Di Balik Namamu
Mengetahui kau begitu dekat denganku meski tidak berada di sisi… batin mengutarakan sebuah pertanyaan tentangmu yang dulu pernah ku kenali.
Bergerak berjalan melalui waktu, menuju masa depan yang tidak terdeteksi… aku berada di hadapanmu meski terpisah oleh dinding semu.
Tentang engkau yang berbicara… tentang engkau yang mengekspresikan… ku ingat kembali bahwa dulu kita pernah menghabiskan waktu petang hanya untuk bertemu sesaat dan berpisah dengan saling tersenyum.
Tentang engkau yang memerah senja saat menatap wajahku yang tersipu malu; ku temukan sebuah pertanyaan tentang decak kagum; aku mengagumi keseharianmu dan apakah kau juga…? Mengingat matamu melirikku dengan cara seperti itu.
Mereka memanggilmu dengan nama tertentu, seakan kau menyembunyikan keaslian di balik pradugaan. Namun kau tetap baik-baik saja meladeni mereka yang tidak selalu memanggilmu dengan nama milikmu — sepertinya kau suka alur seperti itu.
Di balik suara yang ku dengar tentangmu… mereka bertanya dengan nada penasaran… “sebenarnya siapa dirimu yang eksis berjalan menghampiri senja sambil menghayati keteduhan desir angin yang berirama syahdu?”
Dan karena kau pernah ku rasakan kehadiranmu; aku sendiri adalah pria yang pernah merasakan aura dari percikan kesyahduanmu tepat di saat kau mengutarakan maaf dengan penuh penyesalan. Bagiku, caramu menunjukkan rasa menyesal terlalu elegan, dan itu malah membuatku kagum.
Sang pemilik wajah teduh terkadang tidak menyadari bahwa dia ditatap dengan penuh kekaguman. Dan kau barangkali adalah satu di antara pemilik wajah teduh itu; ada banyak mata yang terpesona memandangimu tapi kau tak pernah menyadarinya.
Dan sepasang mata yang mengagumimu itu salah satunya adalah milikku; walaupun aku tak pernah menyampaikannya padamu.
Karna di balik namamu, ada tanda yang berkesan bagi siapa saja yang mampu mendeteksikannya.
Di balik namamu; terlihat ada biasan cahaya yang suka mempercantik diri.
Di balik namamu; tersemat simbol keindahan tertentu.
Karna… di balik nama aslimu; banyak pria kagum ingin memilikimu di sisi mereka.
“Dan satu dari pria-pria itu adalah diriku sendiri.”
Meski demikian, aku hanyalah lelaki yang terkurung di balik rasa trauma cinta — trauma yang sangat-sangat mendalam. Ingin memulai langkah untuk berterus terang tentang gejolak rasa ini kepadamu, aku malah terhenti membatu.
Walaupun aku yakin kau adalah sosok wanita yang berbeda — berbeda dari wanita yang pernah ku kagumi sebelumnya.
Seandainya waktu berlalu lebih cepat untuk memulihkan batinku yang terluka, barangkali perasaanku sudah sampai padamu. Tapi aku merasa seperti mengibarkan bendera putih — aku seakan-akan mati rasa dan menyerah untuk jatuh cinta lagi.
Itu karna trauma di masa lalu…
Entahlah…
Sampai saat ini aku masih tetap berdiam diri; sejauh perjalanan ini aku lelah tiada tara; sejauh jarak yang ku lalui akhirnya diriku tak punya sedikitpun motivasi; sejauh waktu berlalu aku hanya mampu meratapi kenangan di masa lalu…
Duhai wanita pemilik nama… seandainya aku punya lebih banyak waktu untuk berterus terang bahwa di balik namamu itu, aku ingin menyatukan namaku.
Dan aku ingin memberi pesan tersirat kepada Tuhan:
“Bersama kekurangan, bersama angan yang pupus dan cita-cita yang telah lenyap… aku adalah lelaki yang mencoba berdamai dengan diri sendiri meski saat ini belum ku temui caranya.”
“Dia datang dan berbicara dengan cara yang sama seperti di waktu itu. Dia yang ku kenal kembali karakternya… jika aku bertanya padanya, maukah Engkau menggerakkan bibirnya untuk menanggapiku?”
Karna waktu akan terus berjalan maju, bahkan satu detik akan menjadi jarak yang sangat jauh. Duhai wanita pemilik nama… coba katakan sebuah kejujuran, apa hatimu bersedia menerima kehadiran hatiku jika aku memutuskan untuk menepi selamanya di sisimu?
Yang dapat ku lakukan sekarang ini adalah menghibur diri. Tapi kau terkadang datang secara tiba-tiba untuk menghiburku dengan kata-kata yang membosankan itu. Meski begitu, kata-kata itulah yang menghadirkan cahaya di balik redupnya hati yang berselimut trauma cinta.
Katakan… coba katakan.
Jika kau tak ingin, maka ilustrasikan saja dalam bentuk sajak puisi.
Dan apabila kau tidak suka berpuisi, berikan saja aku secuil tanda — salah satu contohnya adalah engkau mengumbar senyuman sederhana tepat di garis lurus mataku menatap wajahmu.
Sebuah rasa yang hadir menyala-nyala, selalu menimbulkan bentuk pertanyaan yang tiada ujung. Aku penasaran… tapi seharusnya ku cari tahu sendiri.
Ini semua tidak terjadi secara kebetulan, maka aku akan menganggapnya sebuah anugerah; mengagumimu adalah anugerah terhadap hatiku yang luluh ini.
“Dan itulah yang ku pahami tentang makna di balik namamu — nama aslimu.”
— Breaking Reza —