Di Balik Cahaya Kegelapan
Tragedi Berdarah
Bagian 17
Di dalam apartemen, Nora berjalan cepat setelah mendengar suara ketukan pintu. Ia mengintip dari sebuah lubang kecil dan terlihatlah Viktor sedang berdiri di luar sana. Dia memakai jaket hitam yang basah karena hujan lebat.
Saat Nora membukakan pintu, Viktor bergegas masuk. Dirinya yang tergesa-gesa menanggalkan jaket membuat wanita itu sedikit kebingungan.
“Kau kenapa…?” tanya Nora.
Viktor tidak langsung menjawabnya. Dia berjalan menuju rak jemuran, menggantung jaketnya di situ, kemudian kembali menghampiri Nora.
“Perubahan rencana.” ujar Viktor.
Nora yang masih tidak mengerti bahkan sampai mengerutkan dahinya. “Apa maksudmu?” tanya sang wanita.
Agar situasinya menjadi sedikit lebih tenang, Viktor mengajak Nora duduk di sebuah sofa. Mereka saling bersebelahan, juga masih saling diam tanpa ada yang memulai pembahasan. Viktor sendiri sedang berusaha menenangkan dirinya selama beberapa saat; berulang kali dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan-lahan. Setelahnya, dia pun melirik Nora.
“Gengster Angkara tak mau terlibat dalam urusan membunuh Komandan El dan Detektif Fahri. Sebagai gantinya, mereka malah menyuruhku melakukan pekerjaan kotor itu.” jelas Viktor.
Nora sedikit terkejut. Dengan spontan kedua matanya mulai terbuka lebih lebar. “Tapi… mereka malah mengatakan hal yang sebaliknya saat aku dipanggil untuk menjumpai mereka di restoran itu.” sahut wanita ini.
“Jadi… kau benar-benar datang ke restoran itu dan menjumpai Gengster Angkara?”
“Tentu saja aku datang.”
“Berapa banyak anggota mereka yang bersamamu malam itu?” tanya Viktor.
“Aku tak sempat menghitungnya — mungkin sekitar 10 orang.”
Perkataan Nora membuat Viktor diam sejenak. Dia memalingkan wajahnya dari sang wanita sambil mengambil ponsel dari dalam saku celana. Entah apa yang ia lihat dari ponsel, namun tak lama berselang dia kembali menyimpan telepon genggam itu ke tempat semula.
“Kebanyakan anggota Angkara… rata-rata mereka masih bocah 20 tahunan. Tapi, apa ada laki-laki dewasa yang bersamamu? Dia berambut putih dengan sorot mata yang tegas.” kata Viktor seraya menatap Nora.
Nora mencoba mengingat-ingat sosok pria yang dijelaskan oleh Viktor tadi. Saat dia sudah menyadarinya, sang wanita lantas balik bertanya, “maksudmu yang bernama Narkan?”
“Ya.”
“Aku memang berjumpa dengannya malam itu. Dialah yang membahas semua rencana kita yang akan melenyapkan semua bukti, serta membunuh Komandan El dan detektif bernama Fahri itu. Pokoknya, aku akan bekerja sama dengan beberapa anggota mereka untuk menghilangkan semua bukti — dan kau bekerja sama dengan Narkan serta Doni untuk menjalankan misi pembunuhan El… juga Fahri.” tutur sang wanita.
Viktor menatap Nora dengan sedikit lama. Tak lama berselang, dia lagi-lagi mengalihkan pandangannya dari wanita itu seraya menarik napas panjang. Bersamaan dengan embusan napas, lelaki ini juga menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa…” tanya Nora, “sebenarnya ada apa denganmu? Katakan sejujur-jujurnya — jangan ada yang ditutupi karna ini menyangkut keamanan kita bersama.”
“Baiklah…” sahut Viktor. Kini, ia duduk menghadap Nora dengan posisi menyilangkan kedua kaki.
“Pertama…” kata lelaki ini, “seperti yang ku katakan sebelumnya, rencana membunuh Komandan El dan Fahri bukan lagi tugas bersama — itu sudah mutlak menjadi tugasku. Bukan karna aku yang memilihnya tapi Narkanlah yang memaksaku. Kedua… anggota-anggota Angkara yang ditugaskan bekerja sama denganmu untuk melenyapkan bukti… itu semua hanya akal-akalan mereka saja. Pada akhirnya, pekerjaan itu akan dibebankan untukmu.”
Kali ini, Nora benar-benar bingung. Dia juga mulai agak marah karena semua rencana yang telah disepakati malah tiba-tiba berubah tanpa adanya persetujuan dari kedua belah pihak.
“Kenapa rencana ini malah jadi amburadul? Untuk apa mereka mengubah-ubahnya sesuka hati?” tanya Nora dengan kesal. Suaranya mulai berapi-api, seakan-akan sedang meluapkan gejolak amarah dari dalam hatinya.
“Bukan diubah… tapi memang seperti itu rencananya. Sejak awal — tidak — lebih tepatnya saat Narkan itu muncul — mereka sudah berniat membunuh kita.” sahut Viktor.
Mulut Nora langsung terbuka sesaat setelah dirinya mendengar apa yang diucapkan oleh Viktor. Sang wanita tak bisa berucap sepatah kata pun; dia mulai membisu kaku, serta tangannya juga gemetaran.
Di samping itu, Viktor paham bahwa Nora mulai cemas. Namun, lelaki ini tetap melanjutkan penjelasannya.
“Ini semua karna Narkan. Dia datang secara tiba-tiba dan langsung mengambil alih pimpinan Angkara menggantikan Doni. Kehadiran Narkan mengubah semuanya; mereka tak lagi percaya pada kita. Sekarang, yang ada dalam benak para anggota gengster itu adalah membersihkan tangan mereka sendiri dari bercak darah Alissa. Sebagai gantinya, mereka hanya ingin kitalah yang tertangkap sebagai tersangka. Baru-baru ini aku menyadari satu hal… mereka sama sekali tak ingin memberi kesempatan pada kita. Jadi, setelah kita sukses melakukan pekerjaan yang sudah disepakati itu, pada akhirnya mereka tetap akan membunuh kita.” jelas sang polisi bandit ini.
Lebih tepatnya, Viktor yang memiliki nama asli sebagai Abdul, mengutarakan bahwa situasi semakin kacau saat ini. Pertama, tentu saja karena Gengster Angkara tak ingin terlibat dalam melenyapkan segala bukti serta membunuh Komandan El dan juga Detektif Fahri. Kedua, sebenarnya ada yang lebih buruk lagi ketimbang gengster tersebut.
Jadi, saat Viktor melarikan diri bersama Munir ketika keduanya mengadakan pertemuan di sebuah rumah kosong, polisi bandit ini kembali lagi ke sana di keesokan harinya. Lantas, semua barang yang ia simpan di dalam gudang sudah tak ada lagi. Adapun barang-barang yang dimaksud adalah ransel, juga dompet serta ponsel milik Alissa. Hilangnya benda-benda berharga tersebut seketika langsung menyadarkan Viktor bahwa itu semua karena ulah Detektif Fahri.
Ya, Viktor mulai sadar bahwa saat pertemuannya dengan Munir, Detektif Fahri juga bersama mereka dan mendengarkan semua pembahasan yang ada. Dengan segenap informasi yang didapatkan oleh Fahri, juga hilangnya barang-barang yang sengaja disembunyikan oleh si polisi bandit, dua hal itu sudah cukup membuat Viktor ketakutan setengah mati. Bukan apa-apa, semua rencananya yang ingin membunuh Komandan El bisa saja gagal, meskipun dia sudah menghasut Munir. Lantas, jika sampai El mengetahui kebenaran ini, maka bisa dipastikan keselamatan Viktor berada dalam masalah besar. El takkan pernah mengampuni polisi yang berkhianat.
Di sisi lain, di tengah keraguannya yang tak bisa membunuh Komandan El, Viktor juga mencemaskan sosok Narkan. Perangai si penasehat Angkara itu tak jauh berbeda dengan El. Hanya sedikit saja perbedaan di mana Komandan El berani mengambil sikap tegas dan tak ragu menghukum siapa saja yang berkhianat — sedangkan Narkan lebih memilih cara licik untuk menghabisi siapapun yang dianggapnya harus diberi pelajaran.
Kini, Viktor berada dalam dua situasi berat. Menghadapi El dan Narkan bukanlah sesuatu yang diinginkannya. Di samping itu, keselamatannya dan juga Nora benar-benar berada di ambang jurang.
“Intinya…rencana awal kita yang ingin menjebloskan sebagian anggota Angkara ke penjara gagal total. Padahal, sejak awal aku mengajak mereka ikut terlibat dalam pembunuhan Alissa karna untuk menghilangkan jejak, dan kita bisa hidup tenang tanpa ada yang mengganggu lagi. Tapi ternyata, semua ini tidak berjalan sesuai rencana.” ujar Viktor.
Di momen ini, Nora seketika menitikkan air mata, dan perlahan-lahan dia mulai menangis tersedu-sedu.
“Kenapa…?” celoteh Nora sambil menangis, “kenapa sejak awal kau mengajak gengster keparat itu untuk ikut terlibat? Padahal… padahal dengan dirimu saja, Alissa pasti terbunuh juga tanpa harus meminta bantuan mereka. Tapi kau…”
Nora benar-benar tak kuasa untuk berbicara. Dia terpaksa harus berhenti karena isak tangis semakin tak terbendung. Meski begitu, dirinya tetap memaksakan diri.
“Kau itu memang bodoh…” tutur sang wanita yang kesal, “kau bilang kau ingin membantuku menyingkirkan Alissa. Dan… dan kau juga bilang kalau kau masih mencintaiku, dan akan melakukan segala cara untuk membuatku bahagia. Lalu apa yang terjadi sekarang…? Kau malah memperburuk keadaanya — bahkan yang kau beri untukku bukanlah kebahagiaan — kau membawa petaka. Kau memang laki-laki terbodoh yang pernah ku kenal.”
Tappp…
Viktor spontan menampar Nora. Kini, tatapan lelaki itu yang menatap Nora, bagaikan sorot mata elang yang sedang berburu mangsa.
“Nora, jaga mulutmu…!” bentak Viktor, “aku sudah melakukan pengorbanan besar demi membuatmu bahagia. Apa kau masih ingat…? kau datang ke rumahku jam tiga malam — jam tiga — kau berlutut di depan pintu rumahku sambil merengek-rengek karna pertikaian antara kau dan pacar sialanmu itu. Dan sadarlah… bukan hanya sekali kau datang padaku dengan permasalahan yang sama. Berulang kali… kau mengadu padaku karna lelah melihat sikap pacarmu yang terus mencurigaimu berselingkuh.”
Seperti ada sosok iblis yang membisikkan kata-kata kepada Viktor; sikap lelaki itu berubah drastis menjadi lebih kasar.
“Padahal… kenyataannya kau memang berselingkuh — aku tau perbuatan kotormu itu. Lalu, ketika pacarmu mengetahui semuanya; dia meninggalkanmu dan mulai dekat dengan Alissa. Tapi, sekali lagi kau tak terima dan datang padaku untuk menyingkirkan wanita itu. Kau terus saja memohon — dan bodohnya aku malah terpengaruh dengan rayuanmu, hingga aku melakukan sesuatu yang tak seharusnya ku lakukan. Pikirkan itu, Nora!” teriak si polisi bandit lagi.
Nora sendiri tak bisa menyanggah apapun. Tapi, dia kesal karena Viktor membentaknya. Lantas dengan rewel sang wanita memukul-mukul lengan serta menjambak-jambak rambut Viktor. Perbuatan wanita itu seketika membuat kesabaran si polisi bandit hilang.
Viktor yang murka lantas mencekik leher Nora dengan cukup erat, membuat wanita itu kesulitan bernapas.
“Dengar Nora — dengar baik-baik perkataanku! Sejak awal, aku tak pernah berniat membunuh Alissa meski kau sudah berulang kali memintanya. Sejak awal, aku hanya berniat menakut-nakuti wanita itu saja sebab tak ada alasan untuk menghabisi nyawa seorang anak yang tak punya orang tua kandung. Aku tau kehidupan wanita itu, juga keluarganya yang ada di kampung. Alissa tumbuh besar bersama orang tua angkat — yang sudah renta — mereka juga hidup berkecukupan, dengan bantuan upah yang diterima oleh Alissa di Kafe Cedah. Jujur saja, aku cukup menyesal sudah membunuh wanita malang itu ketika diriku tau kalau dia sebenarnya perempuan yang baik. Seandainya aku tak permah termakan rayuanmu, Alissa pasti masih hidup. Tapi, di sinilah letak kebodohanku; akal sehatku seketika hilang saat kau berjanji akan kembali mencintaiku setelah membunuh wanita itu. Bodohnya lagi, aku langsung terhipnotis dan mengikuti semua maumu. Lalu, kenyataan yang ku dapat sampai waktu ini — sampai detik ini —kau juga belum menerima cintaku lagi dengan alasan kasus ini belum tuntas 100 persen. Dan… lagi-lagi kau sudah membodohiku dengan caramu yang murahan itu. Nora… kau memang wanita licik yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.” kata Viktor seraya menatap Nora dengan lirikan tajam.
Dalam posisi tercekik, Nora benar-benar terdesak. Dia terus memukuli paha serta dada Viktor agar dirinya bebas dari cengkeraman lelaki itu. Namun, usaha kerasnya sia-sia saja. Pukulan sang wanita tak berarti apa-apa bagi Viktor.
“Le…pas…” rintih Nora.
Melihat mantan kekasihnya itu yang semakin kesulitan bernapas, Viktor pun merenggangkan cengkeraman tangannya di leher Nora. Hal itu seakan-akan sedikit menjadi angin segar; sang wanita bisa kembali bernapas meski masih agak tersangkut karena Viktor belum seutuhnya melepaskan cekikan.
“Kau… seharusnya tidak… menyesal… telah mem…bunuh Alissa.” kata Nora dengan terbata-bata.
Di sini Viktor hanya diam saja sambil menatap serta mendengar celotehan wanita itu.
“Aku… sangat mem…bencinya. Alissa itu… tak pantas… hidup karna… dia ss…sudah merebut… pacar…ku” ungkap Nora lagi.
Viktor semakin geram saja melihat mantan kekasihnya. Kini, dia benar-benar menyorot sang wanita dengan tatapan bengis, hal yang biasanya hanya ia lakukan setiap saat menangkap para berandalan.
“Sejak kapan Alissa merebut pacarmu? Yang sebenarnya terjadi adalah kau berselingkuh, lalu meninggalkan pacarmu begitu saja. Maka, wajar jika dia datang pada Alissa setelah berpisah denganmu. Dan lucunya lagi, selingkuhanmu itu ternyata lelaki bajingan yang juga punya sifat sepertimu — pada akhirnya kau pun juga ditinggalkan olehnya. Nora… aku sudah tau semuanya — semua hal yang tidak kau ceritakan padaku. Kau berperan seolah-olah menjadi korban, tapi sebenarnya kau adalah biangnya. Dan… tanpa kau sadari semua itu kembali lagi padamu. Tapi kau tak sadar, bahkan setelah selingkuhanmu itu meninggalkanmu — sejak saat itu kau ingin menjalin cinta lagi dengan mantan pacarmu. Sayangnya dia tidak sebodoh aku… mau menerimamu kembali. Atas dasar itu kau kesal sebab mantan pacarmu terus memiliki hubungan yang dekat dengan Alissa. Lalu kau datang padaku — memintaku untuk menyingkirkan Alissa. Aku yang bodoh langsung terpengaruh dengan kata-kata manismu, yang berjanji akan kembali mencintaiku seperti dulu. Kau benar-benar cukup licik — kau sudah menyeretku ke dalam masalah pribadimu.” ungkap Viktor.
Tepat setelah mengatakan itu, Viktor kembali mengencangkan cengkeraman tangannya di leher Nora; kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Adapun Nora, dia benar-benar tak berdaya. Aksi sang lelaki membuatnya semakin tersiksa. Bahkan, saking tersiksanya, Nora tak sanggup membuka kedua matanya dengan normal. Mulut wanita ini juga terbuka lebar seperti orang yang sedang mengalami sakratul maut.
“Aku ini…” ujar Viktor, “dikenal sebagai polisi yang cukup teladan. Komandan El menyanjungku setinggi langit — sedangkan Detektif Fahri menghormatiku sebagai seorang rekan. Para mafia pun juga takut terhadapku karna pekerjaan serta dedikasiku sebagai polisi. Tapi, semua itu lenyap tak berbekas setelah aku terbuai oleh rayuanmu. Aku membunuh Alissa, lalu menyebabkan Fathur dipresi hingga dia pun akhirnya mati bunuh diri — semua itu ku lakukan demimu, Nora. Sejauh itu pengorbanan yang ku lakukan, kau malah menyalahkanku terhadap situasi yang sedang kita alami ini. Jika sejak awal aku tau akan berakhir seperti ini, aku takkan pernah mau mendengar kata-katamu. Seandainya aku tidak terbuai janji palsumu, Alissa pasti masih hidup bersama sahabatnya Fathur, dan aku masih dianggap sebagai polisi panutan oleh El dan Fahri.”
Viktor mulai hilang kendali. Ia mencekik Nora dengan cukup brutal, membuat wanita itu sama sekali tak bisa bernapas — bahkan, untuk merintih saja tak sanggup. Wajah sang wanita dalam sekejap menjadi pucat; matanya juga sayu dan hanya menatap kekosongan.
Di waktu yang sama, darah mulai mengalir dari hidung Nora, hingga merembes ke tangan Viktor yang juga masih mencekik mantan kekasihnya itu. Lalu, beberapa saat kemudian, tubuh Nora sama sekali tidak bergerak. Wanita itu tercekik dengan posisi kaku tak berdaya. Dia benar-benar sekarat.
Hanya beberapa menit kemudian, Viktor mulai merasa bahwa urat di leher Nora sudah berhenti berdenyut. Di waktu itu pula ia menyadari bahwa sang mantan kekasih telah tewas. Lantas, laki-laki ini melepaskan cekikan, dan tubuh Nora seketika ambruk di atas sofa.
Nora terbaring tak bernyawa. Meski begitu, darah masih juga merembes dari hidungnya. Hal itu disebabkan oleh cengkeraman tangan Viktor yang cukup kuat, hingga menewaskan mantan kekasihnya.
Di samping itu, seraya menatap Nora yang sudah tewas, Viktor menghapus rembesan darah dari tangannya ke sofa.
“Paling tidak… kau sudah mendapatkan yang selama ini memang pantas kau dapatkan. Nora, aku tau kau pasti akan mati karna telah menjadi otak pembunuhan Alissa. Tapi, daripada mati di tangan orang lain, apalagi di tangan Gengster Angkara, lebih baik kau tewas dalam cengkramanku. Sekarang, biarkan aku yang menghadapi ini semua. Aku memang menyesal telah melakukan pekerjaan kotor ini. Tapi, aku pun juga sudah terlanjur melakukannya hingga kini nyawaku sendiri berada dalam ancaman besar. Tak ada cara untuk bebas dari permasalahan ini selain kabur — itulah pilihannya. Karna itu, Nora… aku akan pergi jauh meninggalkan Kota Juang. Dan siapa saja yang mencoba menghalangiku, akan ku bunuh mereka semua.” kata Viktor di depan jasad mantan kekasih.
Setelahnya, si polisi bandit ini pun beranjak pergi dari apartemen Nora. Dia mengunci pintunya dari luar dan membiarkan jasad wanita itu terbaring kaku di dalamnya.
Bersambung…