Bingkai Puisi

Reza Fahlevi
3 min readJun 30, 2022

--

Teduh rasanya

Sejuk menghampiri jiwa yang sepi

Memadamkan irama kesunyian

Menghibur hati yang berharap ketidakpastian

.

Seni kata-kata terpajang di hamparan air mata

Sebagai penebusan kekosongan

Menangis tak bersebab setelah mencari beribu alasan

Kau adalah doa yang ku terbangkan

Agar teriring sampai ke sisi Tuhan

.

Dengarkan saja jika kau muak untuk membacanya

Berulang kali ku sebut namamu di dalam kitab —

Kitab yang ku anggap suci

Ku leburkan dan ku lampiaskan begitu saja perasaan hati

Sambil merangkai yang ku yakini

.

Pelangi di sudut senja sedang menyusun sajak puitis

Dia adalah perantara batinku

Yang telah mengaharapkan kau menjadi nyata dalam imajinasiku

Meski, hingga kini kabarnya belum juga tiba di hadapan hatimu yang merasa

.

Dan aku terus saja berpuisi

Seakan mengungkapkan segala hal yang tidak ku sanggupi

Memohon merengek hingga lelah tak pasti

Entahlah, sampai saat ini aku masih juga mencintaimu

.

Barangkali goncangan nadiku tidak sampai getarannya ke nadimu

Hingga aliran darah kita tak pernah saling berpelukan

Aku merenungkan yang ku anggap kau mengerti

Tapi kau tak mengerti alur telepati ini

.

Diam dan memikul kehampaan

Aku sedang mencoba menciptakan ilustrasi keindahan

Jangan kau lirik hanya sekedar kata-katanya

Karna di sisimu semua puisiku terlihat sama

Walau telah ku warnai sedemikian rupa

.

Jejak setapak yang kita tinggalkan di Jalan Hamzah

Di sana masih terkenang sebuah waktu

Waktu di mana diri kita menghabiskan detik

Karna kau terus saja berbicara

Dan aku yang setia mendengar

Sembari menatap pemilik mata — mata kita berdua

.

Tertawa syahdu tanpa penghalang

Bagaikan melampiaskan hasrat yang tlah beribu-ribu tahun tertanam dan terpendam

Memandangimu ketika tersenyum

Bagiku, itu adalah tema terbaik untuk berpuisi

.

Di sini aku berdiri,

Di hamparan debu yang terbang menemani jasad yang berjiwa

Aku masih membatin puitis

Menceritakan pada bayanganku tentang sosokmu yang ku dambakan

.

Di sini aku berpuisi

Datang bersama secuil harapan

Tertanam dan mekar jauh di lubuk hati

Aku yang telah mencintaimu sejak dulu

Masih belum mampu mengungkapkannya padamu

.

Karna engkau tak pernah ku anggap sebagai bunga jelita

Kau juga bukanlah keindahan senja

Bukan pula kerlap-kerlip bintang yang berkilau anggun jauh di langit sana

Bagiku, engkau — adalah dirimu sendiri —

sebab kesyahduanmu tak ingin ku sandingkan dengan yang lainnya

.

Dan karena

aku menulis warna keindahanmu melalui puisi

Aku…

hanya mampu mengabadikannya dalam irama bait-bait senyap,

di mana hanya diriku yang mengerti

.

Meskipun aku tak pernah bisa menciptakan setiap sajaknya seindah dirimu

Tak pernah ku temukan

sebuah kata untuk menjelaskan betapa kau terlalu indah

di mata dan hatiku

.

Akan tetapi, apa kau bosan dengan semua ini?

Apa kau terlalu sukar memahami maksud puisiku?

Aku berkata melalui tulisan imajinasi

Karna… hanya sejauh itu yang dapat ku lakukan

Untuk saat ini

.

Mungkin suatu hari nanti

gerimis kembali memercikkan kesedihan

Namun kini, puisiku dapat menghadirkan senyumanmu

Untuk menghibur jiwaku di balik penantian yang tak berkepastian ini

Seperti saat itu — seperti saat kita menghabiskan waktu petang di bawah atap rumahmu

.

Maka izinkan aku untuk memberi kabar

Barangkali ada hal yang kau suka dari alunan puisiku

Yang telah ku bingkai sedemikian rupa

Manyampulnya dengan perasaan tertulus

.

Memang… di lembar pertamanya hanya ku awali dengan dua kata saja

Tapi menurutku itu sudah lebih dari cukup

Untuk mengawali semua bait menjadi indah

Sebab, kata yang tertera di situ adalah nama aslimu…

itulah simbol keindahan dirimu

Untuk membuat alur ceritanya berakhir tari —

Se-tari senyuman syahdumu itu

.

“Bukankah begitu, Awsya?”

Memandangimu berlama-lama hanya membuatku terus memikirkanmu. Tapi tak apa. Lagipula, aku memang sudah mencandui dirimu sejak dulu — sejak di Jalan Hamzah. Dan karna aku terus ingin mencanduimu, meski kini… ku harap kau tau segala hal yang terpendam di dasar sukma ini. Engkau yang merajut tali di hadapan senja, maka izinkan aku merajut perasaanku dengan puisi senja.

Hingga nanti kita kembali bercerita… itu karna kita sudah menyatukan kisah dalam satu bingkai puisi; milikmu dan milikku.

01–07–2022

-breaking reza -

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet