Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 6
— —
Di Polsek Kota Juang
Di dalam sel, Fathur menarik-narik rambutnya dengan kedua tangan seraya menjerit sejadi-jadinya.
“Hey…! hentikan! Kau membuat kupingku panas. Ini sudah tengah malam.” ujar seorang polisi yang bertugas menjaga sel.
Sudah beberapa menit lamanya sejak Fathur mulai menjerit sambil menarik-narik rambut. Hal itu membuat para penjaga risih, meskipun dia sudah tahu psikis lelaki itu yang sedang tidak baik-baik saja pasca dirinya ditangkap oleh Komandan El serta bawahannya. Walaupun polisi tadi terus mengomel meminta Fathur berhenti menjerit, yang ada malah suara laki-laki itu semakin membesar saja. Lantas, sang polisi berjalan mendekati sel; ia membuka pintu besinya kemudian menghampiri Fathur.
Seraya menarik pakaian Fathur untuk memaksanya berdiri, sang polisi berujar, “apa kau tuli, hah? Ku bilang diam!” bentaknya.
Fathur lalu terdiam; matanya yang merah menatap lurus si polisi. Di sisi lain, sang polisi mulai merasakan hawa ketakutan. Hawa itu menerobos dengan sendirinya ke dasar batin hingga membuat lutut serta kedua tangannya menjadi gemetaran. Maka, paham karena dirinya sudah sedikit takut, sang polisi lantas cepat-cepat melepas cengkeraman tangannya dari pakaian Fathur, lalu melangkah mundur selangkah demi selangkah.
Di tengah sang polisi melangkah mundur, ia seketika berhenti tepat di saat melihat Fathur memelototinya.
“Tatapan macam apa itu…?” gumam si polisi dalam hati.
Dalam sepersekian detik setelah membatin, kedua mata polisi ini seketika terbelalak seperti baru saja melihat setan. Dia seakan-akan membayangkan detik-detik Fathur membunuh Alissa. Di samping itu, lelaki yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka itu masih juga menatap si polisi; kini dia menyorotinya dengan pandangan yang lebih menyeramkan di mana matanya yang merah itu melotot seperti hendak memangsa.
“Bebaskan aku…” kata Fathur dengan suara berat.
Sang polisi yang mendengar itu membalas ujaran Fathur dengan terbata-bata, “ka… kau itu… pem… bunuh.”
Fathur lalu menggelengkan kepalanya dengan kondisi kedua mata yang masih memelototi si polisi. Di detik selanjutnya, ia kembali berkata, “bebaskan aku dari mimpi buruk ini.”
Tepat setelah mengatakan itu, seketika ada air mata yang menitik di kedua sudut kelopak mata Fathur. Hal itu membuat si polisi heran sendiri. Namun demikian, ia tidak berkata apa-apa, hanya memandangi sikap Fathur yang cukup aneh.
Ada selama 10 detik si polisi melihat Fathur menitikkan air mata. Tak lama berselang, lelaki itu membalikkan posisi tubuh menghadap ke dinding, lalu dia mengantukkan kepala ke tembok dengan cukup keras. Perbuatan itu ia ulangi berkali-kali hingga membuat polisi kembali mendekatinya.
“Hey apa yang kau lakukan? Sudah… hentikan…!” teriak si polisi sembari mendekap sekaligus mencoba menarik tubuh Fathur menjauh dari tembok.
Namun, kekuatan Fathur lebih besar hingga membuat sang polisi kuwalahan. Si terduga pelaku itu masih juga mengantuk-antukkan kepala ke tembok sampai-sampai darah mulai mengalir membasahi wajahnya, dan turun dengan cepat mengalir ke bagian leher.
Keributan kecil tak terelakkan. Sang polisi terus menjerit meminta Fathur berhenti melukai dirinya sambil berusaha keras menarik tubuhnya menjauh dari tembok. Di waktu yang sama, beberapa polisi lainnya datang. Dua di antaranya lantas berlari untuk membantu rekan mereka menarik tubuh Fathur.
Sudah tiga polisi ternyata masih belum cukup untuk menghentikan aksi brutal Fathur terhadap dirinya. Lantas, salah satu dari mereka terpaksa menendang kaki si pelaku hingga membuatnya jatuh. Ketika posisi Fathur sudah tergeletak di lantai, dua polisi lainnya sigap menahan kaki serta tangan dari lelaki itu. Adapun Fathur… lagi-lagi dia berteriak histeris, meminta dirinya dibebaskan dari mimpi buruk. Lelaki itu seolah-olah memohon agar dibebaskan dari sosok Alissa yang seperti datang mengganggu ketenteraman jiwanya.
Pukul 10 pagi
Detektif Fahri tiba ke Polsek Kota Juang. Dari pelataran parkir, dia berjalan cepat menuju ke ruangan Komandan El. Begitu dirinya tiba di hadapan pintu, dia lantas mengetuk sebanyak 3 kali kemudian membukanya. Di dalam sudah ada El beserta tiga bawahannya. Mereka sedang berdiri di dekat jendela besar yang dilapisi oleh kaca nan tebal. Dan sepertinya, mereka semua sedang membahas sesuatu.
Saat El melihat Fahri datang, ia langsung mempersilahkan sang detektif masuk serta menyuruhnya untuk duduk di sofa. Fahri pun menuruti perkataan sang Kapolsek tanpa mengajukan satupun pertanyaan. Dia langsung duduk di sofa — dan di momen itulah, sang detektif mencoba mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Komandan El serta bawahannya.
Sesekali, Fahri melirik ke arah Komandan El yang sedang berbicara. Kapolsek itu kini terlihat sedikit marah. Sikapnya itu dipahami oleh Fahri saat ia melihat El mulai menunjuk-nunjuk seorang bawahannya. Adapun perbuatan seperti itu cukup jarang diperlihatkan oleh sang Kapolsek sebab ia dikenal sebagai sosok pribadi yang sangat tenang. Namun, sepertinya hari ini sedikit berbeda.
Lima menit berselang
Pembahasan antara Komandan El dan 3 bawahannya selesai. Mereka bertiga kemudian pergi meninggalkan ruangan sang Kapolsek. Lalu, barulah El mendatangi Fahri. Ia berjalan dan kemudian duduk di sofa. Posisi duduk sang Kapolsek berhadapan dengan detektif.
“Kau pasti mendengarnya…” ujar El yang membuka pembahasan.
Sambil duduk bersandar dan menyilangkan kedua tangan ke dada, Fahri menyahut, “jadi… ada masalah baru lagi yang dibuat oleh Fathur?”
“Tadi malam… anak itu malah mengantuk-antukkan kepalanya ke tembok sampai-sampai dia mengalami luka yang lumayan fatal. Sepertinya, dia berniat untuk tidak mendatangi TKP… untuk memeragakan akisnya saat membunuh Alissa.” jawab El.
Detektif Fahri tidak menggubris perkataan El tentang Fathur — ia malah bertanya tentang salah satu bawahan sang Kapolsek yang tadi bersama dengannya.
“Apa maksud anak buahmu yang ingin membunuh Fathur?” tanya Fahri sembari menatap El.
El sendiri menarik napas panjang sejenak, kemudian ia embuskan melalui mulut. Setelah itu, dirinya menjawab, “dia sudah tak tahan dengan sikap Fathur. Baginya, si pelaku hanya berpura-pura dipresi agar hukumannya bisa diringankan oleh hakim. Aku sendiri sudah menjelaskan padanya bahwa psikis Fathur sedang dalam tekanan yang parah. Namun dia tidak percaya dan menganggap itu semua hanya akal-akalan Fathur.”
Di momen ini, Fahri menatap Komandan El dengan cukup dalam. Dia mencoba manafsirkan perkataan sang Kapolsek mengenai salah satu bawahannya yang berniat membunuh Fathur. Di samping itu, El paham tethadap sikap detektif.
“Kau tak perlu memikirkan persoalan ini terlalu jauh. Prioritasmu adalah Fathur — kau harus jeli mengambil keputusan terhadap psikisnya, juga setelah melihat dia memeragakan aksinya saat membunuh Alissa. Untuk bawahanku tadi… dia biar menjadi urusanku.” jelas El.
Fahri lantas mengangguk, namun sikapnya itu sebenarnya memiliki makna lain dan El paham betul terhadap maksud si detektif. Dengan hubungan keduanya yang cukup kental, maka mereka memutuskan untuk tidak lagi membahas perkara tadi tanpa sedikitpun berbicara.
“Pukul berapa kalian bergerak ke TKP?” tanya Fahri yang mengalihkan topik pembahasan.
“Sepuluh malam. Pokoknya, Fathur akan memeragakan aksi pembunuhannya tepat di waktu dia membunuh Alissa — pukul 11.20.” sahut El.
“Kalau begitu masih ada waktu bagiku untuk melihat kondisi Fathur.”
“Lakukan sesukamu — dia sekarang berada di dalam sel isolasi.”
Fahri pun mulai bangkit dan berjalan meninggalkan ruangan Komandan El. Ia bergerak cepat menuju sel isoladi yang terletak di lantai bawah tanah.
Tak lama berselang, Fahri tiba ke sel isolasi. Terdapat dua pintu berlapis baja yang cukup tebal tepat di hadapannya. Lantas, sebelum memulai segalanya, ia menoleh ke kiri, ke arah dua polisi yang bertugas menjaga sel isolasi. Awalnya mereka sedang duduk santai, namun saat menyadari kedatangan sang detektif, keduanya segera bangkit.
“Izinkan aku bertemu Fathur.” ujar Fahri tanpa basa-basi.
Lalu, salah satu polisi berjalan mendekati pintu baja. Ia mengambil sebuah kartu dari dalam sakunya untuk kemudian ia tempelkan ke tembok, tepat di sebelah pintu. Sesaat kemudian, pintu baja itu terbuka dengan sendirinya. Bersamaan dengan itu, Fahri melirik ke dalam dan ia menemukan sebuah lorong yang panjang. Tak ada apa-apa di lorong itu kecuali hanya cahaya lampu serta sebuah sel yang letaknya di paling ujung.
“Ikut aku.” kata si polisi kepada Fahri.
Mereka berdua lantas memasuki lorong yang ada di balik pintu baja. Sepanjang perjalanan, baik Fahri dan sang polisi sama sekali tidak saling berbicara. Mereka berdua hanya terus melangkah setapak demi setapak.
Tak lama berselang, mereka berdua berhenti tepat di depan pintu berjeruji besi yang cukup tebal. Dari sela-sela besi itu, detektif dapat melihat Fathur yang sedang duduk di paling sudut sel; kepalanya diperban serta ada rantai yang membelenggu tangan dan kakinya. Selain itu, Fahri juga dapat melihat dengan jelas di mana mulut Fathur bergerak-gerak seperti sedang mengucapkan sesuatu.
Sang polisi kemudian membuka pintu berjeruji besi itu menggunakan sebuah kunci khusus. Begitu terbuka, ia mempersilahkan detektif untuk masuk.
Sebelum berjalan masuk, Fahri yang masih berdiri di sebelah polisi berujar, “bisakah kau meninggalkan kami berdua…? hanya 10 menit.”
Polisi ini mengerti — ia lantas mengangguk lalu bergegas meninggalkan detektif. Di samping itu, Fahri mulai berjalan perlahan-lahan memasuki sel. Semakin dekat dirinya dengan si pelaku, semakin jelas terdengar suara yang dicuapkan oleh Fathur.
“Bebaskan aku… bebaskan aku… bebaskan aku…” kata Fathur dengan suara pelan. Ia terus mengucapkan kalimat itu berulang kali.
Saat Fahri sudah berdiri tepat di hadapan Fathur, si pelaku itu seketika menghentikan ucapannya tadi. Lalu, sesaat kemudian sang detektif mulai merundukkan badan dan berjongkok. Ia menatap sekujur pakaian Fahri yang berlumuran darah. Di momen itu, Fahri seakan-akan dapat membayangkan bagaimana Fathur melukai kepalanya sendiri ke tembok tadi malam.
Ketika Fahri sedang memandangi sekujur pakaian Fathur, lantas lelaki itu melirik sang detektif. Hal itu spontan membuat Fahri juga menatap matanya yang masih merah… bahkan lebih merah dari tadi malam.
“Aku sudah melihat semua sikapmu dan mempelajari sesuatu dari kondisi psikismu. Kau tertekan bukan karna dihantui oleh sosok Alissa atau teringat saat-saat kau membunuhnya — sebenarnya ada hal lain yang kau takuti sehingga kau cukup dipresi sampai detik ini.” ujar Fahri.
Kedua mata Fathur yang merah sontak terbelalak setelah mendengar ujaran detektif. Lalu, sekujur tubuhnya perlahan-lahan mulai bergoncang. Akan tetapi, Fahri sadar terhadap sikap si pelaku.
“Tenanglah. Aku datang bukan untuk memberimu penderitaan — aku datang untuk mendengar semuanya darimu. Sekarang… kita sedang berdua di sini. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ku ajukan, dan ku harap kau bersedia mengatakannya dengan jujur.” tegas Detektif Fahri seraya menyorot kedua mata Fathur yang merah itu dengan tatapan tajam.
Tatapan tajam sang detektif semakin membuat Fathur gemetaran. Kini, kedua tangannya pun bergoncang hebat, seakan-akan sosok Fahri yang ada di depannya merupakan malaikat maut yang hendak memberinya siksaan pedih.
Bersambung…