Dalam Menanti Maafmu

Reza Fahlevi
3 min readNov 24, 2021

Tidakkah kau lelah telah membenciku bertahun-tahun. Menaruk diri dalam bara api yang menyala, kau mencoba melupakan segalanya untuk berdamai… berdamai dengan dirimu sendiri.

Bukankah kita lelaki dan wanita yang sedang mencari jati diri? Membentuk karakter sesuai tujuan hidup yang berpedoman. Tapi tak semestinya menjalani hari di bawah tekanan yang dapat meluluhlan kondisi batin dalam merasakan aura kesejukan pagi dan petang.

Kau bagaikan bunga yang kembali mekar, ku ilustrasikan saja seperti itu karna aku tak pernah bisa membencimu. Bahkan di tengah derasnya hujan yang melanda tanah ini, kau tetap berwarna saat awan gelap yang hanya terpampang dalam pandangan mata.

Tapi tak juga semestinya mengumbar kebencian yang menjadikan kita berwujud iblis. Saat kau mencoba melupakan segala sesuatu, saat itu aku mempertahankan semuanya.

Kita hidup pada titik yang berlawanan. Kau suka menghabiskan waktu sambil melamun dalam hiasan kata-kata buku, aku sibuk menciptakan sajak sebagai ungkapan emosi jiwa. Campur aduk dalam berbagai peristiwa, kita lalui karna terkadang tak ada pilihan lain.

Memaknai yang sukar dimengerti, kadangkala menghempaskan kita berdua ke dasar jurang yang tidak berpengharapan. Tapi… semestinya untuk melihat ke depan dan mempelajari masa lalu sebagai antisipasi.

Memaknai yang kita pahami, mungkin akan terasa sesuai dengan irama hati. Namun, tidakkah kau lelah mencaciku dalam diam?

Hujan ini melanda mungkin sebagai pertanda, hadirnya lagi memori lama yang pernah menjadi masa-masa klimaks terhadap diri kita. Alur cerita yang tak pernah kita inginkan terjadi… malah, itu pula yang harus kita rasakan.

Matamu terkadang menatap lurus ke belakang, terkadang hanya ilusi keindahan yang dapat ku lihat. Tak dapat ku perjelas mengapa hati ini hanya ingin terobsesi padamu, tapi mungkin ada hal-hal yang enggan kau ambil maknanya.

Kesimpulan di bab terakhir dalam buku harian. Ketebalannya hanya menghabiskan sembilan halaman padaku, dan tiga puluh halaman punyamu. Membiarkan waktu bergulir dengan hanya menatap diri di depan cermin bersama kata-kata puitis milik pribadi.

Tapi, ku lihat kau belum juga ingin memadamkan api kebencian itu.

Dan entah sampai kapan, aku tak tau.

Entah di mana dirimu berada pun, langit tak pernah menceritakannya padaku.

Seusai drama berliku itu terjadi, yang ku sesali hanya kau berubah menjadi pembenci… membenciku. Atau kau berubah menjadi wanita penutup… menutup diri dariku. Atau engkau adalah wanita yang berprinsip… berprinsip untuk menjauhiku.

Sebab dari hatimu tak pernah ada cahaya cinta yang muncul… setidaknya untuk merasakan apa yang ku alami terhadap pendaman rasa ini kepadamu.

Barangkali hatiku terlalu jujur hingga ia ingin sesegera mungkin mengungkapkan cinta di hadapanmu. Barangkali mataku terlalu terpesona akan sorot indah milikmu, atau mungkin bibirku yang tergesa-gesa melisankan cinta saat itu.

Membuatmu berpikir semua terlalu dini, membuatmu berkesimpulan bahwa aku hanya lelaki yang ingin menguji ketangguhanmu dalam meramaikan cinta. Ku coba satukan, sebab aku tak pernah ragu terhadap pilihanku ini.

Tapi, sunyinya lorong kampus di pagi itu membutakan segalanya. Kau dan aku memilih jalan yang berbeda. Sebab aku hanya ingin hidup untuk mencintaimu, kau memilih untuk mengabaikannya.

Berlalu pergi, karna kau punya cita-cita.

Kau masih juga belum tau bahwa telah banyak puisi ku rangkai sebagai permohonan maaf.

Dan tidakkah tergetar hatimu untuk memaafkanku dan menutup pintu kebencian itu?

Sampai sekarang, belum juga ku rasakan hadirnya pergerakan. Kau masih berselimut dalam kepanikan batin (mungkin)

Biarkan saja aku yang menjadi sosok paling bersalah, karna aku sanggup memikulnya.

Karna ku katakan juga… sampai detik ini, hatiku masih berimajinasi bahwa suatu hari nanti kita pasti akan berdamai. Dan perasaan yang terpisah jauh ini, akan menyatu di waktu yang telah ditentukan.

Tapi… aku tak ingin berandai…

Dan tapi, kau masih belum ingin mengubur kebencian itu.

Barangkali, kita berjumpa hanya sebagai tempat pembelajaran untuk membentuk jati diri.

Apa yang kau suka, dan apa yang ku suka… nanti akan terlihat… pada akhirnya.

Aku tak perlu memaksamu untuk mengerti perasaanku. Tapi, bukankah aku juga punya hak untuk tidak berada dalam dendam masa lalumu?

Aku tak tau

Aku tak punya jawabannya…

— BREAKING REZA

--

--