebagai seorang Ninja. Dan cepat atau lambat… seluruh kehidupanmu akan berbeda — takkan ada lagi yang sama. Kelak kau kan mengerti, kau takkan lagi memiliki teman, kau takkan lagi memiliki saudara, kau juga takkan pernah bisa lagi jatuh cinta. Semua sudah sangat tertutup bagimu dan bagi orang lain. Kau harus menjaga rahasiamu dan orang-orang terdekat darimu. Kau akan menjadi orang yang cukup asing di tengah keramaian. Itu karna… kau sudah menjadi seorang Ninja. Tak ada yang lebih besar daripada misi. Dan keberhasilanmu dalam menjalankan misi, semua tergantung dari seberapa misterius dirimu itu. Dan… agar kau menjadi cukup misterius, kau harus memastikan tak ada satu pun rahasia yang tersebar ke telinga musuh… bahkan rahasia orang-orang terdekat darimu.”

Tuan Hatake berkata demikian bukan untuk menakut-nakuti Khalid. Ia mengatakannya agar lelaki itu sadar bahwa di saat dirinya kembali ke Kota Banda Jivah, maka sosok Khalid yang selama ini ada padanya sudah tak ada lagi. Sosok Khalid sudah hilang dan lenyap seiring dirinya menjadi Ninja.

Jika pun tidak hilang, maka Khalid harus memaksakannya agar lenyap. Sebab, jika tidak, maka musuh bisa dengan mudah membunuhnya.

Barangkali, musuh tidak membunuh Khalid secara langsung. Tapi dengan mereka yang berhasil membunuh orang-orang terdekat dari lelaki itu, hal tersebut sudah cukup untuk menghancurkan Khalid dari dalam sebab mereka yang menjadi musuh telah mengetahui titik kelemahan lelaki itu.

--

--