Awsya
— —
Itu memang bukan namamu, tapi seperti itulah aku dulu mulai mengenalmu.
Mereka memang tidak memanggilmu dengan nama itu, walaupun kau sangat membanggakannya
Dia juga tidak mengerti apa maksudnya, kau punya pemahaman sendiri.
Tapi aku memaklumi engkau demikian, karena nama itu adalah simbol kekuatan… alasan dirimu mampu menaklukkan hari.
Kau memandang, kau melirik, kau bergumam… semuanya tersimpan rahasia di dalam hati.
Kau bercerita dan kau tersenyum, seperti itulah aku melihat salah satu keindahan, ciptaan Tuhan.
Awsya…
Aku tak pernah memintamu datang dan aku tak pernah berharap kau memanggilku. Tapi, itu semua terjadi.
Ketika suara kendaraan membisu di jalanan, hanya terdengar siulan burung yang seakan memainkan irama penggiring untuk kita memulai pembahasan… dan terjadilah begitu saja.
Di bawah pohon rindang itu, jalan Hamzah adalah saksi kita saling berbagi cerita meskipun itu tak penting sama sekali. Aku tau, aku mulai suka pendekatan ini.
Dan semakin kau berkata, semakin aku ingin tau tentangmu yang mana mereka sama sekali tak tertarik untuk mendengar.
Semakin kau bertanya, semakin diriku ingin memperlihatkan kejujuran… mengungkap perasaan yang kini bergejolak liar.
Siapa yang menyangka, cara sederhanamu itu mampu mengubah caraku menatap
Siapa yang menyangka, senyumanmu malah membuatku candu
Dan siapa yang menyangka, aku telah jatuh cinta padamu.
Ku yakini mungkin hasrat ini terlalu menggebu, maka ku tahan sejenak.
Saat ku yakini ini terlalu cepat, aku mencoba bersabar.
Tapi pesonamu tak pernah luput yang bahkan kini mampu menerobos masuk ke dalam nadi.
Pesonamu membuatku ingin berpuisi dan menciptakan sajak khusus hanya untukmu.
Tapi… waktu membawa kita ke suatu tempat… keadaan memisahkan kita dari garis rindu yang berbeda.
Perbedaan ini ku sebut haluan hati, tempat kita berlabuh untuk saling mengisi.
Kau mengisinya dengan cerita permata… dan aku mengisinya dengan kekosongan.
Siapa yang menyangka, saat ku pikir hanya aku seorang yang mencintaimu, tapi malah lelaki lain yang berhasil memilikimu.
Tapi tak mengapa,
Sejauh aku dapat terus belajar untuk bersabar
Belajar dalam keyakinan
Belajar untuk kemungkinan adanya rasa sakit yang bisa saja menyerang…
Aku diperintahkan untuk menjadi tangguh, saat ku tahu aku terlalu lemah melewati hadangan kepedihan sanubari yang membakar asa.
Dan tak mengapa,
Sejauh aku masih menitipkan doa, Tuhan selalu tahu ke arah mana hati ini ingin menuju, siapa yang selalu ku lantunkan saat hari-hari terus berganti.
Di bawah balutan awan kelabu, aku menemukan jati diri.
Di tengah rintikan gerimis, aku memutuskan.
Memutuskan untuk menantimu, walau ku tau semakin aku berharap, semakin gelisah ini menyebar menyerang kekosongan kalbu.
Kau mengajarkanku untuk tersenyum, maka jangan berhenti untuk terus mengukir senyuman.
Sejauh yang ku tau, kau mampu melakukannya.
Dan sejauh yang ku tau, memang seperti itulah dirimu, Awsya.