Di Balik Cahaya Kegelapan

Tragedi Berdarah

Reza Fahlevi
7 min readAug 9, 2024
Photo by Marcus Bellamy on Unsplash

Bagian 11

— —

Pukul 12 malam

Di daerah pelosok Kota Juang, sebuah rumah bertingkat tiga berdiri gagah. Halamannya cukup luas serta dipenuhi oleh lampu-lampu taman, membuat kediaman itu terlihat sangat mewah dan menawan. Di pekarangannya, ada lima mobil dari jenis sedan dan minibus; semuanya berwarna hitam. Selain itu, terdapat beberapa sepeda motor jenis Trail yang berjejeran di situ.

Malam ini hujan turun dengan cukup lebat. Petir juga menghantam langit tanpa belas kasihan. Dari kejauhan, terlihat sebuah mobil yang melaju di atas jalanan yang penuh lubang. Terjangan angin seakan-akan membuat kendaraan itu seperti hendak terbang melayang.

Mobil itu terus melaju dan memasuki pekarangan rumah mewah tadi. Begitu sang pengemudi memarkirkan kendaraannya di sebelah mobil-mobil yang lain, lalu keluarlah seorang laki-laki bertubuh tegap. Ia langsung berlari kencang ke sisi depan rumah sembari menutupi kepalanya menggunakan tangan, untuk melindungi diri dari derasnya terjangan hujan.

Ketika lelaki itu tiba ke sisi depan rumah, ia mulai berjalan perlahan-lahan dengan cukup tenang. Ada pintu di hadapannya; tanpa mengetuk, dia langsung membukanya kemudian melangkah masuk. Di dalam, sudah ada beberapa pria yang duduk di atas sofa.

“Selamat datang, Narkan…” ujar Doni. Dia merupakan ketua dari sebuah gengster yang baru-baru ini sempat dibicarakan oleh Detektif Fahri serta Komandan El.

“Kau memanggilku…” ujar lelaki bertubuh tegap ini, yang tak lain adalah Narkan, “dengan kata lain… kau sedang butuh bantuan.”

“Benar — aku tak perlu lagi basa-basi. Aku memanggilmu untuk membicarakan rencana.” jawab Doni.

“Apa ada kaitannya dengan kematian wanita bernama Alissa itu?”

“Tentu saja…”

“Jadi kau ingin melibatkanku juga?”

Doni tidak menjawab pertanyaan Narkan. Dia malah berdiri seraya mengumbar senyuman. “Sebaiknya kita bahas di lantai 3 saja…” gumam lelaki ini seraya berjalan.

Melihat Doni yang sudah berjalan di depan, Narkan pun menyusulnya di belakang. Mereka berdua naik ke lantai 3 menggunakan lift.

Sesaat kemudian…

Doni dan Narkan berada di dalam sebuah ruangan. Terdapat begitu banyak benda perabotan seperti lemari yang isi di dalamnya semua merupakan senjata. Juga, ada dua tempat tidur yang besar dan terlihat begitu empuk, membuat ruangan ini juga bisa dikatakan sebagai kamar. Di dinding, beberapa pedang terpampang rapi di situ.

Di sisi lain, kedua gengster itu sedang duduk di kursi sofa. Posisi mereka saling berhadapan, yang dipisahkan oleh sebuah meja beralaskan kaca nan tebal. Adapun di atas meja, terdapat dua botol minuman keras yang memang sudah disajikan oleh bawahan Doni.

“Begitu rupanya…” ucap Narkan setelah mendengar ulasan Doni yang lumayan panjang.

“Aku sudah pernah bilang pada polisi itu… seandainya ada salah satu anggota kita yang tertangkap, maka aku tak bisa tinggal diam.” balas Doni.

Narkan tidak menyahut perkataan itu — ia menuangkan minuman keras ke dalam gelas lalu meneguknya. Ketika dia meletakkan kembali gelas ke atas meja, lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jadi bagaimana menurutmu? Aku tidak memanggilmu ke sini tanpa alasan tertentu. Saran dan masukanmu cukup penting…” ujar Doni lagi.

“Tak ada yang boleh menangkap anggota kita — sejak awal kau membentuk gengster ini, kau sudah punya prinsip seperti itu. Tapi, kenyataannya sekarang satu teman kita sudah berada di dalam penjara. Maka, tak ada cara lain… kita harus keluar dan menunjukkan kehadiran gengster ini kepada para polisi. Beri mereka sedikit pemahaman bahwa kita cukup berbahaya.”

Ucapan Narkan langsung membuat Doni sumringah. Bibirnya tersenyum puas setelah mendengar saran dari sosok yang berperan sebagai penasehat itu.

“Tapi…” gumam Narkan yang spontan memudarkan senyuman Doni, “sejak awal kau sudah salah langkah.”

Doni yang tidak mengerti maksud Narkan lantas mengerutkan dahinya. “Salah langkah?” tanyanya bingung.

“Kau seharusnya tak perlu ikut-ikutan melibatkan diri untuk membunuh wanita bernama Alissa itu. Keterlibatan kita di balik kematiannya sudah mengubah arah jalan gengster ini.”

“Ya… aku tau. Tapi, jika tidak ikut melibatkan diri, kita harus rela melepas uang yang banyak itu. Si polisi bajingan itu benar-benar membawa uang yang cukup menggiurkan. Aku merasa kita pantas memilikinya.”

“Doni…” kata Narkan sembari menuangkan minuman keras ke dalam gelas, “jangan bilang kalau kau lupa… gengster kita bukanlah kelompok murahan yang bisa direndahkan dengan nilai-nilai uang. Seperti yang kau bilang, harga diri merupakan hal yang cukup penting ketimbang uang. Apa kau sudah lupa?”

“Kau benar tapi… uang tak kalah penting. Kau pikir aku punya senjata-senjata itu karna hasil rampasan?” sahut Doni sambil mengarahkan jari telunjuk ke lemari berisi berbagai macam senjata.

“Hmm…”

“Intinya, aku ingin membuat gengster ini menjadi komunitas yang paling besar di Kota Juang. Untuk merealisasikannya, kita jelas butuh banyak uang — semakin banyak uang yang kita miliki, semakin hebat kita dan… semakin banyak pula senjata yang kita punya. Itu semua sudah cukup untuk menyiutkan kehadiran para polisi di sini.”

“Ha ha ha… kau memang tak jauh berbeda dari ayahmu.”

“Semua karna polisi yang menangkapnya.” ucap Doni yang kesal. Ia bahkan sampai mengepalkan tangan kanannya dengan cukup erat.

Di samping itu, Narkan dengan santai meneguk minuman keras, lalu membalas, “kita semua pasti diincar oleh polisi.”

“Memang — dan agar rencana mereka gagal, kita harus menjadi lebih hebat, bahkan yang terhebat sampai tak ada yang berani dengan kehadiran kita di kota ini, sekalipun mereka polisi atau tentara.” jelas Doni.

Gengster yang dinamai Angkara ini sebenarnya termasuk dalam komunitas berandalan kemarin sore. Semua anggotanya, termasuk Doni sendiri, mereka adalah orang-orang yang baru memasuki usia 20-an. Hanya Narkan yang cukup tua di antara mereka; dia sudah berumur 35 tahun.

Lebih lanjut, dunia kriminal bukanlah hal baru bagi Narkan. Sebelum bergabung dengan Gengster Angkara, dia sudah lebih dulu berada dalam kelompok mafia lainnya. Kelompok itu bergerak di bagian mengedarkan narkoba, dan yang menjadi ketuanya adalah ayah Doni.

Namun, sejak Komandan El menjabat sebagai Kapolsek Kota Juang, keberadaan mafia menjadi terancam. Ayah Doni beserta beberapa anggotanya berhasil diringkus — sebagian lainnya malah tewas tertembak saat penggerebekan berlangsung. Nyaris tak ada mafia yang tersisa di Kota Juang di kala El berperan sebagai sosok polisi nomor satu di kota itu. Jika pun ada, mereka sudah berupa komunitas kecil, dan pergerakannya juga terbatas.

Meski kini sudah muncul lagi kelompok berandalan baru dalam diri Angkara, namun sebenarmya gengster itu masih terbilang kecil. Doni selaku ketua memiliki dendam pribadi terhadap polisi, oleh karenanya dia membentuk Gengster Angkara. Dia seolah-olah ingin melanjutkan pekerjaaan sang ayah. Maka, untuk merealisasikan itu, dirinya merekrut Narkan selaku sosok senior yang sudah berulang kali berhadapan dengan polisi.

Dalam tubuh Gengster Angkara, Narkan berperan sebagai penasehat untuk Doni. Pria itu merupakan satu-satunya anggota kelompok mafia yang berhasil kabur dari penggerebekan.

“Doni…” ujar Narkan, “jujur saja aku tidak terlalu tau keberlanjutan kasus Alissa ini. Tapi, jika kau serius ingin mengakhiri polemik dari kasus ini, kau harus menyeret mereka semua yang berperan terhadap kematian wanita itu — termasuk polisi bajingan yang meminta bantuanmu.”

“Ya… aku setuju.”

“Artinya… kita harus bergerak malam ini juga.”

“Memang itu rencanaku. Tapi, menurutmu kita harus mulai dari mana dulu?”

“Si polisi bajingan itu… ku dengar dia yang membunuh Alissa. Aku yakin dia tau bahwa ada rekan kita yang tertangkap — dan aku juga tau kau sudah mengancamnya jika itu terjadi. Jangan biarkan tikus itu melarikan diri. Kita harus menekan dirinya supaya kasus ini tuntas sampai ke akar-akarnya.”

“Ya, itu benar. Lalu, ancaman apa yang cocok kita berikan untuknya? Aku merasa dia sama sekali tak gentar meskipun diriku sudah mengancamnya dengan berbagai cara.”

Sebelum menjawab Doni, Narkan lagi-lagi menuangkan minuman keras ke dalam gelas. Sementara itu, sang ketua Gengster Angkara itu hanya melirik saja apa yang sedang dilakukan oleh si penasehat.

“Beberapa hari ini, koran terus memberitakan kematian Alissa. Kau tau siapa yang melakukannya?” tanya Narkan yang masih menuangkan minuman keras.

Doni menanggapi si penasehat dengan hanya menggelengkan kepala.

“Itu semua ulah Komandan El dan seorang detektif bernama Fahri.” lanjut Narkan lagi.

“Aku sudah mendengar mereka berdua. Menurutmu, apa mereka cukup berbahaya?”

“Jelas. Kau tau kenapa ayahmu yang merupakan seorang mafia besar di Kota Juang bisa sampai tertangkap oleh polisi? Itu karna ulah si Komandan El. Dia orang yang cukup keras terhadap kelompok-kelompok kriminal… tak pernah ada belas kasihan. Tapi, di balik kesuksesannya menangkap para mafia, ada peran Detektif Fahri — dialah otaknya. Bisa ku katakan, kota ini sekarang memiliki dua sosok yang luar biasa; El selaku Kapolsek adalah orang yang terjun ke lapangan untuk membasmi kelompok-kelompok seperti kita ini. Sedangkan Fahri, dia berperan sebagai informannya. Kau tak boleh meremehkan mereka berdua.” jelas Narkan.

Wajah Doni seketika berubah menjadi murka. Dia benar-benar tak bisa menerima apa-apa yang dikatakan oleh Narkan.

“Sebetulnya…” ucap Doni, “aku sudah berencana membunuh mereka berdua. Ku pikir, rencanaku ini tak ada salahnya — dengan membunuh El dan laki-laki bernama Fahri itu, maka keberadaan kita bisa menjadi lebih aman dan kasus Alissa akan terkubur selama-lamanya.”

Di momen ini, Narkan malah mengekeh, membuat Doni sedikit bertanya-tanya.

“Doni… berbicara itu memang mudah. Kau pikir membunuh mereka seperti membalikkan telapak tangan? Ayahmu saja yang cukup superior tak ada apa-apanya — apalagi kau yang masih anak kemarin sore.” celoteh Narkan.

“Aku tau… tapi bukan berarti mustahil untuk membunuh mereka berdua, kan?”

“Entahlah…” jawab Narkan. Ia mulai bangkit dari duduk.

“Tapi, jika kau bersungguh-sungguh ingin membunuh dua pria hebat itu, barangkali satu-satunya cara adalah dengan mengandalkan musuh di dalam selimut. Desak si polisi bajingan itu untuk melakukannya — mungkin ancamanmu tidak begitu ditakuti, tapi dia pasti ketakutan jika sudah menerima ancaman dariku. Akan ku beri sedikit pemahaman kepadanya agar pekerjaan itu biar menjadi urusannya. Adapun kita… jangan sampai ikut terlibat secara langsung di dalamnya.” tegas pria bertubuh tegap tersebut.

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet