Bipolar Disorder

Reza Fahlevi
11 min readAug 8, 2019

--

Jika aku dapat meraih tanganku sendiri, maka aku akan melakukannya. Namun cahaya meninggalkanku, sendiri. Sunyi. Aku berada dalam bayangan kegelapanku, karna aku benci mereka semua.

Aku mendengar jeritan. Wanita atau pria, siapa pun itu. Dan aku mendengar suara tubrukan yang keras. Api yang besar terlihat melahap sebuah mobil dan sepeda motor itu. Sepasang suami istri terlihat tergeletak di tengah jalan dengan bersimbah darah. Lalu aku melihat seorang lelaki datang. Ia menghampiri sepasang mereka yang sudah tak bernyawa itu, berlutut, menangis dan menjerit sejadi-jadinya.

Lelaki ini selalu berjalan di bawah terik matahari dengan kepala tertunduk. Ia melihat orang-orang berjalan tanpa menyapa. Sepatunya terlihat kusam berdebu, terkadang ia membersihkan debu itu dengan tangannya walaupun ia tahu itu tidak ada gunanya. Hidupnya menjadi tak terkendali setelah kematian orang tuanya dua tahun yang lalu. Tentu sebuah cobaan yang berat baginya karena ia adalah anak tunggal, dan keluarga adalah sahabatnya. Namun ia tetap berusaha mengontrol dirinya untuk terus berada di jalur yang benar dan memastikan dirinya tetap berjalan.

Lukman, lelaki pendiam yang duduk di bangku kuliah. Dikenal sebagai orang yang biasa-biasa saja. Ia tidak begitu pintar di kelas dan juga tidak terlalu bodoh. Sifat pendiamnya tidaklah membuat dirinya memiliki sedikit teman walaupun terkadang ia merasa sangat kesepian di tengah keramaian. Itulah yang membuat Lukman merasa seperti berjalan sendirian di dunia ini pasca musibah tersebut. Tentu kepergian mereka masih ditangisi olehnya. Ia merasa dunia ini begitu kejam terhadap keluarganya. Ia benci dengan semua hal dan melampiaskannya kepada Tuhan dengan kata-kata kasar.

“Sampai kapan kau akan membuatku menderita seperti ini?” Ia meneriaki pantai yang sedang bersantai. Aku mengerti hal apa yang telah ia lalui di luar sana. Dan aku tidak akan menyebut namanya kali ini. Aku tahu belum saatnya. Hingga malam tiba, hingga ia lelah mencaci alam dan menutup matanya sejenak. Aku bersyukur karena ia tidak melakukan hal yang lebih bodoh lagi untuk saat ini.

Sang surya telah menampakkan dirinya di ufuk timur, Lukman masih saja betah menghardik dunia. Aku juga tidak heran akan hal itu. Tapi aku juga berharap semoga ia memulai harinya dengan baik, karena aku tahu cacian yang keluar dari mulutnya akan berakibat buruk pada akhirnya.

Kemudian Lukman kembali dengan sepeda motor sederhana miliknya. Seberkas kilatan cahaya menyorot wajahnya, entah dari mana asalnya. Sebuah kejadian tragis yang menimpa keluarganya terpampang jelas di depan matanya. Tanpa disadari lelaki ini memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku melihat ia menitikkan air mata dan semakin ia tidak sanggup mengontrolnya sehingga membuatnya berteriak. Lalu tiba-tiba saja sebuah truk dari arah berlawanan melaju dengan kencang ke arahnya. Ku coba membuka matanya dari ingatan buruk itu dan dengan terkejut ia langsung mengelak dari truk itu.

Namun motor Lukman terus mengarah ke sebuah jurang. Kemudian segera ia menginjak pedal rem yang membuatnya berhenti di bibir jurang itu. Aku bersyukur ia kembali fokus dan aku mendengar teriakan dari dalam truk itu yang ditujukan kepadanya. Aku melihat matanya memerah penuh dengan api kebencian yang semakin menyala.

“Puaskah kau? Puas?” Ia kembali meluapkan kebencian pada dunia.

“Apalagi setelah ini? Apa?” Aku masih belum ingin memanggilnya dari sini. Biarkan ia berjalan, aku tahu ia sedang mencari sesuatu.

Hari itu pria ini menuju ke kampusnya setelah kejadian buruk yang menimpanya. Tetap saja sama, ia masih menyimpan rasa benci itu, namun tidak ia perlihatkan di depan teman-temannya. Mungkin ini adalah hal yang tepat untuk menjaga pertemanannya walaupun aku tahu ia membenci mereka. Aku yakin Lukman orang yang beruntung karena sebetulnya teman-teman peduli terhadapnya. Namun ia masih belum bisa melihat itu.

Tapi aku bisa melihatnya ketika seorang teman menyapanya dengan bahasa yang sangat santun. Dan Lukman hanya membalasnya dengan senyuman palsu yang sangat sulit ia lakukan. Setelah itu semuanya berlalu dengan suasana sunyi sampai pada akhirnya seorang dosen memasuki kelas. Kegiatan pembelajaran berjalan normal dan semuanya berlalu biasa-biasa saja.

Ketika kelas selesai, ia menuju ke sebuah taman dan menemani sebuah pohon besar yang sedang beristirahat. Teriknya matahari membuatnya lebih banyak menghabiskan minuman.

“Aku tidak mengerti mengapa matahari terlihat hebat dengan cahayanya. Apakah ia tidak memiliki masalah dalam hidupnya? Di usianya yang sudah sangat tua ini, apakah kau yakin dengan semangat yang dipancarkannya itu? Lalu kenapa aku terduduk di sini? Melihat keindahan alam yang tak pernah ku mengerti apa yang seharusnya ku syukuri.”

Matanya memalas dan tak sanggup untuk menahan kelopak matanya yang mulai berat. Lukman pun terlelap di bawah kesejukan pohon itu. Namun tiba-tiba seorang wanita datang menghampirinya.

“Hai Lukman.” Senyuman dan juga suara yang lembut mengiringi gadis itu. Lelaki ini terkejut dengan suara itu dan segera membuka matanya.

“Oh, hai Dewi.” Balasnya dengan senyuman yang dibuat-buat.

“Lelah?” Tanya Dewi.

“Begitulah, karena dunia tidak pernah berhenti menguji kita.”

Wanita itu sedikit tertawa mendengar perkataan Lukman.

“Apa yang lucu?”

Dewi hanya menggelengkan kepalanya dan masih memberikan senyuman kepada Lukman.

“Aku tidak melihatmu kemarin, ke mana saja?” Seolah-olah gadis ini begitu tertarik untuk menjadi lebih dekat dengan Lukman.

“Mencari ketenangan.” Jawab lelaki itu.

“Dan ketenangan itu ada di bawah pohon ini?”

“Tidak juga, masih belum kutemukan. Mungkin tidak akan pernah kutemukan.”

“Ada sesuatu yang kau tutupi? Cerita saja.”

“Aku tidak yakin kau akan mengerti.”

“Kenapa?”

Lukman menggelengkan kepalanya dan mengambil botol minuman kemudian meminum seteguk air putih itu.

“Kau sedikit berubah sekarang ini.” Kata wanita itu lagi.

“Aku masih seperti dulu dan tidak berubah sedikit pun.”

Dewi mengerti jika lelaki ini mungkin membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Ia pun meninggalkan Lukman seorang diri.

“Jika kau ingin menceritakannya aku akan mendengarkanmu.” Dewi pun melangkahkan kakinya dan masih dengan senyumannya itu. Aku yakin perubahan yang dialami oleh lelaki ini juga disadari oleh Dewi. Namun aku masih berdiri di belakangnya sampai ia menemukan apa yang ia cari. Maka aku tidak perlu terburu-buru menyebut namanya sekarang ini. Semua sedang dalam perjalanan dan akan tiba pada waktu yang tepat.

Hari mulai gelap. Terlihat awan hitam menutupi langit yang sedang memancarkan sinar keindahan di waktu petang. Lalu hujan pun mulai turun dengan perlahan. Lukman sedang bersiap-siap menuju ke suatu tempat. Aku tetap berdiri dan melihat ia memakai jaket hitamnya, mengencangkan ikatan sepatunya yang kusam itu, kemudian mengambil tasnya yang sedikit berat lalu berjalan dengan kepala tertunduk dan menyalakan sepeda motornya. Matanya masih memperlihatkan benci kepada dunia.

“Apa lagi rencanamu malam ini?” Ia berkata dengan suara kecil. Namun sebelum ia berangkat, pria ini melihat seorang kakek tua yang sedang berjalan dengan tongkatnya. Angin yang bertiup kencang membuat kakek itu kesulitan berjalan. Lelaki ini terus menatap kakek itu dan ia terkejut saat melihat kakek itu terjatuh karena kehilangan keseimbangan.

Sejenak aku menatap matanya yang melebar itu seakan tidak percaya apa yang telah terjadi. Aku tahu ia ingin membantu kakek itu. Aku bisa merasakannya. Namun ia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk melangkah ke sana. Aku bisa mendengar suara hatinya walaupun tidak begitu jelas bahwa ia berkata sesuatu yang tidak pernah ia ucapkan sejak kematian kedua orang tuanya.

Lukman terus memperhatikan kakek yang sedang berusaha untuk bangkit itu. Hatinya terus berkata “ayo, kau pasti bisa!” namun ia tidak menyadarinya. Dan setelah kakek itu berhasil bangkit, ia melanjutkan perjalanannya. Tapi masih terombang ambing seperti di terjang oleh badai.

“Kenapa kau berjalan sendirian jika kau tahu fisikmu tidak lagi kuat?” Ia membatin.

“Dan kakek itu tidak memaki dunia…” Walaupun Lukman sudah berkata seperti itu, namun itu masih belum cukup membuatnya sadar. Aku masih harus berjalan di belakangnya.

Tidak mudah untuk terus memastikan agar dirinya tetap berada di jalur yang baik. Hari demi hari ia lalui dengan terus mengeluarkan kata-kata cacian. Ia masih belum bisa menerima kepergian kedua orangtuanya. Rasa benci kian menjadi-jadi yang membuatnya terkadang tidak bisa mengontrol amarahnya. Lukman mulai memaki teman-temannya yang hendak menyapanya. Ia juga berkata kasar terhadap dosen-dosennya. Tugas-tugas kuliah yang awalnya masih ia kerjakan, namun sekarang sudah mulai diabaikan.

Lukman benar-benar telah berada di zona berbahaya. Begitu jauh ia terjatuh di dalam lubang kegelapan. Lelaki ini merasa ia seperti berada di dalam sebuah penjara dan terperangkap begitu lama di dalamnya. Aku pun melihat kakinya mulai goyah, gemetar dan tidak tahu harus melangkah ke mana. Kedua tangannya juga tidak ingin bergerak untuk mendaki dari dalam lubang yang gelap ini.

Aku tidak bisa melihat cahaya sedikit pun. Aku melihat mata Lukman yang sudah tertutup oleh kegelapan. Tapi aku masih percaya bahwa hatinya masih ada. Hatinya masih bercahaya dan juga masih membisikkan kata-kata. Hati nuraninya, itulah satu-satunya jalan untuk mengeluarkan Lukman dari mimpi buruk ini. Namun hal itu tidaklah mudah karena aku mulai berjauhan dengannya.

Aku pun tahu bahwa inilah saatnya. Aku tidak bisa terus berjalan di belakangnya. Kini aku harus berlari dan memastikan bahwa aku dapat meraih tangannya.

“Hai temanku.” Kini aku mulai berbicara dengannya. Namun Lukman tidak dapat mendengarku. Aku harus mengulangi kata-kata itu sampai tiga kali dan kemudian lelaki itu menoleh ke belakang dengan wajah penasaran. Aku melihat air mata mengalir dari kedua bola matanya. Aku tahu air mata itu sebuah pertanda jika ia tidak tahu lagi harus berjalan ke mana. Aku kembali menegurnya.

“Hai temanku.” Namun dengan tiba-tiba ia berlutut sambil menutupi wajahnya. Sungguh aku mulai merasa kasihan pada anak ini. Aku sudah berlari dan kini aku berada tepat di hadapannya. Aku kembali menyapanya dengan kata yang sama sambil memegangi pundaknya. Lukman pun menoleh kepadaku.

“Bangunlah teman dan hapus air matamu. Perjalanan kita belumlah usai.” Kataku kepada Lukman. Lalu aku membantunya berdiri dan mengambil cahaya yang berasal dari hatinya yang sudah terpisah dari tubuhnya itu kemudian meletakkanya kembali di tempat semula.

“Jangan pernah tinggalkan cahaya ini. Dialah satu-satunya penerang yang kita miliki untuk berjalan.” Aku mencoba menenangkannya. Lukman melihatku dengan tatapan penuh harapan. Kemudian aku meraih tangannya dan ku genggam sekuat mungkin agar tidak terlepas.

Malam itu aku membawanya ke suatu tempat. Cuacanya pada saat itu dingin dan sedikit hujan. Lukman berjalan menuju ke sebuah taman dengan mengenakan jaket kulit hitam untuk melindunginya dari angin malam. Aku juga berpenampilan sama sepertinya. Matanya tertuju pada seorang pria yang duduk di sebuah bangku panjang yang dihiasi oleh sebuah lampu. Lalu Lukman melangkahkan kakinya menuju ke sana sedangkan aku terus mengikutinya.

Tampaknya lelaki ini menyadari kehadiran Lukman. Ia menoleh kepada kami dan mengerutkan sedikit keningnya. Pria itu memakai jaket berwarna biru gelap dan menutupi kepalanya dengan topi yang ada pada jaketnya itu.

“Boleh aku duduk? Tanya Lukman. Senyuman menghiasi wajah lelaki ini.

“Tentu saja.” Sahut pria itu dengan santun. Kemudian lelaki ini melanjutkan pembicaraan.

“Namaku Vin.” Sambil menjulurkan tangannya kepada Lukman.

“Aku Lukman.” Jawabnya sembari menyalami pria itu.

“Senang bertemu denganmu, Lukman. Dari mana asalmu?”

“Kota Haluan. Kau sendiri?

“Bandar Alun.”

Lukman menganggukkan kepalanya dan kemudian menyandarkan badannya. Matanya menatap ke depan. Seketika suasana menjadi sunyi tanpa ada yang menyambung percakapan itu sebelum akhirnya Lukman melanjutkannya.

“Kau sendiri saja?”

“Apa aku terlihat bersama seseorang sebelum kau duduk di sebelahku?” Jawab Vin dengan sedikit tertawa.

“Bagaimana denganmu?” Lelaki ini balik bertanya.

“Apa aku terlihat bersama seseorang sebelum aku duduk di sebelahmu?”

Mereka berdua sedikit tertawa dengan pembahasan yang mereka lakukan ini. Aku melihat ke arah Lukman. Baru kali ini aku melihat ia kembali tersenyum dan tertawa setelah sekian lama keduanya menghilang dari bibirnya. Aku yakin jika itu bukanlah senyuman palsu yang selama ini ia perlihatkan kepada teman-teman kuliahnya.

“Kenapa kau sendirian? Di mana temanmu? Atau siapa saja seseorang yang menemanimu?” Lukman melanjutkan pembicaraan. Lelaki ini terlihat menundukkan kepalanya sejenak, kemudian ia menoleh kepada Lukman.

“Aku tidak tahu.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Bagaimana dengan keluargamu? Kau pasti memiliki mereka, bukan?”

Vin menggelengkan kepalanya dan kembali tertunduk.

“Keluargaku sudah tidak ada. Kedua orangtua dan semua saudaraku meninggal dalam sebuah musibah.”

Lukman seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ternyata Vin juga bernasib sama dengannya.

“Aku turut berduka tentang keluargamu.” Kata Lukman. Namun Vin hanya tersenyum.

“Saat itu gempa bumi melanda kotaku. Getarannya begitu kuat sehingga membuat beberapa bangunan hancur. Saat itu aku masih berumur 10 tahun. Aku tinggal di rumah bersama ibu dan dua adikku. Sedangkan ayahku berada di kantornya. Rumah kami hancur dan menimpa kami semua. Aku terjepit di balik reruntuhan itu. Lalu aku melihat ibu dan adik-adikku terluka parah. Aku berteriak pada mereka tapi mereka tidak membuka mata. Aku mengetahui mereka telah meninggal setelah orang-orang datang dan membawa kami ke rumah sakit.”

Air mata membahasi pipi lelaki itu saat ia menjelaskan semua yang terjadi padanya. Aku juga melihat mata Lukman mulai berkaca-kaca.

“Lalu bagaimana dengan ayahmu?” Tanya Lukman.

“Ia berusaha menyelamatkan temannya dari dalam kantor. Tapi ia juga tertimpa reruntuhan gedung itu.” Vin mulai mengusap matanya walaupun itu terlihat tidak ada gunanya karena ia tidak berhenti menitikkan air mata.

“Aku sempat melihat ayahku di rumah sakit yang sama denganku. Ia terbaring lemah. Dan untuk yang terakhir kalinya aku mendengar kata-katanya sebelum akhirnya ia meninggal dunia. Sungguh kata-kata itu sangat berarti untukku yang hidup sendirian di sini.” Lanjut pria itu.

“Aku sungguh turut berduka tentang keluargamu.” Kata Lukman lagi. Vin menganggukkan kepalanya. Kali ini ia menghapus air matanya itu dengan jaketnya.

“Tapi aku bersyukur karena Tuhan masih menyayangiku. Walaupun Tuhan sudah memanggil keluargaku tapi Tuhan masih menyebut namaku untuk terus berjuang di sini. Meskipun aku harus berjalan dengan kedua tongkat ini.” Vin memperlihatkan kedua tongkat tersebut. Sementara Lukman semakin sedih mendengarnya.

“Kau tidak marah pada Tuhan? Aku kira Tuhan sudah berlaku tidak adil padamu.” Tanya Lukman.

“Kenapa aku harus marah pada Tuhan? Bahkan aku semakin paham bahwa Tuhan begitu menyayangi diriku. Ini juga membuatku semakin menyayangi diriku sendiri. Walaupun aku sendirian di sini tapi aku sangat bersyukur karena Tuhan memberiku hati yang kuat. Bahkan aku sangat bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan aku dengan dirimu. Tidak banyak orang yang menyapaku, mungkin karena kondisiku seperti ini. Tapi kau melakukannya.” Vin kembali tersenyum kepada Lukman.

Sementara Lukman seolah tidak percaya jika ternyata masih ada orang yang lebih menderita dari dirinya.

“Lalu bagaimana denganmu? Kau terlihat sedikit misterius.” Vin balik bertanya.

“Mungkin kau tidak akan percaya jika aku bernasib sama sepertimu. Hanya saja Tuhan lebih ingin mendengar kata-katamu daripada diriku. Mungkin juga Tuhan membenciku.” Jawab Lukman

“Tidak. Jika Tuhan sudah tidak lagi mendengarmu, kau tidak mungkin merasa kasihan tentang keluargaku. Tapi kau masih memiliki hati yang baik. Kau masih bisa merasakan sesuatu yang membuat hatimu bergetar. Percayalah, kau hanya belum menyadarinya.” Vin seolah membagikan cahaya hatinya kepada Lukman.

“Lihatlah di sisimu. Bisakah kau membedakan warna-warna yang kau lihat itu? Lalu tutuplah matamu dan rasakan udaranya. Hiruplah udara itu perlahan dan rasakan ketenangannya. Jika kau menyadarinya, itu pertanda bahwa Tuhan masih mendengarmu. Tuhan tidak pernah berlaku tidak adil pada orang-orang, termasuk pada kita.” Lanjut Vin

Lukman tertunduk dan menitikkan air mata. Ia berfikir bawa tidak seharusnya ia memaki Tuhan dan alam. mungkin ia sedikit menyesal telah melakukannya. Kini matanya telah sedikit terbuka dan ia bisa melihat banyak hal yang tidak pernah ia lihat sejak kedua orangtuanya meninggal.

Dari dalam lubang itu, aku melihat sebuah tangga. Aku tidak tahu entah dari mana datangnya tangga ini. Lalu aku menjulurkan tanganku kepada Lukman.

“Ayo teman, saatnya kita keluar dari sini. Kita akan memulai perjalanan hebat dan langkah kita akan di mulai saat kita berada di atas lubang ini.”

Lukman pun meraih tanganku dan menggenggamnya sekuat mungkin.

“Jangan lepaskan genggamannya.” Kata Lukman kepadaku. Sungguh perkataannya itu membuatku terharu. Aku juga menangis saat itu.

“Tidak akan.” Kataku.

Aku pun menggendong Lukman dan terus mendaki dari mimpi buruknya. Saat kami tiba di atas, sungguh pemandangan di luar sangat mengagumkan. Aku sangat berterima kasih pada Vin yang telah membantu Lukman keluar dari penjaranya.

“Berteman?” Vin menjulurkan tangannya kepada Lukman. Lelaki ini menoleh ke arah Vin dengan mata berkaca-kaca. Ia pun memeluk erat tubuh lelaki itu sambil menangis terisak-isak. Vin juga membalas pelukan temannya itu dengan hangat.

Kini aku tidak perlu lagi menyimpan hal-hal buruk. Kejadian yang telah berlalu hanya akan menjadi kenangan saja. Pada akhirnya aku akan memilih karena aku tahu semua butuh pilihan. Dan aku sangat bersyukur dapat melaluinya dengan berbagai macam pelajaran hingga pada akhirnya Tuhan mempertemukan Lukman dengan seorang teman.

Aku telah mengenal Vin dengan baik sekarang. Dia lebih dari seorang sahabat karena kini ia adalah saudaraku. Ia telah membantu seorang lelaki yang terperangkap dalam bipolar disorder, jeruji besi yang memenjarakan jiwa dan pikirannya. Sekarang Lukman benar-benar telah merdeka.

Sementara aku sudah kembali ke tempat di mana seharusnya aku berada. Mereka memanggilku Lukman bahkan Vin juga. Karena akulah si pemiliki nama itu, Lukman.

“Tuhan, izinkan aku sejenak untuk melihat diriku bangkit. Jika tidak hari ini maka esok. Sebelum aku kembali terjatuh, sebelum hari menjadi gelap, dan sebelum semuanya terlambat. Izinkan aku menyebut nama-Mu walau untuk yang terakhir kalinya. Karna ku tau Engkau masih menyebut namaku, karna Engkau masih menyayangiku sebagai hambamu.”

Breaking Reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet