Bagian Akhir Lainnya di Februari
— —
Masih dengan perasaan sama — membatin dalam kesunyian sambil menahan emosi gelisah yang terkadang menyerang lebih liar dari biasanya.
Masih dengan perasaan yang sama — menatap cermin, menatap mata… terkadang terkilas bentuk kekhawatiran — khawatir jika impian yang telah ku simpan jauh di dasar hati, pada akhirnya tidak pernah bisa ku wujudkan.
Masih tetap sama — aku bersama kekatukan — takut seandainya wanita yang telah lama ku pendam butiran cintanya, pada akhirnya sirna.
Ku awali Februari dengan rintikan yang menitik semu di wajahku. Ku sembunyikan gelisah, ku rahasiakan semua yang ku takuti. Aku mencoba melawan sisi terlemah agar tetap kokoh dalam kendaliku. Tapi, tidak semudah yang ku kira.
Aku memanjatkan doa agar terbang melayang ke angkasa, menerobos langit, melewati matahari, melewati palang-palang bintang dengan harapan dapat sampai seutuhnya di sisi Tuhan. Aku telah pasrah dalam iringan doa.
Tak ada yang bisa ku lakukan selain harus selalu menganggap diri semu akan tetap masih baik-baik saja. Ku coba hibur batin yang pilu, mewarnai cahayanya yang semakin pudar, ku perdengarkan cerita-cerita lelucon — ku lakukan semua ini hanya untuk diriku sendiri.
Telah sampai aku di atas pijakan, menentukan ke arah mana diriku mesti berjalan. Ada beberapa pilihan dan aku masih juga belum menentukan mana yang akan menjadi terbaik untukku.
Lamunan senja rela ku lenyapkan dari isi kepalaku. Kini ku coba merealistiskan semuanya… semua keindahan yang ada pada sosok wanita itu. Aku paham bahwa sebenarnya puisiku tak perlu memberi ilustrasi kata kepada wujud keindahan lainnya hanya untuk memperjelas ke-tarian si wanita. Dia punya sisi keindahannya sendiri — titipan Tuhan.
Februari ini, aku mencari kebenaran untuk ku sampaikan kepada kalbu sedaalam mana cintaku yang hendak menuju kepada si wanita — Awsya.
Februari ini aku membuat perhitungan hanya untuk merasakan sejauh mana rinduku yang memilih merindukan dia.
Aku butuh sebuah pengakuan dari eanita yang telah lama ku pendam cintanya. Aku berharap lebih daripada sebelumnya. Dan kini aku telah mencanduinya lebih besar takarannya.
Ku tulis ungkapan tersirat dan sengaja ku lakukan di bulan Februari… sebab ada angka sebagai pertanda hari ulang tahunnya.
Ku anggap spesial karna begitulah yang ingin ku tunjukkan padanya meski masih menyiratkan semua emosi batin secara sembunyi-sembunyi.
Tapi, sejauh kaki ini melangkah, sedalam hati ini menyimpan rasa… yang terbesit di dalam kepala hanya namanya — seperti tertulis sendiri begitu saja.
Sejauh diriku pergi… ku rasakan ada lukisan senyumannya di hatiku.
Karna ku jadikan Februari ini sebagai penentu… aku telah melihat dan menghayati sedetil mungkin —betapa tak ada keraguan sedikit pun jika ada kesempatan bagi puisiku untuk meminangnya dalam ikatan suci.
Ku pahami laju-laju yang membuatku terbelenggu, membuatku gelisah, membuatku khawatir, membuatku takut kehilangannya. Aku tak pernah menemukan cara jika sewaktu-waktu Awsya berlabuh di hati lelaki lain.
Maka semua telah ku jadikan saksi untuk dia apabila sudi meluangkan waktu untuk setidaknya singgah di puisi-puisiku. Sebab banyak tertulis namanya lengkap dengan ungkapan yang ingin ku sampaikan — sampai sekarang masih belum tiba di sisinya.
Aku hanya lelaki, dan hanya ingin memohon maaf pada Tuhan sebab telah ku sandingkan nama Awsya di sebuah tempat milikku.
Aku hanya lelaki yang ingin meraih cinta dari wanita yang ku impikan…
Aku lelaki pengrajut puisi yang masih belum mampu jujur kepada Awsya.
Dan aku di sini, masih sama dengan rasa cinta yang telah bertahun-tahun hidup dan mekar di hatiku… cintaku kepada Awsya.
Februari… bagaimana jika kau restui saja niat tulusku ini…? Meski aku tak pernah merestui Awsya dengan lelaki lain.
Aku tak pernah bisa merestuinya… berat untuk ku lakukan… berat untuk ku ikhlaskan.
Februari telah berlalu, aku tak tau kabar apa selanjutnya yang akan dibawa oleh burung merpatiku
Darussalam, 28–02–22