Di Atas Jembatan Penghubung
Foto oleh Jacob Colvin
— —
Di sinilah aku membisu sambil merangkai kata dari imajinasi. Ku tuangkan sajak yang bertebaran di selembar kertas putih.
Mengikuti ekspresi hati yang terkadang bergejolak meminta untuk dijadikan ke dalam bentuk kata-kata.
Aku telah memulai hari dengan terombang ambing. Meyakini maksud tersirat adalah ungkapan yang sukar untuk ku terjemahkan. Ku pandang ke sekitar untuk mendiamkan suara-suara yang terlalu berisik — membutakan pendengaran.
Dalam diam ku cari makna terselubung, tentang keindahan yang dapat meleburkan sejuta warna ke hati. Karna aku terkadang pudar, karna terkadang aku luluh saat ada yang pergi tanpa permisi.
Menelusuri ruang-ruang baca dan memaklumi apa yang mereka tulis sebagai irama pikiran. Yang terdapat di dalam kepala tak semestinya sama — dan yang di rasa oleh hati pun juga tak seharusnya sama — jika — jika kita mampu untuk saling mengerti.
Aku ingin berada di titik… di mana ke dua dari diriku pernah menjalani kisah bersama; saling mengagumi, saling membenci, saling mencintai, saling berkebutuhan. Sekarang… entah di mana dirinya berada, aku tak pernah lagi bersua.
Telah ku lalui halaman-halaman pilu yang sempat membuat langkahku mati tak berdaya. Aku mati dan meninggalkan jejak jati diri sebab ada cinta yang ingin ku pupuk — tapi diabaikan.
Para awan melaju dalam kecepatan tinggi dan rendah, mereka memberi suara tersirat padaku bahwa setiap adegan dalam kehidupan tidak melulu tentang senyuman dan kebahagiaan — juga tidak selalu bercerita tentang rasa sakit juga air mata keputusasaan .
Awan menceritakan tentang kejadian-kejadian yang akan terus berganti — seperti diri mereka yang terkadang memberi sinar kecerahan, juga tangisan dari gumpalan kelabu.
“Tak apa jika merasa diri sudah begitu lelah… itu tandanya kau butuh waktu beristirahat.”
“Tak apa jika sudah tak sanggup lagi membendung tangisan… itu tandanya kau telah melalui banyak rintangan.”
“Dan melalui berbagai macam rintangan, itu pertanda bahwa kau memang terlahir hebat.”
Adalah aku yang hidup berdampingan dengan adegan senang dan sedih. Keduanya ku anggap teman sebab telah sudi membersamai langkahku. Meski mereka punya cerita yang berbeda dari berbagai sudut pandang.
Aku… tak mengapa dan ku anggap diri masih kuat… kuat menghadapi segala bentuk drama kehidupan. Sebab, ku ambil secuil kebenaran dari sejauh diriku pergi menelusuri kehidupan — lika-liku yang ku alami bukan sebuah kebetulan, tapi memang untuk ku jalani.
“Pada akhirnya, kita akan berada di titik terhadap bagaimana menyikapi beban yang terasa menyerang, dan bagaimana menyikapi kebahagiaan yang akan pamit di suatu waktu.”
Aku pernah ada di titik kelabu, di mana bayanganku sendiri tak ku kenali dengan jelas. Tapi, puisi yang ku tulis terkadang berubah maknanya menjadi sebuah surat — memberi kabar pada siapapun bahwa aku masih hidup bersama harapan.
Meski ku akui ada banyak kekacauan menghantam sampai ke dasar hati. Tapi sampai detik ini aku bernapas, aku merasa beruntung karna masih mengembuskan napas bersama bibir ini melantunkan nama Tuhan.
Sebab Ia menyuruhku untuk mengingat-Nya — bagaimana mungkin aku yang merupakan seorang hamba mengabaikan Sang Penciptaku sendiri?
Karna doa yang ku titipkan adalah harapan untuk ku jalani kehidapan ini. Doaku ini, bagaikan jembatan yang menghubungkan banyak persinggahan. Aku tau kapan mesti melanjutkan perjalanan, juga tau kapan harus mengistirahatkan batin yang sudah terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak ku sanggupi.
Karna di bawah atap kelabu ini, ada hujan yang melanda deras. Tapi aku juga tau bahwa pelangi akan hadir untuk memberi cerita bahagia di penghujung petang.
Bunga-bunga bermekaran cerah… memberi ilustrasi keindahan kepada mataku yang menahan air mata kekosongan. Aku berdiri setelah bangkit, aku berjalan setelah meragu, aku melanjutkan asa setelah terluka cukup dalam.
Jika tak ada seorangpun yang mampu memberi senyuman, akan ku coba lukiskan senyumanku sendiri di selembar kertas putih ini.
Dan jika aku masih harus menanti kisah selanjutnya… aku hanya berharap agar Tuhan menitipkan segenap kekuatan-Nya. Sebab hatiku mudah remuk, hatiku terlalu cengeng, hatiku ini telah berulang kali menemui kisah kesedihan —hatiku butuh penghalang agar mampu menahan segala serangan yang tak dapat ku lihat.
Di sinilah aku merangkai kata untukku ingat sendiri, betapa ada hari-hari yang pernah menenggelamkan hampir seluruh impianku — tapi juga ada hari-hari sebagai titik balikku.
Dan sejauh ini aku melangkah, ya… aku memang sudah terluka berulang kali. Dan dalam berulang kali itu pula aku berusaha bangkit… karna Tuhan tak pernah mengajariku untuk menyerah bahkan saat ku rasa setiap masalah ini tak kunjung selesai — betapa tidak ku temui jalan keluarnya.
Dan karna ada cinta yang terus ku hidupkan meski terkadang meredup, aku mesti terus berjalan untuk menuju ke persinggahan selanjutnya. Sebab, ada waktu di mana nanti aku akan kembali lelah dalam berharap — setidaknya aku tau caranya bangkit walau ku pahami, takkan mudah melakukannya dari posisi terbawah.
Meskipun begitu, tak ku ketahui sejauh mana aku mampu berlagak kuat seperti ini. Hanya berharap — di atas jembatan ini, semoga Tuhan segera menghubungkan cintaku dengan cintanya. Karna telah begitu lama ku pendam perasaan ini ; terkadang menyiksaku dari dalam — kadang-kadang memberiku senyuman ketulusan.
Sebab, dia kini terlalu ku candui