Di Dalam Buku Harian Jimmy

Prolog 4

Reza Fahlevi
9 min readMay 26, 2024

Tahun 1994, di desa Kiri no Mori

— —

Hujanan salju nan lebat serta tiupan angin yang cukup kencang sudah cukup mendeskripsikan ekstremnya cuaca saat ini di daerah Kiri no Mori. Khalid berjalan seorang diri di tengah hamparan tanah yang tertutup lebat oleh tumpukan salju. Ia mengenakan pakaian yang tebal dan juga menutupi kepalanya dengan topeng — hanya matanya saja yang kelihatan.

Setelah menghabiskan selama beberapa jam, Khalid akhirnya kembali ke kuil tempat dirinya menetap. Kuil ini memiliki banyak anak tangga dan ia menaikinya hingga kemudian sampai ke puncak. Tepat di depan pintu yang berdiri gagah, lelaki itu mengetuknya dengan lemah. Dan sesaat kemudian, pintu tersebut pun terbuka dengan sendirinya.

Melihat itu, pancaran mata Khalid yang awalnya sudah sayu tak berdaya, seketika berubah menjadi cerah. Ia lantas berjalan dengan perlahan-lahan memasuki kuil. Ketika berada di dalam, terdapat beberapa orang yang berdiri berjejeran di sebelah kanan dan kiri. Mereka adalah para shinobi — semua mengenakan pakaian serba hitam serta memakai topeng dengan ciri khas Ninja. Selain itu, terdapat pedang di punggung masing-masing.

Khalid terus berjalan melewati para shinobi itu. Di tengah melangkah, matanya tak henti-henti melirik ke kanan serta kiri — ia memperhatikan setiap shinobi yang berdiri siaga bagaikan menanti musuh. Saat lelaki itu memandang lurus ke depan, dirinya melihat ada seorang bertubuh kekar berdiri gagah. Sosok itu juga berpenampilan seperti Ninja, lengkap dengan topeng.

Dari celah topeng yang tidak menutupi mata, Khalid langsung menyadari bahwa sosok yang sedang berdiri di hadapannya itu adalah Tuan Hatake. Lantas lelaki belia itu berjalan mendekat kemudian merundukkan kepalanya sembari tangan kanan mengambil sesuatu dari dalam saku baju.

Setelah mengambil setangkai bunga berwarna biru dari dalam saku, Khalid lantas memperlihatkannya pada Tuan Hatake.

“Aku sudah mendapatkannya…” ujar Khalid.

Tuan Hatake mengumbar senyuman. “Bagus…” balasnya, “kau bahkan hanya butuh 6 jam untuk mendapatkan bunga itu di tengah badai salju. Sejauh ini, kaulah orang tercepat yang berhasil menemukannya.”

Tuan Hatake kemudian meminta Khalid untuk berdiri tegak. Begitu tubuhnya sudah tegak seutuhnya, lelaki belia itu lantas memberikan bunga biru itu kepada sang mantan pemimpin Ninja.

“Aku mendapatkannya secara adil — sesuai dengan arahanmu.” kata Khalid.

Khalid berujar demikian karena memang sebelumnya Tuan Hatake memintanya untuk mencari bunga itu dengan caranya sendiri tanpa ada bantuan dari orang lain.

“Ya… aku tau. Aku punya banyak mata di luar sana dan melihat sendiri bagaimana kau berhasil mendapatkan bunga itu. Sejauh ini, kau sudah berhasil membuat rasa takjubku sedikit meningkat.” balas pria itu.

Tuan Hatake kemudian mengambil bunga biru itu dan menyimpannya ke dalam saku pakaian. Di sisi lain, mata Khalid jelas memperlihatkan bahwa ia sedang tersenyum bangga karena sang mantan pemimpin Ninja itu senang terhadap pekerjaannya.

“Bunga biru ini menandakan bahwa semua proses latihanmu di sini sudah dimulai…” lanjut Tuan Hatake.

Tepat setelah mengatakan itu, Tuan Hatake langsung menendang dada Khalid. Akibatnya, lelaki itu terempas jauh dan seketika ambruk. Tak berselang lama, Khalid duduk sejenak lalu mulai bangkit sambil memegang dadanya yang kesakitan.

“Tak ku sangka aku mendapatkan dua serangan mendadak — di tempat yang sama — dari orang yang sama pula.” ujar Khalid.

“Musuh tidak akan pernah sudi menunggumu sampai kau siap. Mereka pasti mencari celah untuk menyerang di saat kau lengah — karna itu kau harus peka dengan segala situasi. Apa yang ku lakukan tadi seharusnya tidak lagi membuatmu heran karna aku sudah pernah menendang dadamu sebelumnya. Jadi tak ada hal yang baru — hanya kau saja yang masih belum belajar dari kesalahan.”

“Paling tidak, bari aku waktu untuk beristirahat sebentar. Aku baru kembali dan sangat kelelahan, juga — ”

Duaakkkk…

Belum habis Khalid berbicara, Tuan Hatake lagi-lagi menendang dada Khalid. Lelaki itu pun kembali terempas jauh ke belakang hingga membuat salah satu shinobi bergegas datang untuk menahan laju tubuh lelaki itu.

“Apa kau masih belum mengerti yang ku katakan tadi? Musuh tidak menunggu sampai kau siap. Mereka akan menyerangmu saat kau lengah. Oleh karena itu…” gumam Tuan Hatake dengan suara lantang. Ia pun berjalan dengan cepat mendekati Khalid yang masih terbaring di lantai, kemudian menarik paksa lelaki itu untuk berdiri. “Jangan sampai dirimu lengah meskipun sebenarnya kau memang sedang tak berdaya.” lanjut sang mantan pemimpin Ninja.

Tuan Hatake pun mendaratkan pukulan bertubi ke wajah Khalid. Setelah serangan yang ke sekian dan membuat lelaki belia itu teroleng-oleng, Tuan Hatake lantas mengayunkan tangan kanannya dengan cukup tajam. Saat semua shinobi yang melihat kejadian itu berpikir bahwa ayunan tangan Tuan Hatake akan menjadi serangan terakhir untuk Khalid, seketika laki-laki belia itu bergerak cepat dan berhasil menangkis tangan sang mantan Ninja.

Tak sampai di situ, Khalid bahkan juga refelks menggerakkan kaki dan mencoba menendang perut Tuan Hatake. Namun, sang mantan pemimpin Ninja itu langsung menepis serangan tersebut menggunakan kedua tangannya. Masih cukup mudah bagi pria itu untuk menggagalkan serangan Khalid.

“Menarik…” gumam Tuan Hatake sembari menatap Khalid. Dari kelopak mata sang pria itu, terlihat jelas bahwa sebenarnya ia sedang mengumbar senyuman. Tapi bukan senyuman bangga melainkan senyuman mengejek.

Di samping itu, Khalid menyadari sikap Tuan Hatake yang sedang mengejeknya. Lantas, hal tersebut membuat lelaki itu tersulut emosi. Ia pun berlari kencang lalu menghujani serangan bertubi-tubi ke sekujur tubuh Tuan Hatake menggunakan tangan.

Percuma saja. Semua serangan Khalid mampu ditepis dengan mudah oleh Tuan Hatake. Hal itu menjadi semakin nyata ketika pria bertubuh kekar tersebut berhasil menangkap kedua tangan Khalid — dalam waktu yang cukup singkat, Tuan Hatake mengangkat kakinya dan menendang sisi kanan dada Khalid.

Tendangan itu spontan membuat Khalid mengerang. Akan tetapi, Tuan Hatake tidak peduli — setelah menendang, pria bertubuh kekar itu dengan sengaja melepaskan tangan Khalid. Lalu, di sepersekian detik setelahnya, ia pun meninju perut lelaki belia itu dengan cukup keras.

Khalid otomatis merunduk kesakitan tepat di saat ia mendapatkan pukulan keras di perut. Di samping itu, Tuan Hatake memukuli kedua lengan Khalid hingga lelaki itu tak sanggup lagi menggerakkannya.

Maka, melihat Khalid yang sudah semakin tak berdaya, Tuan Hatake pun mengangkat tubuh lelaki itu hanya dengan satu tangan, kemudian tanpa ampun ia membantingkannya ke lantai.

Khalid hanya terbaring pasrah setelah mendapatkan serangan itu. Ia sudah tak sanggup lagi bangkit.

Di samping itu, Tuan Hatake berjongkok di sebelah Khalid. Ia menatap ke sekujur lelaki itu mulai dari kepala hingga kaki. Tak lama berselang, pria kekar ini kemudian membuka topeng yang dikenakan oleh Khalid.

“Bahkan setelah aku membuatmu tak berdaya, kau tetap ingin bertarung. Wajahmu tak bisa berbohong — kau cukup berhasrat ingin membalas semua perbuatanku. Tapi, dari wajahmu juga aku tau bahwa kau masih belum cukup mengendalikan emosi.” kata Tuan Hatake.

Khalid tak mampu membalas ujaran Tuan Hatake. Ia hanya terbaring lemah dengan napas yang amburadul.

“Katakan padaku… sebenci apa kau melihat para mafia di kotamu…?” lanjut Tuan Hatake lagi.

Bukannya menjawab, Khalid malah berusaha bangkit. Namun usahanya sia-sia saja.

“Kau tak bisa lagi bertarung — otot-otot di lenganmu sudah tak ada kekuatan. Itu karna… aku sudah melumpuhkan beberapa sel yang menjadi sumber cakra. Tapi jangan kahwatir, dalam dua hari lukamu akan pulih, dan kau bisa kembali bisa menggunakan kedua lenganmu.” jelas Tuan Hatake.

Tuan Hatake lalu berdiri — ia menatap kepada dua shinobi dan memberi sebuah isyarat. Sesaat kemudian, kedua shinobi mendatangi Khalid dan menyeret tubuh lelaki itu ke ruangan tempat dirinya beristirahat.

Dua hari kemudian

Khalid masih merasakan nyeri di bagian dada dan kedua lengannya. Namun begitu, keadaannya sudah lebih baik dari sebelumnya. Dan saat ini, ia sedang berada di puncak kuil — dengan pakaian serba hitam serta lilitan kain di sekujur leher, ia memandangi area sekitar yang penuh dengan kabut dan salju.

Beberapa saat kemudian, Khalid merasakan kehadiran dari seseorang. Lantas dengan spontan dirinya menoleh ke belakang dan melihat Tuan Hatake sudah sedang berjalan mendekatinya.

Ketika Tuan Hatake sudah berdiri di sebelah Khalid, ia mulai membuka pembahasan.

“Selama kau di sini, aku sudah memahami dirimu sebagai seorang laki-laki. Kau merasa punya tanggung jawab besar yang harus kau emban. Tapi, aku masih kurang mengerti… kenapa kau memilih untuk mengemban tanggung jawab yang sebenarnya bukanlah milikmu?” tanya Tuan Hatake sambil menatap lurus ke depan.

Khalid juga melakulan hal yang sama seperti Tuan Hatake. Dan ia tidak langsung menjawab — hanya diam selama beberapa detik. Lelaki itu seperti sedang menikmati setiap butiran salju yang jatuh mengenai sebagian wajahnya.

Tak lama berselang, Khalid mulai menjawab, “banyak peristiwa yang terjadi — semua itu sudah cukup banyak membuat orang-orang terdekat denganku terbunuh. Keluarga… teman… dan mereka yang tidak berdosa… semuanya menjadi korban atas kehadiran para mafia. Di lain sisi, bandit-bandit itu sudah terlalu semena-mena. Hampir tak ada orang yang berani memberi mereka pelajaran — tak terkecuali para polisi karna sebagian dari mereka juga malah menjadi bagian dari mafia itu sendiri.”

Tuan Hatake spontan melirik kepada Khalid. Ia tidak berkata-kata, hanya menunggu lelaki itu melanjutkan omongan.

“Aku bahkan tak pernah memiliki kesempatan untuk mengungkapkan perasaan hati kepada perempuan yang ku cintai. Dia terlanjur terbunuh sebelum mengetahui semua yang ku sembunyikan.” lanjut lagi Khalid.

“Jadi… di balik tanggung jawab yang akan kau emban ini, ada kaitannya dengan cinta.” sahut Tuan Hatake.

“Bukan hanya itu alasannya. Dua adik perempuanku juga diculik — sudah hampir tiga tahun mereka menghilang dan sampai sekarang aku masih belum tau keberadaan mereka.”

“Lantas, kemarahanmu selama ini disebabkan oleh mereka…?” tanya Tuan Hatake. Ia berhenti sesaat dan kemudian melanjutkan, “aku bisa melihat dengan jelas dari matamu, kau menyimpan amarah yang cukup dalam. Ada dendam yang ingin kau balaskan — seperti yang pernah ku sampaikan padamu. Tapi, di sinilah letak ketidakpahamanku — sebenarnya, seberapa besar wujud amarahmu itu…? Sampai-sampai kau tak ragu datang ke sini demi mempelajari keahlian Ninja.”

Khalid lalu menyahut, “amarahku bukan hanya sekedar untuk berhasil membalaskan dendam. Aku bertujuan untuk memberi pesan kepada para mafia bahwa di saat diriku kembali ke sana, kehadiran mereka sudah tak aman lagi. Tidak hanya itu, pesan ini juga menandakan… sudah waktunya mereka merasakan penderitaan yang selama ini mereka beri kepada warga sipil.”

“Dengan kata lain… kau ingin menjadi pahlawan di kotamu…”

“Tidak…” jawab Khalid dengan spontan, “daripada menjadi pahlawan, aku lebih suka menjadi sebagai penjaga di kotaku. Aku tidak mencari apapun — begitu diriku kembali dari sini, aku punya misi besar yang cukup rahasia. Karna terlalu rahasia, maka kemampuan Ninja-lah yang cocok untuk ku dalami.”

Tuan Hatake malah sedikit tersenyum saat mendengar perkataan Khalid. “Dari segi teori, kau sudah cukup mumpuni untuk memahami apa itu Ninja. Tapi dari segi sikap dan perbuatan, kau masih jauh tertinggal. Kau sama sekali belum bisa dikatakan Ninja. Itu karna… kau masih terlalu emosi — kau belum bisa mengontrolnya dengan baik.” kata Tuan Hatake.

“Aku butuh waktu untuk membiasakan diri bertarung dalam keadaan lengah. Tidak mudah untuk dilakukan.”

“Bukan… bukan itu maksudku…” sambung Tuan Hatake, “yang ku maksud adalah saat kau mencari bunga biru itu.”

Khalid langsung melirik Tuan Hatake. Ia penasaran terhadap maksud yang dikatakan oleh sang mantan pemimpin Ninja itu.

Di momen ini, Tuan Hatake kembali berujar, “sudah ku katakan… aku punya banyak mata di sekitaran wilayah Kiri no Mori — tempat ini dalam genggamanku. Jadi, wajar saja aku tau setiap pergerakan, termasuk gerak-gerikmu saat mencari bunga itu.”

“Kau mempermasalahkannya karna aku mampu menemukan bunga itu dalam waktu 6 jam?”

Tuan Hatake lantas menggeleng, “kau terlalu ceroboh hingga membuat beberapa shinobi yang ku tugaskan untuk menggagalkan misimu — mereka malah dengan mudah bisa mengetahui keberadaanmu. Dari semua pertarungan yang kau hadapi dengan mereka — memang kau berhasil mengalahkan para shinobi itu, tapi mereka bisa dengan mudah melacak keberadaanmu. Sedangkan kau… kau mengetahui keberadaan mereka karna mereka menyerang terlebih dahulu.”

Khalid yang masih belum mengerti dengan perkataan Tuan Khalid lantas mengajukan pertanyaan, “apa itu menjadi masalah yang serius?”

“Cukup serius.” sahut Tuan Hatake sembari menatap Khalid dengan tajam.

Sang mantan pemimpin Ninja itu melanjutkan, “tujuanku menyuruhmu mencari bunga biru itu bukan semata-mata hanya untuk kau dapatkan. Lebih daripada itu, caramu menemukannya adalah hal utama. Salah satu filosofi Ninja itu adalah bersembunyi dan berusaha agar musuh sama sekali tak menyadari kehadiranmu. Dan yang kau lakukan adalah… kau terlalu fokus mencari bunga itu tanpa memikirkan hambatan apa yang akan kau hadapi. Itu terjadi karna kau ceroboh — dan kecerobohanmu itu datang karna kau masih belum mampu mengendalikan emosi. Kau terlalu berhasrat pada objek yang ku suruh cari… lalu lupa bahwa di tengah dirimu mencari akan ada hambatan yang kau temui. Sebagai seorang Ninja, kau tak bisa terlalu fokus pada musuh utama — fokusmu harus terbagi imbang antara musuh utama dan musuh yang lainnya. Jika tidak, kau bisa dengan mudah terbunuh.”

Kedua mata Khalid spontan terbuka lebih lebar ketika mendengar penjelasan Tuan Hatake. Ia tak pernah menyadari bahwa pria itu sebenarnya sedang mengujinya dari berbagai sisi, tidak hanya dari keberhasilannya mendapatkan bunga biru itu.

Memang, sejak awal Tuan Hatake tak pernah meragukan kecerdikan Khalid. Sebelum menugaskan lelaki belia itu mencari bunga biru, sang mantan pemimpin Ninja tersebut sempat menjelaskan jalan-jalan yang harus ditempuh. Dan hanya dengan sekali penjelasan, Khalid langsung mengerti. Hal itulah yang membuat dirinya berhasil mendapatkan bunga biru hanya dalam 6 jam saja — sejauh ini Khalid merupakan orang tercepat yang berhasil menemukannya.

“Pasha…” ujar Tuan Hatake kepada Khalid, “sejak awal aku sudah bilang bahwa latihan kita selama ini adalah pengendalian emosi. Mengendalikan emosi bukan hanya tentang rasa amarah — tapi juga bagaimana sikapmu dalam menjalankan misi sebagai seorang Ninja. Jadi, jelas bahwa tujuanmu mencari bunga biru bukan hanya tentang keberhasilan, tapi sejauh mana para shinobi tak dapat melacak kehadiranmu. Ingat, kesalahan kecil bisa burjung fatal — kesalahan kecil… dapat merenggut semuanya darimu. Jadi, perhatikan ke sekitar — situasi aman bukan berarti damai. Ada banyak kebohongan di sisi kita.”

Setelah mengatakan itu, Tuan Hatake pun meninggalkan Khalid. Ia berjalan dengan tenang selangkah demi selangkah. Ketika jarak mereka berdua sudah agak jauh, pria itu berkata, “Pasha… ku harap kau tidak mengulangi lagi kesalahanmu. Belajar dari sekitar, maka kau akan menjelma menjadi lebih hebat.”

Perkataan Tuan Hatake langsung membuat Khalid berbalik badan menghadap pria tersebut yang sedang berjalan. Ia lantas merundukkan kepalanya lalu membalas dengan suara tegas, “siap, guru.”

Selama berada di desa Kiri no Mori, Khalid memakai nama samaran, yaitu Pasha. Ia melakukannya karena suatu tujuan.

--

--