Az-Zahra 18
Cerpen
— —
“Aku adalah guru fisika yang paling disegani oleh murid-murid sekaligus dihormati oleh para guru lainnya. Aku juga merupakan guru terfavorit di sekolah yang kehadirannya selalu dinanti-nantikan. Tapi tunggu dulu, sebelum semua ini…”
Sepertinya mulai lelah — lelah dalam kebingungan. Aku duduk di atas tempat tidur dengan menghela napas panjang beberapa saat.
“Ulang lagi,” ujarku sambil mempersiapkan diri.
Setelah ku rasakan detak jantung mulai kembali stabil, ku hitung sampai tiga, lalu bangkit dari duduk dan berdiri di hadapan cermin…
“Okee semuanya, hari ini saya menggantikan Ibu Sari yang gak bisa datang ngajar. Jangan tanya kenapa karna beliau gak kasih tau ke saya.”
Sekitar tiga puluh menit aku mempersiapkan diri untuk mengajar Fisika nanti, sampai sekarang masih juga terbata-bata. Aku tak peduli, pokoknya harus bagus dan tidak boleh gugup sedikitpun di depan murid-murid.
Tak terasa satu jam lagi pukul sepuluh. Aku tahu sudah saatnya bersiap-siap ke SMK Az-Zahra 18. Itu merupakan sekolah kejuruan farmasi dan keperawatan. Aku akan mengajar di situ selama sebulan penuh menggantikan Ibu Sari, beliau guru tetapnya.
Hari ini aku mengenakan kemeja hitam. Sebenarnya semua serba hitam dan karena memang aku suka warna ini.
“Udah cuaca mendung, pake serba itam lagi…” ujar ibuku. Aku tak menyahut apa-apa karena terlalu sibuk memakai sepatu.
Pamit, aku langsung bergegas ke sekolah. Beruntung hari ini aku mengajar pukul 10.00 pagi, aktivitas di jalan sudah tidak sesibuk pukul tujuh atau delapan tadi. Jadi aku bisa berkendara santai tanpa perlu khawatir terjebak macet.
Lima belas menit di perjalanan, akhirmya sampai juga. Beruntung di tengah jalan tadi tidak hujan, lebih tepatnya belum hujan, sih. Padahal langit sudah sangat gelap. Bukan apa-apa, aku lupa membawa jas hujan, baru teringat saat aku tiba di sekolah Az-Zahra ini.
Dari parkiran, aku langsung masuk ke lobi sekolah dengan perasaan ragu sebab aku sama sekali belum mengenal SMK ini. Kelas di mana aku akan mengajar pun belum juga ku ketahui. Ibu Sari sepertinya lupa memberitahuku. Padahal tadi sehabis subuh, beliau bilang akan memberikan jadwal mengajarnya. Aku pun tak teringat sama sekali untuk bertanya sebelum berangkat ke sini.
Lalu aku memilih duduk di lobi, ku lihat jam masih ada sekitar sepuluh menit lagi sebelum masuk kelas. Baru satu menit aku duduk di lobi, perasaan gelisah menumpuki isi kepala. Sepertinya aku harus bertanya pada guru-guru siapapun itu. Tapi aku harus ke mana? Ke ruangan guru…? Atau ke TU? Atau ke mana…? Aku mulai sangat-sangat bingung.
Seketika jantungku berdebar-debar. Sialan, harusnya aku mesti mempersiapkan lebih matang lagi. Sebetulnya aku sudah mempersiapkan diri, tapi hanya yang berkaitan mengajar saja. Sedangkan persiapan terkait jam mengajar, aku betul-betul lupa.
Aku masih duduk, ku rasakan telapak tangan mulai dingin. Lalu ku lihat,
“kok bisa putih gini telapak tangan…? Pucat…?” gumamku dalam hati.
Tak lama kemudian, ada seorang guru perempuan berseragam dinas mendekatiku.
“Mau jumpa siapa, ya…?” tanya guru tersebut.
Aku langsung berdiri dan menyahut, “emm ini… saya gantiin ibu Sari.”
Lalu guru tadi mulai sumringah,
“ohh ini ya yang gantiin kak Sari. Pak Faiz, kan…?” tanyanya lagi, aku mengangguk.
Lalu ia menanyakan di kelas mana aku mengajar. Hanya senyuman malu yang dapat ku jadikan jawaban, maklum karena aku tidak tahu jadwalnya. Tapi kemudian aku menjawab,
“Bu Sari gak kasih jadwal ngajarnya.”
“lhoo, bapak gak tanya langsung sama beliau? Mungkin lupa.”
Oh iya aku baru sadar, kenapa tak langsung tanya sama Bu Sari, ya? Sial, dari tadi aku tidak kepikiran, sama sekali tidak teringat.
“Mmm tadi udah saya WA beliau, tapi belum dibalas sampe sekarang.” Sahutku tersenyum.
Dalam hati aku minta maaf pada Bu Sari dan guru ini karena sudah berbohong. Ya mau bagaimana lagi. Aku terpaksa mengada-ngada supaya tidak kelihatan planga-plongo.
Dan guru perempuan itu mengangguk-ngangguk. Ia lalu membawaku ke ruang guru dan memperlihatkan roster mengajar.
“Bapak sekarang ngajar di kelas 3 Farmasi A.”
“Ohh, iya bu. Makasih banyak.”
“Dicatat aja jadwal hari ini. Nanti saya cari jadwal khusus-nya bu Sari.” Kata beliau.
Aku lalu melakukan apa yang disarankan guru tadi. Selesai, ku lihat jam… masih ada lima menit lagi. Tak lama kemudian hape-ku berbunyi, ada pesan WA masuk dari Bu Sari, beliau memberikan jadwal mengajar.
“Pak Faiz, maaf yaa saya lupa kirim tadi. Ini jadwal untuk sebulan penuh. Makasih”
Begitulah isi pesan beliau. Padahal aku tadinya sudah kesal, tapi berhubung jadwal yang dikirim sama Bu Sari untuk sebulan penuh, aku tak jadi kesal. Setidaknya diriku tak perlu repot-repot lagi mencatat jadwal mengajar beliau.
Teeeettt
Suara bel. Pasti pergantian jam. Ya betul, pukul sepuluh pas, kataku dalam hati. Aku bergegas ke kelas 3 Farmasi A. Tapi kemudian menyadari sesuatu,
“yaa ampuuun. Aku lupa tanya di mana kelas-nya.” gumam dalam hati.
Perlahan aku mulai panik. Berulang kali diriku menatap-natap jam — sepertinya setiap satu menit sekali — dan sekarang sudah pukul sepuluh lewat lima. Bukan apa-apa, ku dengar di SMK ini, guru-guru tak ada yang boleh telat, bahkan semenit pun. Jika kedapatan, siap-siap diomelin. Maka itu aku bergegas mencari guru tadi kalau tidak bisa bahaya.
Dan, ketemu!
Begitu aku hendak bertanya , tiba-tiba dia malah menelpon. Ku kurung niatku beberapa saat, aku setia berdiri di belakangnya. Namun, semakin ku tunggu, perasaan semakin lama saja beliau berbicara. Ku rasakan kini diriku mulai berkeringat dingin. Ku lihat lagi jam — sudah pukul 10.15. Sialan, aku harus apa? Apa aku mesti bertanya pada guru yang lain? Tapi sama siapa? Memang ada di sekitarku guru-guru lain, hanya saja mereka terlihat sangat cuek — sepertinya memang cuek — entah kenapa aku malah punya perasaan seperti ini.
Namun, setelah ku yakini aku sudah terlalu resah, guru perempuan tadi mulai menoleh ke belakang, tepat ke arahku. Aku ingin memanggil, tapi ragu… atau mungkin tak berani, entahlah. Dan kelihatannya ia sadar aku butuh bantuan.
“Ini udah bisa ke kelas, pak.” katanya.
Aku tersenyum, lalu memberanikan diri, “maaf buk, kelas 3 Farmasi A di mana ya…?”
Beliau lalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Kok gak tanya dari tadi?”
Aku hanya tersipu malu.
Beliau pun mengantarku ke kelas 3 Farmasi A. Letaknya di lantai tiga dan di sudut ujung gedung sekolah.
“Kalo ada perlu apa-apa tanya aja, jangan malu-malu.”
“Iya buk. Makasih.” Jawabku sambil tertawa kecil.
“oh ya, saya belum kenalin diri. Panggil aja bu Fitri, yaa… untuk sebulan ke depan, kita partner di sini.” ujarnya. Aku mengangguk tapi tak paham apa maksud Bu Fitri terkait partner. Ah, sudahlah, pikirku.
Setelah itu beliau kembali turun dan aku masuk ke kelas. Tiba-tiba hujan deras mulai mengguyur. Bersamaan dengan itu, rasa gugupku mulai sulit ku kontrol. Betapa tidak, sekarang di dalam kelas ini, aku harus berhadapan dengan tiga puluh murid, di mana lebih dari setengahnya berisi anak perempuan. Terhitung hanya empat murid laki-laki.
Aku mesti siap, tapi… satu lawan tiga puluh? Sialan, aku benar-benar mulai ketakutan. Bagaimana jika mereka nantinya mengabaikanku…? Atau menertawaiku…? Atau malah ribut di kelas…?
“Sialan. Aku harus apa sekarang?” Kembali diriku bergumam dalam hati.
Pukul satu kurang lima belas
Akhirnya, selesai juga mengajar hari ini. Lelahnya bukan main. Ku rasa, suaraku sudah mencapai batas. Haus pun juga. Padahal aku ada bawa air minum, belum waktunya mengajar di kelas selanjutnya, airnya sudah habis.
Di dua kelas tadi, aku mesti all out. Entah kenapa saat mengajar aku harus bicara dengan cara yang berbeda. Ku akui pun tadi suaraku lebih keras dari biasanya. Awalnya aku merasa baik-baik saja, tapi begitu waktu habis, aku merasa sangat capek. Meskipun begitu, kesan pertama mengajar di SMA Az-Zahra ini lumayan bagus, walaupun aku tak bisa membuat suasana kelas menjadi senyap saat menjelaskan materi. Entahlah.
Di parkiran
“Udah selesai ngajarnya, pak Faiz?” tanya Bu Fitri, tiba-tiba saja dirinya sudah berada di belakangku.
“Iya, hari ini cuma dua kelas.”
Beliau mengangguk, lalu mengenakan helm berwarna pink. Sepertinya Bu Fitri juga akan pulang.
“Gimana anak-anak tadi di kelas?”
“yaa begitulah…” jawabku.
“Amankan…?”
“Aman sih, tapi kayaknya saya kurang bisa buat suasana kelas supaya gak ribut.” sahutku tersenyum.
Bu Fitri terlihat agak penasaran. Ia bertanya apa memang dua kelas tadi betul-betul menjengkelkan. Aku sendiri sebenarnya tak terlalu paham maksud guru ini.
“Biasanya kan kalo guru lagi jelasin materi, muridnya harus diam, dengerin.” Ujarku.
“Emangnya mereka gak merhatiin pak Faiz tadi?”
“Gak juga sih. Gimana ya cara bilangnya… mmm, intinya saya gak bisa buat suasananya hening selama dua jam saya ngajar di masing-masing kelas hahaha”
“Oohh — gak mesti juga harus diam selama itu lah, pak — ada-ada aja pak Faiz ni.” ia tertawa lalu kembali melanjutkan,
“kalo semuanya pada diam selama belajar, takutnya feedback dari kita ke anak-anak murid gak nyampe. Yang namanya mengajar dan belajar kan pasti ada interaksi guru dan murid.”
Benar juga, pikirku. Tapi ku rasa dua kelas itu begitu agresif aktif — terhitung ada banyak yang mengajukan pertanyaan juga memberi pendapat selama diriku mengajar. Apa mereka memang aktif atau malah agresif…? Ah, entahlah.
Tapi dengan begitu, aku malah lelah kehabisan suara. Ya, kalau aku mendengar saran Bu Fitri, pasti aku bakal cepat capek. Meskipun demikian, jika aku ingin kelas tetap senyap selama belajar, takutnya apa yang dikatakan oleh guru perempuan ini akan terjadi. Sialan, aku bingung sekarang harus mengajar dengan cara seperti apa.
Pukul 7 malam
Ting
Ada pesan WA masuk. Aku yang sedang bermain gitar di kamar bergegas mengecek. Lalu ku lihat, Ibu Sari — beliau mengirimkan sebuah foto. Apa lagi ini, tanyaku dalam hati. Begitu ku lihat isinya, jantungku mulai berdebar.
Bukan tanpa sebab, Bu Sari memintaku besok untuk mengajar tentang alat-alat optik. Padahal seharusnya besok aku akan menjelaskan tentang gelombang cahaya, karena memang begitu materinya jika sesuai list dalam modul materi pembelajaran. Aku mulai bertanya-tanya apa maksud dari ibu ini.
Ting
Pesan masuk lagi dari Bu Sari.
“Pak Faiz, besok ngajar di kelas 2 Keperawatan, kan? Tolong ajarkan dulu mereka tentang alat-alat optik ya. Nanti bapak lihat saja materi ini perlu berapa kali pertemuan untuk dibahas. Kalo udah tuntas, coba kasihkan quiz ke anak-anak yaa. Makasihh…”
Hmmm, aku mulai panik lagi. Kenapa harus mendadak begini perubahannya? Aku merasa seperti buang-buang waktu saja mempersiapkan bahan ajar tentang gelombang cahaya, bahkan juga sudah ku tulis di buku catatan apa yang harus aku katakan besok.
Aku lalu mengambil kursi, meletakkannya di dekat jendela kamar yang sedikit terbuka, lalu duduk di situ. Sambil memakan roti, aku termenung… aku harus apa sekarang ? Aku harus apa besok? Apa aku bisa sukses mengajar? Apalagi besok aku bakal mengajar di kelas lain, kelas 2. Jurusan keperawatan pula.
Aku bingung, benar-benar bingung. Ragu pun juga sebenarnya. Beberapa saat kemudian aku teringat Bu Fitri, tadi pagi ia ada memberikan nomor hape-nya. Sepertinya aku harus menanyakan sesuatu ke beliau. Lalu, aku pun buru-buru mengambil hape di atas tempat tidur, dan duduk lagi di dekat jendela.
Saat ingin mulai mengetik pesan, tiba-tiba aku terpikir, Bu Fitri ini sebenarnya guru mata pelajaran apa? Sialan, aku lupa tanya siang tadi ketika kami hendak pulang. Apa aku langsung tanya aja sama guru itu? Bagaimana jika dia tersinggung aku tanyanya melalui Whatsapp? Tapi, kalau aku tak bertanya, aku tak akan tahu. Aku pun diam sejenak sambil berpikir-pikir.
Sekitar dua menit aku berdiam diri, lalu ku ambil keputusan untuk bertanya saja. Lagian, apa salahnya, kan..? Pikirku. Jika nanti Bu Fitri menjawab dirinya adalah guru fisika juga, aku punya pertanyaan lanjutan mengenai materi besok. Tapi seandainya beliau menjawab bukan, lalu aku harus apa?
Yang tadinya aku sudah bersiap mengetik, kemudian kembali terhenti… aku ragu. Sialan, kenapa aku banyak pikiran begini, ya? Bingung, juga mulai gelisah, telapak tangan pun seketika menjadi dingin. Aku harus apa? Aku harus apa? Hanya karena Bu Sari minta aku untuk mengajar alat-alat optik, aku jadi cemas begini.
Karena terlalu pusing, ku pejamkan mata beberapa menit sambil bertanya-tanya. Begitu ku buka mata dan ingin menyantap roti tadi — tak ku sangka ternyata sudah habis. Dari tadi aku hanya memegang bungkusannya saja.
Hufff
Menghela napas — berkali-kali — dengan harapan jantungku bisa kembali berdebar normal. Lalu aku membatin,
“tanya enggak, tanya enggak, tanya enggak…”
Sialan, kenapa kata “enggak” nya harus ada di akhir, sih? Aku semakin bingung. Selama tiga puluh menit aku menghabiskan waktu hanya untuk mengambil keputusan, hubungi Bu Fitri atau tidak. Dengan keringat yang sudah membasahi hampir sekujur tubuhku, aku lalu memberanikan diri menghubungi guru itu. Jika nanti ada kesalahpahaman, besoknya aku mesti meluruskan semua.
Kemudian aku mulai mengetik,
“Bu Fitri, maaf saya mau tanya, ibu guru fisika ya…?”
Begitulah kira-kira pesan yang ingin ku kirim ke beliau. Hanya sepuluh kata… ya, sepuluh kata dan aku butuh waktu 30 menit untuk memutuskan.
Selesai mengetik, lagi-lagi ada saja yang membuatku ragu, bahkan sampai membuatku ketakutan parah.
“Bu Fitri udah nikah atau belum ya???” Gumamku dalam hati.
Entah kenapa tiba-tiba pikiran ini muncul di kepalaku. Tapi, penting juga untuk dipikir karena aku tak mungkin menghubungi dirinya seandainya ia sudah menikah. Aku hanya merasa tak enakan dengan suaminya nanti.
“Hufff”, ku hela napas lagi.
Apa aku harus mulai dengan pertanyaan ini…?
“Bu Fitri udah nikah belum? Kalo belum, saya boleh tanya sesuatu sama ibu sekarang? Karna saya ragu ibu sebetulnya ngajar pelajaran apa?”
Sialan, padahal aku hanya ingin tahu dia itu guru fisika atau bukan.
Pukul 3 malam
Tiba-tiba aku terbangun dan kantuknya hilang begitu saja. Ku balik sana sini tapi percuma. Aku tak bisa kembali tidur karena malah kepikiran tentang mengajar besok. Dengan kamar yang gelap, ku nyalakan lampu dan mengecek hape — ya ampun — kenapa aku harus terbangun jam segini…?
Aku mulai gelisah lagi, cemas juga — takut seandainya besok aku tak bisa menjelaskan materi sebaik mungkin. Aku kembali berpikir apa yang harus ku lakukan. Padahal jelas dalam kepalaku bahwa aku harus mempersiapkan bahan ajarnya, tapi entah mengapa aku masih saja ragu dan tidak bergerak-gerak. Jika saja ku bereskan semua sejak jam sepuluh tadi, munhkin semuanya sudah tuntas.
Ku pikir keadaanku sekarang tak baik, aku pun pergi ke kamar mandi — letaknya memang di kamar — lalu berwudhu dan memilih untuk shalat Tahajjud. Setelah shalat, ku sempatkan sebentar untuk mengaji supaya diriku bisa menjadi lebih tenang walaupun hanya sedikit.
Selesai itu semua, ku lihat jam… masih setengah empat. Subuh pun sekitaran satu jam lebih lagi. Dan aku masih saja bingung, terduduk termenung di atas sajadah.
“Mungkin baiknya aku siapin sekarang…” kataku membatin.
Ku ambillah buku catatan dan menulis tentang persiapan besok. Mulanya ku buat poin-poin materi ajarnya sekitar sepuluh butir. Untungnya Bu Sari ada memberiku buku pegangan, jadi sedikit memudahkanku. Kemudian, ku lanjutkan menulis apa-apa saja yang harus ku katakan besok, mulai dari pembukaan sampai jam pelajaran habis. Ya, meskipun sebenarnya aku tahu apa yang harus aku katakan sebagai basa-basi sebelum mengajar, hanya saja aku takut lupa.
“Selamat pagi semua. Apa kabar? Hari ini saya gantikan ibu Sari. Nama saya Faiz Ihsan, kalian boleh panggil saya pak Faiz. Saya akan ngajar di sini selama satu bulan…”
Kira-kira itulah yang ku tulis dan akan ku katakan besok di depan anak murid. Ku baca perlahan, terasa agak kaku — aneh — tidak seperti gaya bicaraku sehari-hari. Ku sobek tulisan tadi dan menulis baru. Hasilnya? Sepertinya tak jauh berbeda dari yang pertama. Ah, sudahlah. Lagipula itu yang terpikir olehku.
Aku melihat jam di hape, masih ada waktu untuk praktek sebelum Subuh tiba. Lalu aku berdiri di depan cermin dan mulai latihan. Ku ulangi terus-menerus sampai terhapal kata-katanya. Aku berusaha, bagaimana caranya nanti di kelas II Keperawatan ini bisa sebaik seperti saat aku mengajar di kelas III Farmasi A dan B. Kekhawatiranku ini terus memaksaku berandai yang tak perlu — bagaimana seandainya mereka tak suka padaku; gaya bicara, pembawaanku di kelas, atau caraku mengajar terlalu membosankan. Aku tak bisa berhenti memikirkannya.
Saat sedang latihan, tak terasa ternyata sudah masuk waktu subuh. Aku memutuskan untuk ke masjid, yaa sambilan menghirup udara segar supaya tidak terlalu tertekan. Jarak masjid dan rumahku tidak jauh, jalan kaki tak sampai lima menit. Walaupun tempat ibadah ini lumayan besar, tapi jamaahnya tidak se-ramai seharusnya. Subuh memang waktu yang sulit untuk bangun tidur. Akan tetapi di waktu shalat yang lain, masjid ini hampir penuh. Ya bisa dikatakan melebihi setengah dari kapasitas full.
Setelah shalat, ku sempatkan sebentar berkeliling di halaman masjid yang memang lumayan luas sambil melihat sekitar dan merasakan sejuknya udara pagi. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku pun pulang ke rumah dan kembali lanjut latihan sampai pukul tujuh. Hari ini jadwalku pukul delapan pas, jadi aku harus pergi lebih awal supaya tidak terjebak macet.
Sekitaran jam 07.10 aku sudah tiba di sekolah. Suasananya masih sepi. Maklum, di kotaku ini, umumnya sekolah mulai aktif belajar mulai pukul delapan dengan mengaji terlebih dahulu di kelas bagi yang muslim, biasanya surah Yaa Siin. Jam pelajaran pertama akan dimulai setelahnya, sekitaran pukul 08.15.
Berbeda dengan SMK Az-Zahra ini. Bu Fitri pernah bilang padaku, di sekolah ini hanya diwakili oleh satu orang siswa saja yang mengaji. Yang dapat giliran akan mengaji di ruangan OSIS menggunakan mic. Maka tak heran jika SMK ini mengharuskan siswa-siswinya bisa mengaji dengan baik dan benar. Tidak mesti berirama bagus, sektidaknya bacaan mereka tepat.
08.15
“Kelas 2 keperawatan” gumamku dengan suara kecil.
Di depan kelas, aku menghela napas tiga kali lalu berkata dalam hati, “tenang, semua akan berjalan baik”. Ku katakan itu sebab aku sudah semakin ketakutan, resah juga, bahkan dapat ku rasakan hampir sekujur tubuhku gemetaran.
Dua menit kemudian…
Tok… tok…
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam…” jawab mereka kompak.
Begitu diriku masuk, para murid yang awalnya masih mengoceh sana sini langsung terdiam. Dalam pikiranku, sepertinya mereka bertanya-tanya kenapa aku yang masuk ke kelas bukannya Bu Sari. Sedangkan aku berjalan terus ke meja guru, meletakkan tas, lalu berdiri di hadapan mereka semua. Seperti biasa, SMK ini banyak murid perempuan ketimbang laki-laki. Ku lihat, hanya ada tiga orang siswa, dan dua puluh tujuh lainnya adalah siswi.
Aku pun memulai,
“maaf ya, hari ini sedikit buat kalian bingung. Saya gantiin bu Sari.” ujarku.
“Ohh, bapak ngajar fisika berarti?” tanya seorang siswi yang duduk di sudut depan paling kanan.
“Gak juga, saya ngajar Bahasa Indonesia.” sahutku.
Siswi tadi tersenyum malu sedangkan yang lainnya tertawa. Ku pandangi mereka sejenak, tak kusangka aku bisa membuat mereka tertawa, barangkali apa yang ku katakan tadi lucu bagi mereka. Tanpa berlama, ku perkenalkan diri yang tanpa ku sadari ternyata beda total dari yang ku persiapkan sebelumnya. Begitu selesai, suasana kelas menjadi hening sejenak sampai beberapa detik kemudian siswi yang sama bertanya padaku, “bapak tinggal di mana…?”
Belum juga ku jawab, seorang siswi lainnya menambah pertanyaan, “bapak dulu kuliah di mana…?”
Tak sampai di situ…
“bapak sudah S2?”
“Selain ngajar di sini, bapak ngajar di mana lagi?”
“Bapak”
“Bapak”
“Bapak”
Padahal aku belum meminta mereka untuk bertanya, tapi pertanyaannya sudah menumpuk, membuatku bingung. Karena sudah mulai bising, ku tempelkan jari telunjuk di bibirku sebagai aba-aba untuk tidak ribut. Spontan mereka semua diam, membuatku heran dan beranya-tanya dalam hati, “kok semua pada diam? Apa mereka betulan nurut sama aku?”
Tapi ku jawab saja sebisanya walaupun masih dalam keadaan bingung dan takut. Setelah ku beri jawabannya, ku lihat sepertinya mereka puas. Baguslah, pikirku, hitung-hitung juga sebagai pemanasan sebelum pelajaran dimulai. Selesai tanya jawab yang menurutku tak ada pentingnya sama sekali, lalu aku melanjutkan mengecek kehadiran siswa. Beberapa saat kemudian, ku ambil catatan yang berisi poin-poin dari materi yang harus ku jelaskan,
“Semoga gak keluar jalur” kataku membatin.
Ku letakkan catatannya di atas meja, berdiri dan hendak memulai pelajaran. Tapi tiba-tiba seorang siswi kembali mengajukan pertanyaan, ia duduk di barisan tengah dari kiri, di meja paling depan.
“Pak, bapak udah nikah?”
Sontak aku terkaget, tapi tidak terlalu. Namun, mereka semua ku lihat, seakan-akan menanti serius jawaban dariku. Aku tertawa kecil. Dalam hati aku bergumam, pertanyaan macam apa ini??? Sunguh tak ada kaitannya sama sekali.
“Belum…” jawabku singkat.
“Tapi, akan dalam waktu dekat.” Lanjutku.
Mendengar itu, mereka pun bersorak bahagia. Apa-apaan ini, pikirku. Tapi, entah kenapa sekarang aku menjadi lebih percaya diri dari sebelumnya. Ya, ku lihat telapak tanganku sudah tak pucat lagi, denyut jantung sudah kembali normal, bahkan aku sama sekali tidak gemetaran. Apa karena murid-murid ini? Atau karena pertanyaan nikah tadi? Hahaha, aku tak tahu pasti. Yang pasti aku sedikit lega karena keadaanku mulai membaik.
Aku pun masuk ke intinya, yaitu mengajar. Caraku menjelaskan pelajaran masih tetap sama, ada kalanya serius, terkadang berceloteh lucu dalam mode serius. Dan itu terjadi begitu saja tanpa ku sadari. Padahal persiapannya di malam tadi bukan seperti ini. Tapi mereka paham arahnya sehingga suasana kelas terasa lebih hidup, lebih bergairah, tidak kobong. Semuanya melebihi dari yang ku rencanakan. Hal-hal yang ku takuti tidak terjadi sejauh ini.
Meskipun semalam aku sudah menulis segala sesuatu apa yang akan ku katakan, juga meluangkan waktu latihan di depan cermin berulang kali, tapi sekarang catatannya tidak ku sentuh sedikitpun karena apa-apa yang ingin ku katakan langsung keluar begitu saja. Dan bagusnya lagi, penjelasanku mudah mereka pahami. Tampak ada aura-aura keseriusan belajar dari murid-murid ini.
“Aww wooow… serius aku gak lagi takut? Aku gak gugup? Ini seriusan kan???” aku terus bertanya-tanya dalam hati
Saat waktu tersisa menit lagi, Bu Fitri tiba-tiba datang dan meminta izin untuk masuk. Ia mendekatiku dan berbisik, “Pak Faiz, minta waktunya sebentar ya.”
Ada pengumuman penting dari Bu Fitri. Aku mengangguk dan mempersilahkan dirinya berbicara. Setelah itu, kami berbincang-bincang sedikit mengenai fisika. Di sini aku mulai tahu bahwa dirinya ternyata juga mengajar pelajaran yang sama sepertiku. Dan aku tak perlu repot-repot bertanya padanya, tidak seperti tadi malam yang sempat ragu ingin menanyakan hal ini.
Teeett…
Bel pergantian jam. Aku bergegas keluar karena takutnya guru pelajaran lain sudah menunggu di luar kelas. Hari ini siswa kelas II Keperawatan terlihat sangat bersemangat. Ku harap akan terus seperti itu selama diriku mengajar di SMK ini. Yaa menyenangkan juga pikirku.
Pukul 03.00 sore
Sungguh melelahkan hari ini. Mengajar dari pagi sampai sore bukanlah kebiasaanku. Tapi tak mengapa, dari semua yang ku masuki, hanya satu kelas yang barangkali agak sedikit membuatku kuwalahan. Mereka terlalu banyak diam sampai aku sempat beberapa kali harus mencari cara supaya sekurang-kurangnya mereka ingin bertanya tentang pelajaran.
Di parkiran aku kembali berjumpa dengan Bu Fitri. Ia tersenyum-senyum padaku.
“Gak nyangka cara pak Faiz ngajar. Saya perhatiin lho dari luar.”
“Agak kaku ya…?!”
“Enggak kok, malah kayak gitu keren.” kata guru itu.
Aku tertawa sambil bertanya dalam hati, “yang betul nihh…”
“Asal bapak tau aja ya, kelas yang tadi pagi pak Faiz ngajar itu sebetulnya lumayan susah diatur. Banyak guru ngeluh karna muridnya tu sedikit keras kepala. Bahkan banyak juga yang kadang-kadang gak merhatiin penjelasan guru. Tapi liat pak Faiz ngajar, baru kali ini saya dapatin mereka semua perhatiin apa yang bapak bilang…” ujarnya. Kelas yang dimaksud yaitu kelas II Keperawatan.
“Oh ya? Saya gak tau…”
“Apa sih rahasianya sampe-sampe anak murid pada mau ikuti apa yang pak Faiz minta. Jujur, saya sendiri gak selalu bisa lakuin kayak apa yang bapak lakuin tadi.”
Aku bingung, setahuku, aku tidak melakukan apa-apa. Aku saja tak menyangka ternyata cara mengajarku akan berjalan sebaik ini, dipuji lagi sama Bu Fitri. Padahal sejak tadi malam aku sudah lelah mencoba berdamai dengan diri sendiri karena terlalu banyak pikiran jika-jika mereka ribut atau tidak peduli padaku sama sekali.
“Saya juga gak kepikiran begitu, bu. Sebetulnya dari tadi malam saya cemas, takut, gelisah — khawarir kalo misal mereka susah diatur… bahkan tadi pun waktu ngajar saya gugup takut-takut salah ngomong.” sahutku.
“Ah, masa sih. Kalo saya lihat gak ada sama sekali tuh pak Faiz gugup. Bahkan malah bapak santai banget ngajarnya.”
Aku lalu menjelaskan semua apa yang terjadi semalam. Kecemasanku benar-benar seperti membuat diriku terjerumus ke dalam penjara. Aku harus latihan berulang kali, mengontrol detak jantung yang berdebar tak karuan, sampai-sampai keringat dingin karena sudah overthinhking. Belum lagi Bu Sari yang tiba-tiba me-wa ku meminta agar materi ajar untuk hari ini diubah. Kemudian “dipaksakan” bangun jam tiga malam oleh rasa khawatir hingga tak bisa kembali tidur. Aku benar-benar berusaha tenang dan menganggap semua baik-baik saja dengan bertahajjud dan mengaji di tengah gelisah dan cemasku semakin berapi-api.
Apa yang terjadi hari ini benar-benar di luar dugaanku. Entah kenapa pun aku tak mengerti. Bahkan pikirku, persiapan tadi malam tidak sampai lima puluh persen yang membuatku mengira hari ini akan berjalan buruk.
“Oh ya? Sampe shalat tahajjud gitu?” Bu Fitri seolah tak percaya dengan ungkapanku, sedangkan aku mengangguk sambil tersipu malu.
“Tapi siapa sangka ya, pak Faiz yang tadinya ngaku gugup dan takut malah jadi tenang gitu selama ngajar. Keren lho.”
Aku tertawa saja mendengar Bu Fitri.
“Tadi malam juga sebetulnya saya mau WA bu Fitri, pengen nanya untuk kelas-kelas hari ini, muridnya tuh seperti apa…” ujarku.
“Trus? Kok gak jadi…?”
Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan guru ini. Sambil minum, ku lihat ia menanti jawaban dariku.
“Karna saya pikir bu Fitri udah ada suami. Gak mungkin aja saya hubungi ibu lagi, kan…”
Ia terkejut, “hah… serius sampe mikir gitu…?”
Ia tertawa terbahak-bahak, aku kembali tersipu malu, atau mungkin pengakuanku hanya malu-maluin saja. Halahhh…
“Gak kok, saya belum punya suami. Jangan jauh kali mikir sampe ke sana, pak Faiz.” ujarnya. Kami berdua tertawa.
“Masih single…” aku Bu Fitri lagi. Sepertinya ia sedikit malu-malu saat mengatakan itu.
Mendengar pengakuan Bu Fitri, sepertinya satu lagi pertanyaanku terjawab yang mana tadi malamnya aku terlalu ragu untuk bertanya. Memang tak bisa ku pungkiri, takut dan cemas membuatku seolah terbenam. Padahal, seandainya aku biasa-biasa saja, yang ku takuti bahkan tidak terjadi. Tapi entah kenapa selalu saja aku banyak pikiran yang tidak-tidak, seperti mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali.
“Kan saya udah bilang kemarin, kalo bapak butuh bantuan, tanya aja ga pa-pa. Insya Allah kalo saya bisa bantu, pasti dibantu. Kalo pun gak, kan ada guru-guru lain yang juga bakalan ngebaintuin. Jadi pak Faiz selow aja gak perlu panik…”
Bu Fitri lalu bersiap-siap hendak pulang. Setelah memakai jaket berwarna pink dan mengenakan helm dengan warna yang sama, ia pun pamit.
“Saya duluan ya… lain waktu boleh lah bagi-bagi tips ngajar-nya pak Faiz…”
Aku tertawa sambil mengangguk.
Ternyata, mengajar di SMK Az-Zahra ini tidak seburuk yang ku pikirkan. Memang ada saja hambatan di awalnya sebab aku terlalu banyak memikirkan ini itu. Tapi setelah ku jalani — seadanya — kesanku di sini malah lebih baik dari yang ku harapkan. Apa yang terjadi sebelum diriku mengajar di kelas II Keperawatan, sebelumnya juga ku rasakan saat hendak mengajar di kelas III Farmasi A dan B. Awalnya gelisah tak karuan, tapi ketika beraksi, entah kenapa semua berjalan baik-baik saja. Semua yang ku takuti bahkan tidak terjadi.
Meski begitu, barangkali selebihnya terserah aku. Murid-murid di kelas akan bergantung padaku; bagaimana diriku mengajar di kelas, membuat suasana tidak membosankan, memperlakukan mereka selayaknya dan yang terpenting ada feedback yang mereka dapatkan, seperti kata Bu Fitri kemarin.
Apa yang dikatakan oleh Bu Fitri tentang feedback, baru ku sadari hari ini. Benar, mengajar itu tidak mengharuskan siswa-siswi-nya diam sepanjang jam berjalan. Membiarkan mereka berekspresi barangkali adalah salah satu cara agar feedback itu sampai kepada mereka. Juga, membuat suasana kelas menjadi nyaman sesuai apa yang aku dan para murid inginkan tak kalah pentingnya.
Tapi, yang lebih penting, ku yakini itu adalah menjaga emosi untuk tetap sabar selama proses belajar mengajar. Karena, bagaimana penjelasan guru itu dimengerti oleh murid jika gurunya saja emosian, mudah terbawa perasaan, atau cepat marah. Meskipun, tetap ada beberapa batasan antara murid dan guru. Setidaknya, itulah yang ku pelajari dari guru-guruku selama di perkuliahan.
“SMK Az-Zahra ya… gak buruk-buruk amat. Baik-baik ya selama satu bulan aku di sini…”
— BREAKING REZA