Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 14
— —
“Hey… serahkan dompetmu!” bentak seorang lelaki seraya mengarahkan pisau ke seorang wanita. Dari usia, ia terlihat seperti laki-laki yang masih berumur belasan tahun.
Dengan gemetaran, si wanita lantas memberikan dompetnya kepada lelaki itu.
“Hp… dan jam tangan juga…” kata si laki-laki lagi.
“Tolong… jangan ambil semuanya.” sahut wanita itu sambil memohon. Bola matanya mulai berkaca-kaca, serta wajahnya pun juga pucat pasi.
Si laki-laki yang terburu-buru lantas tanpa ampun menikam perut wanita itu, yang seketika tersungkur tak berdaya seraya merintih kesakitan. Darah mulai bercucuran melumuri sebagian pakaiannya.
“Toloong…” rintih sang wanita dengan suara lemah.
“Berisik…!” bentak si laki-laki. Ia kemudian menghabisi perempuan tersebut dengan keji menggunkanan pisau. Sekujur tubuh si wanita penuh dengan lumuran darah akibat luka tikaman yang ia terima. Hal itu pun membuatnya sekarat.
“Kau terlalu berlebihan.” ujar pria lain. Dia terlihat lebih tua dari laki-laki yang satunya.
“Yang ku lakukan sudah sesuai dengan perintah bos.” jawab lelaki yang menghabisi wanita tadi.
“Doni menyuruh kita untuk melakukan pembunuhan?”
“Dia tidak mengatakannya dengan detil — hanya menyuruh kita untuk membuat kekacauan dengan cara yang brutal. Dan aku melakukannya seperti yang dia katakan.”
Malam ini, beberapa anggota Angkara keluar ke tengah kota untuk mengacaukan keadaan. Mereka melakukannya sebagai balasan terhadap tertangkapnya salah satu anggota Angkara. Ini adalah bagian dari rencana Doni dan juga Narkan selain memerintahkan Viktor untuk membunuh Komandan El serta Detektif Fahri.
Sudah dua jam Gengster Angkara melancarkan aksinya di tengah kota dengan menyasari warga sipil. Perbuatan mereka sejauh ini telah melukai lima orang, dan satu orang malah sudah tewas di tempat. Meski begitu, kabar ini belum sampai ke telinga para polisi, sehingga sebagian masyarakat terus berjatuhan tanpa ada alasan yang jelas.
Jeritan demi jeritan terus terdengar di beberapa sudut kota. Selain itu, suara knalpot sepeda motor juga menghiasi langit malam. Kota Juang seakan-akan sedang berada dalam teror sekelompok gengster yang bengis.
Keesokan harinya, di Kantor Detektif Fahri
Berita tentang kejadian tadi malam langsung menghiasi halaman depan surat kabar. Detektif Fahri yang duduk di meja kerja sambil meneguk kopi, cukup serius membaca koran. Buntut dari aksi kekejian itu, total ada 7 warga sipil yang menjadi korban di mana 3 di antaranya dinyatakan tewas, sedangkan sisanya dalam keadaan sekarat.
Sampai saat ini, belum ada yang mengetahui siapa yang melakukan aksi kejahatan tersebut. Di koran hanya tertulis judul: Sekumpulan Orang Melakukan Aksi Perampokan Sadis. Selain itu, juga tertera laporan mengenai jumlah terduga pelaku, serta mereka yang menjadi korban. Meski tak ada pernyataan yang jelas mengenai para pelaku, namun Fahri mencoba mengandalkan instingnya. Dia yakin bahwa perbuatan tersebut dilancarkan oleh Gengster Angkara.
Di momen ini, Fahri berhenti membaca. Ia meletakkan koran ke atas meja lalu meneguk kopi yang masih lumayan panas dengan perlahan-lahan. Gelas masih dalam genggaman; ia duduk sembari memikirkan sesuatu.
Ketika sedang larut dalam fokus, konsentrasi detektif seketika buyar ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Dia spontan melirikkan mata ke sana dan melihat Inayati berjalan masuk dengan membawakan sepiring kue.
“Detektif, jangan sampai pekerjaan ini membuatmu lupa sarapan.” kata sang asisten.
Fahri malah tersenyum. Ia meletakkan gelas dan membalas, “bahkan, aku pernah menangani kasus yang lebih berat daripada ini — tapi tak pernah sekalipun diriku lupa sarapan.” balasnya.
Tanpa membalas ujaran detektif, Inayati langsung berjalan dan meletakkan piring berisi beberapa kue ke meja kerja Fahri. Saat wanita ini hendak beranjak keluar, detektif memanggilnya.
“Inaya…” kata Fahri yang seketika membuat Inayati berhenti berjalan dan menoleh kepadanya, “kau sedang sibuk?”
Sambil menggelengkan kepala, sang asisten menjawab, “apa kau butuh bantuan, detektif?”
Fahri tidak menjawabnya — ia hanya memperlihatkan halaman depan koran kepada Inayati di mana tertera berita tentang aksi kebrutalan yang terjadi tadi malam. Sang wanita melihatnya sejenak, lalu dia pun kembali lagi ke meja kerja Fahri.
“Aku tak tau ada kejadian itu tadi malam…” gumam sang wanita.
“Tujuh orang menjadi korban; 3 dinayatakan tewas — sisanya dalam keadaan sekarat.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
Sebelum menjawab, detektif meletakkan koran ke atas meja lalu melirik kepada Inayati. “Aku punya firasat; yang melakukan perbuatan ini adalah Gengster Angkara.” katanya.
“Alasanmu…?”
“Narkan —aku yakin dia yang merencakan semua ini. Tertangkapnya salah satu anggota Angkara pasti sudah membuatnya murka. Tapi, sepertinya mereka tidak melakukannya sebagai aksi balasan — barangkali mereka menyerang warga sipil karna sedang mencoba mengelabui sesuatu.”
“Terhadap hal apa?”
“Membunuhku dan Komandan El.” tutur Fahri.
Mata Inayati seketika terbuka lebih lebar. “Tak mungkin…” gumamnya yang tak percaya terhadap pernyataan Fahri.
“Ini hanya asumsi saja, tapi aku tidak menganggapnya sebelah mata. Kita sama-sama meyakini kalau Gengster Angkara terlibat dalam kematian Alissa. Aksi mata-mata kita terhadap Munir dan seorang polisi di sebuah rumah pada malam itu, paling tidak sudah membuat kasus ini sedikit terarah. Apalagi, kita juga sudah mendalami barang-barang bukti yang ku dapatkan di sana. Dari barang bukti itu, aku punya kesimpulan; semua orang yang terlibat terhadap kematian Alissa sedang mencoba menghilangkan jejak, dan mereka juga sama-sama sedang mencoba saling menyalahkan. Contoh nyatanya adalah Fathur yang dijadikan sebagai tumbal… seolah-olah dialah pelaku pembunuhan itu — padahal sebenarnya dia saksi yang melihat langsung Alissa dibunuh.” jelas Fahri.
Semua barang temuan yang didapatkan di rumah tempat pertemuan Munir dan Viktor, telah dipelajari dengan baik oleh Fahri serta Inayati. Bukti-bukti itu telah membuka kasus Alissa menjadi lebih terarah. Setidaknya, detektif benar-benar telah menyadari bahwa ada seorang polisi yang terlibat dalam kematian wanita itu, di samping Gengster Angkara.
Di samping itu, aksi kebrutalan sekelompok Angkara yang menyerang warga sipil tadi malam, Fahri juga berprasangka bahwa mereka turun ke kota bukan tanpa alasan. Detektif seakan-akan percaya bahwa kelompok gengster itu punya misi terselubung untuk membunuhnya sekaligus Komandan El.
“Aku setuju dengan anggapanmu, detektif…” kata Inayati, “tapi… sejujurnya aku juga punya prasangka.”
Fahri menatap asistennya dengan cukup dalam. “Apa itu?” tanyanya.
“Selain dugaanmu tadi, sepertinya Gengster Angkara juga mengkhawatirkan satu hal. Mungkin, mereka takut seandainya markas mereka diketahui oleh polisi.”
“Hmm… menarik. Lanjutkan, Inaya…”
“Aku teringat dengan kata-katamu yang mengatakan mereka itu kelompok gengster yang tertutup — aku juga ingat kalau satu anggota mereka yang tertangkap itu hanya seorang amatir. Tapi ini bukan tentangnya melainkan polisi yang bersama dengan Munir pada malam itu.” ujar wanita ini.
Inayati lantas menyilangkan kedua tangan ke dada lalu melanjutkan, “kita setuju kalau polisi itu terlibat dalam kematian Alissa — karna itu dia mencoba menghilangkan segala jejak untuk membersihkan namanya. Dan, dari semua barang bukti yang kita temukan di tempat pertemuan Munir dan polisi itu… kau merasa bahwa mereka yang terlibat dalam pembunuhan Alissa mulai saling bertikai. Dari sini aku punya anggapan; si polisi itu berniat membeberkan markas Angkara. Di sisi lain, Gengster Angkara juga tak ingin kalah; mungkin mereka meneror warga sipil hanya untuk memberi peringatan kepada polisi itu bahwa mereka siap melakulan apa saja jika sampai dia membeberkan markas Gengster Angkara. Aku seakan-akan yakin… aksi kriminal yang terjadi tadi malam hingga masuk ke halaman depan koran… ku pikir para pelakunya memang sengaja menampakkan perbuatan mereka agar semua orang melihatnya… terutama si polisi itu.”
Fahri bungkam setelah mendengar penjelasan panjang Inayati. Kini, dia melirik ke koran, tepat ke berita tentang aksi brutal para penjahat tadi malam. Dalam diamnya itu, detektif terus mencerna setiap kata-kata sang asisten. Ia tak ingin menganggap sepele anggapan wanita tersebut.
Bersambung…