Di Balik Cahaya Kegelapan

Tragedi Berdarah

Reza Fahlevi
7 min read1 day ago
Photo by Marcus Bellamy on Unsplash

Bagian 4

— —

Detektif Fahri telah tiba di rumah Alissa, sang wanita yang tewas tergantung di tiang lampu jalanan. Lelaki itu tidak sendirian, ia datang bersama Komandan El. Saat ini, keduanya sedang berada di kamar sang wanita.

Detektif berjalan menuju ke sebuah lemari besar. Ia lantas membukanya dan melihat begitu banyak baju yang tergantung. Di sisi lain, Komandan El menyusuri sebuah ruangan yang ketika ia membuka pintunya, ternyata tempat itu adalah kamar kecil. Lantas sang Kapolsek berjalan masuk dan melihat-lihat ke sekitar.

Di sisi Fahri, setelah membuka lemari yang isinya pakaian, dia lantas menutupnya kembali dan mulai beranjak ke sebuah lemari lainnya yang menyatu dengan cermin. Mata sang detektif langsung menuju ke bawah, tepat ke dua laci kecil bertingkat. Ia pun sedikit merunduk dan mulai membuka laci pertama.

Di laci pertama, Fahri hanya menemukan sisir serta cermin mungil. Ia lantas membuka laci kedua dan melihat hanya ada sebuah dompet. Sang detektif pun mengambil dompet itu lalu membukanya. Di dalam terdapat secarik kertas yang terlipat. Namun, ketika detektif mengambil serta membuka lipatannya, ternyata ada 3 lembar kertas yang disatukan.

Fahri membaca satu persatu tulisan di setiap lembaran kertas, sesaat kemudian ia menyadari ternyata itu merupakan sebuah catatan. Akan tetapi, bukan berupa catatan biasa melainkan tulisan yang mengarah ke sebuah curhat. Di setiap sisi bawah kertas, tertera tanggal mulai dari 30 Juni, 5 Juli dan 10 Agustus.

“Apa itu? Catatan hutang si pelaku?” tanya Komandan El sambil berjalan menuju ke tempat Fahri.

El bertanya seperti itu sebab Fathur, sang terduga pelaku, pernah mengaku bahwa ia terlilit hutang dari Alissa. Oleh karena tak sanggup melunasinya, dia pun menghabisi nyawa wanita itu.

“Ini…” gumam Fahri yang berhenti sejenak. Ia memperhatikan selembar kertas dengan seksama selama beberapa detik. Tak lama kemudian dirinya melanjutkan, “isi tulisannya terlihat seperti sebuah pesan.”

“Pesan…?”

“Aku tidak tau pasti. Tapi, firasatku berkata tiga lembar kertas ini seperti mencurahkan kegelisahan dari si penulisnya.” ujar detektif.

Fahri lantas memberikan tiga lembar kertas itu kepada El, dan sang Kapolsek mulai membacanya dengan serius. Lantas, setelah beberapa saat dia terdiam, dirinya mulai berbicara, “dari mana kau menilai bahwa tulisan ini mengarah ke sebuah pesan?” tanya El.

Sang detektif tidak menjawab dulu. Dia mengambil selembar kertas dari tangan El kemudian melihatnya seraya berujar, “kalimat berupa aku bukan seorang wanita jalang yang suka mengganggu lelaki lain. Aku hidup sebagai wanita untuk menjadi tulang punggung bagi keluargaku di kampung — aku yakin di kalimat itu, si penulis sedang menuliskan pesan untuk dirinya sendiri. Barangkali dia sedang memotivasi dirinya dari suatu masalah.”

Lalu, El menyahut, “jika mengambil beberapa kata kunci, sebaiknya kita fokus pada kata wanita jalang dan tulang punggung bagi keluarga. Apakah mungkin si penulis itu memiliki pekerjaan sampingan sebagai PSK?”

“Entahlah. Tapi, pemikiranmu itu bisa kita telusuri lebih jauh.”

“Dan lagi detektif… dua surat ini…” ujar El seraya memperlihatkan dua lembar kertas di tangannya, “aku yakin isinya pun juga mengarah ke hal yang sama seperti surat yang kau pegang itu.”

“Ya… aku sependapat denganmu.” pungkas Fahri.

Dari ketiga lembar kertas yang menurut Detektif Fahri adalah surat berisi pesan, memang semua arah tulisannya ada kaitannya dengan hal-hal yang berbau PSK. Itu pula yang diyakini oleh detektif bahwa barangkali si penulis surat bekerja sebagai sosok penghibur laki-laki berhidung belang demi menghidupi keluarganya.

“Apa menurutmu surat ini ditulis sendiri oleh Alissa?” tanya El.

“Sepertinya memang tulisan wanita itu —apalagi kita mebemukannya di rumah Alissa. Tapi, kita perlu beberapa bukti…” jawab detektif seraya berjalan ke sebuah rak buku.

Di hadapan rak buku, Fahri melihat-lihat sejenak hingga kemudian matanya berhenti melirik tepat di sebuah buku tulis. Lantas dia mengambil serta membukanya, dan lalu berjalan kembali ke lemari cermin. Detektif meletakkan buku tulis di atas permukaan lemari bersamaan dengan selembar kertas tadi. Ia berdiam diri sembari kedua mata fokus melirik buku dan juga kertas — lelaki ini sedang mencoba membandingkan bentuk tulisan tangan yang ditulis oleh si penulis.

“Tulisan di kertas ini mirip dengan yang ada di dalam buku.” kata Fahri.

El yang mendengar itu lantas berjalan mendekat dan berdiri di sebelah Fahri. Ia juga meletakkan dua lembar lertas lainnya dan membandingkan tulisannya dengan yang ada di dalam buku.

“Ya… sangat mirip. Berarti memang tulisan di tiga lembaran kertas ini milik Alissa.” sahut El.

Meskipun sependapat dengan sang Kapolsek, namun Fahri tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ia tetap menganggap tulisan yang tertera di tiga lembar kertas milik Alissa, akan tetapi sifatnya masih sementara. Alasannya sebab tulisan yang ada di buku juga belum tentu seutuhnya ditulis oleh sang korban walaupun di bagian halaman paling bawah terdapat nama Alissa beserta tanggal ditulisnya tulisan itu.

“Jika menurutmu ini buku harian Alissa, bisa bisa dikatakan juga bahwa 3 lembar kertas ini merupakan catatan hariannya. Tapi, yang menjadi pertanyaannya… kenapa korban malah memisahkan catatan hariannya di buku serta di lembaran kertas?” tanya El.

Fahri menanggapi pertanyaan itu dengan menggeleng seraya berkata, “mungkin kita akan mengetahui jawabannya saat mengunjungi sebuah tempat.”

El tidak berkata apa-apa lagi — ia hanya mengangguk pertanda dirinya paham dengan maksud detektif mengenai tempat yang akan mereka tuju selanjutnya.

Lima belas menit kemudian

Detektif Fahri dan Komandan El akhirnya keluar dari rumah Alissa. Mereka tidak menemukan apa-apa di situ kecuali hanya 3 lembar kertas tadi. Kediaman korban terlihat cukup bersih — setidaknya, hal-hal yang berkaitan dengan aksi pembunuhan sama sekali tidak ditemukan, sebagaimana yang dikatakan oleh Fathur bahwa dia menghabisi nyawa Alissa di rumah itu.

Namun, ada satu hal yang membuat Fahri cukup penasaran; dari hari pertama dia menyelidiki kasus kematian Alissa sampai dengan hari ini, dirinya tidak bisa menemukan dua benda penting yaitu ponsel serta KTP milik wanita tersebut. Padahal, salah satu tujuan detektif mendatangi kediaman korban adalah untuk mencari dua benda penting itu. Dan yang membuatnya semakin bertanya-tanya adalah ponsel serta KTP sama sekali tidak ada di sisi Fathur sebagai sosok terduga yang membunuh Alissa. Fahri sudah memeriksa pria itu dan dia tidak menemukan apa-apa.

Sehari setelah mengunjungi rumah Alissa, Komandan El menghubungi Detektif Fahri. Mereka berbicara sedikit panjang melalui ponsel, dan tak lama berselang detektif memutuskan komunikasi.

Di kantor pribadinya, detektif beranjak ke sebuah lemari pakaian, lalu membukanya untuk mengambil kemeja hitam. Lantas dia menanggalkan baju kaos dan menggantikannya dengan kemeja tersebut.

Ketika Fahri sudah bersiap-siap keluar dari ruangannya, seketika dia mendengar suara ketukan sebanyak tiga kali. Lalu seorang perempuan membuka pintu dari luar dan tampaklah Inaya — dia datang dengan membawakan secangkir kopi beserta beberapa kue.

Namun, sebelum masuk, Inaya ragu untuk melangkahkan kakinya sebab ia sudah melihat Fahri berpakaian rapi. Di sisi lain, sang detektif menyadari sikap Inaya, lantas dia pun mulai merasa bersalah.

“Inaya, maaf… lagi-lagi aku sudah merepotkanmu.” ujar Fahri sembari menatap asistennya itu.

Sambil mengumbar senyuman cerah, Inaya menyahut, “kau sudah mau pergi, detektif?”

“Benar — ada panggilan mendadak.”

“Tak apa… akan ku bawa ke belakang saja kopi ini.”

“Jangan, Inaya…” balas detektif. Ia lantas berjalan mendekati Inaya lalu menjulurkan kedua tangan. “Biar ku taruh di atas meja. Nanti jika aku sudah kembali, aku akan meminumnya.”

“Tapi, kopinya sudah dingin saat kau kau kembali.”

“Tak apa. Daripada dibuang, lebih baik diminum walaupun sudah dingin. Lagipula, kau sudah membuatnya — aku merasa sangat tidak menghargaimu jika tidak ku minum.”

Inaya malah tertawa kecil mendengar perkataan Fahri, membuat susunan gigi wanita itu yang tertata rapi terlihat jelas di mata detektif.

“Detektif, kau tak perlu bersikap seperti itu. Menyediakan kopi memang sudah menjadi tugasku.” ujar Inaya.

“Memang — dan karna tugasmu menyediakan, tak ada alasan bagiku untuk tidak meminumnya.” balas detektif. Kedua tangannya masih menanti Inaya untuk memberikan kopi beserta kue kepadanya.

Namun, Inaya paham posisinya — ia tidak menyahut apa-apa lagi. Sang wanita kini mulai melirik ke tiga sofa di mana terdapat sebuah meja di tengahnya.

“Kalau begitu, biar aku saja yang menaruhnya di atas meja.” lanjut sang asisten. Dia segera berjalan kemudian menaruh cangkir berisi kopi serta kue-kue ke atas meja.

Di samping itu, Fahri hanya melirik Inaya. Ketika wanita itu menoleh kepadanya, detektif lantas mengumbar senyuman sambil menganggukkan kepala. Hal itu juga dibalas oleh Inaya dengan senyuman pula.

Tiga puluh menit berselang, di kantor polisi

Fahri tiba ke tempat para napi dipenjara, letaknya di paling belakamg dari kantor polisi. Di sini, sudah ada Komandan El beserta tiga bawahannya.

Di hadapan detektif, ada sebuah sel di mana terdapat seorang laki-laki di dalamnya, dialah Fathur. Si terduga pelaku itu hanya duduk di paling sudut penjara sambil menutupi wajahnya menggunakan lutut, yang juga ia apitlan dengan kedua tangan.

“Laporan dari anak buahku, Fathur sudah dua hari duduk begitu saja. Dan setiap saat ditanya, dia hanya menangis — bahkan sampai menjerit-jerit tak jelas.” ungkap El kepada detektif.

Fahri tidak membalas apa-apa, dia hanya diam saja sembari menatap Fathur. Dalam diamnya, detektif terus bergumam dalam hati perihal si terduga pelaku itu. Sejak hari pertama dia menatap wajah Fathur, hingga sampai sekarang lelaki itu berada di dalam sel dengan sikap yang tidak jelas, detektif merasa seperti ada yang salah terhadap orang tersebut. Namun, untuk membuktikan sesuatu yang salah itu tidaklah mudah. Paling tidak detektif harus punya satu atau dua bukti untuk mengatakannya kepada El.

“Si pelaku juga sering mengucapkan kata-kata maaf setiap malam di pukul 10 sampai 12. Sikapnya itu seakan-akan seperti memohon ampun kepada Alissa yang sudah ia bunuh.” lanjut El.

Meski demikian, sebenarnya Detektif Fahri punya anggapan lain di balik sikap Fathur. Ia merasa bahwa ada hal tertentu yang membuat lelaki itu melontarkan kata maaf di waktu-waktu yang disebutkan oleh El tadi.

Di momen ini, Fahri berjalan lebih dekat hingga dia berada tepat di hadapan jeruji besi. Sang detektif kemudian menyorot sekujur tubuh Fathur yang sampai sekarang masih duduk sambil menutupi wajahnya menggunakan lutut. Hanya selang beberapa detik, ia mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya — ada bekas darah di setiap kuku tangan si terduga pelaku.

“Barangkali, ada keanehan lain yang ia lakukan selain yang disebutkan oleh Kapten barusan…” gumam Fahri dalam hati.

Bersambung…

--

--