Bingkai Puisi
Teduh rasanya
Sejuk menghampiri jiwa yang sepi
Memadamkan irama kesunyian
Menghibur hati yang berharap ketidakpastian
.
Seni kata-kata terpajang di hamparan air mata
Sebagai penebusan kekosongan
Menangis tak bersebab setelah mencari beribu alasan
Kau adalah doa yang ku terbangkan
Agar teriring sampai ke sisi Tuhan
.
Dengarkan saja jika kau muak untuk membacanya
Berulang kali ku sebut namamu di dalam kitab —
Kitab yang ku anggap suci
Ku leburkan dan ku lampiaskan begitu saja perasaan hati
Sambil merangkai yang ku yakini
.
Pelangi di sudut senja sedang menyusun sajak puitis
Dia adalah perantara batinku
Yang telah mengaharapkan kau menjadi nyata dalam imajinasiku
Meski, hingga kini kabarnya belum juga tiba di hadapan hatimu yang merasa
.
Dan aku terus saja berpuisi
Seakan mengungkapkan segala hal yang tidak ku sanggupi
Memohon merengek hingga lelah tak pasti
Entahlah, sampai saat ini aku masih juga mencintaimu
.
Barangkali goncangan nadiku tidak sampai getarannya ke nadimu
Hingga aliran darah kita tak pernah saling berpelukan
Aku merenungkan yang ku anggap kau mengerti
Tapi kau tak mengerti alur telepati ini
.
Diam dan memikul kehampaan
Aku sedang mencoba menciptakan ilustrasi keindahan
Jangan kau lirik hanya sekedar kata-katanya
Karna di sisimu semua puisiku terlihat sama
Walau telah ku warnai sedemikian rupa
.
Jejak setapak yang kita tinggalkan di Jalan Hamzah
Di sana masih terkenang sebuah waktu
Waktu di mana diri kita menghabiskan detik
Karna kau terus saja berbicara
Dan aku yang setia mendengar
Sembari menatap pemilik mata — mata kita berdua
.
Tertawa syahdu tanpa penghalang
Bagaikan melampiaskan hasrat yang tlah beribu-ribu tahun tertanam dan terpendam
Memandangimu ketika tersenyum
Bagiku, itu adalah tema terbaik untuk berpuisi
.
Di sini aku berdiri,
Di hamparan debu yang terbang menemani jasad yang berjiwa
Aku masih membatin puitis
Menceritakan pada bayanganku tentang sosokmu yang ku dambakan
.
Di sini aku berpuisi
Datang bersama secuil harapan
Tertanam dan mekar jauh di lubuk hati
Aku yang telah mencintaimu sejak dulu
Masih belum mampu mengungkapkannya padamu
.
Karna engkau tak pernah ku anggap sebagai bunga jelita
Kau juga bukanlah keindahan senja
Bukan pula kerlap-kerlip bintang yang berkilau anggun jauh di langit sana
Bagiku, engkau — adalah dirimu sendiri —
sebab kesyahduanmu tak ingin ku sandingkan dengan yang lainnya
.
Dan karena
aku menulis warna keindahanmu melalui puisi
Aku…
hanya mampu mengabadikannya dalam irama bait-bait senyap,
di mana hanya diriku yang mengerti
.
Meskipun aku tak pernah bisa menciptakan setiap sajaknya seindah dirimu
Tak pernah ku temukan
sebuah kata untuk menjelaskan betapa kau terlalu indah
di mata dan hatiku
.
Akan tetapi, apa kau bosan dengan semua ini?
Apa kau terlalu sukar memahami maksud puisiku?
Aku berkata melalui tulisan imajinasi
Karna… hanya sejauh itu yang dapat ku lakukan
Untuk saat ini
.
Mungkin suatu hari nanti
gerimis kembali memercikkan kesedihan
Namun kini, puisiku dapat menghadirkan senyumanmu
Untuk menghibur jiwaku di balik penantian yang tak berkepastian ini
Seperti saat itu — seperti saat kita menghabiskan waktu petang di bawah atap rumahmu
.
Maka izinkan aku untuk memberi kabar
Barangkali ada hal yang kau suka dari alunan puisiku
Yang telah ku bingkai sedemikian rupa
Manyampulnya dengan perasaan tertulus
.
Memang… di lembar pertamanya hanya ku awali dengan dua kata saja
Tapi menurutku itu sudah lebih dari cukup
Untuk mengawali semua bait menjadi indah
Sebab, kata yang tertera di situ adalah nama aslimu…
itulah simbol keindahan dirimu
Untuk membuat alur ceritanya berakhir tari —
Se-tari senyuman syahdumu itu
.
“Bukankah begitu, Awsya?”
Memandangimu berlama-lama hanya membuatku terus memikirkanmu. Tapi tak apa. Lagipula, aku memang sudah mencandui dirimu sejak dulu — sejak di Jalan Hamzah. Dan karna aku terus ingin mencanduimu, meski kini… ku harap kau tau segala hal yang terpendam di dasar sukma ini. Engkau yang merajut tali di hadapan senja, maka izinkan aku merajut perasaanku dengan puisi senja.
Hingga nanti kita kembali bercerita… itu karna kita sudah menyatukan kisah dalam satu bingkai puisi; milikmu dan milikku.
01–07–2022
-breaking reza -