Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 5
— —
Di sebuah kediaman yang remang-remang, seorang laki-laki bertopi serta mengenakan jaket hitam nan tebal berjalan sendirian. Tiba di hadapan pintu, dia lantas mengetuknya.
Tok tok tok
Tak lama berselang, seorang wanita dengan rambut yang menjulang sampai ke bahu, datang membukakan pintu.
“Kau terlambat…” ujar wanita berambut agak pirang itu.
“Ya… mau bagaimana lagi…? Aku orang yang punya kesibukan — bukan seperti kalian yang terlihat seperti pengangguran.” sahut lelaki berjaket hitam.
Sang wanita sedikit kesal mendengar ujaran laki-laki itu. Maka, tanpa banyak berceloteh, dia menyuruh si pria untuk masuk. Dan baru berjalan satu langkah, ia malah mendorong sang wanita, kemudian lanjut berjalan dengan penuh rasa percaya diri. Sedangkan si perempuan semakin kesal saja. Namun, dia tetap memilih diam.
Ketika berada di dalam rumah yang remang-remang itu, lelaki tadi lantas bersua dengan beberapa orang lainnya; ada 4 pria serta seorang wanita berparas anggun yang mengenakan jilbab berwarna putih. Mereka semua duduk di kursi, di mana di hadapannya terdapat sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu padat. Terdapat sebuah pistol semi otomatis di atas meja, tepat di hadapan pria yang mengenakan kemeja hitam.
“Bajingan…” celoteh wanita berjilbab putih, “kau benar-benar telat.”
“Nora sayang… ada hal yang harus ku lakukan terlebih dahulu.” jawab si lelaki berjaket.
“Apa ada masalah…?”
“Fathur keparat itu… dia malah berulah.”
“Berulah…? bukannya selama ini dia berada di dalam penjara?”
“Benar…” sahut lelaki berjaket itu sembari membuka topi, yang kemudian ia lanjutkan, “dan dia malah berulah di sana.”
“Apa maksudmu dia berulah? Aku sama sekali tidak mengerti.” sahut wanita berjilbab putih yang bernama Nora. Kini dia mulai duduk dengan posisi tubuh yang agak tegak.
Lelaki berjaket tidak menjawab dulu pertanyaan sang wanita. Ia malah berjalan menuju kulkas, mengambil sebotol air berisi minuman keras, lalu meneguknya seperti orang yang cukup kehausan. Di sisi lain, Nora mulai mengepal tangan kanannya — dia kesal sebab pertanyaannya tadi tidak langsung digubris.
Setelah meneguk minuman keras, pria berjaket lantas berjalan ke meja bundar sambil memegang botol. Sembari dirinya berjalan, semua orang menatap lelaki itu dengan raut wajah yang sedang memendam amarah.
Begitu tiba, lelaki itu pun meletakkan botol minuman keras ke atas meja dengan sedikit membantingnya. Melihat itu, seorang pria berkemeja hitam, yang juga dikenal sebagai ketua dari sebuah gengster, dengan spontan dirinya bangkit dari duduk.
“Hey bajingan… jangan pikir kau yang seorang polisi bisa semena-mena terhadap kami. Di mataku, kau hanya berupa seekor anjing hina. Jawab pertanyaan wanita itu!” ujar si laki-laki berkemeja. Ia sudah terlanjur tersulut emosi melihat tingkah sang pria berjaket.
“Dan kau tak perlu berlagak sok hebat di hadapanku. Aku bisa saja menjebloskan kalian semua ke penjara sekarang juga — mudah saja ku lakukan jika aku mau.” sahut si lelaki berjaket.
Perkataan pria berjaket semakin membuat emosi laki-laki berkemeja hitam membludak. Tangan kanannya lantas bergerak dan mengambil sebuah pistol dari atas meja.
“Apa kau mau berakhir seperti Alissa itu…? jangan kira aku takut melakukannya.” kata si laki-laki berkemeja.
Sang pria berjaket hanya mengumbar senyuman mengejek. Di saat yang sama, dia Nora dan berkata, “apa kau sudi melihatku mati…? setelah semua kebaikan yang ku lakukan untukmu…?” tanyanya kepada sang wanita.
Lalu, perempuan berjilbab putih menyahut, “Doni… letakkan pistolmu. Tujuan kita berkumpul di sini bukan untuk saling menghabisi — tapi untuk menghilangkan segala jejak.”
Ya, Doni itulah sosok lelaki berkemeja hitam, yang juga merupakan ketua dari sebuah gengster.
Lantas, perkataan Nora tadi langsung membuat Doni luluh. Ia lantas meletakkan kembali pistolnya ke atas meja dan mulai duduk sambil menarik napas panjang, yang kemudian ia hembuskan melalui mulut.
Setelah pertikaian singkat tadi, mereka semua mulai membahas sesuatu perkara Fathur, sang terduga pelaku di balik kematian Alissa. Adapun pembahasan ini dipimpin oleh si pria berjaket yang sejatinya merupakan seorang polisi. Dia mengatakan banyak hal terkait kondisi Fathur yang sedang berada di dalam penjara.
Semua yang sedang duduk di hadapan meja bundar memperhatikan lelaki berjaket yang sedang berbicara sambil berdiri. Mata mereka cukup fokus, seakan-akan tak ingin membiarkan ada satu kata pun yang tertinggal.
“Sepertinya Fathur benar-benar tertekan di dalam penjara, tak heran jika dia sekarang sedang dipresi.” ujar Nora.
Lalu, lelaki berjaket menyahut, “bukan dipresi yang menjadi permasalahannya sekarang — aku sama sekali tak peduli dengan kondisi psikis Fathur. Tapi, yang menjadi permasalahannya selama ini adalah seorang detektif bernama Fahri.”
“Detektif Fahri…? Jadi, dia juga sedang mengusut kasus ini?”
“Sudah jelas. Dia berada di TKP saat para polisi menurunkan jasad Alissa dari tiang lampu. Jadi, sudah pasti dia ikut mengusut kasus ini.”
“Tunggu…” balas wanita berjilbab, “kenapa kau berpikir hadirnya Detektif Fahri malah bisa menjadi suatu masalah? Sejauh yang ku tau, dia itu hanya seorang laki-laki biasa yang cuma memiliki lisensi detektif — dia bukan polisi.”
“Kau benar, dia bukan polisi. Tapi, sepertinya dia tau satu hal terkait Fathur.” lanjut pria berjaket.
“Apa…? Jangan bilang — ”
“Sepertinya, detektif itu sadar bahwa kondisi psikis Fathur yang mulai dipresi bukan disebabkan karna dia dipenjara.”
“Sialan… apa dia benar-benar menyadarinya?”
“Dari bahasa tubuh yang ku baca, barangkali Fahri memang benar-benar menyadari bahwa ada yang salah dengan Fathur. Yang jelas, dia tau… yang membuat Fathur dipresi bukan karna dia dipenjara. Selain itu, mungkin saja Fahri juga mulai sadar bahwa ada kejanggalan di balik kematian Alissa — dan kesadarannya itu bisa saja melalui kondisi psikis Fathur.” jelas sang pria berjaket.
Nora seketika menjadi cemas. Kedua tangannya yang berada di atas meja bahkan sampai sedikit gemetaran. Di samping itu, Doni spontan melirik ke sang perempuan; dia menyadari sesuatu.
“Jika memang detektif bernama Fahri itu menjadi masalah…” ujar Doni. Ia berhenti sesaat sambil menolehkan pandangan ke pria berjaket, lalu melanjutkan, “bunuh saja dia.”
“Kau menyuruhku…?” tanya pria berjaket.
“Tak dapat dipungkiri lagi, kau pasti sering berbaur dengan detektif itu di kantor polisi. Jadi, tak ada orang lain yang bisa membunuhnya dengan cara halus selain dirimu. Kau itu polisi — gunakan pekerjaannmu untuk melakukan sesuatu yang pantas… meskipun harus dengan cara kotor dan berdarah-darah.”
Sang pria berjaket malah mengekeh sesaat setelah mendengar ucapan Doni. “Jangan remehkan Fahri. Aku memang bisa membunuhnya, tapi kau harus tau siapa yang selalu berada di samping detektif itu — Komandan El — dia orangnya. Pergerakanku cukup terbatas karna kehadiran si Kapolsek.” gumamnya.
“Serahkan Kapolsek bajingan itu padaku — malam ini juga aku akan datang untuk membunuhnya.”
“Ha ha ha… dasar bodoh. Kau memang ketua gengster yang cukup ditakuti, tapi untuk orang yang satu ini, kau hanya berupa anak anjing. Komandan El… dia sosok yang cukup berbahaya bagi kehadiran mafia-mafia seperti kalian.”
“Jika berbahaya, lantas kenapa dia tidak datang dan menangkap kami semua?”
“Karna kau dan bawahanmu masih belum terdengar kabarnya oleh El. Tapi, cepat atau lambat dia pasti akan mendengarnya — apalagi jika dia tau bahwa kalian terlibat di balik kematian Alissa.”
“Banyak yang terlibat — semua orang yang ada di sini terlibat. Jika salah satu dari bawahanku tertangkap, aku akan datang dan membunuhmu. Kau akan menjadi orang pertama, setelah itu — ”
“Masih ada waktu…” balas pria berjaket. Ia langsung memotong omongan Doni. “Kita masih bisa memperbaiki semua masalah ini. Dengar, aku akan mengawasi gerak-gerik Detektif Fahri. Sedangkan kalian, usahakan jejak kita benar-benar lenyap. Tugasku saat ini adalah memantau; baik pergerakan Fahri ataupun Fathur. Dan khusus untuk Fathur, jika kondisi psikisnya semakin kacau, aku akan membunuhnya.”
Setelah perkataan sang pria berjaket, semua terdiam sambil memandanginya. Di waktu yang sama, Nora yang sejatinya masih ketakutan, memaksakan dirinya untuk mengumbar senyuman sekaligus mengajukan pertanyaan, “kau akan melakukan segalanya, kan, sayang…?
Sambil membalas senyuman Nora, laki-laki berjaket menjawab, “kau tak perlu meragukanku — aku melakukan pekerjaan ini dengan tingkatan yang sama seperti perasaanku kepadamu. Jadi, sudah pasti aku mengorbankan segalanya… asalkan kau bersedia menerima cintaku lagi.”
Sikap Nora seketika berubah; dari yang awalnya gemetaran karena taket, sekarang dia mampu bersikap tenang seperti tidak terjadi apa-apa.
“Aku bisa menerima cintamu lagi setelah semua urusan ini selesai. Bukan hanya cinta, kau juga akan merasakan ini…” kata Nora yang berhenti sejenak sambil menyentuh area payudara menggunakan kedua tangan. Adapun matanya menatap sang lelaki berjaket dengan sorot yang cukup menggoda.
“Aku juga berniat memberimu keperawananku. Cinta dan seluruh area tubuhku akan menjadi hadiah terbaik untuk semua pekerjaan yang kau lakukan demiku.” ujar Nora lagi dengan suara nakal.
Sang pria berjaket seketika menjadi cukup bergairah dan bersemangat. Ia begitu senang mendengar yang dikatakan oleh Nora; wanita yang dulu pernah menjadi pacarnya.
“Kalau begitu…” kata Doni kepada pria berjaket, “ku serahkan Detektif Fahri dan Fathur bajingan itu padamu. Aku mau si keparat itu tetap dianggap sebagai tersangka — dan ku harap kau bisa membuat polisi, terutama Detektif Fahri tidak pernah mendengar tentang kita semua. Seharusnya, sejak malam itu kita membunuh Fathur. Tapi apa boleh buat, semua sudah terlanjur terjadi — yang bisa kita lakukan sekarang adalah menghilangkan semua bukti.”
“Kau tak perlu risau — tinggal beberapa proses lagi sebelum Fathur mendapat hukuman. Ku dengar dari Komanda El, dua hari lagi mereka akan membawa si keparat itu ke TKP untuk me-reka ulang kejadian pembunuhan Alissa. Aku sendiri sudah mengatakan padanya bagaimana nanti saat-saat dia memperagakan cara pembunuhan. Dan tepat setelah itu, dia akan diadili di persidangan — El berkata hukuman yang setimpal untuk Fathur adalah hukuman mati. Jadi, sudah tak lama lagi — begitu Fathur dieksekusi, kita semua bisa hidup bebas.” jelas pria berjaket.
Perkataan pria berjaket yang merupakan polisi itu mengakhiri pembahasan mereka semua. Mulai dari Nora sampai Doni mengumbar senyuman lega sebab mereka mendapatkan berita gembira yaitu, hukuman mati yang akan dihadapi oleh Fathur.
Bersambung…