Cerita Aswaja

Reza Fahlevi
5 min readAug 3, 2021

--

Bagian I

Cteeeng cteeeng cteeng

Suara seng yang dari terpaan embusan angin besar benar-benar mengacaukan situasi. Arahnya yang tidak menentu membawa terbang benda apapun di sekeliling. Aswaja mulai panik, firasatnya memburuk apalagi gumpalan awan hitam pekat semakin menggelapkan langit.

Praaaang…

Tiba-tiba gerobak mie Aswaja terbanting oleh angin yang semakin ganas. Kaca gerobaknya beserta piring-piring yang ia letakkan di situ hancur tak bersisa. Sendok dan garpu juga pada berserakan.

Sontak para karyawan yang bekerja di warung kopi Ziie terkejut, bahkan pelanggan yang sedang menyeduh kopi pun tak kalah heran. Suara benturan gerobak Aswaja memang mengagetkan hampir semua orang.

Karena warkop itu berupa warung yang terbuka, seakan-akan desir angin ribut ini begitu mudah memporak-porandakan apapun yang ada di situ. Kursi-kursi berserakan, bahkan di tempat parkiran pun ada beberapa sepeda motor yang terparkir di sana tak kuasa menahan topangan angin kencang itu.

Semua orang sibuk melindungi barang masing-masing, juga ada yang berlari menuju ke parkiran, bersiap-siap untuk berangkat jika sewaktu-waktu warkop tersebut justru hancur oleh angin ribut itu.

Tapi tak lama berselang, badai mereda. Kondisi warkop Ziie sudah sangat kacau. Ada yang langsung bayar minuman dan angkat kaki, ada juga orang yang tak tahu apa-apa langsung pergi tanpa membayar.

Situasi buruk, semua panik, tak ada satu pun dari pelayan di warkop itu yang menyadari bahws ada orang-orang yang tidak membayar. Kini mereka sibuk membantu Aswaja membereskan puing-puing gerobaknya yang hancur.

Setelah lebih dari 30 menit, akhirnya Aswaja dan beberapa karyawan warkop Ziie selesai membereskan gerobak yang hancur tadi. Malang nasib lelaki tersebut, gerobaknya sama sekali tak bisa digunakan untuk berjualan lagi. Ia sadar banyak kerugian yang dialaminya termasuk pecahnya piring-piring miliknya.

“Bang, piring-piring ini kami buang aja, ya…?” kata Taher kepada Aswaja.

“Iya, udah jadi beling gitu… mana bisa dipake lagi…” sahutnya.

Tidak hanya Aswaja, pemilik warkop Ziie pun mengalami kerugian besar karena perabotan di warkopnya hampir semua hancur.

Tak biasanya badai angin melanda, cuaca memang sangat ekstrim, padahal sekitar 20 menit sebelumnya, suhunya begitu terik. Dan tak lama setelah angin ribut tadi, hujan lebat beserta petir seakan menyempurnakan badai yang barusan terjadi.

Dua minggu setelah gerobaknya hancur, Aswaja masih belum menemukan gerobak lain. Ia tak punya cukup modal untuk membeli atau membuat yang baru. Sedangkan di sisi lain, lelaki ini harus mencari nafkah untuk keluarganya. Meski baru memiliki satu anak perempuan yang belum genap setahun, tapi perlengkapan si anak memang tak bisa dipungkiri begitu penting. Ia terus memikirkan cara agar dapat kembali berjualan.

Sejak hari badai itu, Aswaja belum bekerja apapun. Tabungan miliknya semakin menipis. Akhirnya ia pun memilih singgah di sebuah warung nasi untuk bertanya apakah slot untuk dirinya bekerja di situ masih ada atau tidak.

Pukul sepuluh pagi, semua karyawan di warung nasi itu sedang sibuk bekerja.

“Permisi bu, apa ibu yang punya warung?” Tanya Aswaja kepada seorang wanita berkaca mata yang sedang duduk di meja kasir.

“Iya, ada apa, ya…?”

“Apa masih ada tempat untuk saya kerja di sini?”

“Wah, maaf bang. Sebetulnya udah gak ada lagi…”

“Apapun… apapun jika ada tolong jadikan saya karyawan di sini…” Aswaja memohon.

“Saya dulu penjual mie, tapi gerobak mie-nya hancur karna badai. Saya udah gak bisa jualan lagi. Jadi kalo ada apapun jenis kerjaan di sini, tolong izinin saya jadi bagian… karna daripada saya pinjam uang lebih baik saya kerja aja…”

Ibu pemilik warung itu paham dengan kondisi Aswaja, tapi dia sendiri tak bisa membantu sebab semua bagian di warung nasi ini sudah ada pekerjanya.

“barangkali… kalo abang mau kerja sehari ini aja bisa, bagian cuci piring. Kebetulan orang yang cuci piring gak datang. Tapi itu pun cuma sehari ini aja, atau sampe dia udah balik masuk.”

“Gak apa bu, untuk hari ini aja bisa saya sanggupi. Untuk lainnya akan saya pikirkan cara lain.” Sahut Aswaja.

Pemilik warung itu lalu mengantar Aswaja ke tempat cuci piring.

“Saya biasa buka sampe malam sekitaran jam sembilan gitu. Paling abang selesai kerjanya jam sepuluhan…” ujar ibu pemilik warung.

“Iya, siap…”

Setelah berbincang sejenak, Aswaja langsung bekerja. Awalnya ia hanya mencuci wajan-wajan. Tapi ketika jam 12 siang ke atas, banyak tumpukan piring yang harus segera di cuci. Jam sibuk tiba, ia harus kerja ekstra agar persedian piring terus tercukupi.

Kucuran keringat benar-benar menyelimuti hampir sebagian badannya, bahkan baju kaos putih yang dikenakannya sudah terlihat basah. Aswaja tekun bekerja, sesekali ia menegakkan punggungnya yang mulai terasa pegal. Tangan kirinya terlihat sibuk mengusap wajahnya dari keringat agar tidak masuk ke dalam mata.

Akhirnya sekitar jam setengah tiga, Aswaja sudah bisa sedikit bernapas lega. Jam makan siang sudah usai. Kini ia bersiap-siap shalat lalu kembali stand by.

Setelah shalat, Aswaja menemui ibu pemilik warung tadi di depan.

“Abang belum makan, kan? Istirahat dulu…”

“Oh iya, boleh saya bawa pulang sebungkus nasi untuk istri saya di rumah? Nanti upah saya hari ini dipotong aja dengan nasi…”

“Boleh, jauh gak rumahnya?”

“Lumayan bu, tapi gak apa. Saya cuma antar ini aja trus langsung balik ke sini.”

“Jalan kaki?” Tanya pemilik warung.

“Di simpang sana ada pangkalan labi-labi, nanti saya naik itu aja…”

Labi-labi adalah angkutan umum di daerah Aceh. Mereka mulai beroperasi dari setelah subuh sampai malam. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran Trans-Koetaradja seakan menjadi musibah bagi setiap supir labi-labi.

Betapa tidak, bus dengan fasilitas mewah sudah ditetapkan oleh pemerintah Aceh sebagai kendaraan umum. Apalagi hingga kini pemerintah masih meng-gratiskan transportasi tersebut. Hingga saat ini hanya ada beberapa labi-labi saja yang masih bertahan.

Aswaja menunggu kendaraan itu sekitar lima menit. Begitu tiba, ia bergegas masuk. Sepuluh menit kemudian, ia tiba dan mulai berjalan kaki ke rumah. Setibanya di rumah, Asya, istrinya sedang duduk di teras depan sambil menggendong putri mereka.

“Dari mana, bang?” Tanya Asya.

“Baru dari warung nasi. Alhamdulillah hari ni ada dikit kerjaan.” sahut lelaki itu yang langsung duduk di sebelah istrinya.

“Alhamdulillah, jadi abang udah mulai di situ sekarang?”

“mungkin cuma hari ini aja, karna abang cuma gantiin orang yang kerja di situ, kebetulan dia gak masuk.”

Asya mengangguk, dan Aswaja langsung memberikan sebungkus nasi kepada istrinya.

“Istirahat dulu sana bang. Sekayak capek gitu wajahnya…” ujar Asya tersenyum.

Aswaja pun membalas senyuman istrinya itu,

“abang balik lagi… nanti sampe jam sepuluh malam mungkin.”

“Jadi abang pulang cuma antarin nasi ini?”

“Iya…”

“Jauh gak tempatnya?”

“Lumayan…” sahut Aswaja tertawa.

“Lah, kok repot-repot gitu sih…”

“Kan memang tugas abang itu. Udah gak apa, untuk hari ini syukuri aja apa yang ada. Besok Insya Allah abang pikir lagi tentang kerjaan… semoga bisa cepat dapat yang tetap…”

Asya lalu mendekat dan menciumi pipi suaminya. Meskipun tak bisa dipungkiri sejak ia menerima pinangan Aswaja, kehidupan rumah tangga mereka terbilang sangat mencukupi. Tapi begitulah cara Asya menghargai perjuangan sang suami. Ketika ia tahu suaminya tidak putus asa untuk memberi menafkah, ia yakin rezeki itu tak akan pernah terputus.

Aswaja pun balas menciumi istrinya di kening. Barangkali itu sebagai tanda kekuatan yang mereka yakini sebagai modal untuk berjuang di dalam banyaknya masalah kehidupan.

“Yaudah… abang balik dulu ya. Jam sepuluh Insya Allah abang pulang…”

“Hati-hati ya bang…” ujar Asya dengan wajah sedikit memerah setelah dikecup keningnya oleh sang suami.

Aswaja mengangguk.

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet