Di Dalam Buku Harian Jimmy

Prolog 6

Reza Fahlevi
11 min readJun 6, 2024

Tahun 1994 di Desa Kiri no Mori

— —

Tiing tiing tiing

Di tengah hamparan salju dan balutan kabut, Khalid sibuk bertarung dengan Tuan Hatake menggunakan pedang. Mereka tidak bertarung sungguhan, hanya sekedar latihan. Namun begitu, keduanya tetap fokus dan serius, seakan-akan sedang menghadapi musuh.

“Gerakanmu masih kaku.” gumam Tuan Hatake sambil mengayunkan pedang.

Lalu Khalid menyahut, “aku berusaha sebisanya.”

“Kau sudah beberapa kali berlatih menggunakan pedang. Tak ada alasan jika masih seperti ini.”

Perkataan Tuan Hatake seketika membuat Khalid sedikit bersemangat. Ia mengayunkan pedang untuk terus menahan laju serangan sang guru yang bertubi-tubi menyasari dadanya. Tiba di satu kesempatan sempit, Tuan Hatake menemukan celah. Maka, sang pemimpin Ninja itu mengarahkan pedang ke kepala Khalid. Akan tetapi, lelaki belia itu dengan sigap menahannya.

Tiing

Pedang Khalid dan pedang Tuan Hatake saling berbenturan hingga memercikkan sedikit api. Mereka berdua masih mempertahankan posisi masing-masing; Tuan Hatake terus mencoba mendorong pedangnya agar milik Khalid terlepas — di sisi lain, Khalid dalam posisi berlutut sambil menahan pedang sang guru. Keduanya tak ingin menyerah.

Hanya selang satu detik kemudian, mata Khalid refleks melirik ke kedua kaki Tuan Hatake. Lantas di waktu yang sama dia pun cepat-cepat menarik pedang, lalu merundukkan sekujur tubuhnya, kemudian melakukan gaya berputar untuk menendang kaki kanan sang guru. Aksinya itu langsung membuat Tuan Hatake tersungkur.

Meskipun dalam posisi terbaring, Tuan Hatake masih mampu melakukan serangan. Dengan pedang yang masih di tangan, ia mengarahkan senjata itu untuk melukai kaki Khalid. Dan gerak cepat, lelaki belia itu dengan sigap melompat ke belakang untuk menjauh. Ketika posisi tubuh Khalid masih beberapa senti di udara, dalam waktu itu juga Tuan Hatake bangkit dengan melakukan gerakan akrobatik. Ia pun sigap memutari tubuhnya sedikit lalu mengakhirinya dengan menendang dada si anak murid.

Kini, giliran Khalid yang tersungkur. Bahkan, pedang yang ada di tangannya seketika terlepas begitu saja. Saat lelaki itu melirik ke sisi kanan, ia terkejut sebab Tuan Hatake sudah berdiri di sebelah tubuhnya yang sedang terbaring. Sang mantan pemimpin Ninja itu menempelkan ujung pedangnya ke leher Khalid.

“Lucu sekali… kau yang tadinya masih terbaring malah tiba-tiba mampu bangkit dengan cepat untuk menendangku. Aksimu tadi seharusnya mustahil untuk dilakukan.” ujar Khalid sambil mengatur ritme pernapasannya.

“Mustahil atau pun tidak, aku tetap berhasil melakukannya dan membuatmu tak berdaya.” sahut sang guru.

“Dengan situasiku seperti ini, apa aku sudah kalah?”

“Bahkan… dalam situasi terjepit seperti ini, kau yang seorang Ninja harus mencari cara untuk keluar dan menyerang balik — walaupun ada kemungkinan musuh juga sudah menyadari pergerakanmu. Tapi, kau tetap harus mencari jalan keluarnya karna Ninja punya banyak cara untuk mengalahkan musuh. Menghadapi para musuh, kau tak boleh tergesa-gesa untuk menang. Terkadang ada waktu kita harus melarikan diri — bukan kabur tapi sebagai strategi untuk menghabisi musuh secara tak terduga. Itulah Ninja.”

Setelah mengatakan itu, Tuan Hatake menarik pedangnya dan memasukkannya ke dalam sarung yang tersemat di punggung. Ia lalu menjulurkan tangan kepada Khalid untuk membantunya berdiri.

“Walaupun tadi aku berkata bahwa gerakanmu saat mengayunkan pedang masih kaku, tapi kau sudah sedikit berkembang. Yang harus kau lakukan hanya terus berlatih — tingkatkan setiap gerakan-gerakanmu saat bertarung dan jangan lakukan gerakan yang tak penting sebab, hal itu dapat menguras tenaga. Yang terpenting lagi… kendalikan emosimu agar tetap stabil selama bertarung. Emosi sangat penting di balik keberhasilan ataupun kegagalan kita dalam pertarungan. Semakin kau tenang, semakin mudah kau menaklukkan musuh. Dan harus ku akui, hari ini kau bertarung dengan pengendalian emosi yang sudah lumayan bagus. Tapi, jangan jumawa dulu — masih ada banyak kekurangan yang harus kau tutupi.” jelas Tuan Hatake.

Mendengar masukan dari sang guru langsung membuat Khalid merundukkan kepalanya. “Aku pasti akan terus mengembangkan diri.” balas lelaki itu.

Tahun 1996

Sudah dua tahun lamanya Khalid menghabiskan kesehariannya di Desa Kiri no Mori. Keseharian yang ia isi dengan segala macam bentuk latihan — kini, setelah mendapat begitu banyak luka, lelaki itu perlahan-lahan sudah menjelma menjadi seorang pria yang lebih dewasa.

Sejak terakhir kali Khalid mengasah kemampuan pedang dengan Tuan Hatake — di mana mereka bertatung layaknya musuh — kini lelaki itu semakin baik dalam hal mengayunkan pedang. Ia tidak lagi tergesa-gesa untuk melakukan serangan dan memilih bersabar meladeni sang guru yang menyerangnya bertubi-tubi. Dari situ dapat diyakini bahwa Khalid sudah mampu mengontrol laju emosinya agar tidak terpengaruh terhadap serangan lawan. Ia lebih memilih menanti sebuah momen sambil mencari celah untuk melancarkan serangan mendadak.

Aksi Khalid yang bertarung menggunakan pedang seperti itu mendapat respon positif dari Tuan Hatake selaku gurunya. Sang guru menganggap bahwa potensi anak didik yang sebelumnya masih samar-samar, kini sudah mulai tampak jelas. Potensi itulah yang pernah dirasakan oleh Tuan Hatake terhadap Khalid, yang membuat sang mantan pemimpin Ninja tersebut menganggap anak didiknya merupakan salah satu yang cukup bertalenta.

Kemampuan lain yang mulai terlihat dan terbentuk adalah keahlian bersembunyi. Tuan Hatake sudah mengakuinya bahwa Khalid sangat lihai dalam menghilangkan jejak dirinya sendiri. Mereka pernah melakukan latihan bersembunyi bersama para shinobi lain. Tujuan dari latihan itu adalah bersembunyi sambil mencari target, di mana Tuan Hatake dan Khalid saling mencari satu sama lain di tengah-tengah para shinobi.

Semua shinobi, termasuk Khalid dan Tuan Hatake memakai pakaian Ninja, lengkap dengan topeng khasnya. Lalu, para shinobi berbaris — di antara mereka, ada Khalid dan Tuan Hatake yang bersembunyi dan saling mencari. Di momen itu, sang guru sedikit melakukan hal yang ceroboh saat dirinya berpikir dalam sosok seorang shinobi. Ketika pria itu membuka topeng sang shinobi, ternyata yang ia temukan bukanlah Khalid.

Di sisi lain, Khalid malah tiba-tiba muncul dari belakang Tuan Hatake. Ia langsung membuka paksa topeng sang guru dan sigap menempelkan kunai ke leher pria tersebut. Aksi lelaki itu sontak membuat para shinobi lain terkejut. Bukan apa-apa, meski Tuan Hatake sudah berumur sekitar 80 tahun, tapi kemampuannya sebagai Ninja masih di atas rata-rata. Kelihaian pria itu dalam bersembunyi tak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Khalid berhasil menemukan titik keberadaan sang guru hanya dalam tempo 3 menit saja sejak latihan itu dimulai.

Apa yang dilakukan oleh Khalid membuat Tuan Hatake bangga. Saat itu, dalam hati dirinya berkata bahwa ia sudah berhasil membentuk seorang shinobi hebat dalam sosok Khalid, dan meyakini bahwa anak laki-laki itu bisa menjadi seorang Ninja yang sangat misterius ketika nanti ia sudah beranjak pergi dari Desa Kiri no Mori.

Di suatu sore

Menjelang matahari terbenam, Tuan Hatake mengadakan pertemuan khusus. Maka seluruh shinobi, termasuk Khalid, datang dan berbaris rapi menghadap sosok pria yang cukup berkharisma itu. Sang mantan peminpin Ninja berdiri gagah; di sebelahnya ada seorang lelaki renta yang duduk di sebuah kursi roda. Ia berusia sekitar lebih dari 100 tahun. Sudah cukup tua.

Laki-laki renta itu dulunya juga merupakan seorang Ninja, serta pernah menjadi sosok pemimpin, jauh sebelum Tuan Hatake menjabatinya. Meski sudah tak mampu lagi berjalan, namun penglihatannya masih cukup baik; ia dapat melihat seluruh shinobi dengan sangat jelas.

Di momen ini, Khalid yang sedang berdiri bersama para shinobi lain hanya tertegun melihat sosok dari lelaki renta tersebut. Bukan apa-apa, sejak pertama kali ia menapakkan kaki di kuil pusat pelatihan Ninja rahasia itu, dirinya sama sekali belum pernah bersua dengan laki-laki tersebut. Ini adalah hari di mana untuk pertama kalinya dia melihat seorang mantan Ninja yang sudah berusia lebih dari 100 tahun.

Di sisi lain, Tuan Hatake mulai berbicara di hadapan seluruh shinobi. Semua mata tertuju lurus kepada pria itu tanpa terkecuali — tak terkecuali Khalid. Auranya sebagai seorang mantan pemimpin Ninja masih cukup terasa, dan itu membuat semua yang ada menghormatinya. Adapun dalam diri Khalid, ia tidak hanya menghormati Tuan Hatake sebagai seorang mantan pemimpin Ninja, tapi juga sebagai guru, mentor, bahkan ia tak ragu menganggap pria itu sebagai ayah keduanya. Dengan sikap begitu, sudah cukup menjelaskan betapa besar rasa penghormatan Khalid terhadap Tuan Hatake.

Masih berbicara di hadapan para shinobi, Tuan Hatake lalu memanggil sepuluh nama untuk maju beberapa langkah berdiri di hadapannya. Dari nama-nama yang ia sebut, salah satunya tersemat Khalid.

“Sudah tiba waktunya untuk kalian menjadi seorang Ninja sejati…” kata Tuan Hatake kepada mereka, “tapi, sebelum kalian pergi meninggalkan Desa Kiri no Mori, ku tanyakan satu hal… sejauh apa kalian akan menjaga kerahasian kita semua?” tanyanya.

Lantas, satu persatu dari kesepuluh nama yang dipanggil oleh Tuan Hatake mulai berbicara, sampai kemudian tiba giliran Khalid.

“Begitu kakiku meninggalkan tempat ini, ku pastikan takkan ada orang luar yang mengetahuinya. Itu karna… dengan kerahasiaan yang dimikiki oleh Desa Kiri no Mori, maka kerahasiaan itu juga sudah menjadi milikku. Aku akan menjadi bayangan yang takkan pernah bisa dideteksi sampai nanti diriku mati — takkan ada yang mengetahui semua rahasia yang telah ada ini.” ujar Khalid.

Tuan Hatake sedikit tersenyum mendengar perkataan Khalid. “Bagaimana aku bisa mempercayainya?” tanya pria itu.

“Aku orang yang menjaga omongan — kau sudah tau itu sejak hari pertama kita bertemu.”

Sang mantan pemimpin Ninja lantas mengangguk. Dari wajahnya, terlihat jelas bahwa ia cukup puas mendengar ucapan Khalid. Dirinya tak pernah meragukan anak muridnya itu, baik dari segi kemampuan ataupun dari ucapan.

“Kalian semua sudah berbicara untuk memastikan kerahasiaan dari Desa Kiri no Mori. Aku mempercayai semuanya dari kalian. Maka, dengan penuh rasa hormat aku mengangkat kalian semua sebagai Ninja. Selamat bergabung ke dalam keluarga yang penuh rahasia ini.” kata Tuan Hatake.

Kesepuluh shinobi termasuk Khalid sama sekali tidak mengumbar senyuman saat mereka secara resmi sudah diangkat menjadi Ninja oleh Tuan Hatake. Mereka tetap menatap pria itu dengan cukup serius.

“Sesuai yang sudah disepakati, arah Ninja kita punya tujuan tertentu untuk menegakkan keadilan. Maka, sebagai misi pertama, aku menugaskan kalian semua untuk pergi ke sebuah kota yang penuh dengan kejahatan. Misi kalian di sana sebagaimana yang sudah kita sepakati bersama; habisi semua musuh tanpa sisa. Seperti yang kita ketahui, kota itu kerap terjadi pembunuhan, maka beri musuh keadilan yang setara dengan cara membunuh mereka seperti yang mereka lakukan pada orang-orang yang tak berdosa. Dengan begitu, keadilan yang sesungguhnya di kota itu — yang diimpikan oleh setiap warga sipil — akan terwujud.”

Tepat setelah mengatakan itu, kesepuluh shinobi terpilih membalas, “siap…!” jawab mereka serentak.

Instruksi Tuan Hatake sudah mutlak, dan misi tersebut wajib dijalani oleh kesepuluh shinobi itu, tak terkecuali Khalid. Membunuh penjahat demi keadilan… cara itulah yang memang sudah disepakati oleh semua shinobi yang berguru di Desa Kiri no Mori.

“Sekarang… bergerak dan bentuklah keadilan yang nyata di setiap penjuru dunia. Saat ini, menumpaskan segala macam bentuk kriminal ada dipundak kalian.” gumam Tuan Hatake dengan suara tegas.

Lalu, kesepuluh shinobi pun serentak merundukkan kepala untuk memberi penghormatan kepada Tuan Hatake. Setelahnya, mereka semua pergi meninggalkan kuil.

Malam harinya, para shinobi terpilih sudah meninggalkan kuil kecuali Khalid. Ia memilih melakukan perjalanan setelah menunaikan salat Maghrib. Di tengah lelaki itu melaksanakan ibadah di kamarnya, diam-diam Tuan Hatake datang dan memperhatikan anak didiknya itu yang cukup serius melakukan gerakan salat.

Ketika Khalid selesai salat, matanya langsung melirik ke kiri, tepat ke arah Tuan Hatake yang sedang duduk di atas ranjang. Mereka sempat berbincang sejenak, lalu tak lama kemudian Khalid mulai bersiap-siap untuk meninggalkan kuil.

“Aku akan mengantarkanmu…” ujar Tuan Hatake.

“Kau tak perlu memperlakukanku seperti anak SD.”

“Ada hal yang ingin ku sampaikan padamu secara pribadi. Dan karna sangat pribadi dan cukup rahasia, kita harus membicarakannya berdua saja.” balas Tuan Hatake.

Oleh karena melihat raut wajah Tuan Hatake yang cukup serius, lantas Khalid pun tak bisa mengelaknya. Mereka pun pergi meninggalkan kuil secara bersamaan di tengah malam yang kabut dan juga sejuk. Saat keduanya berada di tengah hutan belantara, tepat di atas sebuah pohon rindang Tuan Hatake dan Khalid saling duduk di atas dahan yang besar nan padat. Mereka mulai berbicara.

“Kau orang yang sangat religius — aku tak pernah melihatmu meninggalkan aktivitas ibadah selama kau berada di sini. Hal yang sangat berbeda dari diriku — ya, kita berdua punya perbedaan keyakinan. Dan karna alasan itulah aku ingin menanyakan satu hal padamu…” kata Tuan Hatake yang kemudian berhenti berbicara.

Khalid tidak menggubris apa-apa; ia hanya diam sambil memandangi sang guru dengan sorot mata yang cukup dalam.

“Pasha… kau akan menjalani misi yang berat begitu dirimu berada di luar zona Desa Kiri no Mori. Dan aku tau… dalam ajaran agamamu itu, kau tidak dibenarkan untuk membunuh. Namun di sisi lain, misi Ninja itu mutlak. Kau… punya misi untuk membunuh para penjahat di kota yang sudah ku katakan tadi. Lantas, bagaimana sikapmu? Apa yang akan kau pilih…? tetap berpegang teguh pada keyakinan agamamu? Atau… kau berpegang teguh pada misi? Seperti yang ku katakan, misi Ninja mutlak dan kau tak boleh menolaknya.” lanjut Tuan Hatake.

Khalid tidak langsung menjawab. Ia memilih untuk menjernihkan pikirannya. Di momen ini, lelaki itu mengalihkan pandangan dari menatap Tuan Hatake — kini dia melirik lurus ke depan.

Tak lama berselang, Khalid mulai berbicara.

“Sejak awal diriku menapaki kaki di Desa Kiri no Mori — dan sejak awal aku mempelajari kemampuan Ninja, aku tak pernah berniat memasukkan filosofi Ninja ke dalam diriku. Sudah ku katakan padamu, tujuanku datang ke sini karna aku punya misi terselubung di kotaku. Filosofi serta tujuanmu menjadi Ninja adalah menegakkan keadilan dengan cara membunuh para penjahat — aku tidak mengambil filosofi dan tujuan itu. Sebagai gantinya, aku punya cara sendiri untuk menegakkan keadilan tanpa harus membunuh. Mungkin, caraku ini takkan bisa kau terima, tapi kita berdua harus paham bahwa baik kau dan aku punya banyak perbedaan dari berbagai sisi. Dan aku tau, jika aku tidak menjalankan misi sesuai dengan yang kau perintahkan, maka akan ada konsekuensi berat yang harus ku terima. Tapi, di sini kita berbicara sebagai sesama laki-laki — jika kau berpikir caraku menegakkan keadilan bertolak belakang denganmu, maka datang dan temui aku. Aku takkan lari jika kau berhasil menemukanku — tapi ingat, aku juga takkan semudah itu untuk dideteksi.” jelas Khalid.

“Sudah ku duga kau akan berkata seperti itu.”

“Paling tidak, aku tetap menjalankan misimu ini untuk menumpas kejahatan di kota yang kau katakan tadi. Aku tetap pergi ke sana dan melakukan pekerjaanku meski nanti dengan cara yang berbeda. Paling tidak… aku tidak lari dari misi yang sudah kau emban itu. Dan terlepas dari cara kita yang bertolak belakang, pada akhirnya kita adalah dua sosok laki-laki yang punya prinsip berbeda. Perbedaan terkadang membuat konflik, tapi kau sudah memahami diriku luar dan dalam. Jadi, jika pun nanti akan ada konflik di antara kita di balik filosofi yang kita punya, kita bisa menyelesaikannya dengan cara adil — dengan cara Ninja. Itu satu-satunya jalan yang harus kita pilih sebagai shinobi. Ku harap kau bisa mengerti…”

“Cukup bijak…” sahut Tuan Hatake, “aku bangga membesarkanmu menjadi seorang Ninja. Dan ya… aku sudah mengenal baik dirimu — semua hal yang kau ucapkan pasti akan kau jaga baik-baik. Jadi, sampai nanti waktunya tiba — Pasha… barangkali kita akan bertarung lagi sebagai musuh.”

“Walaupun kita akan saling bertarung, sosokmu dalam diriku takkan pernah berubah. Kau adalah guru, mentor sekaligus ayah kedua bagiku. Rasa hormatku padamu takkan pernah berubah sejak hari pertama kita bertemu — bahkan takkan berubah sampai nanti hari pertarungan kita tiba.” gumam Khalid.

Tuan Hatake lantas mengangguk. “Sekarang, pergilah. Tegakkan keadilan di kota yang telah ku jadikan misi untukmu. Begitu misimu selesai, di waktu itu pula aku akan keluar dari Desa Kiri no Mori untuk mencarimu. Maka, bersiap-siaplah, Pasha.” jelas Tuan Hatake.

Khalid lalu berdiri, ia sudah melakukan ancang-ancang untuk pergi. Namun sebelumnya, lelaki itu menoleh kepada Tuan Hatake.

“Sampai jumpa…” ujar Khalid. Setelah itu, ia pun melompat jauh ke dahan pohon yang lain.

Ketika Khalid perlahan-lahan lenyap di tengah kabut, Tuan Hatake lantas juga mulai berdiri. Ia mengunbar senyuman dan berkata dalam hati, “Pasha… walaupun prinsip kita sebagai Ninja berbeda, tapi aku tetap bangga padamu.”

Prolog 6 ini merupakan bagian terakhir dari awal pembukaan kisah Detektif Jimmy. Untuk selanjutnya, ia akan menjalankan misi dari Tuan Hatake, kemudian kembali ke Kota Banda Jivah untuk memberantas para mafia dengan menyandang nama “Jimmy”. Dan sampai waktunya tiba nanti, Detektif Jimmy akan kembali bersua dengan gurunya, Tuan Hatake, untuk melangsungkan pertarungan mereka yang sesungguhnya sebagai guru dan murid.

Dalam prolog-prolog ini, Khalid memakai nama Pasha selama dirinya berada di Desa Kiri no Mori. Ia melakukannya atas alasan tertentu, dan sudah tentu alasannya cukup rahasia.

--

--