Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 19
Berita kematian Alissa kembali heboh setelah kedua orang tua angkat wanita itu mengetahui kabar dari nasib anak mereka. Media-media ternama seakan-akan tak ingin melewatkan momen untuk menyiarkan kelanjutan kasus sang wanita. Jika sebelumnya berita kematian perempuan itu hanya berisi tentang jasad wanita tak beridentitas, maka kini nama Alissa tersemat dengan cukup jelas di halaman depan surat kabar.
Tidak hanya Alissa, kematian Nora juga menjadi isu tertentu di koran-koran. Kini, Kota Juang berada dalam situasi was-was terhadap pembunuhan. Semua itu buntut dari tewasnya dua wanita yang bekerja di Kafe Cedah, meski kematian keduanya memiliki penyebab yang berbeda.
Alissa dan Nora memang tewas karena dibunuh. Namun demikian, penyebab nyawa mereka berdua melayang memiliki alasan yang berbeda. Kini, hasil autopsi Nora sudah resmi dikeluarkan oleh pihak rumah sakit; mereka dengan jelas menyatakan bahwa wanita itu tewas di apartemennya karena kasus pembunuhan. Dan dari pernyataan rumah sakit, para polisi yang dipimpin oleh Kapolsek El Arkan melakukan investigasi lanjutan. Tentu saja mereka tetap bekerja sama dengan Detektif Fahri.
Di tengah hebohnya kasus kematian Alissa dan Nora, ada Gengster Angkara yang masih juga berbuat kekacauan di sekitaran Kota Juang. Beberapa di antara mereka berhasil ditangkap oleh polisi. Namun, seperti informasi yang diperoleh oleh Fahri dan juga El; banyak anggota Angkara yang masih berumur belasan tahun. Adapun mereka yang tertangkap adalah bocah-bocah ingusan itu. Sehingga, walaupun polisi berhasil menangkap anggota-anggota gangster tersebut, mereka tetap tak bisa mendapatkan informasi yang detil terhadap keberadaan Angkara. Akan tetapi, El dan Fahri masih bersikap tenang dan tak ingin tergesa-gesa mencari sarang gangster yang diketuai oleh Doni itu.
Di sebuah rumah misterius
Tepat pukul 3 dini hari, Viktor memarkirkan sepeda motornya di halaman belakang rumah. Bersamaan dengan mematikan mesin kendaraan, lelaki ini menoleh ke kanan dan kiri, serta juga ke arah belakang; situasinya cukup sunyi tapi dia tetap dalam kewaspadaan tinggi.
Tak lama berselang, Munir yang sudah sejak lama berada di dalam rumah itu lantas membuka pintu dan berjalan menghampiri Viktor. Mereka sempat berbincang-bincang sejenak, lalu keduanya pun berjalan masuk.
Munir membawa Viktor ke lantai dua, tepatnya ke sebuah kamar. Di dalamnya, sudah ada tiga pria berbadan tegap. Mereka semua duduk santai di atas ranjang.
“Siapa mereka…?” tanya Viktor kepada Munir, sembari menatap ketiga pria berbadan tegap.
Sambil menutup pintu kamar, Munir menyahut, “pengawalku.”
“Tapi… bukannya kau bilang pengawalmu menghilang saat kita mengadakan pertemuan beberapa malam yang lalu?”
“Aku punya banyak ajudan. Ya… walaupun dua pengawalku yang hilang itu cukup berarti — karna merekalah orang yang sangat ku percayai — tapi tiga orang itu juga punya kapasitas tinggi untuk melindungiku dari orang-orang berbahaya. Paling tidak, sampai saat ini aku masih bisa tenang walaupun dua pengawal terbaikku menghilang entah ke mana.” tutur Munir seraya menumpang satu tangan ke pinggang.
Dua ajudan yang dimaksud oleh Munir adalah mereka yang ikut serta saat dia bertemu dengan Viktor di sebuah rumah lain, tepatnya di Jalan Rawa. Kala itu, Munir mencoba menelepon para pengawalnya yang berada di dalam mobil, namun mereka tidak menjawab.
Singkatnya, sampai detik ini kedua pengawal Munir itu tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Mereka dipercaya telah menghilang, dan Munir meyakini bahwa yang menyebabkan hal itu terjadi adalah Detektif Fahri. Asumsi yang sama juga diyakini oleh Viktor.
“Jadi… ada apa kau memanggilku ke sini?” tanya Viktor.
Munir tidak menjawab dulu — dia berjalan ke sofa dan duduk di situ sambil menyilangkan kedua kakinya. Ada sebuah meja di depan yang terbuat dari kayu nan cukup padat dan tebal.
“Viktor… duduklah.” ujar Munir.
Menuruti perintah Munir, Viktor pun berjalan dan duduk di sofa yang sama dengan lelaki itu tanpa banyak tanya. Mereka saling duduk bersebelahan.
Kedua polisi ini mulai berbicara membahas perihal rencana mereka yang hendak membunuh Komandan El. Di tengah pembicaraan, salah satu ajudan Munir berjalan dan mengambil minuman dari dalam kulkas. Ia lantas membawakannya kepada Munir dan juga Viktor. Tepat di saat lelaki itu menaruh minuman ke atas meja, Munir menatapinya dan menganggukkan kepala.
“Jadi, bagaimana situasimu saat ini setelah rencana kita membunuh Komandan El gagal…? bahkan… wanita bernama Nora itu juga sudah tewas.” gumam Munir.
Viktor menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. “Entahlah — sampai saat ini aku masih tenang walaupun ku yakini ada beberapa ancaman yang akan datang. Cepat atau lambat, misi terselubung kita ini akan diketahui; entah Komandan El, Detektif Fahri, atau bahkan para anggota Angkara — kita dalam misi memburu para pelaku pembunuhan Alissa, maka sudah pasti pekerjaan ini tidaklah mudah. Tapi, kita tetap harus menuntaskannya walaupun rencana ini sudah pernah gagal sekali.” balas si polisi bandit.
“Jujur saja, Viktor… tidak mudah membunuh Komandan El — kita berdua sepakat mengenai hal ini. Apalagi, selama ini komandan terus bersama Detektif Fahri. Jika harus jujur, membunuh komandan itu cukup mudah, sesuai dengan rencana yang kita atur. Tapi, permasalahannya di sini adalah Detektif Fahri itu. Dia lebih susah dikelabui dibandingkan Komandan El.”
Viktor tidak membalas perkataan Munir. Dia hanya diam saja seraya kedua matanya menatap gelas bening berisi teh dingin. Teh itu sendiri adalah minuman yang dibawakan oleh ajudan Munir tadi.
Dalam tatapannya yang cukup dalam ke gelas bening tersebut, Viktor terus bergumam dalam hati. Kata-kata batinnya itu lantas membawanya melirik Munir.
“Kau… tak pernah bilang kalau punya markas rahasia di sini.” ujar Viktor yang mengalihkan pembahasan.
Munir sendiri menunda menjawab pernyataan si polisi bandit. Dia meneguk teh dingin itu sejenak, lalu menaruh kembali gelas ke atas meja dan duduk bersandar dengan kedua kaki yang masih menyilang.
“Seperti kataku… aku harus melindungi diri sendiri dari orang-orang yang berbahaya. Selain ajudan, aku pun punya tempat rahasia yang tak boleh diketahui oleh orang lain — bahkan termasuk dirimu. Hanya saja… berhubung kita berdua punya rencana yang sama, jadi mau tak mau aku harus membawamu ke sini. Rumah ini cukup aman, dipenuhi kamera-kamera pengintai di berbagai sisi. Semua itu sudah cukup untuk mencegah Detektif Fahri menyusup ke sini.” jelas Munir.
Di momen ini, meskipun Viktor terkesan mengalihkan topik pembicaraan dari rencana membunuh Komandan El, Munir malah dengan sengaja kembali membahasnya. Dia mencurahkan semuanya, termasuk kegagalannya yang membunuh sang Kapolsek, hingga beberapa ancaman besar yang lelaki itu terima.
“Jadi… kematian Nora ada kaitannya dengan semua ini?” tanya Munir.
“Nora dibunuh untuk dibungkam. Aku masih belum tau siapa pelakunya. Tapi, mengingat dia punya banyak bukti mengenai kasus Alissa, ku pikir para pelakunya memang sudah berniat menghabisi wanita itu di apartemen pribadinya. Aku yakin… yang membunuh Nora pasti dari kalangan Komandan El.” Jelas Viktor yang sedang mengada-ngada.
Munir sedikit heran mendengar ulasan Viktor. Ia menatap polisi bandit itu dalam-dalam dan bertanya, “dari mana kau tau kalau Nora dibunuh…? Kau pun juga tau di mana dirinya tewas.”
Di samping itu, dengan sikapnya yang tenang, Viktor menjawab, “Nora itu mantan kekasihku, tapi kami masih berhubungan baik sejak berpisah. Dan ketika ku tau dia punya segala bukti dalam kasus Alissa, aku mencoba melindunginya. Dia dalam perburuan… dan yang memburunya adalah Gengster Angkara. Aku yakin, Komandan El-lah yang memerintahkan para Anggota Angkara untuk memburu sekaligus mengancam Nora. Atas alasan itu pula aku memintamu untuk memantau dirinya saat berada di sebuah restoran. Wanita itu sudah lama dalaam pantauan musuh.”
Mereka berdua terus berbincang panjang lebar perkara kematian Nora, juga rencana terselubung untuk membunuh Komandan El. Meski begitu, kini fokus Munir malah lebih berat mengarah kepada kematian sang mantan kekasih Viktor itu. Ia terus menanyakan banyak hal hingga membuat si polisi bandit sedikit risih.
“Munir… tak ada maknanya kita membahas Nora.” kata Viktor.
Munir yang mendengar itu lantas sedikit bingung. Dia menoleh kepada Viktor dan menatapnya dengan penuh tanya.
“Munir… kematian Nora tak penting lagi untuk dibahas. Sekarang… yang terpenting adalah Komandan El — pikirkan rencana terbaik untuk menghabisinya. Kita tak punya banyak waktu lagi — pastikan untuk selanjutnya misi ini harus tuntas. Jangan sampai gagal seperti sebelumnya.” ujar si polisi bandit lagi. Kini, dia benar-benar sedang risih akibat Munir yang terus menyinggung tentang kematian Nora.
“Lagipula…” lanjut Viktor lagi, “aku tidak datang ke sini untuk membahas sesuatu yang tak perlu. Kau sudah menyia-nyiakan waktuku.
Sikap Viktor yang tiba-tiba berubah semakin membuat Munir penasaran. Ia merasa seperti lelaki itu sedang menyembunyikan sesuatu.
“Viktor, kau terlihat sedikit berbeda setelah Nora tewas. Sebenarnya, ada apa?” tanya lagi Munir.
“Tidak ada…” balas Viktor seraya bangkit dari duduk dan bersiap-siap keluar dari kamar, “maaf Munir, saat ini aku sedang punya urusan penting lainnya. Jika kau masih punya banyak pertanyaan tentang Nora, kita bisa melanjutkan pembahasannya di hari lain. Yang jelas, misi kita masih tetap sama — membunuh Komandan El. Jadi, kalau kau ingin berjumpa denganku, pastikan yang kita bahas hanya tentang misi membunuh komandan keparat itu. Selebihnya, jangan pernah menyinggung hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan El.”
Setelah mengatakan itu, Viktor mulai berjalan. Namun, baru dua langkah, Munir memanggil dirinya.
“Hey… apa begitu caramu pergi dari tempatku? Kau sama sekali tak menghargaiku yang sudah memperlakukanmu bagaikan tamu besar. Paling tidak… habiskan tehnya.” gumam Munir dengan suara tegas.
Viktor pun berhenti berjalan. Dia berdiam diri selama beberapa detik, lalu seketika membalikkan badan ke arah Munir seraya mengambil pistol dari dalam jaket. Di waktu yang sama, Munir langsung bereaksi; dia bangkit dari duduk kemudian menggelindingkan tubuh ke lantai menuju ke bali sofa untuk menghindari bidikan senapan Viktor. Lalu, satu detik setelahnya, si polisi bandit menekan pelatuk pistol. Tapi, malah melenceng — pelurunya terbang jauh mengenai dinding.
Gagal menembak Munir membuat Viktor cepat-cepat mengalihkan bidikannya. Kini, ia menyasari tiga ajudan lelaki itu. Mereka semua kurang sigap hingga salah satu di antaranya terkena tembakan tepat di perut. Adapun yang dua lainnya segera lari dari atas ranjang sambil mengambil pistol.
Tembakan demi tembakan menggema di dalam kamar itu. Setiap peluru menyasar apapun yang ada, termasuk gelas bening berisi teh tadi. Di samping itu, Munir yang saat ini berada di balik sofa juga tak ingin kalah. Sebisanya dia mencoba membalas serangan Viktor meski tak ada satupun timah panas itu yang berhasil mengenai si polisi bandit.
Meskipun Viktor sendirian, namun dia malah berhasil memojokkan Munir beserta ajudan-ajudannya. Dia tak henti-henti menembak. Namun demikian, tujuan sebenarnya polisi bandit ini bukanlah untuk membunuh mereka semua, tapi untuk melarikan diri.
Viktor paham bahwa situasi Munir dan para pengawalnya berada dalam kondisi terjepit. Di sisi lain, sambil terus menembak, dia menoleh ke kanan, tepat ke sebuah jendela berlapis kaca yang terletak tak jauh dari ranjang. Maka, gerak cepat; lelaki ini cukup jeli ketika menyadari salah satu ajudan Munir sedang bersiap-siap menembaknya. Lantas, hanya dengan satu bidikan kilat, Viktor menembak pria itu dan peluru pun terbang tajam menembus kepalanya.
Tembakan itu adalah serangan terakhir — Viktor pun berlari dengan pincang ke arah jendela berlapis kaca. Ia mengarahkan pistol ke kaca dan menembaknya hingga pecah berkeping-keping. Lalu, di waktu yang sama dirinya pun terjun bebas dari lantai dua.
Namun demikian, Viktor tidak langsung mendarat ke tanah. Ada balkon di bawah kamar itu, jaraknya hanya sekitar satu meter, dan lelaki ini mendarat di situ dengan sedikit kacau — dia terjatuh dan sedikit mengerang kesakitan.
“Jangan biarkan keparat itu kabur…!” teriak Munir dari dalam kamar. Suaranya terdengar jelas oleh Viktor.
Maka, menolak menyerah, Viktor pun langsung bergerak. Tanpa sengaja ia melihat ada sebuah tangga di sebelah kiri. Viktor bergegas berlari ke tangga. Dengan kondisi pincang, jelas menjadi batu sandungan tersendiri baginya. Tapi, dia terus berusaha kabur dengan menuruni anak tangga secara buru-buru.
Di tengah menuruni anak tangga, kaki Viktor malah terpeleset dan dia pun terjatuh hingga tubuh lelaki itu menubruk tanah. Akan tetapi, tak ada waktu untuk bersakit-sakitan; si polisi bandit buru-buru bangkit dan berlari kencang ke sepeda motornya, kemudian berlalu pergi.
Di samping itu, Munir yang kini sudah berdiri di ambang jendela yang pecah karena ulah Viktor, dari situ ia mencoba membidik polisi bandit tersebut dari jarak yang lumayan jauh. Namun, saat dirinya menekan pelatuk, pelurunya malah melenceng jauh.
Tak lama berselang, tak ada badai dan petir, Detektif Fahri malah muncul dan berdiri di sebelah Munir. Dia mengambil pistol kemudian sigap membidik Viktor.
Door… door…
Sang detektif menembak dua kali dan berhasil mengenai ban sepeda motor sekaligus lengan kanan Viktor. Akibatnya, laki-laki itu tak bisa lagi mengendalikan kendaraan; dengan spontan ia membanting setang sepeda motor hingga membuat dirinya sendiri terjatuh dan terseret jauh di atas aspal. Tubuh Viktor berhenti terseret setelah dirinya menghantam tiang lampu jalanan.
“Seperti biasa detektif… kau memang cukup handal dalam urusan tembak menembak.” ujar Munir kepada Fahri. Ia sama sekali tak terkejut terhadap kehadiran detektif secara tiba-tiba.
Adapaun Fahri… ia tidak menanggapi apa-apa; sang detektif hanya menatap Viktor yang kini terbaring tak berdaya setelah terkena tembakan. Lalu, tak lama berselang sebuah mobil minibus hitam menghampiri sang polisi bandit. Ada dua orang pria yang keluar dari dalam mobil itu; mereka mengangkat tubuh Viktor dan membawa masuk ke dalam. Kemudian, di waktu yang sama pula kendaraan tersebut melaju dengan cukup kencang.
“Ternyata, Viktor tidak datang ke sini sendirian. Dia membawa teman. Barangkali dia tau kalau ada jebakan yang kita persiapkan.” ujar Munir.
“Tidak… bukan itu…” sahut detektif yang masih menatap mobil minibus itu melaju tajam, “yang membawa Viktor tadi adalah Gengster Angkara.”
“Angkara…? Apa kau yakin?”
“Ya… aku sudah pernah melihat dua orang yang mengangkat Viktor tadi. Tak salah lagi mereka pasti anggota gangster itu.” tutur Fahri.
Detektif lantas menoleh ke belakang dan menatap seisi kamar yang sudah berantakan akibat hantaman peluru. Dinding, sofa, lemari-lemari, bahkan juga dinding sudah pada bolong. Sejenak, dirinya bergumam dalam hati, “satu melawan 4 orang… ditambah dengan diriku sendiri. Tapi, dia malah masih mampu melarikan diri — bahkan sampai memojokkan Munir dan ajudannya.”
Sejak awal, Fahri sudah mewanti-wanti bahwa takkan pernah mudah berhadapan dengan Viktor, alias Abdul. Dia salah satu polisi terlatih, dan itu dibuktikan dengan aksinya tadi saat melawan Munir bersama tiga ajudannya. Meskipun sendirian, Viktor masih bisa melepas banyak tembakan dengan cukup jitu untuk mengecoh Munir dan para pengawalnya.
“Sudah ku bilang, kan…” ujar Fahri seraya melirik gelas bening yang pecah di atas meja, “berurusan dengan Abdul tak bisa hanya mengandalkan rencana seperti ini. Sejak awal, dia tau kalau teh yang kau sediakan itu beracun — karna itu dia buru-buru ingin meninggalkan tempat ini. Abdul itu tidak sebodoh yang kau pikirkan.”
Munir tersenyum, tapi dia agak sedikit menyesal karena rencananya pada malam ini gagal total.
“Padahal sedikit lagi kita berhasil menangkap mafia keparat itu. Detektif, aku minta maaf. Kejadian ini malah merepotkanmu.” kata Munir.
“Tidak masalah. Tugas kita sekarang adalah mencari lagi Abdul — walaupun akan sedikit lebih rumit dari sebelumnya.” sahut Fahri.
Meski rencana menangkap Viktor (Abdul) malam ini gagal, tapi Fahri masih tetap tenang. Seperti biasa, dia tak ingin terburu-buru atau melakukan hal-hal ceroboh yang dapat merugikan dirinya sendiri. Baginya, masih ada waktu untuk mempersiapkan langkah selanjutnya; yang lebih matang, lebih elegan, dan tentu saja lebih rahasia sampai-sampai telinga musuh sama sekali tak bisa mendengarnya.