Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 18
Dua hari setelah Nora tewas di apartemennya, para polisi pun langsung bergerak ke TKP. Adalah Inayati yang pertama kali mengetahui tragedi itu. Sebagaimana yang diketahui, wanita itu telah ditugaskan oleh Detektif Fahri untuk memata-matai Nora. Dan dia sudah beberapa kali memasuki apartemen Nora dengan menyamar sebagai tukang bersih-bersih. Namun, saat tragedi mantan kekasih Viktor itu sedang berlangsung, Inayati tidak berada di tempat.
Saat ini, Komandan El dan beberapa bawahannya sedang mengolah TKP. Turut hadir juga Detektif Fahri serta Inayati. Jasad Nora sendiri masih terbaring di tempat yang sama saat dirinya tewas dua malam yang lalu. Hanya saja, kini di sekujur tubuh wanita itu sudah ditutupi dengan kain berwarna putih.
Dua orang dokter; laki-laki dan perempuan; tiba ke lokasi dan langsung bertemu dengan Komandan El. Mereka berbicara sejenak, lalu keduanya bergegas membuka kain kafan yang menyelimuti jasad Nora untuk diidentifikasi. Bercak darah masih membekas di sela-sela lubang hidung sang wanita — bahkan juga sampai mengenai area mulut serta sebagian pakaiannya.
Ada beberapa menit kedua dokter itu memeriksa jenazah Nora, lantas Komandan El mengajukan pertanyaan.
“Bagaimana, dokter…? apa ada tanda-tanda pembunuhan?” tanya El kepada dokter laki-laki.
Sambil berjongkok dan tetap memeriksa jasad Nora, sang dokter menjawab, “jika dilihat sekilas, wanita ini tewas karna terlilit sesuatu di lehernya. Coba perhatikan…”
Dokter itu memperlihatkan ada bercak hitam di sekitar leher Nora Kepada El. “Ini menandakan kalau ada sesuatu yang menjerat leher korban. Bisa saja tali atau sesuatu yang lain…” katanya lagi.
El berjongkok di sebelah sang dokter pria dan memerhatikan bercak hitam tersebut. “Dengan kata lain, dia bunuh diri dengan cara menjerat lehernya sendiri menggunakan benda tertentu?” tanya El.
“Bisa saja dia bunuh diri — tapi kita tidak menemukan apa-apa yang ia gunakan untuk bunuh diri.” sahut dokter seraya menolehkan kepala ke langit-langit.
El dan sang dokter terus berdiskusi. Di samping itu, diam-diam Fahri menghampiri mereka berdua dan mencoba menguping apa yang sedang dibahas. Sembari mendengar, detektif juga menatap jasad Nora, terutama di bagian leher. Ia mencoba mempelajari sesuatu.
Lalu, dua menit berselang, Fahri langsung paham bagaimana Nora tewas. Namun demikian, dia masih diam karena tak ingin memotong pembahasan El dan dokter. Detektif terus saja mendengarkan mereka hingga El spontan menoleh ke belakang, tepat ke arah Fahri.
“Kau datang karna sudah menyadari sesuatu, kan…?” tanya El kepada Fahri.
Detektif lantas mengangguk. “Ya… tapi aku takkan memaksamu untuk mendengar asumsiku — jika kau memang tak berniat mendengarkannya.” sahut lelaki ini.
El sedikit mengumbar senyuman. Ia paham maksud Fahri yang mengatakan itu kepadanya. Dan, berkaca pada kematian Fathur, sang Kapolsek dengan legowo mengizinkan detektif untuk menjabarkan apapun yang ada dalam pikirannya.
“Jadi… menurutmu bagaimana kejadiannya?” tanya El yang masih berjongkok.
Sebelum menjawab, Fahri menatap bercak hitam di leher Nora dalam-dalam. Tak lama berselang, dia pun mulai berbicara.
“Bekas itu bukan dikarenakan lilitan benda manapun — itu adalah bekas tangan yang mencekik leher wanita ini…” kata Fahri.
Sang dokter pria buru-buru memotong perkataan detektif. “Memang… ada kemungkinan bercak hitam itu bekas cekikan tangan. Tapi, tak mungkin, kan, wanita ini mencekik dirinya sendiri hingga tewas…?” sahutnya.
Mendengar itu, Fahri malah menatap sang dokter dengan cukup serius. “Dokter…” ujar detektif, “coba gunakan logikamu sedikit saja. Tewas karna cekikan itu… kemungkinan mana yang lebih besar…? bunuh diri…? atau dibunuh…?”
Dokter itu malah kesal mendengar kata-kata Fahri. Ia spontan berdiri dan menghadap sang detektif.
“Pertanyaan bodoh macam apa itu…? apa kau sedang mencoba merendahkanku sebagai seorang dokter yang memang sudah ahli di bidang ini? Kau pikir aku bocah SD yang baru menangani jenazah-jenazah seperti ini?” tanyanya.
Di sisi lain, El juga berdiri. Ia melirik sang dokter sejenak yang sudah bersiap-siap ingin meninju Detektif Fahri. Lantas, Kapolsek ini segera menepuk pundak dokter untuk menenangkannya.
“Memang terdengar lucu ada orang yang bunuh diri dengan cara mencekik dirinya sendiri menggunakan tangan. Oke… sekarang begini saja — aku tau maksudmu, detektif. Intinya kau beranggapan kalau wanita ini dibunuh, kan…? Maka, tunjukkan buktinya.” ucap El seraya menatap dan menganggukkan kepala kepada Fahri. Sikapnya seperti itu seakaan-akan menunjukkan bahwa ia sependapat dengan asumsi detektif, dan mendukungnya yang telah mengajukan pertanyaan dengan kesan merendahkan sang dokter tadi.
Sebelum mengungkapkan isi pikirannya lebih jauh, Fahri menoleh ke kanan, tepat ke sebuah tempat jemuran. Di sana, tergantung sebuah jaket hitam.
“Kunci pertamanya… ada di jaket itu.” gumam Fahri.
Di sini, El agak kurang mengerti. Seraya menaikkan satu alis, dia mengajukan pertanyaan, “ada apa dengan jaket itu?”
Menanggapi pertanyaan Komandan El, Fahri lantas melirik kepada sang Kapolsek. “Inayati sudah dua kali datang ke tempat ini dengan menyamar sebaagai tukang bersih-bersih. Dalam misi penyamaran itu, dia juga melakukan tugasnya untuk memata-matai Nora… termasuk melihat apapun yang ada di dalam kamar ini. Yang ingin ku katakan adalah… jaket itu bukan milik Nora — tapi Abdul. Jika kau masih ragu, buka saja lemari yang menyatu dengan cermin itu.” ungkap detektif.
El yang penasaran lantas menoleh ke arah lemari yang dimaksud oleh Fahri tadi. Lemari itu memang menyatu dengan cermin. Lantas, sang Kapolsek pun berjalan ke sana dan membukanya. Ada beberapa lembar foto di situ, dan El mengambil semuanya.
“Foto Abdul…” gumam sang Kapolsek.
Ya… semua foto itu memang berisi gambar Abdul, alias Viktor, yang mengenakan jaket hitam, persis sama seperti yang tersangkut di tempat jemuran.
“Jadi… Abdul yang membunuh wanita ini?” tanya El kepada Fahri. Ia mulai paham isi pikiran sang detektif.
“Itu baru satu bukti. Bukti kedua, kamera CCTV di beberapa area apartemen ini senpat mati — dan yang anehnya, hanya pada malam itu saja kamera pengintainya mati. Tapi, walaupun mati, aku sudah mengecek sisa rekaman CCTV yang tetap menyala di beberapa area lain. Dari situ tampaklah seorang pria yang mengenakan jaket hitam itu, memasuki area apartemen ini.” sahut Fahri.
Sang detektif lantas melanjutkan penjelasannya kepada El. Dia berkata bahwa jeda waktu saat pria berjaket hitam itu mendatangi apartemen Nora, hingga kemudian dirinya pergi, semua itu berkisar selama 1 jam. Laki-laki yang diduga sebagai Viktor itu berjalan meninggalkan apartemen hanya mengenakan kaos berlengan panjang, tidak lagi memakai jaket.
Selain kamera CCTV, Fahri juga membuktikan bahwa kematian Nora itu memang benar-benar aksi pembunuhan. Ia menunjuk ke lantai, di dekat pintu masuk, ada noda cokelat bekas tapak sepatu. Hal itu seakan-akan mempertegas anggapan detektif yang meyakini bahwa ada orang asing yang datang ke apartemen Nora, dan dia adalah Viktor.
“Mungkin, bekas tapak sepatu itu agak kurang meyakinkan kalau ada orang asing yang masuk ke sini karna… bisa saja itu bekas tapak sepatu Nora yang baru pulang entah dari mana. Tapi, lihat lagi dengan jeli. Sejak awal kau tiba ke sini, pintu kamar ini terkunci. Kamar ini, dan kamar-kamar yang lainnya menggunakan kartu sebagai kuncinya. Di kartu itu, sudah ada sidik jari si penyewa apartemen, yang mana sidik jari itu pun juga sudah terdata secara khusus. Dan lagi, kartu itu juga berfungsi sebagai penghubung listrik di setiap kamarnya. Itu… di sanalah tempat kartu yang ku maksud ditaruh.” ungkap Fahri seraya mengarahkan jari telunjuk ke sebuah kotak persegi empat, yang mana terdapat sisi bolong di atasnya. Letaknya persis di sebelah pintu masuk.
“Komandan…” kata Fahri lagi, “barangkali kau dan bawahanmu melewatkan kartu yang ku maksud tadi — mungkin karna kalian sedikit terkecoh dengan lubang kunci yang tersemat di gagang pintu. Jadi, mungkin kau berpikir untuk masuk ke sini hanya memakai kunci biasa —dan kuncinya pun memang tersangkut di gagang pintu bagian dalam. Karna itulah… tidak terbesit sedikitpun dalam benakmu perihal kartu. Tapi, yang ingin ku katakan bukan itu — sekarang di mana letak kartu yang ku maksud tadi…? bukankah kotak yang tertempel di dinding sana tak ada kartunya?”
El menatap dengan sedikit agak lama ke kotak persegi tempat penaruh kartu itu. Sesaat kemudian, dirinya menoleh ke gagang puntu yang mana tersangkut kunci. Dalam waktu singkat, ia mulai menyadari bahwa kunci yang tersangkut itu merupakan pengecoh agar seolah-olah terlihat Nora memang berada sendirian di apartemennya, dan dia melakukan aksi bunuh diri secara diam-diam.
“Dengan kata lain…” gumam El seraya melirik Fahri.
Adapun detektif langsung memotongnya, “dengan kata lain, sejak awal kamar ini sudah terkunci — tapi bukan dari dalam, melainkan dari luar. Ada orang yang mengambil kartu itu dan mengunci ruangan ini dari luar tepat setelah dia membunuh Nora. Dan sebelumnya… agar kejadian ini terlihat seperti bunuh diri, maka orang itu pun sengaja menyangkut kunci di gagang pintu, lalu dia pun keluar dengan mengambil serta kartu yang sejatinya berfungsi sebagai kunci apartemen ini. Aku yakin dia pasti melakukannya… dan… yang melakukan itu… tak salah lagi… pastilah pria yang mengenakan jaket hitam . Dengan kata lain… orang itu adalah Abdul.”
Situasi menjadi hening sejenak setelah ungkapan Fahri tadi. Semua saling diam, bahkan dokter yang memeriksa jasad Nora. Lalu, dalam waktu dua menit kemudian, El mulai bertanya kepada Fahri.
“Detektif…kau pasti sudah tiba ke apartemen ini sebelum kami, kan?” tanya sang Kapolsek.
“Tentu saja. Satu jam sebelum kalian datang, aku sudah memeriksa setiap sisi gedung apartemen ini… termasuk ruang kamera CCTV.” sahut detektif.
Mendengar itu, El berjalan mendekati Fahri dan membisikkan sesuatu. Sang detektif pun membalas bisikan itu dengan cara yang sama. Kemudian, sang Kapolsek melirik kepada tiga bawahannya; ia mengarahkan jari telunjuk ke bawah seraya menganggukkan kepala. Di waktu yang sama, tiga polisi itu segera bergerak ke lantai satu, tepatnya ke ruang kamera CCTV.
Ada tiga pria yang bertugas memantau kamera CCTV di sekitaran apartemen, dan mereka semua langsung dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Selain para petugas itu, seorang laki-laki berusia 50 tahun juga ikut serta. Dia adalah sang pemilik apartemen.
Sepuluh menit berselang
Jenazah Nora akhirnya dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Meski dugaan besar tewasnya wanita itu karena dibunuh, namun pemeriksaan lebih lanjut tetap dibutuhkan guna memperdalam kejadian ini dengan lebih rinci.
Keesokan harinya, hasil autopsi jasad Nora sudah diketahui. Perkataan Fahri mengenai dirinya yang tewas karena cekikan benar adanya. Lebih lanjut, sidik jari yang tertempel di leher Nora bukanlah miliknya, dan hal itu sudah cukup untuk mempertegas bahwa asumsi detektif memang bukan bualan semata. Meski begitu, sebenarnya hasil autopsi itu masih bersifat sementara. Dibutuhkan beberapa hari lagi sampai hasil resminya dikeluarkan oleh pihak rumah sakit.
Di sebuah Rumah Sakit
Keberhasilan Detektif Fahri menemukan ponsel Alissa di tempat pertemuan Munir dan Viktor, membuat kabar kematian wanita itu akhirnya sampai juga ke pihak keluarga, setelah beberapa hari lamanya. Kini, kedua orang tua angkat Alissa sudah tiba di rumah sakit, tempat di mana jasadnya berada.
Ya, sejak Alissa ditemukan tewas tergantung di tiang lampu jalanan, jasadnya masih berada di rumah sakit, tepatnya di ruang jenazah. Awalnya, dokter yang menangani jasad Alissa hendak menggunakan tubuh wanita itu sebagai sampel, yang akan dijadikan sebagai bahan prakter para dokter muda. Alasannya karena tak ada satupun pihak keluarga yang datang untuk membawa jenazah sang wanita setelah sekian lama hari. Mereka pun menganggap jasad Alissa sebagai jasad orang yang hilang, dan ingin menggunakannya sebagai bahan praktek.
Namun, atas masukan Fahri kepada El, selaku orang yang bertanggung jawab, izin itu ditolak. Detektif terus meyakinkan sang Kapolsek bahwa keluarga Alissa tak pernah sampai karena informasi kematiannya masih belum diketahui. Lantas, dengan ditemukannya ponsel Alissa, beserta barang bukti lainnya, kini kedua orang tua angkat wanita itu sudah berada di rumah sakit.
Di dalam kamar jenazah, ibu angkat Alissa hanya menangis melihat tubuh anaknya yang tertutupi oleh kain kafan. Dalam tangisan, ia meminta kain itu untuk dibuka. Lalu, Komandan El berjalan dan menarik kainnya, hingga tampaklah luka-luka di sekujur tubuh Alissa. Pemandangan itu sontak membuat sang ibu spontan berteriak histeris.
“Kenapaaa…? kenapaaa…? apa salah anakku hingga dia dibunuh…?” kata ibu angkat Alissa sambil menangis dan menjerit-jerit.
El yang melihat tangisan ibu angkat Alissa sampai tak tahan. Dia buru-buru menutupi jasad sang wanita dengan kain kafan lagi.
Di sisi lain, ayah angkat Alissa mencoba menenangkan istrinya. Ia terus menggusuk-gusuk penggung sang istri di tengah dirinya sendiri yang juga menitikkan air mata. Rintikan itu semakin deras saja saat dia melirik wajah anak angkatnya yang pucat pasi. Sang ayah seakan-akan masih belum percaya putri tersayangnya sudah tiada lagi di dunia ini.
Dalam isak tangis yang tak terbendung, ayah angkat Alissa menoleh kepada Komandan El yang berdiri di hadapannya. Ia mencoba menguatkan diri untuk menyampaikan sesuatu.
“Pak…” kata pria berusia 50 tahunan itu dengan bibir yang gemetaran, “tolong… tolong usut tuntas. Tolong tangkap pelakunya — hukum dia dengan adil. Ku mohon…”
Permohonan ayah angkat Alissa membuat Komandan El merasa iba. Namun demikian, dengan tegas dia mengangguk dan menjawab, “akan ku cari pelakunya, di mana pun dia berada. Aku janji padamu — aku akan menyeretnya keluar dari tempat persembunyian sesegera mungkin.” sahut sang Kapolsek.
Di kamar jenazah ini, turut hadir juga Detektif Fahri serta Inayati. Fahri tidak berkata apa-apa; dia hanya diam saja di tengah isak tangis kedua orang tua angkat Alissa. Tapi, hal berbeda terjadi pada Inayati; bola matanya terlihat berkaca-kaca dan ketika sudah tak terbendung lagi, air pun mengalir dengan sendirinya membasahi pipi sang wanita.
Di momen ini, Inayati berbisik kepada Fahri yang memang berdiri di sebelahnya.
“Detektif, kenapa dunia ini terkadang terlihat tak adil bagi sebagian orang?” bisik Inayati. Ia bertanya seperti itu karena tak kuasa melihat jasad Alissa untuk pertama kalinya, serta juga kedua orang tua angkatnya yang menangis pilu.
“Aku juga tak mengerti kenapa…” sahut Fahri, “tapi dengan berbagai hal yang kita alami dalam hidup ini, terlihat jelas kalau kita memang hidup dalam ujian. Semua ini ujian… untuk menguji seberapa tangguh kita menghadapinya, sekalipun ujian itu sangat berat dan sulit sekali dipikul.”
“Menurutmu… apa mereka berdua mampu melewati ujian berat ini? Detektif, aku bisa merasakan perasaan orang tua Alissa — meskipun mereka hanya orang tua angkat, tapi lihatlah — air mata mereka yang tumpah itu menandakan betapa besar kasih sayang mereka terhadap Alissa. Mereka… benar-benar merasa keilangan cinta dalam sosok anak.”
Fahri memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, kemudian merespon Inayati, “benar… orang yang paling merasa kehilangan terhadap kematian anak tentu saja orang tua. Itu salah satu ujian yang cukup berat, sebagaimana anak ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya dari dunia ini. Tapi, ujian akan tetap menjadi ujian… dia akan terus menguji kita sampai kita merasa tak sanggup lagi memikulnya. Di saat itulah kita berada dalam dua pilihan tersulit; menerima ujian ini… atau malah menyerah. Sebagai anak yatim piatu, aku sudah banyak hal; jika kita mencintai mereka yang telah meninggal dunia, maka untuk membuktikan cinta itu kita harus merelakan kepergiannya seraya mendoakannya juga. Bagiku, begitulah cara untuk menunjukkan bahwa kita cukup mencintai mereka yang sudah tiada— aku menyimpan kenangan terindah kedua orang tuaku di dalam hati, lalu mendoakan mereka setiap saat. Cara yang ku katakan ini bukan untuk mengobati kepergian seseorang — luka batin karna ditinggal pergi selama-lamanya oleh orang yang kita cintai bukanlah perkara enteng… pasti ada ingatan yang tetap membuat kita sedih. Yang ingin ku katakan, aku belajar keihklasan — seberapa berat ujian yang kita alami, pada akhirnya kita takkan mampu melewati semua itu kecuali mengikhlaskannya. Jika pun tak dapat mengobati setiap luka batin, paling tidak kita masih bisa hidup dengan baik… tanpa harus menyesali apapun yang sudah terjadi.”
Di momen ini, Fahri melirik Inayati. “Setiap manusia punya kekuatan untuk mengontrol dirinya dari kehancuran. Muncul atau tidaknya kekuatan itu tergantung persepsi kita terhadap semua hal yang kita alami. Banyak orang yang diuji lebih berat daripada kita di luar sana, tapi mereka masih dapat menjalani hidup dengan baik. Itu karna, mereka menggunakan kekuatan yang ku maksud tadi sesuai dengan yang mereka butuhkan.” kata detektif.
“Jadi, menurutmu orang tua angkat Alissa pasti mampu melalui ujian berat ini?”
“Mereka berdua persis sama sepertimu, Inaya. Bedanya, kau kehilangan orang tua, sedangkan mereka kehilangan anak. Tapi, cara kau dan mereka ditingal pergi oleh sosok tercinta itu sama — kedua orang tuamu meninggal dunia karna kasus pembunuhan juga. Lalu, coba katakan, kenapa kau terlihat seperti mampu melalui itu semua…? padahal, orang tuamu tewas tepat di dapan matamu sendiri. Yang kau lakukan untuk terlihat mampu melalui itu semua, juga bisa dilakukan oleh orang tua angkat Alissa. S’mua ini hanya tentang waktu. Jika mereka mampu merelakan kepergian Alissa, maka semua akan kembali baik-baik saja. Merelakan kepergian wanita itu bukan berarti menyerah mengejar para pelakunya — maksud dari merelakan kepergian seseorang adalah meyakini bahwa kematian itu nyata, dan setiap yang hidup pasti akan mati. Begitulah pemahaman yang harus kita yakini.” cetus Fahri sambil mengumbar senyuman, yang ia tunjukkan kepada sang asisten.
Inayati tidak bisa menyahut apa-apa terhadap perkataan detektif. Dia hanya memandangi lelaki itu dengan penuh rasa bangga. Hal itu ia rasakan sebab sebenarnya selama ini Fahri mengerti tipikal ujian yang seperti apa yang dirinya hadapi di masa lalu — yang pernah membuatnya hampir putus asa — membuatnya seakan-akan mati dari dalam. Semua itu ia alami saat melihat kedua orang tuanya tewas terbunuh di rumahnya sendiri.
Inayati pun bahkan sempat diculik oleh si pembunuh dan dijadikan sebagai alat untuk mengemis. Ya, dia pernah menjadi perempuan yang dikontrol oleh laki-laki tak bertanggung jawab, sebelum akhirnya Detektif Fahri menemukannya, dan menjadikan sang wanita sebagai asisten pribadi. Itulah ujian yang Inayati alami — dia melaluinya setahap demi setahap seorang diri hingga membawanya kepada kehidupan yang lebih layak sampai dengan sekarang ini.
Meski terasa berat, tapi seseorang pasti mampu melewati setiap ujian yang dia alami. Semua itu tergantung pada diri sendiri; ingin melewati ujian atau membiarkan ujian itu terus menyiksa batin. Apabila ingin ujian itu terasa mudah saat dipikul, maka seseorang harus melakukan berbagai macam pengorbanan dan tetap berpikir positif.
Kini, hal yang sama dialami oleh kedua orang tua Alissa.
Kematian Alissa memang jelas terasa berat dalam diri kedua orang tua angkatnya. Mereka merasa seakan-akan dunia ini berhenti di titik terendah. Tapi di balik itu, keduanya harus sadar bahwa dalam hidup ini sudah pasti ada kematian. Jika orang tua angkat Alissa mampu menyadari itu, maka mereka mampu mengambil sikap bahwa Alissa pergi dari dunia ini karena takdir — semua karena dia sudah menemukan ajalnya walaupun caranya pergi meninggalkan luka yang cukup dalam.
Kematian memang tak dapat dielak. Tapi, jika kematian seseorang diakibatkan oleh pembunuhan, maka yang harus dilakukan adalah mengusut tuntas para pelaku dan memberikan hukuman yang layak, sembari mengikhlaskan kepergian orang yang kita cintai. Dengan demikian, kita dapat merasakan keadilan, walaupun hanya secuil saja.
Begitulah yang diyakini oleh Fahri; sosok yang juga telah banyak belajar tentang makna di balik kehidupan.
Bersambung…