Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 7
— —
Pukul 10 Malam
Sebuah mobil minibus serba hitam melaju kencang dari area Polsek Kota Juang. Di dalam mobil itu terdapat empat polisi serta Fathur. Mereka dalam perjalanan menuju ke kediaman Alissa. Seperti yang sudah dijadwalkan, fathur sang terduga tersangka harus memperagakan kembali aksinya ketika membunuh Alissa.
Selain mobil minubus tadi, ada tiga lainnya yang berjenis sedan. Semua kendaraan itu berwarna hitam dan seluruhnya ditumpangi oleh polisi, salah satu penumpang sudah pasti Komandan El. Dengan situasi jalanan kota yang sudah lumayan sunyi, maka mereka melaju di kecepatan tinggi. Target para polisi adalah tiba ke TKP tepat pada pukul 11 malam.
Di samping itu, Detektif Fahri juga bergerak menggunakan mobilnya sendiri. Dengan penampilan yang mengenakan jaket hitam serta sebuah topi yang berwarna sama, ia mengemudikan mobil dengan cukup tenang. Saat sedang fokus, ponselnya seketika berdering. Sang detektif lantas menghentikan laju mobil dan mengambil ponsel dari dalam saku celana. Ia melirik ke layarnya sesaat, tak lama kemudian dirinya malah mengabaikan panggilan masuk itu.
Tepat di pukul 11, Fahri serta para polisi tiba ke rumah Alissa secara serentak. Sang detektif segera mematikan mesin mobil dan beranjak keluar. Ia berjalan dengan langkah yang sedikit cepat untuk menjumpai Komandan El yang juga baru saja keluar dari mobil. Mereka berdua saling bersalaman, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Beriringan dengan itu, seorang polisi membawa Fathur masuk ke dalam rumah Alissa; kedua tangan lelaki itu terborgol, serta matanya juga cukup merah karena tak henti-henti menangis sambil berteriak-teriak selama berada di dalam sel isolasi.
Jika biasanya ada beberapa wartawan yang turut serta untuk meliput berita, namun khusus untuk malam ini El tidak mengundang siapapun. Dia sengaja mengadakan pemeragaan aksi pembunuhan Alissa secara tertutup.
Melihat Fathur yang sudah masuk ke dalam rumah, Fahri dan El juga segera berjalan. Di dalam kediaman Alissa, tepatnya di dapur, seorang polisi lantas melepaskan borgol dari tangan Fathur. Setelahnya, lelaki itu tidak melakukan apa-apa kecuali hanya berdiri saja dalam lamunan panjang.
“Apa kau membunuh wanita itu di sini?” tanya polisi yang membukakan borgol tadi kepada Fathur.
Fathur menanggapi pertanyaan itu dengan menggelenggkan kepala. Lalu, sang polisi menoleh ke belakang, ia menatap Komandan El seolah-olah sedang memberi sebuah kode. Bersamaan dengan lirikan si polisi, El lantas menganggukkan kepalanya, pertanda Fathur sudah harus mulai memeragakan aksi pembunuhan terhadap Alissa.
Hal pertama yang dilakukan oleh Fathur adalah berjalan ke sebuah rak yang berisikan peralatan makan. Ia lantas mengambil sebuah pisau kemudian berjalan ke meja makan. Di momen itu, sang lelaki berdiam diri dengan kepala yang tertunduk.
“Kau membunuhnya di sekitaran meja makan?” tanya polisi tadi, sedangkan Fathur kembali mengangguk.
“Dari keterangan yang kau berikan di kantor polisi, kau mengaku sempat melilitkan tali ke sekujur tubuh Alissa untuk memudahkanmu saat menikamnya…” lanjut sang polisi lagi.
Fathur tetap tidak berkata apa-apa melainkan hanya mengangguk saja. Di samping itu, Komandan El yang sejak tadi terus menatap si terduga pelaku, kini melirik ke Detektif Fahri yang memang berdiri di sebelahnya.
“Apa yang kau rencanakan?” tanya El kepada detektif.
“Aku memintanya untuk berkata jujur…” sahut Fahri.
Jawaban Detektif Fahri merujuk kepada saat dirinya mendatangi Fathur di dalam sel isolasi di hari sebelumnya. Sang detektif menghabiskan waktu selama 20 menit untuk berbicara dengan lelaki itu. Adapun sikap Fathur… tak ada yang dia lakukan kecuali hanya menangis tersedu-sedu serta berteriak histeri. Namun demikian, dari sikap itulah Fahri menyadari sesuatu dan memintanya untuk berkata jujur pada malam ini, meskipun si terduga tersangka sama sekali tidak meresponnya.
Kembali ke polisi yang bertanya tadi… kali ini ia mengajukan pertanyaan terkait hal apa saja yang ada diugkapkan oleh Fathur sebelum dirinya membunuh Alissa. Akan tetapi, lelaki itu masih tidak menjawab hingga membuat si polisi berjalan mendekatinya.
Di saat sang polisi sedang berjalan dengan perlahan-lahan, tangan Fathur yang sedang memegang pisau mulai gemetaran. Kepalanya masih tertunduk, namun kedua matanya mulai terbelalak seperti sedang melihat sesuatu yang cukup menakutkan. Beriringan dengan itu, lelaki tersebut mulai bernapas dengan tergesa-gesa.
Komandan El melihat sikap aneh Fathur; dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa dia sedang bertanya-tanya apa yang terjadi pada si pelaku. Gelagatnya cukup membingungkan. Walaupun dia tahu bahwa kondisi psikis lelaki itu sedang bergoncang-goncang, tapi dirinya tetap tak bisa memahami apa yang sedang terjadi pada si pelaku.
Goncangan tangan Fathur yang sedang memegang pisau semakin parah, bahkan sampai merambat ke sekujur tubuhnya. Lalu, tak lama berselang lelaki itu malah menikam dadanya sendiri. Tak hanya itu, di waktu yang sama, lelaki itu juga merobek kulit di sekujur dada hingga kemudian dia terkapar. Darah pun bocor dan membanjiri lantai dengan cepat.
Melihat Fathur yang sudah terkapar tak berdaya, polisi yang sedang berjalan tadi sontak langsung berlari dan menghampiri lelaki itu. Tidak hanya dia, beberapa polisi lainnya, bahkan juga Komandan El ikut datang.
“Cepat…!” teriak El, “gotong dia…”
Dua polisi lantas beregerak cepat; mereka segera menggotong Fathur dan membawanya ke mobil. Di dalam mobil, lelaki itu dibaringkan di sisi tengah; mulutnya menganga serta kedua bola matanya terbelalak dan menatap ke atas. Selain itu, darah juga tak henti-henti tersembur dari sekujur area dadanya.
“Bawa dia ke rumah sakit terdekat…!” ujar Komandan El.
Sang pengemudi serta beberapa polisi lainnya yang sudah berada di dalam mobil langsung bergerak. Kendaraan itu melaju dengan cukup kencang.
Tiga puluh menit kemudian
Fahri dan Komandan El, serta para bawahannya masih berada di TKP. Mereka semua sangat terkejut melihat perbuatan Fathur yang menikam dadanya sendiri. Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar dari setiap mulut polisi. Mereka tak habis pikir kenapa Fathur malah melakukan itu.
Namun, ada satu orang yang bersikap cukup tenang, dialah Detektif Fahri. Dirinya hanya diam saja di tengah keributan para polisi yang mempertanyakan aksi Fathur tadi.
Di sisi lain, ada pesan yang masuk melalui ponsel Komandan El. Ia lantas mengambilnya dari saku celanan dan membuka pesan itu. Tak lama berselang, El menghampiri Fahri yang sedang berada di halaman depan rumah.
“Fathur tewas.” kata Komandan El yang masih berjalan.
Detektif Fahri menoleh ke belakang, dan di waktu yang sama El sudah berdiri di sebelahnya.
“Apa artinya dia bunuh diri pada malam ini?” tanya El.
“Dia hanya sudah tak tahan lagi terhadap semua tekanan yang ada di dalam kepalanya.” Sahut Fahri.
“Ternyata, kondisi psikis anak itu memang sudah cukup parah. Sepertinya dia sudah berencana untuk bunuh diri.”
“Psikisnya terganggu karena ada rasa takut yang teramat besar. Jauh-jauh hari, tanda-tanda itu sudah tampak — itulah kenapa aku memintamu untuk menunda pemeragaan pembunuhan ini… paling tidak dalam beberapa minggu ke dapan. Tapi kau malah menolaknya.”
“Aku punya alasan tersendiri — lagipula, dokter yang menangani psikis Fathur juga berkata keadaan lelaki itu masih dalam kategori normal, dan dia bisa datang ke sini untuk memeragakan aksi pembunuhannya terhadap Alissa.”
“Barangkali kita juga harus memeriksa dokter itu.”
“Atas perkara apa?”
“Tentu saja memberi izin tanpa mempertimbangkan sesuatu.”
“Ya… aku setuju. Tapi, detektif, ngomong-ngomong… kau sepertinya sudah tau kejadian ini akan terjadi.”
Fahri mengalihkan pandangan dari Komandan El dan mulai menatap lurus ke depan. “Aku tak pernah tau dia akan bunuh diri. Aku hanya punya firasat bahwa akan ada kemungkinan buruk yang terjadi. Dan ternyata, hal buruk itu adalah Fathur yang membunuh dirinya sendiri.” Ungkap detektif.
Lalu El bertanya, “apa berarti anggapanmu selama ini benar?”
“Aku sudah berulang kali mengatakannya padamu, tapi kau terus mengabaikannya. Kau selalu berdalih bahwa aku tak punya bukti kuat untuk membuktikan bahwa kasus kematian Alissa memiliki kejanggalan di balik beberapa temuan yang kalian dapat, termasuk Fathur. Kau seolah-olah tak percaya padaku meskipun kita juga pernah sama-sama mencari bukti yang ada.”
El hanya membisu ketika mendengar ucapan Detektif Fahri. Dan memang, semua ungkapan itu terjadi di antara mereka berdua selama menangani kasus Alissa. Oleh karena itu ada sedikit rasa kesal yang timbul di hati sang Kapolsek karena telah mengabaikan perkataan Fahri.
Sejak Detektif Fahri mendatangi sebuah gedung tua yang sudah tak terpakai lagi, sejak saat itu sebenarnya dia sudah memiliki anggapan yang mana anggapan itu berlawanan dari para polisi, termasuk Komandan El sendiri. Itu disebabkan karena dia belum menemukan bukti yang akurat untuk mempertegas asumsinya.
Berbagai temuan yang ia dapatkan di gedung tua serta mendapati ada beberapa orang mencurigakan yang datang ke sana, dan juga sikap Fathur yang aneh serta semakin aneh dari hari ke hari, Fahri seakan-akan percaya bahwa pelaku di balik kematian Alissa bukanlah Fathur.
Akan tetapi, banyak bukti yang didapatkan oleh para polisi — semua bukti itu mengarah ke Fathur hingga kemudian dia ditangkap. Hal inilah yang menjadi alasan di balik perbedaan pandangan antara Detektif Fahri serta Komandan El dan bawahannya. Meskipun El juga pernah mencari bukti penyebab kematian Alissa bersama Fahri, juga secara langsung meminta untuk bekerja sama, namun bukan berarti dia sependapat dengan detektif itu.
“Aku akan memberi izin penuh padamu untuk menangani kasus Alissa.” Ujar El.
Fahri mengumbar senyuman tipis dan membalas, “setelah semua kejadian ini…?”
“Aku tau terkadang diriku egois dan tak menghiraukan semua pendapatmu. Tapi ku harap kau tidak menyimpannya di dalam hati.”
“Aku bukan orang yang seperti itu.”
Mendengar ungkapan Fahri, Komandan El lantas membalikkan posisi badannya. Ia sudah bersiap-siap untuk berjalan, tapi dia menahannya sejenak dan kembali berujar, “jika ada rahasia besar yang tak ingin kau ungkapkan sembarangan, aku bersedia datang ke kantormu.”
“Besok…” sahut Fahri, “pukul 9 pagi.”
Setelah percakapan singkat itu, baik Komandan El dan Detektif Fahri tidak lagi melanjutkan pembahasan. Keduanya mulai bergerak; El kembali masuk ke dalam rumah untuk menemui bawahannya, sedangkan Fahri beranjak ke mobilnya.
Bersambung…