Bagian Terindah Dari Akhir Realita Pilu
Menghentikan candu, berhenti terobsesi, berhenti menulis secarik sajak puisi untuk mengenangnya.
Ku hentikan rintikan masa lalu yang terkadang datang tanpa menyapa dan memberi irisan luka pilu yang ingin ku lenyapkan.
Aku menghentikan diri mengingat garis lekukan di bibirnya, yang dulu pernah ku anggap sebagai keindahan senja.
Aku menghentikan pergerakan bibir dari menyebut-nyebut namanya. Juga memerintahkan hati untuk tidak lagi membatin segala hal yang berkaitan dengannya.
Semua cerita telah usai bahkan sebelum aku memulainya.
Semua alur tidak berjalan sesuai yang ku inginkan, malah berubah menjadi buruk sesuai dengan apa yang ku takuti.
Buku catatan yang ku lukis dengan tinta hitam, menulis semua tentang dirinya karena ku pikir dulu kami bisa saling mencintai, tapi hanya diriku sendiri yang berdetak padanya.
Buku catatan ini pernah menjadi saksi betapa aku memujanya dalam diam.
Catatan ini memiliki sejuta bukti untuk menunjukkan perasaan cinta kepadanya.
Dan di setiap lembarannya, seakan menjadi saksi bagaiman diriku dirobek oleh abaian… dari dirinya yang begitu ku harap.
Banyak angka tertulis karna aku ingin mengenang lebih… lebih dari yang dia bayangkan.
Banyak kata-kata yang ku warnai se-puitis mungkin untuk ku jadikan doa ter-syahdu kepada Tuhan bahwa aku memiliki perasaan tertulus kepadanya
Hingga drama memutuskan semua gejolak di hati, aku dan dirinya terpisah oleh dua haluan yang berbeda; berada dalam garis lurus yang saling menemui persimpangan untuk berbelok ke arah yang berlawanan.
“Kami tak pernah bisa memiliki rasa yang sama”
Saat aku mencintainya, dia hanya ingin pergi… berlalu sejauh-jauhnya dari radar keberadaanku… melangkah beribu-ribu kilometer dari perasaanku — meski di waktu itu diriku sudah berulang kali memberi bukti kesetiaan yang terus menjaga perasaan suci ini terhadapnya.
Dia hanya tak ingin ku cintai, dia hanya ingin melupakan apa yang tak ingin ku lupakan.
Dia hanya tak tau caranya menolak cintaku.
Tapi dia tak pernah tau bagaimana dulu aku selalu menitipkan pesan rahasia kepada Tuhan — hanya aku dan Tuhan yang tau betapa aku menitikkan air mata untuk memohon — memohon setulus mungkin di atas sajadah ini.
Pengorbanan yang telah ku lakukan; terobsesi untuk menyukai apa yang dia sukai, menjadi seperti apa yang dia inginkan, ku lakukan apa yang digemari olehnya; aku bergerak berjalan ke arahnya di saat dia terus menjauh.
Setiap air mata yang tumpah ruah membasahi tiap-tiap halaman buku harian ini… pengorbananku sudah ku lakukan sedemikian rupa… namun dia tetap juga tak ingin menerima kehadiranku… bahkan ia menjadi benci — sebencinya kepadaku.
Kata-kata dalam buku catatan ini pernah merekam suaraku yang sedang melantunkan ayat-ayat suci… semua ku niatkan untuk dirinya yang sama sekali tidak ingin membalas perasaanku.
Dan saat aku beranggapan, aku harus membenci dirinya yang tak ingin mengerti laju cintaku ini… berulang kali pula aku memohon maaf kepada Tuhan-ku atas sikap kekanakan ini.
Hanya buku catatan inilah yang tahu bahwa aku tak pernah berbohong terhadap rasa cinta yang bersemayam di sudut hati berharap.
Hanya buku catatan ini… betapa lembarannya menjadi saksi aku terus mengharapkannya berdetak padaku.
“Hingga hari di mana kau memutuskan segalanya… aku, sampai detik ini masih terus teringat bagaimana kau memintaku untuk membencimu, sebagaimana kau membenciku.”
Aku yang terbawa emosi, tertuntun untuk mengikuti gejolak hasrat yang terbakar ini. Ingin diriku membencinya, tapi aku tak tega membenci wanita yang ku cintai setulus-tulusnya. Dia… tak mengerti sama sekali mengapa aku memilih diam tanpa harus memaki.
“Di sini, aku yang mencintaimu… dan kau yang membenciku… akhirnya ku sudahi semua perjalanan ini dan mengikhlaskan semua yang sudah terjadi.”
“Dan sampai suatu hari di mana kau pada akhirnya dipinang oleh seorang lelaki… aku tau bahwa sejak pertemuan pertama kita… sejak senyuman pertama yang kau umbar kepadaku… itu semua hanya sekedar singgahan saja. Bukan untuk ku simpan jauh di dasar hati melainkan untuk ku lupakan semua bayangannya.”
Sampai saat cincin emas melingkar anggun di jari manisnya, pria itu… yang dia cintai tanpa harus membenci seperti dirinya membenciku.
Dan aku hanya dapat melihat dari sebuah bingkai foto yang terpajang di museum kenangan… dia bahagia di dalam pelukan lelaki yang membawa cinta.
Aku pernah mencintainya, kini hanya membaca setiap halaman di dalam catatan ini, semua perasaan terhadapnya mati sudah. Tak ada jejak pertinggal, tak ada satupun kecuali kenangan — kenangan di mana aku pernah memujinya setinggi langit; kemudian menjadi saksi bahwa pujianku disepelekan begitu saja.
Dia memintaku untuk mengerti perasaannya, sedangkan dirinya tak pernah sama sekali mengerti apa yang ku rasakan.
Dia memintaku mencari sosok wanita lain… ia hanya tak mengerti sedalam apa aku mencintainya. Atas alasan itu aku setia dengan tetap terus menghargai pilihannya… ia tak pernah menghargai pilihanku.
Dia telah mengambil keputusan untuk membenciku dari lubuk hati terdalam. Aku malah meminta maaf karna tak ingin membencinya… karna aku tak pernah sanggup membenci wanita yang ku idamkan.
“Kau tak pernah tau sejauh apa aku mencintaimu. Dan kau tak pernah tau setiap pengorbanan yang ku lakukan untuk mencintaimu. Itu karna, kau tak pernah ingin menbaca semua puisi yang ku tulis untukmu… dan karena memang kau hanya ingin membenciku saja yang bagimu terlalu mengusik perasaanmu.”
Hingga saat dia telah dinikahi oleh seorang lelaki… sampai detik ini dan seterusnya, aku tak akan membencinya. Aku tak punya alasan untuk membenci wanita yang pernah ku cintai, aku hanya tak berhak sedikitpun untuk melakukannya.
Karna, aku tau… aku sanggup melalui ini semua meski banyak luka yang teriris perih menyakiti hatiku yang ingin mencintai tulus.
Meski harus hidup bersama bekas luka pengabaian cinta… aku tak ingin putus asa.
Dan walaupun aku sempat mati dalam jangka waktu yang panjang… pada akhirnya Tuhan menuntunku untuk kembali hidup. Ia membangkitkan asa terhadap jiwaku yang sakit ini.
Aku pernah ingin menyerah dan mengelak untuk mencinta lagi… pada akhinya Tuhan memberi jawaban se-puitis mungkin untuk membantuku memulihkan batin yang sudah luluh; layu dan sirna.
Karna Tuhan masih juga menyebut namaku di setiap diriku melantunkan puisi-puisi doa… barangkali ia menitip pesan tersirat bahwa aku dan wanita itu bertemu hanya untuk saling mengambil pelajaran… pelajaran berharga untuk menjadi lebih bijak dalam menyikapi kehidupan… dalam menyikapi perasaan cinta.
“Aku tak ingin membencimu karna Tuhan melarangku untuk melakukan itu. Ia hanya menyuruhku untuk mengirim doa terbaik kepadamu hingga nanti keikhlasan nyata datang mengetuk hatiku. Kita bisa pergi untuk terus menjauh tanpa perlu memaki kenangan masa lalu.”
Aku pernah mati bersama buku harian ini. Tapi, ada kehidupan yang mesti ku lanjutkan. Maka, ku persiapkan buku catatan lainnya untuk terus menulis kisah-kisah lain.
“Ceritamu telah usai dan ku biarkan berdebu di dalam lemari. Ini akan menjadi terakhir kalinya aku menyentuh setiap lembarannya meski aku tak pernah bisa lari dari kenangan masa lalu… di detik-detik di mana aku mulai mencintaimu.”
“Aku sudah membaca surah Ta-Ha, surah kesukaanmu. Ku niatkan sengaja khusus untukmu. Dan lantunan surah ini, akan menjadi doa terakhir yang ku berikan kepada Tuhan untukmu. Semoga kau bahagia bersama pria yang kau pilih.”
Meski ku rasakan, ujung cerita ini berakhir menyakitkan, tapi aku masih dapat mengubahnya menjadi bab yang paling bahagia. Ya… doa terakhir yang ku titipkan tadi malam akan menjadi akhir cerita yang indah — untukku dan dirinya.
— —
-Breaking Reza-
Kenangan: 19–05-2019; Masjid Jami’ USK
1 Muharram 1444
30 Juli 2022
Banda Aceh