D I A M . . . !
Foto oleh Kat Smith dari Pexels
— —
Hanya bisa memendam semua perasaan ini. Terbelenggu dan terjebak di dasar hati. Aku merasa bingung untuk mengatakan kejujuran — bahwa kesakitan ini benar-benar membawa penderitaan. Akan tetapi, melalui puisi ini, izinkan aku untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini ku sembunyikan darimu dan mereka;
Ada kalanya aku tak mengerti mengapa harus ku jalani hidup yang rasanya begitu keras dan melelahkan. Aku bergumam membatin hingga melampiaskan amarah pada diri sendiri, memaki karna tak dapat ku terima beban seperti ini.
Barangkali ada desir angin yang mendengar keluh kesahku tapi dia tetap saja diam tanpa memberi tahu sesuatu.
Barangkali ada debu-debu yang mengerti laju perasaanku, tapi dia tetap membisu seperti itu.
Ku letakkan dua tangan di atas pijakan tanah yang tandus — berlutut — sambil ku rasakan luka batin yang tak henti-hentinya menyerangku dari dalam. Ku lalui semua hanya untuk melihat diriku terbenam tak beralasan.
Kehadiranku diabaikan, kehadiranku sungguh tak bermakna, kehadiranku dianggap mengusik hati mereka… padahal aku hanya diam tak bersuara — padahal aku hanya diam tanpa melakukan apa-apa.
Tak pernah ku ketahui kesalahan seperti apa yang pernah ku perbuat hingga kau berulang kali menusukku dengan pisau kata-kata. Terlalu tajam — tertusuk hingga ke relung sukma. Yang terlihat di matamu hanya ribuan kesalahan yang tak pernah ku pahami sama sekali.
Ku putuskan menyendiri, ku putuskan menutup diri… ku putuskan untuk tak berbaur memberi seutas cerita yang tidak mereka (kau) mengerti.
Saat aku menahan rasa sakit yang tak berujung, ingin ku ungkapkan pada kalian semua untuk setidaknya berhenti — berhenti menganggapku sebagai sosok aneh.
Kenapa harus aku yang memikul bebannya? Kenapa harus aku yang menjadi sasarannya? Apakah dunia terlalu hitam untuk sekedar merasakan aura putih di hatiku?
Bukanlah mauku untuk membenci — bukanlah mauku yang kini punya segudang amarah. Aku tak paham, kalian adalah di antara — di antara yang mengusik kehidupan pribadi saat aku tak pernah sama sekali mengusik kehidupanmu, pun juga mereka.
Dan apa-apa yang ku lakukan selalu terlihat salah di mata. Apa-apa yang ku ungkapkan selalu dianggap sepele. Apa-apa yang ku rasakan tak ada yang peduli.
Jika tak ingin merasakan kehadiranku, ku mohon untuk tidak membuat suasana hati menjadi semakin buruk. Kau tak pernah tau bagaimana aku selalu berusaha bersikap baik-baik saja di saat keadaan terasa begitu kacau dan amburadul.
Ku pendam kesakitan ini karna memang takkan ada yang ingin mengerti. Dan jika ku katakan pun — jika ku ceritakan pun… siapa yang ‘kan senantiasa mendengar?
“Maaf karna aku tak mampu merangkul semua beban ini. Aku hanya manusia — dua kaki sebagai tumpuan tubuh, ku rasa sulit untuk mendobrak segala beban yang hidup di dasar hati.”
“Maaf karna aku hampir menyerah — dua tangan yang ku miliki terkadang terlalu lemah untuk meraih segala harapan dan impian.”
“Maafkan aku… hatiku terlalu rapuh karna tak sanggup menopang perihnya rasa sakit yang ku alami.”
Semestinya kau paham kenapa ada ilustrasi kata yang meluapkan segala bentuk perasaan tak terkendali. Semestinya kau menyadari… aku menulis teriakan hatiku di dalam puisi yang baitnya remuk tak karuan.
Aku tak pernah meminta untuk dianggap sebagai sosok yang hebat, aku pun tak meminta untuk dianggap sebagai seseorang yang punya sejuta kebenaran.
Tapi, tidakkah bisa kalian menganggapku sebagai manusia…?
Dengan lisanmu itu kau mengajariku tata cara bertahan hidup; dengan suaramu kau gambarkan kebijakan; dengan perkataanmu kau pinta aku untuk berhenti mengeluh. Tapi, bagaimana caranya ku lakukan saat kau hanya berujar dan berujar tanpa pernah perlihatkan cara terbaik untuk bersikap baik-baik saja di tengah situasi yang semakin memburuk?
Mereka hanya mengumbar ocehan di mana tak satupun meninggalkan bekas makna — menyuruh tanpa pernah merasakan apa yang ku rasakan — menceramahiku tanpa tahu sedikitpun bagaiamana aku terus bertahan hidup di bawah rintikan lisan-lisan yang tak bertanggung jawab.
Maaf, bukannya aku mengabaikan pesan dan kalian. Sekarang, bukan lagi omonganmu yang ku butuh, bukan lagi sikap sok tau mereka yang ku butuh.
Kau dan mereka sama saja, sejak awal tak pernah berniat membantu dan malah hanya meninggalkan luka lainnya di saat aku telah memiliki begitu banyak bekas luka. Kau tak dapat melihatnya — mereka juga tidak. Tapi, aku adalah orang yang merasakannya.
Kau sama sekali tak mengerti. Kau hanya bersikap bijak — padahal dirimu sendiri belum sebijak omonganmu.
Maka, diamlah…! dan berhenti mencampuri urusanku!
— BREAKING REZA