Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 9
— —
Tepat di pukul 1 dini hari, Detektif Fahri kembali menyambangi gedung tua yang sebelumnya pernah ia datangi. Pada saat itu, dia menemukan sebuah tas jinjing serta beberapa orang yang mencurigakan di situ. Tidak hanya itu, detektif juga melihat ada bercak darah di lantai duanya.
Kini, Fahri sedang berada di dalam gedung tua, tepatnya di lantai satu. Dengan bantuan cahaya senter, ia melirik-lirik ke sekitar sembari mengarahkan cahayanya, hingga tanpa sengaja dirinya melihat sebuah kursi kayu di sebelah kanan. Lantas dia mulai berjalan ke sana dan duduk manis di situ.
Tak lama berselang, Fahri mendengar suara langkah kaki. Sembari duduk, ia pun segera memadamkan cahaya senter serta menaruh benda mungil itu ke dalam saku jaket. Lalu, di waktu yang sama, sang detektif dapat melihat dengan jelas dari kedua bola matanya — ada seorang laki-laki yang mengenakan pakaian berlengan panjang serba hitam berjalan dengan gagah memasuki area gedung.
Ketika si lelaki telah berada di area dalam gedung yang tak jauh posisinya dari Fahri, sang detektif lantas bergumam, “di sini…” ujarnya dengan suara berat.
Bersamaan dengan ujaran Fahri, lelaki tadi spontan menoleh ke kanan dan mulai berjalan perlahan-lahan menuju sang detektif. Ketika jarak mereka semakin dekat, barulan kemudian wajah laki-laki itu terlihat jelas berkat serpihan cahaya lampu yang masuk dari sela-sela atap yang sudah berlubang.
Ya, laki-laki gagah itu adalah Komandan El.
Di saat El berhenti berjalan dan berdiri di hadapan Fahri yang sedang duduk, sang detektif lantas mulai bangkit.
“Jadi, gedung ini yang kau maksud.” kata El.
Fahri sudah pernah menceritakan perkara gedung tua ini kepada El, beserta dengan berbagai temuan yang ia dapatkan. Namun, karena perbedaan pendapat, sang Kapolres tidak begitu banyak bertanya. Dia hanya mendengarkan detektif yang sedang bercerita tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Meski begitu, sekarang situasinya berubah. Kematian Fathur yang bunuh diri telah membuat Komandan El mendengarkan setiap omongan dari Detektif Fahri.
“Tak ada keanehan di sini…” ucap Fahri yang berhenti sesaat sambil menatap El, “tapi di lantai dua.”
Mereka pun mulai beranjak. Fahri yang sudah pernah mendatangi gedung tua ini jelas tahu jalan mana yang harus mereka lalui. Jika sebelumnya ia naik ke lantai dua melalui tangga yang sudah terputus; kali ini ia menaikinya dari jalan lain.
Fahri berjalan di depan, sedangkan El mengikutinya dari belakang. Sang detektif membawa Kapolsek ke sisi belakang gedung hingga kemudian mereka menemukan sebuah pintu di sebelah kiri. Fahri membuka pintunya yang kebetulan tidak terkunci, lalu kembali berjalan masuk.
Di dalam ruangan itu tidak ada apa-apa melainkan sebuah tangga. Berbeda dari yang sebelumnya, tangga di dalam ruangan ini masih utuh. Hanya saja, oleh karena gedung ini sudah lama tidak dipakai, maka tangganya pun terlihat cukup kusam. Tidak hanya itu, setiap anak tangganya juga banyak yang retak, tapi tidak terlalu parah.
“Kau cukup hafal dengan tempat ini…” gumam El.
Fahri lagi-lagi tidak menyahuti sang Kapolsek. Ia memilih untuk langsung menaiki tangga. Melihat detektif yang sudah lebih dulu beranjak, El pun segera menyusurinya.
Lalu, mereka berdua tiba ke lantai dua. Fahri lantas bergegas melangkahkan kaki hingga kemudian ia tiba ke sisi paling sudut dari gedung ini; tempat yang sebelumnya juga ia datangi. Ada dinding berlapis kaca yang cukup tebal di hadapannya, tapi sebagiannya sudah pecah dan lumayan besar.
Ketika detektif menatap lurus ke depan melalui dinding kaca yang sudah pecah, di mana terdapat lampu-lampu jalanan yang berjejeran, bersamaan dengan itu pula dia menoleh kepada El yang ada di sebelahnya.
“Tiang lampu yang ada di sana…” kata Fahri, “di tempat itulah jasad Alissa tergantung.”
El mengangguk dan membalas, “seperti katamu, letak gedung ini dan lokasi jasad Alissa saat tergantung memang searah. Apa karna hal ini… kau menganggap wanita itu dibunuh di sini?”
“Salah satunya — tapi yang membuatku cukup yakin karna ini…” jawab Fahri seraya mengarahkan cahaya senter ke lantai.
Begitu cahaya senternya menyinari lantai, maka tampaklah bercak darah. El yang melihat itu sampai tertegun dalam beberapa saat. Di sisi lain, Fahri terus mengarahkan senternya mengikuti arah darah yang menuju ke sebuah ruangan.
“Begitu rupanya…” ucap El setelah melihat dengan jelas bercak darah tersebut.
El memang baru melihat darah itu, tapi sebenarnya dia sudah pernah mendengarkannya langsung dari Fahri.
“Masih ingat dengan beberapa orang mencurigakan yang datang ke sini?” tanya Fahri.
Komandan El menanggapi pertanyaan Fahri dengan menganggukkan kepala. Sedangkan detektif melanjutkan, “mereka sempat mengambil sesuatu dari dalam ruangan itu.” katanya seraya mengarahkan jari telunjuk ke sebuah ruangan.
Detektif kemudian berjalan ke ruangan yang ia maksud tadi. Begitu sampai, dia membuka pintunya dan masuk ke dalam. El juga sama, dia mengikuti Fahri dari belakang.
“Orang-orang itu menyimpan sesuatu di sini — dugaanku adalah barang bukti. Adapun mereka datang ke tempat ini untuk mengambil semua yang mereka simpan. Ketika mereka sedang melakukannya, aku sempat mendengar obrolan — dan salah satu di antara mereka adalah perempuan.” Jelas Fahri.
Kini, sesuatu yang diduga oleh Fahri berupa barang bukti sudah tak ada lagi di dalam ruangan ini, kecuali sebuah tas ransel yang terletak di paling sudut. Detektif sendiri penasaran terhadap tas itu karena baru kali ini dia melihatnya.
Kini, berbagai macam pertanyaan hadir di dalam kepala Fahri. Oleh karena sudah tak tahan lagi, dia pun berjalan dan kemudian membuka ransel tersebut. Sang detektif sedikit terkejut saat dia menemukan sebuah bingkai foto di dalamnya.
Fahri melihat dengan seksama bingkai foto itu di mana terpampang seorang wanita anggun; dialah Alissa. Ketika lelaki ini membalikkan bingkainya, lagi-lagi dirinya menemukan sesuatu. Kali ini ada kertas kecil yang terselip di sela-sela bingkai. Lantas, dia mengambilnya dan melihat; terdapat tulisan di lembaran itu.
Di saat detektif sedang fokus membaca, El berjalan menghampiri lelaki itu dan kemudian berdiri di sebelahnya. Lalu, ketika Fahri selesai membaca, ia pun melirik sang Kapolsek dan memberikan kertas tersebut.
El juga membacanya, lalu setelahnya dia berujar, “sepertinya kita menemukan sebuah pesan lagi.” katanya.
Fahri menanggapi itu dengan anggukan. “Ya…” sahut detektif, “tapi pesan yang ini bukan ditulis oleh Alissa. Tulisan di kertas itu dengan yang kita temukan di kediaman Alissa jelas berbeda.”
Tepat setelah mengatakan itu, tangan kanan Fahri bergerak untuk mengambil sesuatu dari dalam saku jaket. Di saat yang sama, ia pun mengeluarkan dua lembar kertas yang ia dapatkan di kediaman Alissa.
“Lihat…” ujar detektif yang menunjukkan dua lembar kertas tadi kepada Komandan El.
“Benar… tulisannya berbeda. Jadi, siapa yang menulis pesan ini?” tanya El yang merujuk kepada lembaran kertas dari balik sela-sela bingkai foto.
“Aku tidak tau — bahkan aku juga baru melihat ada tas ransel di sini.”
“Jadi kau tidak menemukannya saat pertama kali datang ke sini?”
“Tidak. Tepat saat orang-orang mencurigakan itu pergi dari ruangan ini, aku sempat memasukinya dan tidak menemukan apa-apa.”
“Dengan kata lain…?”
“Dengak kata lain… ada orang asing di sekitar kita saat ini.” ujar Fahri seraya mengambil pistol yang juga dari dalam saku jaket.
Jika Fahri sudah memegang pistol, maka itu tandanya dia punya firasat buruk. Adapun El paham betul dengan sikap sang detektif; kini dirinya juga mulai siaga.
“Detektif, bawa ransel itu ke kantormu. Kita bisa menyelidikinya lebih lanjut di sana.” pinta El.
Fahri mengangguk; ia menaruh kembali bingkai foto ke dalam ransel, kemudian mengenakan tas itu ke pundaknya. Di samping itu, El menyimpan kertas yang ditemukan oleh detektif tadi ke dalam saku celananya.
Mereka berdua mulai keluar dari dalam ruangan, menuju ke lokasi awal yang mereka singgahi di lantai dua. El dan Fahri berdiri berdiri di hadapan dinding berlapis kaca tepat di bagian yang sudah pecah. Keduanya menatap lurus ke arah lampu jalanan.
Ketika sedang menatap ke arah lampu jalanan, secara spontan El melirikkan mata ke kiri, tepat ke sebuah atap gedung. Di sana, dia dapat melihat adanya bayangan hitam. Meskipun tidak bisa mengetahui dengan jelas sosok bayangan hitam itu, namun sang Kapolsek sadar bahwa orang yang sedang berada di atap gedung itu sedang membidikkan senjata.
Maka, gerak cepat, El sontak menarik lengan Fahri seraya berlari kencang ke sisi kanan.
“Merunduk…!” teriak El.
Hanya selang satu detik setelah sang Kapolsek berteriak, sebuah peluru meluncur deras menghantam dinding kaca, dan mendarat tepat di sebelah kaki Detektif Fahri.
Nyaris saja.
El tahu bahwa peluru itu tidak melukai Fahri. Namun begitu, ia pun sadar sosok bayangan hitam tadi bisa saja kembali menembak. Lantas, dengan satu gerakan cepat, ia mengambil pistol dari dalam jaket kulitnya.
El hanya membidik target selama satu detik, dan setelahnya dia pun langsung menekan pelatuk pistol. Tapi, peluru yang meluncur tidak berhasil mengenai sasaran, meskipun berjarak cukup dekat dengan si sosok bayangan hitam itu hingga membuatnya ketakutan setengaah mati.
Sepersekian detik selanjutnya.
Dooorrr
Fahri juga menembak — pelurunya meluncur tajam dan berhasil melukai kaki dari sosok bayangan hitam.
“Seperti biasa… caramu menembak selalu membuatku terkesan.” gumam El.
“Simpan dulu pujianmu — kita harus bergerak cepat sebelum orang itu melarikan diri.” balas Fahri.
Ketika mereka berdua hendak berlari, ada seorang pria yang datang dari belakang. Tanpa basa-basi, dia lantas menghantam punggung Detektif Fahri menggunakan stik Golf. Memang benda tersebut tidak seluruhnya mengenai punggung detektif, namun itu sudah cukup untuk membuat Fahri tersungkur.
Di sisi lain, El sadar bahwa rekannya dalam keadaan terluka. Maka, dia pun segera berbalik badan. Lalu, tepat setelahnya, orang yang memukuli detektif tadi mulai menyerang sang Kapolsek.
Pria itu langsung mengayunkan stik Golf ke wajah El, namun sang Kapolsek dapat menghindarinya dengan mudah. Menolak menyerah, ia kembali menyerang El dari berbagai sisi sampai kemudian si komandan ini mulai geram dan meninju stik tersebut hingga patah.
Mata pria mencurigakan itu seketika terbelalak; ia panik karena tak menyangka bahwa stik Golf tersebut dapat patah dengan mudah. Lantas, karena sudah takut, dia pun segera berlari. Tapi baru tiga langkah, El datang dan melilitkan lengannya ke leher sang pria dengan cukup kuat.
Pria misterius mencoba sekeuat tenaga untk membebaskan diri dari cengkeraman lengan EL. Di sisi lain, sang Kapolsek menjadi semakin geram. Dia lantas mengangkat tubuh orang itu hanya dengan satu tangan, kemudian tanpa ampun membantingkannya ke lantai.
Bruukk…
Terdengar suara patahan tepat di saat El menghantam tubuh laki-laki asing tadi ke lantai. Dan akibat dari serangan itu, sang pria tak dapat melakukan apa-apa lagi. Dia hanya mengerang kesakitan.
Dengan serangan yang sedikit brutal tadi, sepertinya pria mencurigakan itu sudah tak bisa melarikan diri lagi. Maka, El pun menghampiri Fahri yang masih terkapar di lantai.
“Kau tak apa?” tanya El.
Seraya mengangguk, Fahri menjawab, “ya… aku baik-baik saja. beruntung benda sialan itu tidak melukaiku lebih parah.”
El lantas menjulurkan tangannya kepada Fahri untuk membantunya bangkit. Ketika sedang mencoba berdiri, sang detektif sempat merintih kesakitan.
“Sepertinya sedikit fatal…” ujar El.
“Entahlah… sepertinya begitu. Akan ku cari tau nanti.”
Mereka berdua kemudian menghampiri pria misterius tadi. Sambil berjalan dan menempelkan tangan ke punggung, Fahri bertanya, “kau mengenalnya?”
“Tidak terlalu familiar. Tapi, akan kita cari tau sekarang juga.” sahut El.
El lantas merundukkan badannya, kemudian menarik pakaian pria asing itu, hingga wajah mereka berdua saling berdekatan. Tatapan sang Kapolsek cukup murka, dan itu sudah cukup memberi rasa takut pada si laki-laki.
“Beri aku semua informasi yang kau punya, atau — ” kata El.
Belum habis ucapan El, laki-laki itu langusng memotongnya. “A… akan… ku… katakan… semuanya…” kata si pria dengan gemetaran. Dia sangat takut melihat sorot mata Komandan El.
“Ya… itu yang ku harapkan.” sahut El lagi.
Di Kantor Polsek Kota Juang
Masih di malam yang sama, El dan Fahri membawa pria misterius yang menyerang mereka berdua ke kantor polisi. Saat ini, lelaki itu sedang berada di dalam ruang penyidik. Ada dua polisi yang menjaganya sembari menunggu kedatangan Komandan El dan juga Detektif Fahri.
Sang pria duduk di sebuah kursi, tepat di bawah bola lampu pijar. Di depannya terdapat sebuah meja yang terbuat dari kayu nan cukup padat. Ia tidak melakukan apa-apa kecuali hanya menahan rasa sakit akibat perlakuan El yang menghantamkannya ke lantai. Serangan itu ternyata benar-benar membuat lelaki ini tak berdaya.
Selang lima menit kemudian, Komandan El dan Detektif Fahri memasuki ruang penyidik. Sang Kapolsek lantas melirik kepada dua polisi bawahannya, dan salah satu dari mereka langsung memberikan hormat.
“Tak ada gerak-gerik mencurigakan dari pria itu.” ujar salah satu polisi.
El tidak menanggapinya dan mulai berjalan ke sudut ruangan untuk mengambil kursi. Ia lantas mengambil serta membawanya ke meja, lalu duduk berhadapan dengan si pria misterius.
“Lihat aku.” kata El dengan suara berat.
Sang pria seperti trauma mendengar suara El. Ia pun buru-buru melirik sang Kapolsek — sorot mata laki-laki itu penuh dengan gejolak rasa takut. Saking ketakutannya, hampir sekujur tubuh sang pria misterius dipenuhi oleh keringat.
“Aku tau kau bukan orang sembarangan — dan aku juga tau kau tidak datang ke gedung tua itu secara kebetulan. Entah berapa jumlah kalian di sana, yang jelas kau tidak sendirian. Dan… aku tau kau punya rencana terselubung — katakan padaku.” ujar El lagi.
Sang Kapolsek tidak membuka pembahasan dengan berbasa-basi. Memang sudah menjadi kebiasaannya seperti itu setiap saat menginterogasi seseorang.
“A… aku…” gumam si pria misterius dengan terbata-bata dan gemetaran, “di… tugaskan… untuk membunuhmu… dan juga orang itu.” lanjutnya seraya melirikkan mata ke arah Detektif Fahri.
El lantas kembali mengajukan pertanyaan. “Siapa yang menugaskanmu?”
“Narkan…”
El spontan mengerutkan dahinya ketika mendengar ucapan dari pria misterius yang menyebut nama Narkan. Ia sama sekali tidak mengenali sosok dari nama itu.
Di samping itu, Detektif Fahri malah bergumam, “ada sebuah gengster yang baru-baru ini muncul di permukaan kota. Mereka sekumpulan orang yang sering merampok masyarakat di malam hari. Dan baru-baru ini, aku juga mendengar beberapa remaja yang berusia 15 sampai 17 tahun mulai ikut bergabung. Mereka merampok serta membegal siapa saja korbannya — dari yang ku dengar, mereka tak segan-segan untuk melakukan aksi pembunuhan.”
Perkataan Fahri spontan membuat El menatapnya. “Apa gangster itu punya kaitan dengan nama yang disebut oleh orang ini tadi?” tanya El kepada detektif.
Seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, detektif membalas, “aku yakin kaitannya cukup erat. Narkan — dia adalah ketua dari gengster yang dimaksud oleh laki-laki itu.”
Fahri berhenti sesaat sambil menatap laki-laki misterius. Tak lama berselang, dia kembali berujar, “benar, kan?” tanyanya kepada si pria.
“Be… benar…” sahut laki-laki misterius.
“Sesuai yang kau katakan tadi…” lanjut Fahri lagi yang kini mengalihkan pandangan kepada El, “kedatangan laki-laki itu ke gedung tua tadi bukanlah kebetulan belaka — begitu juga dengan dirinya yang menyebut nama Narkan — dia pasti salah satu dari gengster yang diketuai oleh Narkan itu.”
Komandan El sepakat dengan kata-kata Fahri. “Masuk akal juga…” ujarnya.
Di momen ini, El terus mengajukan banyak pertanyaan lain kepada si pria misterius itu. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, beberapa di antaranya sang laki-laki mengatakan bahwa dia memang bertugas untuk membunuh Komandan El dan Detektif Fahri. Adapun dirinya tidak beraksi sendirian; dia melakukan tugas itu bersama tiga rekannya yang lain.
Mereka semua berpencar, termasuk salah satunya yang bersembunyi di sebuah atap gedung… sosok yang mencoba menembak Detektif Fahri dari jarak jauh. Meski misinya gagal dan malah terkena tembakan oleh senapan detektif, namun orang itu benar-benar hampir berhasil membunuh Fahri. Seandainya El tidak datang tepat waktu untuk menyelamatkan Fahri, bisa saja detektif itu tewas seketika.
Informasi lain yang dikatakan oleh laki-laki misterius tadi adalah perkara markas dari gengster yang diketuai oleh Narkan. Ada tiga tempat yang ia sebut, dan ketiga lokasi itu telah menambah kerja Komandan El. Mau tak mau dia harus mencari tempat-tempat yang telah disebut tadi.
Di samping itu, kasus Alissa mulai sedikit menemukan arah. Sang lelaki juga mengaku bahwa gengster yang diketuai oleh sosok Narkan itu ternyata punya kaitan besar di balik terbunuhnya Alissa.
Di sini, Detektif Fahri yang mendengar si pria dengan seksama, seketika dirinya teringat akan perkataan Inayati. Sebelumnya, wanita itu pernah menduga bahwa ada beberapa orang yang terlibat di balik kematian Alissa. Inayati mengungkapkannya berdasarkan analisa sang detektif sendiri.
Kini, dengan keterlibatan sebuah gengster di balik tewasnya Alissa, lantas asumsi Inayati seolah-olah sudah terjawab secara tak langsung.
Dua puluh menit kemudian
Interogasi selesai dilakukan. Saat ini, pria misterius itu sudah dibawa ke dalam sel. Sedangkan Komandan El dan Detektif Fahri berada di dalam ruangan sang Kapolsek. Keduanya duduk di kursi sofa dan masih membahas lanjutan dari kasus Alissa.
“Tertangkapnya laki-laki tadi sudah menjawab satu teka-teki dari kasus ini — terutama Fathur. Ternyata kau benar, detektif… Fathur memang bukan pembunuh Alissa. Aku sudah salah tangkap.” kata El kepada Fahri.
“Masih banyak yang harus kita ungkap, bahkan proses penangkapan Fathur. Kita harus mengusutnya juga.”
“Ya, aku setuju. Mungkin perkataanmu memang benar… ada seseorang yang memeras Fathur agar dia bersedia menjadi tersangka. Sekarang, terjawab sudah kenapa dia terus dipresi selama berada di dalam penjara, bahkan sampai bunuh diri. Kini aku paham luka batin yang ia rasakan, tapi sayang sekali dia sudah tiada. Seharusnya, sejak hari pertama kasus ini kita tangani, sejak hari itu aku seharusnya mendengar semua asumsimu. Jadi, maafkan aku, detektif…” ungkap sang Kapolsek.
Fahri tidak langsung merespon. Dia mengambil gelas bening dari atas meja yang berisi air; setelah membaca basmallah, ia lantas meneguknya tiga kali, kemudian kembali meletakkan gelas itu ke tempat semula.
“Kesampingkan dulu emosi pribadi, kita sedang menyelidiki sebuah kasus yang ternyata punya banyak kaitannya. Seperti yang ku bilang, masih banyak pekerjaan yang belum tuntas, dan kita harus segera mengerjakannya.” sahut Fahri.
El lantas mengangguk menaggapi perkataan sang detektif. “Lalu, bagaimana rencanamu yang ingin memata-matai Munir?” tanyanya.
“Tentu saja aku akan melakukannya. Terima kasih karna kau sudah memberiku sedikit informasi mengenai Munir. Dalam beberapa hari ke depan, aku akan melakukan pekerjaanku. Memata-matainya bisa menjadi salah satu tugas yang lumayan berat — mengintai sosok tangan kanan Kapolsek bukanlah perkara mudah. Barangkali, tugas ini bisa memakan waktu sampai berhari-hari.”
“Apa kau pikir dia benar-benar terlibat juga?”
“Aku tidak berpikir seperti itu. Tujuanku mengintainya hanya untuk membuka arah kasus ini agar lebih terarah. Aku merasa… Munir punya sesuatu yang sampai saat ini masih ia sembunyikan. Barangkali dia juga menyadari bahwa sebenarnya Fathur bukanlah tersangka — dan mungkin pun dia tau ada keterlibatan sebuah gengster di balik ini semua.” jelas Fahri.
El yang mendengarkan itu malah terdiam sejenak seraya memerhatikan Fahri. Namun tak lama berselang ia kembali berbicara.
“Kenapa kau bisa sampai punya anggapan seperti itu? Apa yang kau lakukan sehingga seakan-akan nalarku tidak sampai sejauh nalarmu?” tanya El.
“Setelah 5 tahun kita bekerja kau malah bertanya seperti itu?”
“Lima tahun bukan berarti membuat kita sudah bersahabat dekat. Kau itu detektif, tapi terkadang aku bingung terhadap perawakanmu. Kau yang bersikap tenang seperti tidak melakukan apa-apa, tapi kau malah berani berbicara… menunjukkan pendapatmu dengan cukup percaya diri… seolah-olah kau sudah tahu semuanya.” kata sang Kapolsek.
Fahri kembali meneguk air, lalu menjawab, “aku terbiasa membaca sikap seseorang dari bahasa tubuh. Sorot mata, mimik wajah, gerak-gerik tangan saat berbicara, bahkan intonasi suara dari seseorang ketika sedang berbicara… aku memperhatikan semuanya. Dari situlah aku mencoba menganalisis berbagai macam perkara — salah satunya seperti menganalisis Fathur yang dipresi. Tapi, yang ku coba pahami bukan untuk menghilangkan rasa dipresi itu — aku mencari tau penyebab dirinya dipresi dari semua gerak-gerik anggota tubuh yang dapat ku terawang. Hal yang sama juga ku lakukan terhadap Munir — sorot matanya seperti ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. Dan aku ingin tau, apa yang ia coba sembunyikan itu, sampai-sampai dirinya merasa seperti sedikit takut setiap saat bersua denganku. Namun sebaliknya, dia sangat percaya diri saat sedang bersua denganmu.” jelas Fahri.
Begitulah Detektif Fahri. Dia dikenal sebagai sosok yang tenang, namun inderanya cukup tajam untuk melihat ke berbagai sisi. Inayati sendiri bahkan berani berkata bahwa Fahri merupakan orang yang lebih peka daripada polisi intelijen, meski detektif bukan salah satu dari mereka, dan sama sekali tidak memiliki kemampuan khusus layaknya polisi intelijen. Akan tetapi, kemampuannya tak bisa dianggap sebelah mata.
Bersambung…