Detektif Jimmy: PROLOG I

Ulasan Singkat Tentang Filosofi Menjadi Mata-Mata di Balik Bayangan

Reza Fahlevi
9 min readJul 7, 2023

“Keinginan untuk menjadi seorang pemberani, harus dibersamai dengan tekad yang sungguh-sungguh. Otakmu jenius, tapi jika kau ingin menjadi mata-mata, kau harus punya kemampuan bela diri. Sebab, menghadapi musuh sendirian secara diam-diam, semua itu bisa saja membuatmu berada dalam masalah besar. Musuh tidak peduli siapa dirimu, yang mereka tahu adalah kau seorang mata-mata, maka mereka akan menganggapmu sebagai sosok berbahaya.”

Begitulah perkataan dari seorang polisi kepadaku. Ia berujar demikian setelah menemukanku yang sedang memata-matai seorang guru dari SMA Fansuri di sebuah penginapan — kejadian yang sudah sangat lama. Dari situlah kami saling mengenal.

Saat itu aku masih SMA, tapi tetap melakukan pekerjaan berbahaya itu sebab jika tidak aku tak bisa tenang. Entah kenapa rasa penasaranku terlalu menggebu-gebu setiap saat diriku mendengar suatu informasi. Dan informasi yang ku cari bukan hanya berupa gosip-gosip tak jelas melainkan berita tentang kasus-kasus kejahatan.

Aku tak tahu kenapa begitu tertarik mencari tahu setiap kejahatan yang tersembunyi. Barangkali karena ayahku, beliau seorang wartawan yang sering meliput berita tentang bandar narkoba dan kasus kejahatan lainnya seperti korupsi atau perampokan. Saat aku masih SMA, kejahatan-kejahatan seperti itu marak terjadi di Cot Jambee.

Pekerjaan ayahku yang meliput kasus-kasus kejahatan, sudah pasti beliau mendapatkan berita dengan cara mencari tahu ke berbagai pihak. Ia mendapatkan izin langsung dari seorang petinggi polisi untuk mencari keberadaan para berandal, terutama para bandar narkoba dan sejenisnya.

Ayah dan sebagian polisi bekerja sama; beliau akan memberi tahu setiap lokasi keberadaan bandit dan polisi pun mengizinkan dirinya untuk memuatnya ke dalam berita. Kadangkala sebaliknya, polisi yang membeberkan tempat persembunyian musuh kepada ayahku agar beliau mencantumkannya ke dalam media.

Dan karena keterlibatan itu, juga karena aku sering melihat ayah bekerja seperti itu baik ketika dirinya berada di rumah atau di kantor — Harian Cot Jambee — secara tak langsung aku malah mengikuti cara-cara beliau.

Meski begitu, aku kemudian menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh ayahku sungguh sangat berbahaya. Beliau akhirnya tewas terbunuh saat para polisi menyergap sekelompok bandar narkoba. Dan yang membunuh ayahku adalah temannya sendiri, juga seorang tersangka.

Aku masih berumur 14 tahun ketika ayah meninggal dunia — masih duduk di kelas 2 SMP. Adapun ayah meninggalkanku bersama dua adik perempuan kembar; aku harus menjaga mereka seperti yang ayah lakukan. Akan tetapi, ada beberapa orang yang tahu tentang hubungan ayah dan polisi, maka mereka mencoba menculikku berulang kali meskipun selalu berakhir gagal.

Bisa ku katakan, ayahku yang bekerja sebagai wartawan dan memiliki hubungan rahasia dengan polisi membuatku hidup dalam bahaya selepas kepergiannya. Awalnya aku benci, tapi lama kelamaan diriku mulai paham kenapa ayah rela melakukan itu semua.

“Cot Jambee adalah rumah ayah, dan ayah tak ingin para berandal itu hidup sesuka mereka di kota ini sambil membuat kekacauan. Cot Jambee bisa milik semua orang, tapi tidak untuk mereka yang suka melakukan kejahatan. Ketahuilah nak, ayah bekerja sebagai wartawan dan diam-diam menjalin hubungan rahasia dengan polisi… itu semua ayah lakukan untuk menumpas kejahatan dari kota ini. Cot Jambee harus bebas dari para berandal sebab banyak orang baik di sini. Tapi, kehadiran orang-orang jahat itu membuat orang baik malah berubah dan ikut-ikutan melakukan kejahatan. Ayah hanya ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa dengan kondisi seperti ini, ayah tak pernah takut menghadapi mereka. Maka, kau pun juga harus seperti itu. Ingatlah, walaupun sekarang Cot Jambee berada dalam kekacauan hebat, tapi suatu hari nanti semua itu akan berakhir. Yang penting kita harus saling percaya dan terus bekerja sama… juga, jangan pernah takut.”

Begitulah yang pernah ayah katakan kepadaku saat kami sedang duduk-duduk santai di suatu sore. Dari semua ucapannya itu, aku baru sadar bahwa beliau memberikan segenap jiwanya kepada Cot Jambee, kota kelahirannya. Dan bagiku, caranya itu bukanlah untuk mengubah orang-orang, ia hanya mencoba memperlihatkan kepada masyarakat Cot Jambee bahwa di tengah banyaknya kejahatan, ayah tak gentar untuk terus hidup dan menebarkan rasa bangga sebagai warga kota ini. Ia hanya ingin memberi pesan kepada warga sipil agar jangan takut kepada para pelaku kejahatan.

Meski ayah meninggal dunia tanpa pernah berhasil mengubah persepsi masyarakat Cot Jambee, tapi ia telah meninggalkan sebuah warisan yang besar, itu adalah keberaniannya. Aku yang juga lahir di kota ini, seakan merasakan seperti apa yang ayah rasakan dulu. Sejak SMA, secara tak sadar aku malah mengikuti jejaknya; mencari jejak-jejak kejahatan. Dan karena ruang pergerakanku terbatas, maka aku hanya bermain di ranah sekolah saja.

Terhitung sejak kelas X aku sudah mulai melakukan mata-mata, tapi baru diriku beraksi dengan nyata untuk membeberkan semua kebusukan rahasia itu ketika naik ke kelas XI dan berlanjut hingga kelas XII.

Aku pernah membeberkan kasus korupsi yang hendak dilakukan oleh seorang guru di SMA ku, kasus pemerkosaan yang dilancarkan seorang abang leting terhadap pacarnya, kasus bully-an hingga puncaknya ketika mencari tahu penyebab seorang siswi yang tewas di sekolahku… adapun nama gadis itu adalah Sarah. Bisa ku katakan, kasus kematian wanita itu merupakan misi besar pertama yang pernah ku jalani semasa SMA sebab mengaitkan banyak tokoh-tokoh besar seperti seorang kepala sekolah, gengster, guru, bahkan sampai sosok walikota. Adapun aku tidak beraksi sendirian melainkan bersama dua teman; Zaki dan Heri; juga beberapa polisi yang awalnya pernah saling bekerja sama dengan ayahku… termasuk polisi yang menyarankanku melatih bela diri itu.

Kasus kematian Sarah masih terngiang dalam benakku sampai sekarang. Aku yang saat itu masih duduk di kelas XII, tidak menyangka bahwa kematiannya memiliki keterlibatan yang sangat luas. Memang akhirnya kasus ini tuntas dengan baik, tapi sebagai gantinya, dua adik perempuanku hilang diculik. Sampai saat ini aku tak tahu keberadaan mereka; satu ku dengar telah tewas tapi jasadnya tak pernah ku temukan. Adapun seorang lagi menghilang begitu saja secara misterius.

  • Menjadi wartawan sebagai mata-mata

Setelah lulus kuliah, aku berniat masuk polisi seperti Zaki dan heri. Tapi karena fisikku yang lemah dan juga tak bisa bela diri dalam jenis apapun, akhirnya diriku gagal. Karena itu, aku memilih mengikuti jejak ayahku. Selain karena berniat melanjutkan kiprahnya sebagai watawan, aku juga punya keinginan khusus yaitu hendak membuktikan pada diriku sendiri bahwa kesalahan ayah takkan pernah terulang dalam diriku.

Adapun kesalahan ayah menurutku adalah kematiannya di tangan temannya sendiri yang tak lain adalah seorang bandar narkoba. Kenapa aku menganggapnya sebagai kesalahan? Itu karena, sebenarnya ayah sudah tahu bahwa sahabatnya merupakan seorang bandar narkoba tapi beliau tidak menangkapnya setiap kali punya kesempatan atau setidaknya membeberkan posisi temannya agar polisi menyergapnya. Justru sebaliknya, ayah selalu memberi ruang agar sahabatnya itu dapat melarikan diri setiap kali polisi melakukan misi penggerebakan.

Mantan rekan ayah yang juga seorang wartawan pernah membuka alasan kenapa ayah tidak menangkap sahabatnya… adapun alasannya adalah ayah tak sampai hati melihat temannya menderita setelah polisi menangkapnya. Bagiku, itu sama sekali tak masuk akal dan karenanya ku anggap ayah sudah melakukan kesalahan fatal yang mana akhirnya malah merenggut nyawanya sendiri.

Itulah kisah ayahku yang secara tak langsung mewarisi tekadnya untukku. Sepertinya, ayah sadar bahwa ia sudah melakukan kesalahan, maka untuk mengubah itu… ia ingin aku memperbaikinya. Dan itulah alasan kenapa aku memutuskan menjadi wartawan.

Selain ingin menutupi kesalahan ayah, dengan menjadi wartawan ku pikir diriku bisa menemukan keberadaan dua adikku. Tapi, sampai kemudian aku ditetapkan sebagai detektif, tak pernah sekalipun diriku mendengar kabar mereka berdua. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya aku menyerah dan menganggap keduanya telah tewas.

  • Mata-mata di dalam bayangan

Hilangnya adikku membuat aku harus melakukan perubahan. Begitu pengumuman kelulusanku dari SMA Fansuri, beriringan dengan gagalnya aku masuk polisi dan beralih menjadi wartawan… perlahan-lahan aku mulai mendalami kemampuan bela diri. Ada berbagai macam seni tarung yang ku pelajari… tapi aku menganggap diriku mumpuni dalam hal Silat.

Untuk Silat, sebenarnya aku sudah mendalami ilmu bela diri ini saat masih SMP. Tapi tak lama karena aku merasa diri tak sanggup mengikuti pola latihan yang menurutku agak berat dan juga keras.

Selain itu, aku juga tahu sedikit mengenai skill Ninja. Jadi, setahun setelah lulus dari SMA, aku pernah pergi ke Jepang, berdiam diri selama berbulan-bulan di sebuah pelosok yang mana di sana dulunya adalah tempat latihan para Ninja.

Aku diajari berbagai macam hal termasuk cara bersembunyi, bertarung, memata-matai… semuanya secara diam-diam. Ninja adalah mata-mata ganas yang mana pergerakannya sulit dideteksi, dan mereka juga pandai menyamar sehingga target sama sekali tidak menyadari bahwa mereka telah ada di sisi.

Saat kembali dari Jepang, aku kembali mempelajari Silat. Kala itu, aku sudah lebih serius dan tidak lagi manja. Berbagai jenis latihan ku lalui mulai dari teori juga praktik, dan sungguh melelahkan.

Walaupun aku telah lama mempelajari ilmu Silat, nyatanya sampai sekarang aku masih terus belajar dan berlatih. Memang, sekarang aku sudah memperoleh sabuk hitam, tapi menurutku, aku harus terus mengembangkan diri dengan cara membuat berbagai macam variasi pukulan dan serangan-serangan tak terduga lainnya.

Selanjutnya, aku pernah belajar menggunakan pedang. Untuk hal ini, aku mempelajarinya dari dua guru yang berbeda; salah satu anggota Samurai dan juga Ninja. Dua kalangan itu juga mengajarkanku cara bertarung dengan dua tipe; dari Samurai aku belajar cara menghadapi lawan secara langsung; dari Ninja aku mengikuti gaya tarung secara sembunyi-sembunyi.

Adapun pedang, mereka berdua — Samurai dan Ninja — aku belajar berbagai macam teknik yang kemudian ku adaptasikan dengan kondisi dan situasi di mana diriku berada… tergantung musuh yang ku hadapi.

Sudah bukan rahasia bahwa aku mengelak melawan 10 musuh secara terang-terangan. Aku akan melakukannya dengan cara Ninja menghabisi lawannya, yaitu cara diam-diam. Tapi jika musuh hanya satu atau dua orang, aku sering menghadapi mereka face to face.

Itulah beberapa bela diri yang pernah ku pelajari dan sering ku gunakan saat menghadapi musuh. Sebenarnya ada lagi beberapa lainnya, tapi aku terlalu jarang mempraktekkannya.

Jika aku punya satu kemampuan bela diri dan dapat ku gunakan dengan sebaik mungkin, maka aku akan terus fokus di situ sambil mengembangkannya tanpa harus mengabaikan kemampuan bela diri lainnya.

  • Sang Pembentuk Pondasi

Jauh sebelum aku mendalami ilmu bela diri, aku sudah lebih dulu belajar cara menembak, terhitung sejak kelas XI. Seorang polisi yang juga dekat dengan ayahku, mengajarkanku cara memegang senjata dengan benar, kemudian berlanjut mengajariku menembak. Butuh waktu yang lumayan lama bagiku untuk dapat menembak dengan baik dan benar, barangkali sekitar 3 tahun. Setelah itu, aku pun mampu menggunakan senjata dari berbagai macam jenis.

Sama seperti bela diri, aku juga terus melatih kemampuan menembak sampai kemudian Kapten Tiyo yang merupakan atasanku mengatakan bahwa aku ini salah satu penembak handal yang pernah ia kenal. Aku telah gagal beberapa kali dalam hal menembak tapi terus menguji diri sampai mencapai batasanku… sampai pada akhirnya aku Tiyo menjulukiku sebagai penembak jitu (sniper).

Meski demikian, tak banyak orang yang tahu mengenai kemampuanku itu sebab aku jarang menembak saat melakukan misi. Aku lebih sering menghadapi lawan-lawanku dengan tangan kosong seraya diam-diam, persis seperti cara Ninja. Atau, jika situasi sedikit terpojokkan, aku lebih memilih menggunakan senjata-senjata unik berteknologi canggih yang dirancang oleh Jack.

Berbeda hal jika musuh melarikan diri dan aku tak mungkin lagi mengejarnya, maka di momen ini aku akan menggunakan senjata asli. Meski dari jarak yang cukup jauh, aku mampu menembak musuh tepat sasaran; biasanya ku targetkan di kaki apabila musuh kabur dengan cara berlari; dan jika musuh kabur menggunakan kendaraan, aku selalu menembaki bannya atau di sekitar body. Sebab, tujuanku menembak bukan untuk membunuh melainkan untuk menggagalkan musuh melarikan diri.

Menjadi detektif, berarti aku harus menganggap diriku sekarang sudah dalam bahaya. Para musuh takkan tinggal diam membiarkanku terus memata-matai mereka. Jika ada kesempatan meski sangat kecil, mereka pasti akan melakukannya — ya… mereka pasti akan membunuhku.

Adapun aku mengerti situasi itu, karenanya aku terus meningkatkan kemampuan baik diriku sendiri ataupun kemampuan para bandit. Aku terus memerhatikan situasi dan kondisi sekitar; musuh tertangkap bukan berarti mereka punah dari Cot Jambee. Ada musuh-musuh lain yang berpotensi melakukan kekacauan lebih parah dari sebelumnya. Dan mereka pasti tidak beraksi dengan cara yang sama lagi, mereka tahu itu sudah klasik dan harus diubah.

Oleh karena itu, aku harus menyadari pergerakan dan perubahan para musuh. Mereka pasti akan menggunakan cara yang berbeda dan juga jenis senjata yang lebih canggih. Maka, jika mereka mampu menembak tanpa mengeluarkan suara… aku harus menembak tanpa menggunakan pistol atau senapan lain sehingga musuh tak menyadari yang ku pegang ini adalah senjata.

Dan lagi, apabila musuh bergerak di dalam kegelapan untuk menghindar dariku, maka aku harus menjadi kegelapan itu agar mereka terus berada dalam jangkauanku.

Setiap era, beda pula caranya. Manusia akan terus berkembang beriringan dengan meningkatnya teknologi canggih. Musuh sadar bahwa mereka harus melakukan kejahatan dengan cara baru… dan hadirnya aku adalah untuk melawan mereka dengan cara yang sama sekali tidak mereka sadari.

Lantas, siapa yang mengajariku seperti itu? Sang polisi yang juga merupakan kenalan ayahku. Dia yang menyarankan aku melatih bela diri, dia pula yang mengajariku menembak. Walau tak lama, sekarang aku sadar bahwa apa-apa yang ia sarankan di masa lalu, sangat berguna di masa sekarang.

Bisa ku katakan, polisi itu adalah pondasi awal diriku menjadi detektif. Dan kemudian, aku tidak menjelma menjadi detektif biasa melainkan seorang mata-mata yang sangat ditakuti kehadirannya — mata-mata yang menyelinap di malam hari — detektif yang memburu bandit di dalam bayangan. Segelap apapun musuh mencoba bersembunyi, mereka akan ku buru, karena aku adalah kegelapan itu sendiri.

Itulah yang diajarkan oleh polisi tersebut. Sayangya, aku tak pernah bisa memburu para penjahat bersamanya saat diriku sudah menjadi detektif. Polisi itu telah meninggal dunia saat aku baru saja lulus dari SMA. Meski demikian, pekerjaannya akan ku jalani semaksimal mungkin sebab prinsipnya tak jauh berbeda dari ayahku. Dia menganggap Cot Jambee adalah rumahnya dan dia ingin kota ini saling hidup damai tanpa adanya penjahat yang membuat kekacauan sampai-sampai warga sipil seperti hidup dalam mimpi buruk.

Atas prinsipnya itu, dan keteguhan hatinya yang berharap Cot Jambee bisa meraih perdamaian… aku akan terus menaruh polisi itu di dalam hati sampai nanti Cot Jambee benar-benar keluar dari mimpi buruk.

Polisi itu adalah pondasi awalku menjadi detektif, dia juga merupakan filosofi aku hadir sebagai mata-mata di balik bayangan — mata-mata yang hidup dalam kegelapan.

Saat musuh mencoba segala cara untuk melakukan kejahatan, aku akan memberikan seluruh hidupku untuk melawan mereka sampai kapanpun… sampai aku tak sanggup lagi berdiri dengan kedua kakiku sendiri.

— Breaking Reza —

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet