Di Balik Cahaya Kegelapan

Tragedi Berdarah

Reza Fahlevi
9 min read3 days ago
Photo by Marcus Bellamy on Unsplash

Bagian 3

— —

Begitu mendapat kabar dari Komanda El bahwa ia dan bawahannya sudah berhasil meringkus sang pembunuh, maka Detektif Fahri pun bergegas ke kantor polisi. Ia mengemudikan mobil di kecepatan hampir maksimal. Dia dapat melakukannya lebih leluasa sebab situasi di jalanan sudah mulai sunyi. Sekarang pukul setengah satu tengah malam, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sepuluh menit berselang, Fahri tiba ke kantor polisi dan kemudian segera beranjak ke area dalam. Ketika melewati pintu depan, dirinya berpas-pasan dengan seorang polisi.

“Detektif, lewat sini…” ujar polisi itu sembari menunjuk ke arah kiri.

Fahri berhenti sejenak dan menatap polisi itu dengan sedikit bingung. Namun tak lama kemudian dia paham bahwa orang itu memang ditugaskan oleh Komandan El untuk menanti dan mengantarkannya ke tempat sang Kapolsek berada.

Maka, Polisi tadi langsung berjalan, diikuti Fahri di belakangnya. Ia membawa detektif ke ruangan penyidik. Saat keduanya tiba, polisi itu membuka pintu, lalu melangkah masuk.

Fahri juga ikut masuk dan dia langsung melihat Komandan El yang sedang berdiri di hadapan seorang pria — adapun pria itu sedang duduk dalam posisi kedua tangan terborgol. Di sisi lain, detektif berjalan perlahan-lahan dan berdiri di sebelah sang Kapolsek. Di momen itu, ia menatap pria tersebut, yang diduga sebagai pelaku dari kematian seorang wanita yang tergantung di tiang lampu jalanan.

“Namanya Fathur. Dia bekerja sebagai juru foto lepas.” ujar Komandan El yang membuka pembahasan.

Fahri masih juga menatap pria itu. Dari yang terlihat, sang lelaki masih berusia sekitar 20 tahun — masih cukup belia untuk melakukan aksi pembunuhan sadis. Namun, karena polisi sudah berhasil meringkusnya, dan lagi, apabila dirinya memang terbukti bersalah, barangkali dia punya alasan tertentu kenapa sampai tega melakukan aksi pembunuhan yang cukup kejam, begitulah yang dipikirkan oleh detektif.

Membunuh seseorang lalu menggantung jasadnya ke tiang lampu jalanan, itu sudah cukup kejam dan tidak memiliki hati nurani.

“Sepertinya kau tak perlu capek-capek menanyakan banyak hal kepada si keparat ini. Dia bahkan sudah mengaku kalau dialah yang membunuh wanita itu.” lanjut sang Kapolsek.

“Di mana kau meringkusnya?” tanya Fahri sambil melirik kepada El.

“Di rumahnya. Dan asal kau tau saja, rumah bajingan ini dan korban ternyata bersebelahan.”

“Bersebelahan?”

“Mereka tetangga…” sahut El sembari menyilangkan kedua tangan ke dada.

Mendengar jawaban Komandan El, Fahri malah penasaran. Kini, dia kembali menatap si terduga pelaku.

“Katakan padaku… di mana alamat rumahmu?” tanya detektif kepada pria itu.

Fathur mulai gemetaran. Wajahnya yang sudah pucat sejak awal, kini malah semakin memutih saja. Padahal, Fahri hanya mengajukan pertanyaan biasa, dan lagi dia tidak bersikap seperti sedang menggertak atau menakut-nakutinya. Namun lelaki itu malah ketakutan setengah mati.

“Di… di Jalan… Nyak… Markam. Rumah… nomor 2, te… tepat di depan warung… kopi.” jawab si terduga pelaku dengan terbata-bata.

Dari yang awalnya penasaran, Fahri kini menjadi curiga terhadap pria itu. Caranya menjawab pertanyaan tadi sedikit membuat detektif mulai beranggapan jauh. Akan tetapi, dia mengesampingkan pikiran itu dan memilih untuk tetap fokus.

Di momen ini, El masuk ke dalam pembahasan. “Dia membunuh wanita itu karena masalah hutang. Dia mengaku punya hutang yang besar dan tak mampu melunasinya. Oleh karna korban terus menagih, dia pun menjadi tak tahan dan akhirnya tragedi sadis itu tak dapat dielak lagi. Bajingan ini menghabisi korban di rumahnya, kemudian membawa jasad itu ke pinggiran kota dan menggantungnya di tiang lampu jalanan.” jelas sang Kapolsek.

“Begitu ya…” jawab Fahri. Kini dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

Situasi menjadi cukup senyap, dan momen ini digunakan oleh Fahri untuk menatap ke sekitar ruangan penyidik. Ia melihat ada tiga polisi di dalam sini, tidak termasuk El. Dari gelagat, sang detektif seakan yakin bahwa mereka ikut datang untuk meringkus si terduga pelaku.

Lalu, Fahri melirik Fathur. “Sejauh apa kau mengenal sosok Alissa?” tanya detektif. Alissa sendiri adalah sang korban.

El mendengar pertanyaan Fahri dengan seksama, dan dia seketika terkejut. “Detektif, sejak kapan kau tau nama korban?” tanyanya.

“Selama ini aku melakukan pekerjaanku.” jawab detektif dengan tegas.

“Tapi… bagaimana…? Maksudku… jasad korban sampai saat ini tanpa identitas. Keluarganya saja bahkan tak ada yang datang.”

“Mungkin bukan tidak datang — bisa saja keluarga korban belum tau apa-apa tentang kematiannya.” tegas Fahri.

Sang detektif lantas mengalihkan pembicaraan dan mendesak Fathur untuk menjawab pertanyaannya tadi. Adapun lelaki itu — masih dengan terbata-bata, ia mencoba keras menenangkan dirinya sambil berusaha berbicara.

“Alissa… dia… sehari-hari… bekerja di… sebuah kafe. Dia… bukan orang asli yang tinggal di Jalan Nyak Markam. Wanita itu… pendatang… namun… sudah lama menetap di sana.” jawab Fathur.

“Begitu ya. Lalu bagaimana aksimu saat membunuhnya? Ceritakan padaku semuanya.”

Lantas, Fathur mulai bercerita panjang terkait perbuatannya ketika menghabisi Alissa. Sikap lelaki itu masih sama — dia masih gemetaran dan juga terbata-bata setiap saat berbicara.

Tentang pertanyaan Komandan El perkara nama korban, sebenarnya sampai saat ini jenazah wanita itu terbaring di rumah sakit tanpa identitas. Lantas, begitu sang Kapolsek menyadari bahwa Detektif Fahri sudah mengetahui nama korban, dia terkejut bukan main.

El penasaran dari mana Fahri bisa mengetahui nama korban. Ia juga bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sudah dilakukan oleh detektif itu sampai dirinya malah sudah lebih dulu mendapatkan informasi mengenai korban. Oleh karena itu, Fahri pun mengajak sang Kapolsek untuk melanjutkan pembahasan tentang kematian Alissa di kantornya.

Di Jalan Kopelma

Saat ini Fahri dan Komandan El sedang berada di kantor sang detektif. Sudah sejak pukul 8 pagi mereka duduk berdua sambil membahas tahap lanjutan dari kasus kematian Alissa. Adapun sekarang sudah pukul 9, maka detektif menyarankan untuk beristirahat sejenak.

Fahri lantas memanggil asistennya menggunakan ponsel untuk membuatkan kopi. Dan tak lama berselang, sang asisten yang merupakan seorang perempuan datang mengetuk pintu sebanyak tiga kali, lalu membukanya.

Perempuan itu segera berjalan masuk dan menaruh dua cangkir putih berisi kopi yang masih panas ke atas meja. Ia menaruhnya dengan cukup sopan.

“Maaf sudah merepotkanmu, Inaya.” ujar detektif.

Sambil tersenyum wanita itu menyahut, “ini sudah tugasku, detektif.”

Setelah mengatakan itu, wanita bernama Inaya tadi segera keluar dari ruangan detektif. Di sisi lain, El terus menatap sang asisten hingga dirinya berada di ambang pintu. Ketika perempuan tersebut menutup pintunya, baru kemudian sang Kapolsek mengalihkan pandangan ke arah Fahri.

El menatap Detektif Fahri dengan cukup dalam hingga membuat lelaki itu sedikit merasa risih.

“Ada apa?” tanya Fahri.

“Aku penasaran kenapa asistenmu cukup sopan; baik dari cara berjalannya, tutur kata, bahkan saat ia menaruh cangkir kopi itu. Dan setelah melihat sikapmu terhadap perempuan itu, baru ku sadari ternyata kesopanannya turun dari perangaimu. Aku yakin, caramu memperlakukannya sebagai seorang asisten lebih dari sekedar pesuruh biasa. Jika tidak, tak mungkin dia memiliki sopan santun seperti itu — kecuali jika dia sengaja memperlihatkannya padaku.” kata El panjang lebar.

“Inaya… dia bukan perempuan yang suka pamer sikap di hadapan orang lain. Sikapnya tadi… sebenarnya itu memang kesehariannya, baik saat bekerja ataupun tidak.”

“Berarti anggapanku benar. Tapi… kau elegan juga mau memperlakukan asisten seperti itu.”

“Seperti itu?”

“Caramu meminta maaf padanya tadi — ku rasa kau tak perlu mengatakannya karna itu sudah menjadi tugasnya sebagai asisten. Tapi kau tetap mengatakannya.”

“Kapten… mau apapun pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang kita harus menghargainya. Caraku tadi adalah bentuk dari menghargai Inaya. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa pekerjaannya dan pekerjaanku tak ada bedanya. Dan syukurnya, Inaya paham dengan sikapku sehingga kami bisa sama-sama saling menghargai.” jelas detektif.

Pembahasan ringan itu berlangsung selama beberapa menit hingga kemudian perlahan-lahan menjadi sedikit sunyi. Ketika situasinya benar-benar senyap, selang satu menit setelahnya Fahri melanjutkan pembicaraan terkait Alissa.

Sambil berbicara, Detektif Fahri bangkit dari duduk dan berjalan ke sebuah lemari kaca. Dia lantas membuka pintu berlapis kaca dan mengambil tas jinjing. Di samping itu, El hanya memperhatikan gerak-gerik detektif yang kini kembali berjalan ke tempat semula.

“Apa itu?” tanya El.

Sembari duduk dan menaruh tas jinjing ke atas meja, Fahri menyahut, “tadi malam kau bertanya dari mana aku bisa tau nama korban itu Alissa. Dan jawabannya adalah tas ini — ini milik si perempuan itu.”

“Lalu di mana kau menemukannya?”

“Ada gedung tua yang sudah tak dipakai lagi di sekitaran TKP. Aku sempat ke situ dan menemukan beberapa bukti selain tas itu.”

Fahri kemudian membuka tas jinjing milik Alissa dan mengambil kartu pengenal wanita itu serta tiga lembar foto. Ia meletakkan keduanya di atas meja, tepat di hadapan El. Adapun sang Kapolres, ia mulai menatap kartu pengenal Alissa beberapa saat.

“Seperti yang dikatakan si tersangka, wanita ini memang bekerja di sebuah kafe.” ujar El.

Komandan El lantas mengalihkan pandangan ke 3 lembaran foto. Di situ, masing-masing terdapat wajah dua pria serta seroang wanita berjilbab hitam.

“Siapa mereka?” tanya El.

“Aku juga masih curiga terhadap mereka. Jadi, saat aku mengintai gedung tua itu, entah sengaja atau tidak, orang-orang di dalam foto itu juga datang. Selama mereka berada di sana, ada beberapa barang bukti yang diambil.”

“Barang bukti?”

“Kapten, dengarkan aku baik-baik… berdasarkan dari pengakuan dugaan tersangka yang bernama Fathur itu, dia mengaku bahwa dirinyalah yang membunuh Alissa — dan dia melancarkan aksinya di rumah korban. Sedangkan aku malah menemukan hal sebaliknya — tas jinjing ini milik Alissa dan aku malah menemukannya di dalam gedung tua. Selain itu, tiga orang dalam foto itu mengamankan beberapa barang bukti. Dengan kata lain, ada yang aneh dari kasus ini.” jelas Fahri.

“Detektif, lanjutkan — aku tau temuanmu ini di luar dugaan.”

Lantas Fahri pun melanjutkan, “aku bisa saja percaya terhadap omongan Fathur, di mana dia membunuh Alissa di rumahnya. Tapi, tas jinjing milik wanita itu — aku juga yakin keberadaan tas korban di dalam gedung tua — bahkan di lantai dua — semua itu bukan kebetulan semata. Lalu, ada orang-orang yang mencurigakan datang ke gedung itu — logikanya, orang biasa yang tak punya kepentingan apa-apa pasti takkan pernah punya niat untuk mendatangi sebuah gedung yang sudah lama tidak dipakai, bahkan terkesan angker bagi sebagian besar masyarakat. Ketiga, aku pun juga menemukan bercak darah di sana… di lantai dua. Dari yang ku yakini, bekas darah yang menempel di lantai itu masih berkisar selama beberapa hari.”

“Dengan kata lain?”

“Dengan kata lain, kasus Alissa ini agak sedikit melebar sesaat ketika kau menangkap pria bernama Fathur itu.” cetus Fahri.

Komandan El benar-benar terdiam ketika mendengar ulasan dari Detektif Fahri. Ia tak menyangka berbagai temuan yang didapatkan oleh rekannya itu. Kini, sang Kapolres duduk dengan menyandarkan punggungnya sembari menyilangkan kedua tangan ke dada. Tak lama berselang, tangan kanannya mulai mengelus-elus dagu.

“Detektif, apa berarti aku sudah salah tangkap?” tanya sang Kapolsek.

“Entahlah. Tapi, kita bisa menyikapi hal ini dengan lebih tenang. Tak dapat dipungkiri bahwa pria bernama Fathur itu kini berada di dalam penjara dengan status dugaan tersangka — apalagi dia sendiri sudah mengaku sebagai sosok pembunuhnya. Kita tak bisa memungkiri itu. Tapi, temuan-temuan yang ku dapatkan juga tak bisa dianggap sepele. Barangkali, kematian Alissa melibatkan beberapa orang selain Fathur.”

“Tapi dia malah mengakui semua aksinya saat menghabisi Alissa — itu semua memang ulahnya.”

“Fathur itu… sejak awal aku menatap wajahnya sampai mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya, entah kenapa aku merasa seperti dia sedang menyembunyikan sesuatu.” kata Fahri.

“Dari sisi mana kau meyakini itu?”

“Ada beberapa — tapi yang paling membuatku aneh adalah saat dia mengatakan alamat rumahnya. Caranya yang menjelaskan nama jalan, bahkan sampai mengatakan dengan cukup jelas keberadaan rumahnya di sebelah mana, bagiku dia itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu — sikapmya itu seolah-olah menjelaskan bahwa dia sedang mendoromg dirinya sendiri untuk dapat dikatakan sebagai sosok pembunuh Alissa.”

“Wow… anggapanmu itu sudah terlampau jauh. Aku sendiri tidak sampai berpikir seperti itu.”

“Tapi aku malah memikirkannya sampai detik ini.” ujar Fahri.

Meskipun ulasan Detektif Fahri sulit dicerna oleh El, namun dia tetap legowo. Ia yakin bahwa detektif pasti punya alasan tersendiri mengapa ia menyampaikan hal-hal kecil terkait Fathur.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, detektif?” tanya El.

“Seperti yang sudah ku katakan padamu, aku tetap masih akan mencari identitas Alissa lebih jauh dari yang sudah ku dapatkan.”

“Baiklah. Kalau begitu, tolong informasikan kepadaku apapun yang kau dapatkan nanti.”

Fahri menganggukkan kepala tepat setelah Komandan El berujar.

“Tapi…” gumam sang Kapolsek lagi, “apa benar keluarga Alissa masih belum tahu bahwa wanita itu sudah tewas?”

“Ku rasa begitu. Ada hal-hal penting yang sampai sekarang belum berhasil ku temui; KTP Alissa serta ponselnya.”

“Benar. Aku juga tidak mendapatkan keduanya saat menggeledah rumah wanita itu.”

“Dua hal itu terlihat sepele, tapi tak bisa disepelekan. Hilangnya KTP dan ponsel Alissa pasti ada satu dan beberapa sebab.”

“Kau benar.”

Keduanya terus membahas perkara kasus Alissa hingga waktu menunjukkan pukul 12 siang. Namun demikian, tak ada tanda-tanda dari mereka yang akan mengakhiri pembahasan tersebut. Baik Fahri dan El kompak menyikapi kasus itu dengan serius.

Malam pukul 12, situasi di kantor polisi sudah sepi. Para napi yang sedang ditahan pun sudah lelap dalam tidur kecuali satu, Fathur. Di sisi paling sudut, ia duduk sendirian di dalam sel sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dalam duduknya itu, pria tersebut menangis tanpa henti.

Para polisi yang bertugas menjaga napi-napi tak ada yang menyadari tingkah Fathur yang sedang menangis. Hal itu terjadi sebab tangisannya cukup senyap — hanya dirinya sendiri yang mendengar semua rintihan.

Bersambung…

--

--