Di Balik Cahaya Kegelapan

Tragedi Berdarah

Reza Fahlevi
13 min readAug 6, 2024
Photo by Marcus Bellamy on Unsplash

Bagian 10

— —

“Bagaimana?” tanya seorang pria yang rambutnya sudah memutih semua.

Lalu, seorang wanita berusia sekitar 50 tahun menjawab, “hp-nya tidak aktif.”

“Sudahlah…” sahut pria itu lagi, “mungkin Alissa sedang sibuk.”

“Tidak biasanya dia seperti ini.”

“Memang sedikit aneh karna sesibuk apapun Alissa, dia pasti tetap menghubungi kita. Tapi, mama tak perlu khawatir… mungkin dia memang benar-benar sedang sibuk. Mungkin… nanti dia akan menelpon kita.” ujar laki-laki itu.

Wanita berusia 50 tahun tadi lantas hanya berdiam diri. Dia duduk dengan wajah yang cemas serta menggenggam ponsel dengan cukup erat. Sebuah perasaan yang tak bisa dibohongi; dia benar-benar mengkhawatirkan Alissa, satu-satunya anak perempuan yang ia miliki.

Di Kafe Cedah

Sebuah mobil sedan berwarna serba hitam tiba ke pekarangan Kafe Cedah. Tepat di saat kendaraan itu berhenti di pelataran parkir, lantas keluarlah Komandan El beserta dua bawahannya. Mereka tidak mengenakan seragam dinas melainkan memakai pakaian biasa. El mengenakan kemeja biru berlengan panjang yang ia lipatkan setengah.

Mereka bertiga lantas berjalan; El berada di depan sedangkan dua bawahannya mengikuti sang Kapolsek di belakang. Lalu, ketika sampai ke sebuah meja yang memiliki 4 kursi, mereka pun duduk manis di sana.

“Selamat pagi… mau pesan apa?” tanya seorang laki-laki. Dia merupakan pelayan di kafe ini.

Ketiganya memesan menu yang sama yaitu, kopi espresso. Lalu, sang pelayan meninggalkan mereka sejenak dan kembali lagi 5 menit kemudian dengan membawa pesanan. Ketika si pelayan selesai menaruh kopi ke atas meja, El lantas mulai bertanya padanya.

“Sebenarnya, kami datang karna sudah ada janji dengan bosmu. Apa dia ada di sini?” tanya El.

“Pak Anwar…? ya… dia di dalam ruangannya. Tapi, sepertinya dia sedang banyak kerjaan.” Sahut si pelayan.

“Aku tau. Tapi, bisakah kau memanggilnya ke sini? Bilang saja Kapolsek Kota Juang sedang menunggunya.”

Mendengar ucapan El, sang pelayan langsung mengangguk dan buru-buru pergi. Lalu, tak lama berselang ada seorang laki-laki bertubuh kurus dengan mengenakan kaos putih berkerah, berjalan terburu-buru menuju tempat El.

“Maaf sudah membuatmu menunggu, pak Kapolsek.” ujar laki-laki itu yang tak lain adalah Anwar, si pemilik Kafe Cedah.

Bersamaan dengan Anwar yang duduk di sebelah El, mereka pun mulai membuka pembahasan. Seperti biasa, awal pertemuan pasti dibuka dengan basa-basi meski itu tidak terlalu penting untuk dibahas. Tapi, walaupun tak penting, basa-basi itu malah memakan waktu selama 10 menit, sebelum akhirnya El menuju kepada hal yang penting.

“Sebelum ku jabarkan sejauh mana kasus Alissa ini, aku ingin mendengar sesuatu darimu yang berkaitan dengan wanita itu.” kata El kepada Anwar.

Adapun Anwar membalas, “bukannya semuanya sudah ku sampaikan padamu? Sejauh ini, tak ada yang baru mengenai Alissa. Sudah hampir seminggu sejak dirinya tewas, dan hanya itu kabar yang kami punya — itupun kau yang menyampaikannya padaku.”

“Bagaimana dengan kerabat…? atau pihak keluarga…?”

“Tidak…” sahut Anwar seraya menggelengkan kepala, “tidak ada yang datang mencarinya… bahkan keluarga sekalipun.”

El tidak menanggapi perkataan si pemilik kafe. Dia hanya menegakkan sedikit posisi duduk lalu mengambil gelas berisi kopi dan kemudian meneguknya dengan perlahan-lahan. Saat dirinya meletakkan kembali gelas itu, Anwar lantas mengajukan pertanyaan.

“Jadi, kalian belum mengabarkan kematian Alissa pada keluarganya?” tanya Anwar.

“KTP dan ponsel wanita itu sampai sekarang masih menjadi misterius. Jika kami berhasil menemukannya, maka kabar kematiannya pasti sudah sampai ke pihak keluarga jauh-jauh hari.”

“Rumit juga… seandainya aku punya nomor telepon orang tuanya, pasti aku bisa membantu kalian.”

Suasana menjadi hening di sementara waktu. Mereka semua sibuk dengan ponsel masing-masing. Lalu, lima menit berselang, Anwar memecah keheningan.

“Bahkan… berita-berita yang sudah tersebar mengenai kematian Alissa masih belum cukup mengabari pihak keluarganya di kampung.” kata si pemilik kafe.

“Mungkin…” balas El, “ada kemungkinan keluarga Alissa berada jauh di dalam pelosok. Lokasi yang cukup terjangkau untuk internet sampai ke sana.”

“Bisa jadi…”

Di momen ini, El kembali berdiam diri. Meski begitu, matanya sibuk memandangi ke sekitar, terutama kepada para pelayan dari pria serta wanita. Selang beberapa detik, dia kembali melirik Anwar.

“Ada hal yang cukup penting untuk ku selidiki — aku harus membawa karyawanmu.” kata El.

“Tapi, bukannya mereka sudah diselidiki oleh bawahanmu dua hari yang lalu?”

“Benar. Tapi yang ini berbeda — ini tujuanku sendiri. Aku yang akan menginterogasi mereka.”

“Berapa karyawan yang kau butuhkan?”

“Semuanya…”

“Apa…?” sahut Anwar yang sedikit terkejut, “bagaimana mereka bekerja jika kau mengambil mereka semua?”

El malah sedikit mengekeh mendengar pertanyaan Anwar. “Untuk seorang bos, kau ternyata sedikit lugu. Mana mungkin aku mengambil mereka semua sekaligus. Sudah pasti aku membawa mereka satu per satu… di waktu yang berbeda-beda. Seperti kataku, ini tujuan pribadi, jadi aku harus melakukannya secara diam-diam. Karna itu, pastikan jangan ada yang tau — cukup kau saja.”

“Oke… aku paham.” ujar Anwar seraya mengangguk.

Lalu, El mulai menjelaskan sebagian dari rencananya kepada Anwar. Begitu selesai, dia beserta dua bawahannya mulai bangkit dari duduk dan langsung beranjak dari Kafe Cedah.

Ketika para polisi itu berada di dalam mobi, salah satu bawahan El bertanya, “apa kau serius tidak melibatkan kami?”

Lantas El menjawab, “aku bukan tidak melibatkan kalian. Kalian tetap punya peran, tapi di balik layar. Aku hanya ingin memastikan semua karyawan Anwar tidak tau kalau kita sedang menyelidiki mereka.”

“Begitu ya… jadi kau tetap menjalankan rencana ini? Ku pikir, kau harus bekerja sama dengan Abdul karna dia lihai dalam hal memata-matai.” saran si polisi.

Abdul sendiri merupakan polisi Intelijen yang cukup terlatih. Dia sudah berkali-kali menjalankan tugas untuk mencari para bandar narkoba, dan semuanya ia tuntaskan dengan sempurna. Itu sebabnya Abdul cukup disegani oleh para polisi lain namun ditakuti oleh para Bandar.

“Abdul sedang cuti. Tapi tak masalah, aku punya pengganti yang sepadan seperti dirinya.” sahut Komandan El yang menyahuti saran dari salah satu bawahannya.

“Siapa…?”

“Detektif Fahri…” ujar El.

Sang bawahan spontan menaikkan satu alis matanya. “Aku tau detektif itu cukup mumpuni ketika melakukan mata-mata. Tapi, komandan, dia tak bisa bertarung. Sudah beberapa kali aksinya diketahui oleh musuh, dan beberapa kali pula dia hampir mati. Kemampuan otak, jika tidak dibarengi dengan kecakapan bertarung… bagiku itu sama saja omong kosong.”

El sedikit tersenyum mendengar ocehan bawahannya. “Karna itu aku berada di sampingnya. Jadi, jika dia sampai berhadapan dengan musuh, aku akan menjadi back up untuknya. Lagipula, kau tetap tak bisa meremehkan Fahri — dia memang tak bisa bertarung tapi kemampuan menembaknya cukup luar biasa. Bisa ku katakan kemampuannya itu setingkat di atas diriku. Yaa memang… pandai menembak saja tidak cukup. Namun, kehadiran diriku di sampingnya sudah lebih dari cukup untuk menghadapi musuh.” jelas sang Kapolsek.

Memang, dari segi kemampuan, terutama dalam hal menembak, Komandan El tak pernah meragukan kapasitas yang dimiliki oleh Detektif Fahri. Dia menaruh rasa hormat yang besar terhadap sang detektif atas kecapakannya untuk urusan tembak-menembak.

Meski begitu, El juga bukanlah orang yang bisa dengan mudah menerima segala asumsi yang dijabarkan oleh Fahri. Hal itu dikarenakan terkadang detektif sering menjabarkan penjelasan yang melenceng jauh, di mana tidak semua orang memikirkannya, namun dia malah memikirkannya. Setidaknya, Fahri harus memiliki bukti yang nyata untuk dapat membuat El percaya terhadap semua asusmsinya, seperti kasus yang terjadi pada Fathur yang bunuh diri, serta pembunhan Alissa yang ia anggap terjadi di sebuah gedung tua.

Di sebuah taman, Fahri duduk di atas rerumputan sambil menyilangkan kedua kaki. Matanya fokus menatap ke sekitar di mana banyak anak-anak yang sedang bermain; ada yang bermain sepeda, saling kejar-kejaran, bahkan juga ada yang sedang bertikai. Dalam pandangannya yang cukup fokus, tangan kiri Fahri yang memegang sebuah pensil sibuk melukis di beberapa lembar kertas. Ya, dia sedang melukis anak-anak yang sedang bermain itu, serta apapun yang ditangkap oleh matanya.

Begitu selesai, Fahri lantas mengalihkan matanya ke sisi lain. Kali ini, dia fokus menatap seorang laki-laki yang sedang duduk mesra bersama seorang wanita. Adapun laki-laki itu adalah polisi yang bernama Munir. Sambil terus menatap pria tersebut, tangannya juga meletakkan peralatan melukis tepat di sebelah tas ransel yang berada di sampingnya.

Di momen ini, Fahri tidak hanya menatap. Dia mulai mengambil tablet dan kembali melukis di situ. Kini, yang ia lukis adalah Munir serta wanita yang bersama dengannya; mereka berdua terlihat cukup bahagia di mana hampir setiap saat terus tertawa.

Di samping kesibukan Fahri, ada Inayati yang sedang membeli es krim. Dia sempat berbasa-basi dengan si penjual, sebelum akhirnya berjalan pergi sembari memegang dua es krim di tangan. Seraya berjalan, wanita ini melihat detektif yang sedang serius bermain-main dengan tablet. Ia tahu bahwa atasannya itu sedang sibuk melakukan hobinya.

Saat Inayati sudah berdiri di belakang Fahri yang sedang duduk sambil melukis, wanita ini hanya melihatnya saja tanpa berbicara. Sesekali dirinya menatap ke depan, agak serong ke kiri, dia pun paham bahwa Fahri sedang melukis seorang pria dan wanita yang sedang duduk di bawah pohon rindang.

“Jangan berdiri saja, Inaya.” gumam Fahri. Dia malah sudah menyadari lebih dulu bahwa Inayati sedang berdiri di belakangnya.

Inayati sendiri tidak menyahuti perkataan Fahri. Dia buru-buru duduk di samping sang detektif — kedua tangan wanita ini masih juga memegangi es krim.

Tak lama berselang, Fahri selesai dengan urusannya. Sejak awal dirinya melukis Munir dan seorang wanita, setidaknya ada 5 sketsa yang sudah terkumpul dengan gambar yang berbeda-beda di dalam tablet. Tidak hanya itu, Fahri juga mewarnai pakaian sang tangan kanan Komandan El itu sesuai dengan apa yang ia kenakan, termasuk jam tangan yang dia pakai di tangan kiri.

Ketika detektif menaruh tablet di atas pahanya, Inayati mulai memberikan es krim.

“Jadi, laki-laki itu yang sedang kau selidiki…” gumam Inayati.

Sembari menerima es krim dari sang asisten, Fahri pun mengangguk. “Namanya Munir — dialah tangan kanan dari Komandan El. Dan kita… akan memata-matainya selama beberapa hari ke depan.”

“Seharusnya dia sedang bertugas, kan…?”

“Tidak untuk hari ini…”

“Kau tau hari-hari apa saja dia tidak bertugas?”

“Jauh-jauh hari aku sudah menanyakan berbagai informasi kepada El mengenai Munir — salah satu yang ku dapat adalah hari liburnya.” jelas Fahri seraya menikmati es krim.

Fahri dan Inayati terus berbicara, isi obrolan mereka sebenarnya tidak begitu penting. Sang detektif senantiasa memerhatikan kedua mata asistennya itu saat dia sedang mengutarakan sesuatu. Namun, sesekali lelaki ini juga melirik ke arah Munir.

Detektif dan sang asisten sudah seperti kakak beradik. Ketika ada momen di mana Inayati yang sedang berbicara lalu mengumbar senyuman, Fahri yang menatapnya juga membalas senyuman itu. Mereka berdua sama sekali tidak terlihat seperti seorang bos dan bawahan.

Waktu terus berjalan, namun pembahasan Fahri dan Inayati seperti tak berujung. Wanita itu terus membicarakan banyak hal seakan-akan dia merasa cukup nyaman mengungkapkannya kepada Fahri. Bahkan, saat es krim mereka telah habis, obrolan masih terus berlanjut, terutama Inayati yang memang cukup banyak berbicara. Di samping itu, detektif senantiasa setia menyimaknya.

Lantas, di satu momen, untuk kesekian kalinya Fahri melirik ke arah Munir. Ia melihat wanita yang bersama lelaki itu sudah beranjak entah ke mana. Kini, sang polisi hanya duduk sendirian. Maka, di waktu yang sama pula Fahri kembali melanjutkan melukis di tablet.

Meskipun sudah mulai melukis lagi, namun Fahri masih bisa membagi fokusnya antara memerharikan Inayati yang sedang berbicara, serta menaruh fokus terhadap Munir. Di dalam lukisan, detektif menggambar sikap bahasa tubuh sang tangan kanan Komandan El itu yang kini berulang kali menolehkan mata ke kiri dan kanan, seperti sedang dilanda cemas.

Ada rasa tak nyaman dalam diri Munir sesaat wanita yang bersamanya tadi pergi meninggalkannya, dan Fahri menyadari betul sikap lelaki tersebut. Detektif lalu mencoba membacanya lebih jauh; pertama dia melirik ke kanan, lalu ke kiri dan diakhiri dengan menoleh ke belakang.

Dari tiga sisi yang Fahri tatapi, ada beberapa orang yang ia curigai. Di sisi kanan, ada seorang laki-laki yang mengenakan headset dan sedang duduk di bangku panjang sendirian sambil memegangi buku. Detektif sempat beberapa kali melihat orang itu dan dia sama sekali tidak membaca bukunya, melainkan fokus ke ponsel yang ia genggam di tangan kiri.

Kedua di sebelah kiri; ada dua pria yang mengenakan jaket biru tua. Mereka duduk di bawah pohon rindang; yang satu sibuk menelepon dan seorangnya lagi hanya duduk termenung.

Ketiga yaitu di sisi belakang Fahri; ada seorang laki-laki juga yang duduk manis di atas sepeda motor jenis Trail. Ia mengenakan kaos berlengan panjang serta memakai kacamata hitam. Tangannya menggenggam ponsel — Fahri melihat lelaki itu berulang kali menatap layar ponsel, setidaknya dalam 30 detik sekali.

Di sisi lain, Inayati yang masih berbicara sambil menatap Fahri mulai menyadari sesuatu. “Apa kau menemukan orang-orang yang mencurigakan?” tanyanya.

Fahri lantas menjawab, “beberapa.”

Detektif kemudian meminta sesuatu pada Inayati.

“Inaya, bawa lukisan-lukisan ini kepada Munir — tawarkan saja padanya dengan harga yang terjangkau. Tapi, pastikan kau harus sedikit banyak bicara — ada yang ingin ku cari tau dari orang-orang mencurigakan itu melalui percakapan kalian.” ujar Fahri sembari memberikan 6 lembar kertas berupa sketsa yang ia lukis sebelumnya.

Inayati lantas mengangguk dan mengambil 6 lembar kertas itu. Lalu, sang wanita segera bangkit dari duduk dan menghampiri Munir. Sesuai arahan, dia mulai menawari lukisan-lukisan tersebut kepada si tangan kanan Komandan El.

Di waktu yang sama, Fahri langsung melirik ke sekitar; ia sigap membagi fokus dari menatap Munir dan Inayati, serta ke beberapa orang yang ia curigai. Seakan-akan tak ingin menyia-nyiakan momen, dengan tenang detektif mengambil tablet dan kembali melukis. Kali ini, jangkauan lukisannya lebih luas di mana dia sekaligus memasukkan Munir, Inayati, serta orang-orang yang ia curigai ke dalam satu sketsa.

Awalnya, semuanya biasa-biasa saja. Namun setelah lima menit, Fahri merasa ada gerak-gerik mencurigakan saat dirinya sedang memerhatikan pria yang duduk di kursi panjang. Lelaki itu mulai menegakkan badannya seraya menutupi buku. Dia juga terus memperhatikan Munir dan Inayati yang sedang berbicara — sesekali jemarinya mengetik sesuatu di layar ponsel. Tak lama berselang, laki-laki itu mulai menempelkan ponsel ke telinganya… seperti sedang menghubungi seseorang.

Di samping itu, sembari melukis Fahri spontan melirikkan mata ke sisi kiri, tepat kepada dua laki-laki yang duduk di bawah pohon rindang. Selang lima detik kemudian, detektif menolehkan pandangan ke belakang dan melihat pria yang duduk di atas sepeda motor Trail sedang menelepon. Di sini, Fahri menduga bahwa pria tersebut sedang berbicara dengan laki-laki yang duduk di kursi panjang.

Fahri terus melukis apapun yang ia perhatikan. Kini, sudah ada 2 sketsa yang telah selesai, dan saat ini dirinya lanjut melukis di sketsa yang ke tiga.

Sementara itu…

“Terima kasih sudah membeli lukisanku.”ujar Inayati kepada Munir.

Sembari mengumbar senyuman, Munir menjawab, “tak masalah. Lagipula, lukisanmu cukup bagus. Kau menjualnya kepada orang yang tepat.”

Sang wanita lantas mengangguk, lalu mengajukan pertanyaan. “Gaya bicaramu sangat tenang, apa kau polisi?” tanya Inayati sambil tersenyum.

Senyuman Munir seketika lenyap ketika ia mendengar pertanyaan Inayati.

“Maaf… aku harus segera pergi.” balas Munir. Ia tidak menjawab pertanyaan Inayati tadi.

“Oh… maaf sudah mengganggu waktumu. Terima kasih sudah membeli lukisannya.”

Munir tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya mengangguk lalu buru-buru pergi ke sebuah mobil. Ketika lelaki itu membuka pintunya, tampak jelas bahwa dia sedang dilanda rasa takut yang besar. Dan tanpa memalingkan kepala ke kiri dan kanan, ia bergegas masuk ke dalam mobil.

Bersamaan dengan Munir yang sudah berada di dalam mobil, kini, laki-laki yang duduk di kursi panjang juga mulai pergi. Ia berjalan dengan cepat menuju ke pria yang sedang duduk di atas sepeda motor Trail. Mereka sempat berbicara sebentar, dan tak lama setelahnya, keduanya langsung bergerak menggunakan Trail.

Di sisi lain, dua laki-laki yang duduk di bawah pohon rindang — yang mana mereka juga dicurigai oleh Fahri — keduanya juga mulai bergerak dan masuk ke dalam sebuah mobil yang sama dengan Munir.

“Begitu rupanya…” gumam Fahri dalam hati.

Tepat di saat mobil yang ditumpangi oleh Munir melaju dengan agak tajam, Inayati akhirnya kembali menemui Fahri.

“Apa kau mendapatkan sesuatu, detektif?” tanya Inayati.

Fahri mengangguk. “Selain kita, ternyata ada orang yang juga sedang mematai-matai Munir. Bedanya, sepertinya Munir tak tau kalau kita memata-matainya — tapi barangkali dia menyadari orang asing yang membuntutinya. Lihat…” ujar detektif seraya memperlihatkan beberapa hasil lukisannya di tablet kepada Inayati.

Wanita itu sendiri memerhatikan lukisan-lukisan Fahri agak lama. Ada tiga sketsa berbeda yang berhasil dilukis oleh detektif dalam waktu 15 menit; adapun Inayati memerhatikannya satu per satu dengan cermat. Saat wanita itu menatap ke lukisan yang terakhir, dia spontan mengerutkan dahinya.

“Semua lukisanmu berbeda-beda, tapi objek yang kau fokuskan tetap sama. Kau benar-benar melukis kami dari awal aku menghampiri Munir sampai dirinya pergi. Sketsa-sketsa ini sudah seperti gambar berjalan…” gumam Inayati seraya tersenyum.

“Begitulah. Tapi tanpa bantuanmu, aku tak bisa menyelesaikan lukisan ini.” balas detektif.

“Jadi, kesimpulan apa yang kau dapat dari semua lukisan ini? Jika tidak mengaitkan posisiku dan Munir, maka ada 3 sisi yang menjadi fokusmu — dan itu berarti merujuk ke pria-pria ini, kan…?” tanya Inayati sembari mengarahkan jari telunjuknya ke orang-orang yang dicurigai oleh Fahri.

Detektif hanya mengangguk, sedangkan sang wanita kembali bertanya, “dari tiga sisi itu, menurutmu mana orang-orang yang memata-matai Munir?”

Fahri lalu menunjuk pria yang duduk di kursi panjang serta yang bersantai di atas sepeda Motor Trail. “Mereka berdua…” jawabnya.

“Di dalam lukisan ini, kau menggambarkan mereka berdua yang mulai bergerak tak lama setelah Munir meninggalkanku. Apa karna itu kau beranggapan mereka sedang memata-matai Munir?”

“Ya… tapi itu nomor dua — yang pertama karna headset. Pria yang duduk di kursi panjang memakai headset…”

“Dengan kata lain… dia sedang mendengar pembicaraan Munir menggunakan headset, ya kan…?”

Fahri kemudian mengangguk. “Kita sepemikiran.”

Di sini, Inayati berdiam diri sejenak. Matanya kembali fokus menatap lukisan Fahri; sekarang dia memerhatikan dua pria yang duduk di bawah pohon rindang.

“Bagaimana dengan dua orang ini…?” tanya sang wanita sambil menatap Fahri.

“Aku belum bisa memastikannya, tapi… mungkin saja mereka bodyguard Munir.”

“Bodyguard…?”

“Entah kenapa aku merasa yakin dua orang ini merupakan pengawal Munir. Sejak awal aku melihat mereka hanya duduk santai di bawah pohon itu. Dan saat Munir masuk ke dalam mobil, keduanya juga memasukinya.” jelas Fahri.

“Tunggu…” Inayati buru-buru menyanggah Fahri, “kenapa kau malah mengira mereka berdua bodyguard…? alih-alih menganggap mereka itu polisi?”

Pertanyaan sang asisten spontan membuat detektif menggelengkan kepala. “Aku tau siapa saja polisi di kota ini meski tidak terlalu mengenal dekat dengan mereka. Dan… dua orang itu… aku tidak begitu familiar.”

“Hmm… oke. Aku paham.”

Kini, baik Inayati dan Fahri saling diam; detektif sibuk menatap hasil lukisannya di tablet, sedangkan sang asisten hanya melirik atasannya dengan wajah yang sedikit bertanya-tanya.

Satu menit kemudian…

“Barangkali…” gumam Fahri, “Munir sadar bahwa dia sedang diintai. Ataupun… mungin saja dia memang sudah mengetahuinya. Atas alasan itu pula dia memakai jasa pengawal.”

“Jadi, Munir benar-benar sedang berada dalam bahaya, ya…?” tanya Inayati.

“Inaya… yang kita dapat selama berada di taman ini bukan hanya kebetulan belaka — kau sudah melihatnya dengan jelas pergerakan demi pergerakan, begitupun aku. Cara Munir meninggalkanmu tadi… aku tak tau apa yang kalian bicarakan, tapi aku bisa merasakannya… Munir sedang berada dalam ketakutan. Aku punya beberapa asumsi yang berbeda-beda terkait bahasa tubuh lelaki itu dari cara dia bertemu serta berbicara dengan orang-orang.”

“Apa itu?”

“Pertama, saat dia bertemu dengan Komandan El; Munir terlihat seperti cukup tergesa-gesa setiap saat mereka membahas tentang kematian Alissa. Kedua, saat berhadapan denganku; beberapa hari ini dia seperti sedang berusaha menjauhiku tanpa ada sebab yang jelas. Ketiga, saat dia bertemu dengan wanita yang bersamanya tadi; dia terlihat sangat tenang, bahkan cukup bahagia. Tapi, ketika wanita itu pergi meninggalkannya, sikap tenangnya berubah drastis menjadi seperti waspada. Ke empat, saat kau mendatanginya tadi. Ku lihat awalnya kalian sempat berbicara dengan sangat hangat sebelum kemudian sikap tiba-tiba Munir berubah 180 derajat dan pergi meninggalkanmu dengan terburu-buru. Semua temuan itu, seakan-akan meyakinkanku bahwa sepertinya Munir memang sedang menyembunyikan sesuatu, dan itu ada kaitannya dengan kematian Alissa atau… bisa saja ada kaitannya juga terhadap Fathur.” jelas Detektif Fahri.

Ketika Fathur masih berada di dalam sel Polsek Kota Juang, ada 3 polisi yang menginterogasi lelaki itu, dua di antaranya yang paling banyak melakukan penyelidikan adalah Komandan El serta Munir. Di situ, Fahri yakin pasti ada terjadi sesuatu saat proses interogasi dilakukan, hingga membuat Munir yang biasanya cukup dekat dengan Fahri malah menjadi seolah-olah ia menjauhi detektif.

“Tapi…” ucap Fahri sambil memasukkan tablet serta peralatan lukisnya ke dalam ransel, “ini hanya dugaan sementara — aku tetap harus mencari tau lebih jauh lagi. Karna itu pula… aku masih butuh bantuanmu”

Inayati hanya mengangguk menaggapi perkataan Fahri.

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet