Catatan Luka
— —
Nanti kita akan saling tau kenapa dulu kita saling terdiam
Nanti kita akan paham, kenapa kau pergi mengabaikanku dan mengapa aku terlalu terobsesi padamu
Pada akhirnya, setiap rahasia akan terungkap perlahan. Nanti, ada kalanya kita tersenyum atau malah menyesal. Tapi, aku sudah pernah mengalami keduanya saat kau meludahiku tepat di hati ini.
Hal-hal yang dulu ku lisankan di hadapanmu, ku pikir tak ada satu pun dari kata-kataku yang menyakiti perasaan terselubungmu, hanya kau mengabaikannya.
Maka nanti kau ‘kan paham, kenapa dulu aku rela mencurahkan isi batin yang teriring doa — ku panjatkan dengan hati tulus kepada Tuhan — menyebut-nyebut namamu saat kau telah lebih dulu menganggapnya sebagai kejijikan.
Yang ku harapkan kau menjadi pendamping yang dapat mengisi keredupan hati — nyatanya — kau yang meredupkan semua cahaya impianku.
Dan dirimu yang pada akhirnya memilih untuk membenciku, barangkali kau memang terlalu muak padaku.
Karna masih terngiang dalam kenanganku, saat kau meminta aku untuk memahamimu — lucunya kau malah tak pernah ingin memahamiku.
Tapi tak apa, lelaki itu kadang memang terbentuk untuk menahan banyaknya penderitaan yang tersangkut di sudut-sudut aliran nadi. Aku terbiasa membendung luka yang mengiris-iris perih di dalam hati.
Karna resiko saat ku putuskan mencintaimu, aku mesti siap menahan jutaan rasa sakit yang hadir dari wanita yang ingin ku cintai. Dan itu malah terjadi…
Lalu aku mesti apa? Tak ada… ku coba yakinkan dirimu pun kau tak pernah mau mengerti… dan tak pernah mau untuk setidaknya merasakan apa yang ku rasakan — seperti kau memintaku merasakan apa yang kau rasakan.
Dan aku pun tak punya waktu untuk menyimpan dendam padamu. Meski kau memilih untuk membenciku — yang kau lakukan, bukanlah contoh untuk ku ikuti.
Maaf karna aku kembali menulis tentang masa lalu. Aku tak bisa melupakannya begitu saja karna kau paham kan… sakit yang ku derita ini — aku butuh waktu empat tahun untuk move on dari semua hal yang berkaitan tentang dirimu.
Empat tahun ku lalui sambil melantunkan surah Ta-Ha… begitulah caraku merelakanmu
Empat tahun ku lalui sambil menulis puisi — aku melampiaskannya dalam berbagai bentuk sajak kepiluan
Empat tahun — aku terjebak dan berada di sudut terbawah kehidupanku… aku berjuang seorang diri agar dapat keluar dari radarmu
Dan kini ku rasakan… aku telah lepas dari bayang- bayangmu. Tapi ada satu hal yang ingin ku katakan, “meskipun aku hidup dengan bekas luka yang kau berikan, aku tak pernah membencimu, Ka…”
Memang sayatan luka itu tidak terlihat — hanya dapat dirasa… olehku bukan olehmu.
Tak apa, mungkin kau belum tentu sanggup jika pada saat itu ku putuskan untuk membencimu sebenci-bencinya… atau ku caci dirimu di depan semua teman-temanmu. Aku tau kau tak mampu melaluinya karna kau tidak seperti diriku.
Yang kau sanggupi adalah marah padaku, benci padaku, dan menganggapku lelaki dungu yang hanya terobsesi padamu. Kau menghadirkan negatifitas karna sebatas itulah kemampuanmu.
Sedangkan kemampuanku adalah memaafkanmu bahkan sebelum dikau datang dan meminta maaf padaku.
Ka, makasih karna sudah membuatku menjadi laki-laki tangguh. Kau mengajariku dengan sangat — sangat-sangat baik.
Ku akui… kita tak pernah berada di jalur yang sama meski telah ribuan kali ku coba agar tetap sama.
Pada akhirnya, untuk apa ku jadikan kau sebagai wanita yang ku impikan… meskipun ku akui, ungkapan yang pernah ku utarakan di hadapanmu itu memang tulus dari hatiku. Tapi kau memilih mencari lelaki yang tidak tulus, maka… semua terserah padamu.
Aku… sudah pernah datang dengan cinta ketulusan, barangkali aku takkan datang (lagi) untuk kedua kalinya dengan perasaan yang sama.
Kau telah memutuskan, pun demikian aku— kita telah saling memutuskan.
Mulai sekarang, aku tak lagi bertanya-tanya padamu seperti Breaking Benjamin bertanya kepada Jane dalam lagu The Diary of Jane:
If I had to, I would put myself right beside you. So let me ask, “would you like that? Would you like that?
And I don’t mind if you say this love is the last time. So now I’ll ask “do you like that? Do you like that?”
Aku pun sudah berhenti untuk mencari keberadaanku di dalam buku harianmu, tidak lagi ku ikuti Breaking Benjamin yang masih setia mencari keberadaannya di dalam Diary-nya Jane:
Something’s getting in my way, something’s just about to break. I will try to find my place in the diary of Jane.
As I burnt another page, as I looked the other way, I still try to find my place in the dairy of Jane.
Aku tak lagi ingin terobsesi — mencari segala cara untuk membuktikan padamu bahwa aku menggilaimu dalam pesona cinta, dan memaksamu menerima diriku. Biar Breaking Benjamin saja…
Pada akhirnya, Breaking Reza ini telah memutuskan untuk berkata, “I’d stopped looking for my place in the diary of you.”
Sampai di sini — jelas kan, Ka…?
Karna _ _ _
kau adalah buku yang membagikan kata-kata luka, dan aku adalah pena yang menulis sajak-sajak di masa kelam.
Kita, adalah dua insan yang tak pernah sejalan.
— —
19–05–2017
Pusat Bahasa Universitas Syiah Kuala
Foto oleh Nur Yilmaz dari Pexels