Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 15
— —
Ini hari terakhir Komandan El melakukan interogasi terhadap para pelayan di Kafe Cedah, tempat Alissa bekerja. El menginterogasi mereka semua di lokasi yang berbeda-beda. Dia melakukan cara senyap; satu per satu dari para pelayan kafe itu didatangi dan membawanya ke suatu tempat secara rahasia. Namun, setelah mengajukan banyak pertanyaan serta menghabiskan banyak waktu, ia sama sekali tidak menemukan satupun pencerahan. Hal itu seakan membuktikan bahwa para pelayan Kafe Cedah sama sekali tidak terlibat apa-apa di balik kematian Alissa.
Sebenarnya, masih ada satu karyawan yang belum diinterogasi oleh El. Dia tidak bisa menjumpai si pelayan itu karena kondisi kesehatannya yang buruk. El sudah berulang kali pergi ke kediaman sang pelayan atas informasi yang diberikan oleh si pemilik kafe, namun berulang kali pula dia tidak bisa bersua dengan yang bersangkutan.
Menurut kabar, pelayan tersebut sedang dirawat di rumah sakit. Oleh karena dia berada dalam ruang ICU, maka tak ada orang luar yang diizinkan datang walau hanya untuk sekedar menjenguk — hal ini juga berlaku pada polisi. Keluarga si pelayan memang sudah meminta pihak rumah sakit untuk melarang siapa saja yang ingin menjenguk, kecuali kerabat terdekat.
“Komandan…” kata salah satu bawahan El, “bagaimana selanjutnya?”
Seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, El menjawab, “tak ada pilihan lain… yang harus kita lakukan hanyalah menunggu sampai wanita itu pulih.” ujarnya yang merujuk pada pelayan Kafe Cedah.
Ketika sedang membahas perkara para pelayan Kafe Cedah, seketika ponsel Komandan El berdering. Ia lantas mengambilnya dari saku celana dan melihat ke layar sejenak. Sesaat kemudian dirinya menjawab panggilan telepon.
“Ya… detektif…” gumam El yang sedang berbicara dengan Fahri.
“Ada hal yang cukup penting. Kita harus segera bertemu.” balas detektif.
“Kalau begitu, aku akan menunggumu di kantor.”
“Jangan. Sebaiknya kau datang ke kantorku saja.” sahut detektif lagi yang tanpa basa-basi langsung memutuskan panggilan.
El sedikit bingung terhadap sikap Fahri. Ia termenung sejenak dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Dalam hati, sang Kapolsek terus bertanya-tanya perihal hal penting yang dimaksud oleh detektif. Dari suara yang ia dengar, dirinya seakan-akan yakin bahwa ada sesuatu yang membuat Fahri tergesa-gesa ingin menjumpainya.
Oleh karena sudah didesak oleh Fahri, maka El segera melirik anak buahnya. “Misi hari ini sudah selesai. Kembali ke markas dan tunggu kabar selanjutnya dariku.” katanya sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
“Bagaimana denganmu?” tanya polisi itu.
“Aku harus bertemu dengan Detektif Fahri. Dia memintaku ke kantornya.”
“Begitu ya…” sahut lelaki itu. Ia berdiam diri sejenak, lalu tak lama kemudian melanjutkan, “ngomong-ngomong… kau pernah bilang kalau kita akan bekerja sama dengan Detektif Fahri untuk mencari semua bukti kematian Alissa.”
Sembari melirik bawahannya, El menyahut, “ya… memangnya kenapa?”
“Tapi… kenapa dia tak pernah bersama kita selama menginterogasi keryawan Kafe Cedah?”
“Bekerja sama tidak harus selalu bersama, kan…?” tutur El.
Sang bawahan hanya menganggukkan kepala menanggapi perkataan Komandan El. Meski begitu, ia tidak begitu paham maksudnya. Di sisi lain, El tidak lagi berujar apa-apa. Dia segera melangkah pergi memasuki mobil, kemudian menancapkan gas dengan sedikit tajam.
Fahri memperlihatkan barang temuannya kepada Komandan El ketika sedang memata-matai Viktor dan Munir. Keduanya duduk di sofa dengan posisi saling berhadapan — di samping itu, ada Inayati yang berada di sebelah Fahri. Di tengah mereka, terdapat sebuah meja, yang terdapat semua barang yang dibawa oleh sang detektif.
El melirik barang-barang itu sejenak, lalu menglihkan pandangannya ke sang detektif. Ia seperti menanti detektif untuk membuka pembahasan.
“Hasil dari memata-matai Munir.” gumam Fahri.
“Ternyata… kau memang benar-benar memantau pergerakannya selama ini. Jadi, dari semua barang ini… apa bisa disimpulkan kalau Munir terlibat dalam kematian Alissa?” tanya El.
Detektif menggelengkan kepalanya. “Aku belum tau pasti dia berada di pihak mana. Tapi aku tau apa yang sedang ia rencanakan dalam dua hari ke depan.”
“Rencana…”
“Dia ingin membunuhmu.” kata Fahri.
Sorot mata El seketika menjadi cukup tajam sesaat setelah mendengar ulasan Fahri. “Apa maksudnya?”
“Sebelum ku jelaskan… ada baiknya kau lihat ini dulu.” jawab detektif seraya memberikan dompet kepada El, yang juga ia temukan di lokasi Munir dan Viktor berada.
Komandan El lantas mengambil dompet itu dan melihat isi dalamnya. Saat ia mengeluarkan sebuah kartu tanda pengenal, wajah sang Kapolsek seketika terkejut.
“Ini…” gumamnya sambil melirik kartu tanda pengenal itu, “KTP Alissa…”
Fahri menganggukkan kepala. “Tepat sekali. Bukti yang selama ini kita cari-cari. Dan bukan hanya itu — ini juga, kan…” balasnya sambil menunjukkan ponsel, yang juga ia temukan di lokasi pertemuan Munir serta Viktor.
Detektif Fahri menjelaskan kepada El bahwa ponsel tersebut merupakan milik Alissa. Ia membuktikannya dengan menunjukkan beberapa foto sang wanita di dalamnya. Selain itu, untuk membuktikan lebih jauh bahwa ponsel tersebut benar-benar milik Alissa, Fahri juga memperlihatkan semua pesan yang pernah terkirim ataupun yang masuk. Semua pesan itu sudah cukup untuk meyakinkan El bahwa telepon genggam yang ditemyi detektif memang milik sang korban.
“Ternyata… KTP dan ponsel Alissa memang sengaja disembunyikan oleh si pelaku… sesuai dugaanmu.” ujar El.
“Beberapa hari sebelum Alissa terbunuh, dia pernah mengirim pesan kepada Fathur. Dan, saat malam sebelum dirinya dibunuh, wanita itu juga sempat menelpon Fathur.” balas detektif.
Komandan El membuka isi pesan Alissa dan Fathur. Ia membacanya dengan seksama, dan lumayan lama. El seakan-akan sedang menghayati setiap pesan yang dikirim oleh Alissa… atau yang dibalas oleh Fathur.
Sang Kapolsek terus larut dalam pesan tersebut, sebelum akhirnya ia mendengar suara rekaman, yang membuat konsentrasinya buyar dalam waktu itu juga. El mengalihkan pandangannya ke meja, di situ ia melihat sudah ada sebuah laptop yang menyala. Meski demikian, dia tidak mengatakan apapun dan memilih untuk fokus mendengar suara rekaman antara pria dan wanita, yang berasal dari laptop tersebut.
Rekaman suara yang El dengar, persis sama seperti yang diperdengarkan Viktor kepada Munir.
Sesaat ketika rekaman suara itu usai, Fahri mengajukan pertanyaan. “Kau cukup familiar dengan suara ini, kan…?”
El melirik Fahri; dia berdiam diri sejenak lalu menjawab, “kau menemukan rekaman ini selama memata-matai Munir?”
“Aku belum bilang padamu — sebenarnya… dua malam yang lalu… Munir mendatangi sebuah rumah kosong. Dia mengadakan sebuah pertemuan kecil di sana. Adapun aku… menemukan semua barang ini di situ.”
“Siapa yang ditemui oleh Munir di rumah itu…? dan apa yang mereka bahas di sana?”
“Tentang Alissa… dan tentu saja rekaman ini.” sahut Fahri.
El tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bungkam, tak percaya bahwa dirinya mendengar sebuah rekaman suara yang cukup persis sama seperti suaranya.Di samping itu, Fahri mulai menjabarkan penjelasannya terkait rekaman suara itu di mana; suara wanita yang ada di situ merupakan suara Alissa.
“Kau mungkin tidak terlalu familiar dengan suara Alissa… tapi kau cukup mengenal suara Fathur, dan tentu saja suara dirimu sendiri.” ucap detektif.
Sesuai perkataan Viktor kepada Munir yang didengar oleh Detektif Fahri, dalam rekaman suara itu terdapat tiga orang. Tiga sosok yang dimaksud adalah Alissa, Fathur serta Komandan El. Di situ, El berperan sebagai pelakunya dengan membunuh Alissa dan Fathur sekaligus.
“Detektif…” kata El, “apa sekarang kau mulai menuduhku?”
Fahri malah mengumbar senyuman saat mendengar pertanyaan sang Kapolsek. “Bukan aku — tapi Munir dan orang yang ditemuinya di rumah yang ku sebut tadi.” balasnya.
Sang detektif lantas mengambil selembar foto yang juga ia temukan di tempat pertemuan Munir dan Viktor. Di dalam foto itu, ada Viktor bersama seorang perempuan. Di sini, Fahri memberikan gambar itu kepada El.
“Kau tak asing, kan dengan laki-laki itu…? dia polisi yang sangat dekat denganmu, juga sosok yang paling ditakuti oleh para mafia selain dirimu.” kata Fahri.
Baru saja melihat foto itu, El langsung terkejut. Kedua mata lelaki itu terbuka lebih lebar, seakan-akan dia tak percaya terhadap apa yang sedang dilihatnya.
“Abdul…” ucap El yang menatap gambar Viktor.
Sang Kapolsek kekudian mengalihkan pandangannya kepada detektif, “tapi… apa maksud dari ini semua?”
“Dialah yang ditemui oleh Munir. Komandan… orang yang memperdengarkan rekaman suara tadi kepada Munir adalah laki-laki yang ada di dalam foto itu.”
Sikap El berubah drastits dari yang awalnya tenang, kini menjadi berang. Sorot mata sang Kapolsek semakin tajam saja. Di samping itu, Fahri mulai memperdengarkan rekaman pembicaraan antara Munir dan Viktor.
Baik El dan Fahri sama-sama mendengar rekaman pembicaraan Munir dan Viktor. Keduanya tidak saling berbicara, termasuk Inayati yang duduk di sebelah detektif. Semua dalam konsentrasi penuh dan tak ingin tertinggal sedikitpun pembahasan yang ada dalam rekaman tersebut.
Dua puluh menit berselang
“Begitu rupanya…” gumam El sesaat setelah rekaman pembicaraan itu berakhir.
Di momen ini, Fahri menatap El. “Sekarang, kau tau di pihak mana Munir berada… dan di pihak mana Abdul berada.” balasnya.
“Sepertinya Munir sudah menjadi korban penipuan. Semua hal yang diutarakan oleh Abdul adalah pembodohan. Tapi… bagaimana dengan dirimu sendiri…?”
“Kau tak perlu menanyakan itu…” sahut Fahri. Ia paham mengenai arah pertanyaan sang Kapolsek.
El lalu duduk besandar seraya menyilangkan kedua tangan ke dada. “Keparat. Abdul sialan itu sudah menipuku. Selama ini dia mengaku sedang mengambil cuti. Ternyata, dia tidak masuk ke kantor karna sibuk menipu orang lain.” katanya dengan raut wajah kesal.
Komandan El berdiam diri sejenak selama beberapa detik. Dia menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan, “jadi, bisa disimpulkan sementara bahwa sebenarnya Munir juga sedang mengusut kematian Alissa secara diam-diam. Tapi, sepertinya dia lebih dulu kena hasutan Abdul.” katanya.
Untuk sementara, Fahri dan EL sepakat menganggap bahwa Munir tidak terlibat sedikitpun dalam kematian Alissa. Dia hanya mencoba mengusut kasus itu tanpa sepengetahuan sang Kapolsek, juga sang detektif. Tapi, mengingat Munir sudah merencanakan sesuatu bersama Viktor, alias Abdul, kini mereka berdua harus sedikit berhati-hati.
“Detektif, apa menurutmu Abdul terlibat…? atau hanya sedang mencoba menjebakku…?” tanya El.
Fahri menarik napas dalam dan mengembuskannya di waktu yang sama. “Entahlah. Tapi jika kita merujuk kepada rekaman yang berisi suaramu, Alissa dan Fathur… menurutku dia orang yang sudah mengatur kasus kematian Alissa dengan cukup terstruktur. Dengan kata lain… bisa jadi dialah orang yang membunuh wanita itu.” ungkap detektif.
Perkataan Fahri lantas dibuktikan oleh Inayati. Wanita ini kembali memperdengarkan rekaman suara Komandan El, Alissa serta Fathur. Sebanyak empat kali ia mengulangi rekaman tersebut, dan keempat suaranya mulai berbeda-beda. Hal itu membuat El yang sedang mendengarkannya dengan fokus malah mulai bingung.
“Bagaimana…?” tanya Fahri ketika empat rekaman tadi selesai diputar, “apa kau bisa menarik kesimpulan, komandan?”
El melirik detektif dan menjawab, “di rekaman yang keempat, suaranya malah berubah menjadi suara Abdul. Berarti semuanya sudah jelas — aku juga sepemikiran denganmu.”
“Ya… Abdul merekam suaranya sendiri, lalu mengubahnya menjadi suaramu dan Fathur. Sedangkan suara milik Alissa… entah kenapa aku yakin suara itu milik wanita yang ada di dalam foto ini.”
Fahri mengarahkan jari telunjuknya ke foto yang ada Abdul bersama seorang perempuan jelita. Di sisi lain, El melihat wanita tersebut dengan sangat teliti. Dia mencoba menerka-nerka siapa sosok yang anggun itu. Tapi, sebelum dia menyadarinya, detektif malah lebih dulu mengatakannya.
“Aku pernah melihat wanita itu saat membuntuti Munir yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat Abdul berada. Yang perlu kau tau, perempuan itu menumpang mobil milik Munir, dan turun di sebuah apartemen. Lalu, ketika diriku sedang menguping pembahasan Abdul dan Munir, Abdul sempat menyinggung perempuan itu. Inti yang ku dapat, wanita dalam foto itu merupakan rekan kerja, sekaligus teman baik Alissa. Saat mendengar pembahasan mereka, dalam sekejap diriku teringat bahwa kita punya misi untuk menginterogasi semua karyawan di Kafe Cedah — wanita dalam foto ini sudah pasti bekerja di sana. Lantas, apa kau sudah memeriksanya?” tanya Fahri.
“Sudah — tapi aku sama sekali tidak melihat perempuan ini. Sebenarnya, tersisa satu karyawan lagi yang belum ku periksa. Aku tidak bisa melakukannya karna dia sedang dirawat di rumah sakit. Keluarganya pun tidak mengizinkan orang lain untuk menjenguk, bahkan para polisi sekalipun. Jadi, aku harus rela menunggu sampai dia sembuh.”
“Tak perlu…” sahut Fahri, “karyawan yang kau maksud itu pasti perempuan yang ada di dalam foto ini. Kau sudah mendengar penjelasanku tadi, kan…? Aku melihat wanita itu bersama Munir. Dia tidak sakit… apalagi berada di rumah sakit. Yang perlu kita lakukan adalah mendatangi apartemen tempat dirinya turun dari mobil Munir. Aku yakin dia pasti tinggal di sana.”
“Ya… anggapanmu bisa jadi benar. Tapi, dari informasi pemilik Kafe Cedah, wanita itu punya rumah sendiri di Jalan Simpang Tiga — dan aku sudah mendatangi langsung tempatnya.”
“Hasilnya…?”
“Yaa… aku tidak mendapat apa-apa.”
“Lantas kenapa kita harus kembali lagi ke rumah itu?” sahut Fahri.
Di momen ini, Fahri menjabarkan rencananya untuk memburu Viktor, alias Abdul, juga wanita yang ada di dalam foto bersamanya. Tangan sang detektif berayun-ayun mengikuti intonasi dari setiap kata yang ia lontarkan.
“Ingat…” ujar Fahri kepada El, “kau itu sudah menjadi sasaran pembunuhan oleh Munir dan Abdul. Salah satu dari mereka pasti akan menjadi eksekutornya. Tapi, jangan pikir kau akan dibunuh dengan cara ditembak — ingat juga bahwa mereka sudah menyusun rencana sedemikian rupa untuk membunuhmu secara senyap. Maka dari itu… jangan lengah.”
“Aku sudah paham. Tapi, apa kau yakin dengan rencanamu tadi…? Melibatkan asistenmu dalam kasus ini… ku pikir bukan pilihan yang tepat.” tanya El seraya melirik Inayati.
Sambil tersenyum, Fahri menyahut, “komandan… sebenarnya pekerjaan kita bisa sampai ke titik ini karna bantuan Inayati. Mulai hari ini, kita saling berbagi tugas; aku akan mencari Abdul, kau mencari Munir dan… serahkan wanita dalam foto itu kepada Inaya. Inayati ini… dia punya insting yang lebih tajam daripadaku. Selain itu, kemampuannya dalam membaca keadaan juga tak boleh diremehkan. Alasan itulah yang membuatku menjadikannya sebagai asistenku — kami sudah berulang kali menjalankan misi bersama. Meskipun dalam misi memburu Abdul serta yang lainnya akan sedikit berbeda karna… untuk peratama kalinya kami tidak melakukannya bersama-sama. Tapi, aku percaya pada Inaya — sebagaimana dia yang juga percaya penuh padaku. Benar, kan…?” ungkap Fahri sambil melirik sang asisten.
Inayati melirik Fahri dengan sorot mata yang berbinar. Namun tak lama kemudian wanita ini buru-buru memalingkan kepala dan memandang ke bawah. Kini, wajah sang asisten mulai memerah malu akibat pujian detektif.
Dalam situasi yang sedang tersipu malu, Inayati tetap mengontrol dirinya agar tidak terlalu terbuai. Dan… di waktu yang sama pula, dia menyadari sesuatu. Sang wanita pun kembali melirik Fahri, kali ini dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Detektif… bagaimana dengan Gengster Angkara? Kau tak boleh mengesampingkan mereka.” ujar Inayati.
Mendengar itu, El juga berkata, “benar. Bukannya kita juga menganggap gengster itu terlibat? Dan lagi, baru-baru ini mereka muncul ke permukaan kota, membuat kekacauan hingga melukai bahkan sampai menewaskan warga sipil. Mereka sudah melewati batas — kita harus cepat-cepat bergerak.”
“Jangan gegabah…” sambung Fahri, “aku tidak bermaksud menyepelekan mereka, tapi saat ini fokus kita memang harus berada di Munir, Abdul dan wanita yang berfoto bersamanya. Aku punya firasat… Angkara melakukan kekacauan di sekitaran kota hanya untuk mengecoh. Jangan sampai kita terkecoh terhadap aksi mereka.”
“Memangnya mereka sedang mengecoh siapa?” tanya El.
“Kita.”
“Kita…?”
“Ada hal yang lupa ku sampaikan padamu mengenai pertemuan Munir dan Abdul. Masih ingat dengan sosok Narkan? Mereka berdua sempat menyinggung lelaki itu.”
“Narkan, ya… orang yang berhasil kabur dari rutan yang dijaga super ketat. Jadi, dugaanmu saat kita menginterogasi salah satu anggota Angkara benar adanya — Narkan sudah kembali ke Kota Juang?”
Dalam posisi duduk, Fahri menyilangkan kedua kakinya lalu menyandarkan tubuh ke badan sofa. “Mengenai Angkara ini, mereka masih sangat tertutup. Tapi aku yakin Narkanlah yang menggerakkan kelompok berandalan itu — alih-alih berperan sebagai ketuanya sebagaimana anggapanku sebelumnya — aku yakin bahwa peran dia dalam tubuh gengster itu lebih penting. Saat ini, lupakan sejenak siapa sosok pelaku sebenarnya dalam kematian Alissa. Nama-nama yang kita temukan sejauh ini terlihat jelas bahwa mereka semua punya keterlibatan tersendiri di balik kematian wanita malang itu. Sekarang, ada beberapa rujukan yang bisa kita jadikan sebagai acuan langkah kita untuk mengusut kasus ini. Pertama, rekaman suaramu yang membunuh Alissa sebagai rujukan; kedua, semua orang yang terlibat dalam kematian Alissa sedang mencoba menghilangkan jejak. Aku bahkan menganggap mereka mulai saling menyalahkan. Oleh karna itu sosok seperti Abdul menghasut Munir dan merekayasa kebenaran di mana seolah-olah kaulah pelaku pembunuhan Alissa.lalu, ketiga; salah satu anggota Angkara mencoba membunuh kita saat berada di gedung tua. Keempat; terdengarnya nama Narkan secara tiba-tiba setelah sekian tahun menghilang. Terakhir… ada aksi Gengster Angkara yang juga tiba-tiba keluar dari sarang dan membuat kekacauan pada malam itu. Semua hal yang ku katakan ini, juga berbagai temuan yang kita dapatkan, itu semua bukan hanya kebetulan belaka. Pasti, mereka yang terlibat dalam kasus ini sedang mencoba menghilangkan jejak sebisa mungkin. Barangkali, itu terjadi saat Fathur bunuh diri — atau jauh lagi ke belakang saat aku pertama kali mendatangi gedung tua, tempat terbunuhnya Alissa. Tak ada yang kebetulan, termasuk ketika kita diserang saat berada di gedung tua.” jelas detektif.
El benar-benar tak menyangka terhadap apa yang ia dengar dari Fahri sebab dia sendiri tidak beranggapan sejauh itu.
“Solusinya…” lanjut Fahri, “kau harus mengerahkan bawahanmu untuk siaga. Kehadiran beberapa anak buahmu bisa membuat situasi kota menjadi lebih aman dari kelompok Angkara. Aku yakin mereka akan melanjutkan aksinya. Untuk Narkan, barangkali kita akan bersua dengannya ketika memburu Abdul atau Munir. Dari segala keterlibatan yang ada, mereka pasti akan berada dalam posisi yang berdekatan.”
Fahri menyuruh El untuk mengerahkan bawahannya berjaga-jaga bukan karena takut terhadap kebengisan Gengster Angkara. Dia berfirasat bahwa itu semua hanya sebagai pengecoh agar polisi semakin bingung letak markas mereka. Di sisi lain, meski detektif tahu bahwa El sudah menjadi target pembunhan oleh Munir dan Viktor, alias Abdul, namun entah kenapa dia yakin bahwa dirinya sendiri juga menjadi sasaran kematian.
Bersambung…