Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 8
— —
Di kantor Detektif Fahri
“Dengan kata lain, kau memang yakin bahwa kami sudah salah tangkap si pembunuh Alissa?” tanya Komandan El kepada Detektif Fahri.
Saat ini, mereka berdua sedang berada di kantor sang detektif demi membahas kasus lanjutan di balik kematian Alissa serta lelaki bernama Fathur, yang telah tewas tadi malam. Keduanya duduk berhadapan di mana terdapat sebuah meja kerja yang memisahkan mereka.
“Dari semua hal yang ku baca, aku seakan yakin kalau Fathur bukanlah pelakunya.” jawab Fahri.
“Hal apa…?”
“Yang pertama sudah jelas… sikap Fathur yang sangat berbeda selama dirinya berada di dalam sel. Psikisnya tertekan dan barangkali penyebabnya adalah pemerasan. Ada yang memeras dirinya untuk seolah-olah berperan sebagai pembunuh Alissa…”
Belum selesai Fahri berbicara, El sudah langsung memotongnya.
“Oke, aku sepakat dengan anggapanmu. Tapi, jika dia diperas, lantas kenapa dirinya tidak mengatakan yang sebenarnya kepada para polisi saat dia berada di dalam penjara? Bukankah dengan dia berkata jujur, maka semua masalah yang ada dalam dirinya bisa terselesaikan dan semuanya tidak sampai berbelit seperti ini…??” balas El.
Fahri terdiam selama beberapa saat; kedua matanya menatap lurus wajah El. Sang Kapolres juga melakukan hal yang sama; dirinya seperti sedang menunggu momen saat-saat detektif membalas pernyataannya tadi.
Tak lama berselang, Fahri duduk dengan menyandarkan punggungnya ke badan kursi, lalu menyilangkan kedua tangan. “Aku juga masih bertanya-tanya kenapa Fathur tidak jujur saja kepada para polisi…” gumamnya, “tapi… barangkali salah satu bawahanmu juga terlibat.”
El yang mendengar perkataan Fahri sontak mengumbar senyuman sinis. “Kau menuduh bawahanku?” tanyanya.
“Apa salahnya jika kita mencari tau? Aku cukup kenal siapa dirimu, tapi tidak semua polisi memiliki prinsip yang sama sepertimu selama bertugas, dan itu tidak terkecuali kepada anak buahmu.”
“Jika kau menaruh rasa curiga pada bawahanku, beri tau aku nama-nama mereka. Akan ku selidiki sampai tuntas.”
“Kapten, sudah berulang kali ku katakan, aku belum punya cukup bukti untuk mengatakan siapa orangnya…”
“Tak ada salahnya untuk langsung memberi tau, kan…?” sahut El.
Fahri kembali terdiam, namun hanya beberapa detik saja. Setelahnya, dia melanjutkan, “Munir…”
El spontan menganggukkan kepalanya. “Apa karna dia berniat membunuh Fathur?” tanyanya.
“Bisa jadi…” balas detektif.
Munir sendiri merupakan polisi yang bekerja langsung di bawah arahan Komandan El. Bisa dibilang dia adalah tangan kanan sang Kapolsek.
“Kau sedikit berlebihan, tapi sesuai rencana… aku akan menyelidikinya.” kata El.
Walaupun El berkata seperti itu, namun sebenarnya dia keberatan dan tak percaya jika Munir yang memeras Fathur untuk bungkam. Terlebih lagi, polisi itu cukup dipercaya oleh sang Kapolsek.
“Kapten, dengar baik-baik… menyelidiki Munir bukan berarti semua perkara usai. Barangkali dia bisa menjadi tahapan pertama bagi kita untuk mengusut kematian Alissa beserta dengan si pelakunya. Karna itu, aku juga akan ikut memeriksa Munir.” Ujar El.
“Kau bisa melakukannya kapanpun kau mau di markas.”
“Tidak… aku takkan menyelidikinya di markas. Beri saja sedikit informasi tentang Munir, aku akan mendekatinya secara diam-diam.”
“Begitu ya…”
Satu jam kemudian
Fahri sedang duduk santai di meja kerjanya sambil membaca sebuah buku. Ia cukup fokus membaca dan tak pernah sedikitpun memalingkan kepala, atau melirikkan kedua mata ke arah lain. Namun, tak lama berselang fokusnya buyar ketika seseorang membuka pintu ruangannya. Lalu, masuklah Inayati sembari membawakan makanan menggunakan baki.
Sekarang sudah pukul 12, maka makanan yang dibawakan oleh Inayati adalah nasi beserta lauk kuah soto. Perempuan itu menyajikannya sendiri, dan memang selalu seperti itu.
Inayati lantas menutup pintu kemudian berjalan ke kursi sofa di mana terdapat sebuah meja di tengah-tengahnya. Ia pun meletakkan baki berisi nasi dan kuah soto di atas situ. Setelahnya, wanita itu menghampiri Fahri yang sedang berada di meja kerja.
“Kau kelihatan sangat lelah hari ini, detektif…” ujar Inayati.
Fahri merespon ujaran itu dengan senyuman. Sembari meletakkan buku di atas meja, dirinya menyahut, “kasus yang awalnya bisa diselesaikan dengan mudah — sekarang malah menjadi sulit.”
Kini, giliran Inayati yang tersenyum. “Apa cukup sulit hingga membuatmu seperti sedang pusing?” tanyanya.
“Seperti biasa, Kapten El bukan orang yang mudah untuk diajak bekerja sama.”
“Tapi, bukannya kalian selalu bersama-sama setiap menangani sebuah kasus?”
“Benar, tapi bukan berarti dia mau diajak bekerja sama. Kapten El tipikal orang yang punya prinsip besar, dia tak ingin membahas suatu perkara jika tidak memiliki bukti nyata. Itulah yang terjadi pada kami berdua selama menangani berbagai kasus, termasuk yang satu ini.” jelas Fahri.
Inayati menatap Fahri dengan masih mengumbar senyuman. Ia paham bahwa sang detektif sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu Komandan El hingga lelaki itu merasa cukup lelah dan pusing.
“Istirahatlah sebentar, kau sudah cukup capek…” kata Inayati sembari menolehkan pandangannya ke arah baki, dan kemudian kembali menatap Fahri, “aku sudah membawakan makan siang. Kuah sotonya bisa kedinginan jika kau tidak langsung memakannya.”
Fahri lalu mengangguk. “Terima kasih. Maaf selalu merepotkanmu, Inaya…” ujarnya.
Mendengar itu, sang asisten lantas buru-buru menggelengkan kepalanya. “Jangan merasa selalu sudah merepotkanku. Aku memang bekerja untukmu.” sahut si wanita.
Detektif tidak melanjutkan pembahasan itu lagi — kini, dia menatap baki yang ada di atas meja, lalu mulai beranjak dari duduk. Ia berjalan ke sebuah lemari kaca, membukanya dan mengambil piring, gelas serta sendok.
Di sisi lain, Inayati yang terus memperhatikan gerak-gerik Fahri mulai bertanya-tanya. Rasa penasarannya semakin bergejolak saja ketika melihat sang detektif malah menaruh sebagian nasi ke piring yang ia ambil dari lemari tadi.
Setelah itu, Fahri mulai duduk di sofa. “Ku harap kau tidak menolaknya…” kata detektif seraya menatap Inayati. Dari tatapannya, cukup jelas bahwa ia meminta sang asisten untuk ikut makan bersama-sama.
“Kenapa?” tanya Inayati yang masih bingung.
“Tidak ada — aku hanya ingin kita makan siang bersama.”
“Tapi… aku…”
“Daripada kau kembali ke dapur dan makan di sana, lebih baik di sini saja. Aku juga sudah menaruh nasi ke piring yang satunya — itu untukmu.” kata Fahri.
Tak ada pilihan lain, Inayati lantas berjalan perlahan-lahan ke kursi sofa. Begitu dirinya sampai, ia tidak langsung duduk. Dia merasa segan harus makan siang bersama Detektif Fahri, yang notabene merupakan atasannya sendiri.
“Jangan seperti orang baru…” gumam Fahri, “silahkan duduk. Aku takkan mulai makan jika kau belum makan.”
Maka, Inayati menuruti perkataan Fahri. Wanita itu mulanya hanya duduk dan diam saja — sesekali ia melirik detektif yang juga sedang menatapnya. Ia paham bahwa lelaki itu sedang meminta dirinya untuk makan terlebih dahulu. Lantas, Inayati pun menuangkan kuah soto dan menaburinya ke nasi dengan cukup sopan.
Setelah Inayati, kini giliran Fahri; ia juga menuangkan kuah menggunakan sendok, sekaligus mengambil daging ayam yang diletakkan dalam wadah lain oleh sang asisten. Kemudian, keduanya mulai menyantap makan siang.
Tak ada percakapan yang keluar dari mulut mereka berdua pada saat awal-awal menyantap makanan. Lalu, sesaat kemudian, tepat ketika Inayati melirik piring Fahri, dirinya spontan menghentikan makan.
“Detektif, mungkin nasimu kurang. Aku akan ke dapur untuk mengambil nasi tambah.” Ujar Inayati yang langsung bangkit dari duduk.
Akan tetapi, Fahri buru-buru memintanya untuk kembali duduk. “Tak perlu repot-repot, Inaya. Nasi ini sudah lebih dari cukup.” ucap detektif.
Lima menit berselang
Begitu nasi di piring keduanya habis tak bersisa, baik Fahri dan Inayati sama-sama meneguk minum. Sang asisten menggenggam gelas dengan kedua tangannya. Ia juga hanya menatap ke bawah untuk menghormati detektif.
Tak lama setelahnya, Fahri mulai berbicara.
“Inaya…” katanya. Sang wanita segera menatap Fahri.
“Kau sendiri tau kalau Fathur merasa dipresi selama berada di dalam sel. Dalam hal ini, aku beranggapan bahwa sebenarnya dia bukanlah pelakunya — dan dia merasa dipresi karna diperas agar dia bersedia menjadi pembunuh Alissa. Tapi, mau sejauh apapun aku beranggapan, Kapten El tetap tak mau mendengarkannya karna sampai saat ini aku belum mendapatkan bukti yang nyata. Jika boleh, aku ingin mendengar sedikit pendapatmu…” ujar Fahri.
Kedua mata Inayati spontan terbuka lebih lebar. Ia seakan-akan tak percaya mendengar ucapan Fahri tadi yang meminta pendapatnya. Meskipun sebenarnya hal itu sudah sering terjadi di mana Fahri selalu meminta pendapat Inayati saat dirinya menemui kebuntuan, namun sang wanita tetap saja bersikap seperti itu. Dia merasa tak layak memberi pendapat atau sejenisnya kepada sang detektif.
“Kau minta pendapatku…?” tanya Inayati.
“Tentu saja…”
Sang wanita lantas sedikit tertawa. “Aku tak ada apa-apanya dibandingkan denganmu, detektif. Jika aku memberi pendapat, pada akhirnya pendapat itu sama sekali tak akan membuat kasus ini menjadi lebih mudah.” balasnya.
Fahri tidak menjawab apa-apa. Dia hanya diam sambil mengumbar senyuman, serta menatap kedua bola mata Inayati dengan cukup dalam. Sikapnya yang seperti itu jelas bahwa dia memang benar-benar ingin mendengarkan sesuatu dari si asisten.
Adapun Inayati, dia juga paham terhadap gelagat Fahri. Ada bahasa tersirat dari sang detektif yang mendesak dirinya untuk berbicara. Lantas, wanita ini mulai menarik napas agak dalam, lalu mengembuskannya perlahan-lahan melalui hidung. Dia meletakkan gelas ke atas meja, kemudian mulai berbicara.
“Aku mendegar semuanya tentang Fathur darimu. Dari situ, mungkin anggapanmu yang menganggap ada orang yang memeras lelaki itu… barangkali memang benar. Tapi, biasanya kau bisa membaca psikis seseorang; mana yang dipresi karna takut dan mana yang dipresi karna ada hal lainnya seperti diperas atau diancam. Apa kau tak bisa membaca gerak-gerik itu dari diri Fathur selama dia di dalam sel?” tanya Inayati.
Lalu, Fahri menjawab, “yang terlihat jelas adalah psikis Fathur tertekan karna dia takut. Dia tertangkap dengan segala bukti yang ada saat membunuh Alissa. Selain itu, ada tuduhan bahwa dia membunuh wanita itu karna terlilit utang. Maka, wajar saja jika dia dipresi saat berada di dalam penjara. Dengan sikapnya seperti itu, siapapun yang melihatnya pasti akan beranggapan bahwa Fathur dipresi karna takut akan dipidana hukuman yang berat. Aku yakin para polisi, bahkan Kapten El sendiri, mereka semua beranggapan seperti itu. Tapi, aku melihat ada yang berbeda dari sikapnya…”
Fahri berhenti sesaat dan mengambil sesuatu dari dalam saku kemeja. Lalu, dari situ dirinya mengeluarkan lembaran kertas yang terlipat. Lantas, kertas itu ia berikan kepada Inayati.
Adapun Inayati menerima kertas tersebut dan segera membuka lipatannya. Ada empat kertas dengan isi yang berbeda-beda; dua berisi tulisan dan sisanya hanya berupa lukisan wajah.
Inayati sendiri memilih fokus menatap dua lembar kertas yang masing-masing terdapat lukisan berupa wajah manusia. Kedua lukisan wajah itu seakan-akan menjelaskan psikis seseorang yang sedang dipresi berat.
“Apa ini gambar wajah Fathur?” tanya Inayati.
“Ya… aku melukisnya di dua waktu dan dua tempat yang berbeda. Kertas yang di tangan kirimu… aku melukis wajah Fathur saat dia baru saja dipenjara. Dan yang ada di tangan kananmu, itu saat dia dibawa ke dalam sel isolasi.” jelas Fahri.
Inayati sendiri terus memperhatikan kedua lukisan tersebut. Agak lama ia lakukan sebelum akhirnya sang wanita menyadari sesuatu.
“Kedua gambar memperlihatkan Fathur yang sedang menangis. Tapi…” gumam Inayati yang berhenti sesaat sambil memperlihatkan kertas yang ada di tangan kirinya, “mata Fathur saat menangis terlihat berbeda dari gambar yang ini.” lanjutnya lagi yang kini memperlihatkan kertas di tangan kanan.
Lukisan itu memang sama-sama menunjukkan hal yang sama yaitu Fathur yang sedang menangis. Namun Inayati merasa ada sedikit perbedaan.
“Di satu kertas kau melukis wajah Fathur yang sedang menangis dengan kedua matanya yang biasa-biasa saja. Sedangkan di kertas yang satunya, kau malah melukis wajah lelaki itu yang juga sedang menangis dengan mata yang terbelalak. Apa memang seperti ini…? atau kau punya maksud tertentu dan sengaja membuat sedikit perbedaan…?” tanya Inayati sambil melirik Fahri.
“Aku melukis wajahnya sesuai dari apa yang ku lihat. Mengenai Fathur yang menangis dengan mata terbelalak, dia memang melakukannya… dan itu ketika dia sudah dipindahkan ke dalam sel isolasi.” jawab Fahri.
Kini, keduanya saling diam; Inayati kembali melirik kedua lukisan, sedangkan Fahri hanya menatap asistennya dengan tatapan yang sedikit dalam.
Sesaat kemudian…
“Aku sudah memperlihatkan lukisan itu kepada Kapten El. Tapi dia tidak meresponnya seperti dirimu. Lantas, kau pasti menyadari sesuatu, kan…?” tanya Fahri yang memecah keheningan.
Inayati mengangguk. “Secara garis besar, kedua lukisan ini mempertegaskan situasi Fathur yang dipresi. Tapi, secara khusus, aku merasa seperti kau sedang menjelaskan perubahan sikap dari lelaki itu. Jika ku simpulkan, lukisan Fathur yang sedang menangis dengan kondisi mata biasa saja… sebenarnya dia sudah dipresi… mungkin disebabkan oleh tekanan saat polisi menangkapnya. Adapun lukisan yang menggambarkan lelaki itu menangis dengan mata yang terbelalak… aku yakin dia juga sedang dipresi namun dalam tingkatan yang berbeda, dan barangkali juga oleh sebab yang berbeda pula.” jelas sang wanita.
Fahri mendengarkan ujaran asistennya dengan cukup fokus. Ia bahkan sama sekali tidak berkedip.
“Inaya, lanjutkan penejelasanmu…” pinta detektif.
Dengan rasa penuh percaya diri, Inayati pun melanjutkan, “seperti yang ku katakan, Fathur yang menangis dengan kondisi mata terbelalak… mungkin ada penyebab tertentu. Jika kita kembali ke pembahasan awal di mana kau merasa ada yang mengancam lelaki itu, barangkali anggapanmu benar. Saat dia menangis dengan mata yang terbelalak seperti ini, maka ada dua hal yang ku pikirkan…”
“Apa itu…?”
“Mungkin ancaman yang ia terima saat itu bukan hanya dirinya saja — barangkali ancamannya juga berkaitan dengan orang lain yang memiliki hubungan dekat dengan Fathur.”
“Hhmm… menarik. Inaya, lanjutkan.”
“Mata Fathur yang terbelalak ini, aku bisa merasakan ketakutan besar yang ia alami. Mungkin, jika pendapatku benar, hal yang membuat Fathur menangis dengan kondisi mata terbelalak ketakutan… bisa saja ada ancaman yang diberikan padanya dengan mengaitkan orang yang punya hubungan cukup dekat dengan lelaki itu. Sorot matanya ini… seakan-akan dia hanya menatap kehampaan.” jelas Inayati.
Fahri terdiam membisu ketika mendengar semua penjelasan Inayati. Ia tak pernah menyangka wanita itu dapat memberikan penjelasan, yang mana penjelasan itu terkesan seperti agak melenceng jauh. Meski begitu, semua yang dikatakan oleh Inayati cukup detil dan sang detektif dapat mencernanya dengan pikiran jernih.
“Kau bisa beranggapan sejauh itu dari hanya melihat dua lukisan ini. Jujur saja, aku yang sudah beberapa kali bersua dengan Fathur bahkan tak pernah memiliki firasat sejauh yang kau jelaskan tadi.” gumam Fahri yang terkesan terhadap asistennya.
“Tapi, jauh-jauh hari kau sudah menduga bahwa sebenarnya Fathur bukanlah pembunuh Alissa setelah mendalami sikap dan kondisi psikisnya. Bagiku itu sangat menakjubkan — dan kini anggapanmu bisa menjadi fakta bahwa polisi sudah salah menangkap tersangka. Tewasnya Fathur yang bunuh diri bisa membuka seluruh rahasia yang masih tersembunyi.” balas Inayati.
Detektif Fahri sebenarnya memang sudah berasumsi bahwa Fathur bukanlah pembunuh Alissa. Ia bahkan telah beranggapan seperti itu saat dirinya menyelidiki sebuah gedung tua yang sudah lama tak dipakai lagi. Di sana, dia menemukan sesuatu dan tentu saja kedatangan beberapa orang yang mencurigakan. Dari situ detektif seakan-akan percaya bahwa tersangka utama di balik terbunuhnya Alissa masih bersembunyi di balik cahaya kegelapan.
“Mengenai orang yang kau bilang punya hubungan dekat dengan Fathur, menurutmu siapa orangnya?” tanya Fahri.
Inayati lantas menggelengkan kepala. “Entahlah… barangkali bisa saja keluarganya… atau temannya. Mungkin, bisa juga kekasihnya. Yang jelas, merujuk pada lukisan di kertas ini, mata Fathur yang terbelalak sambil menangis… ku pikir dia telah diperas dari berbagai sisi; orang yang punya hubungan dekat dengannya, dan juga dirinya sendiri.” balas sang wanita.
Kini, Inayati semakin merasa percaya diri saja setelah Fahri memintanya untuk memberikan pendapat. Awalnya dia memang segan dan tak berani berbicara. Namun, sikap detektif yang terus memperhatikan dirinya saat sedang berbicara telah mengubah sudut pandang Inayati. Dia merasa cukup dihargai, dan oleh karenanya wanita itu tidak lagi canggung ketika memberikan penjelasan.
“Tapi…” gumam Inayati, “jika memang benar ada orang yang memeras Fathur agar dia mau dijadikan sebagai tersangka, detektif… barangkali ada beberapa orang yang terlibat di balik kematian Alissa.”
Fahri kemudian mengangguk. “Ya, logikanya memang seperti itu.” ujarnya.
“Kalau begitu, kau harus berhati-hati. Aku yakin orang-orang yang terlibat di balik kematian Alissa… mereka cukup berbahaya.” kata Inayati dengan rasa khawatir. Sorot mata sang wanita tak bisa berbohong betapa dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Fahri.
“Terima kasih. Aku selalu menjaga diri saat sedang menyelidiki sebuah kasus.” pungkas detektif.
Inayati punya maksud tersendiri kenapa dia mengingatkan Fahri untuk berhati-hati. Sang detektif pernah terluka cukup parah ketika dirinya menangani sebuah kasus. Saking parahnya, lelaki itu sampai sekarat. Itu dikarenakan dia telah diincar oleh beberapa penjahat ketika menangani kasus tersebut.
“Lalu, apa rencanmu selanjutnya?” Inayati bertanya sembari menatap detektif dalam-dalam.
“Aku akan menyelidiki seorang polisi secara diam-diam. Ini misi yang tak boleh diketahui oleh siapapun, bahkan oleh Kapten El sekalipun — karna itu… aku ingin mengajakmu ikut serta.”
“Haah…? Aku?”
“Inaya… jujur saja aku benar-benar butuh bantuanmu untuk menjalankan misi ini.”
“Memangnya… menyelidiki seperti apa yang kau rencanakan? Jujur saja, aku bukan orang yang tepat jika harus bermain detektif-detektifan.”
“Tidak…” sahut Fahri seraya tersenyum, “untuk misi kali ini kau benar-benar sangat dibutuhkan. Kita akan melakukan aksi mata-mata. Aku berniat memata-matai seorang tangan kanan dari Kapten El — jika ku lakukan sendiri pasti rencananya bisa dengan mudah diketahui. Tapi jika bersamamu, tak ada yang bisa membaca gerak-gerik kita.”
Inayati tidak lagi menyahut apa-apa. Dia hanya merundukkan kepala sambil mengumbar senyuman malu. Untuk kesekian kalinya wanita itu ditinggi-tinggikan, dan yang melakukannya adalah atasannya sendiri, Detektif Fahri. Hal tersebut sudah cukup membuat Inayati merasa bangga; paling tidak, selama Fahri meminta bantuan padanya, sang detektif pasti menghargainya meski hanya dengan ucapan terima kasih.