Ancaman di Pusat Kota
Misi Membunuh Tokoh Besar
Bagian I
Sekitar pukul delapan malam, dua pria misterius bersenjata terllihat sedang melakukan sesuatu di atas sebuah atap gedung.
“Kau sudah menandainya?” tanya salah satu pria kepada temannya. Mereka berpakaian serba hitam, mengenakan topeng dan juga sarung tangan karet.
“Ya. Target sudah terkunci. Mereka — berlima.” sahut lelaki yang memegang senapa laras panjang.
“Abaikan kelima orang itu. Target kita hanya satu.”
“Ya. Aku mengerti.”
Lelaki yang memegang senjata laras panjang tadi lantas bersiap-siap menembak seorang pria yang mengenakan jas dan dasi. Pria itu sedang berada di dalam sebuah gedung, tepatnya di lantai lima. Gedung itu sendiri berlapis dinding kaca mulai dari lantai ke tiga hingga lima. Dan, saat ini, sosok yang menjadi target penembakan itu terlihat sedang berbicara dengan beberapa orang di sana.
Sebelum si lelaki bersenjata menekan pelatuk, seorang polisi berambut cepak seketika mencekik lehernya dari belakang. Serangan itu memaksa si lelaki menjatuhkan senapannya dan berusaha mencoba melepaskan lilitan tangan sang polisi.
“Aksimu cukup sampai di sini saja.” kata sang polisi berambut cepak. Namanya Armando dan biasa dipanggil Kapten Arman. Dengan satu gerakan cepat, ia membalikkan lelaki bersenjata itu menghadapnya, kemudian ia antukkan kepalanya ke hidung musuh. Lelaki tersebut langsung terkapar pingsan.
Di sisi lain, satu polisi lainnya juga bergerak cepat. Dengan sebuah pergerakan tak terduga, dia memukuli teman dari lelaki bertopeng tadi dan dalam detik itu dirinya juga terkapar tak sadarkan diri. “Untung saja tepat waktu.” ujar polisi ini.
Armando tidak menjawab rekannya. Ia mengambil sebuah teropong mungil dan mengecek keadaan gedung yang menjadi tempat sasaran dua bandit tadi. Sampai sejauh ini, situasinya masih aman terkendali. Lantas ia pun melirik rekannya dan hendak mengatakan sesuatu. Namun, sebelum dirinya berbicara sebuah ledakan dahsyat mengejutkannya. Dia pun spontan mengalihkan pandangan ke arah lantai lima gedung tadi dan melihat kobaran api menyala dengan cukup mengerikan.
“Apa-apaan itu.” gumam si polisi.
“Sepertinya kita tidak tepat waktu.” balas Armando.
Armando terlihat cukup kesal melihat kobaran api yang menyala-nyala di gedung itu. Ia lantas mencoba menghubungi rekan-rekannya yang ada di sana menggunakan radio penghubung yang tersemat di kerah jaket. Akan tetapi, mereka semua tidak menjawab.
“Apa yang harus kita lakukan, kapten?” tanya si polisi.
“Kita harus ke sana sekarang juga.” jawab Armando.
“Lalu, bagaimana dengan mereka?”
Armando lantas melirik kedua bandit yang sudah terkapar tidak sadarkan diri. “Borgol saja mereka. Ada beberapa polisi lain yang akan membawa mereka nanti.”
Rekan Armando pun bergerak cepat untuk memborgol kedua bandit ke sebuah tiang besi. Setelahnya, mereka berdua bersiap-siap pergi.
“Jangan gegabah.” ujar seorang laki-laki. Suaranya yang berat masuk melalui radio penghubung Armando. Dan, mendengar suara itu, sang kapten ini pun langsung menyadari siapa sosok yang berbicara tadi.
“Detektif Jimmy…” sahut Armando, “apa yang sebenarnya terjadi di gedung itu?”
“Ada beberapa jebakan — sebaiknya kau jangan ke sana.” jawab orang bernama Detektif Jimmy itu.
“Tapi… bagaimana dengan Pak Walikota?”
“Dia dalam kondisi aman. Beberapa rekanmu sudah membawanya pergi dari situ. Sekarang, tugasmu adalah mengawasi situasi sekitar. Masih ada beberapa bandit di sana.” tegas Jimmy.
Armando paham terhadap ucapan Detektif Jimmy. Ia pun memberi sebuah kode kepada rekannya untuk bersiaga. Lantas, rekannya itu berlari ke arah tepian atap gedung seraya merundukkan kepala. Sesampainya di sana, ia mengarahkan senjatanya ke depan sembari tetap waspada jikalau ada musuh yang muncul. Dalam posisi siaga, kedua mata polisi ini terus fokus berjaga-jaga.
Di sisi lain, Armando mengawasi keadaan di sekitaran atap gedung. Dia juga dalam posisi siap menembak. Ketika pria ini menolehkan kepala ke kanan, ia terkejut karena melihat ada dua bandit yang sudah tiba — mereka sedang membidik sang kapten. Lantas, hanya dalam satu detik kemudian, kedua bandit itu malah tertembak. Peluru meluncur deras dan berhasil melukai bahu dari kedua penjahat.
Armando sendiri bingung melihat dua bandit itu malah tertembak. Ia menolehkan pandangan ke berbagai sisi untuk mencari siapa yang menembak tadi. Dan, ketika dia melirik lurus ke sebuah gedung yang lumayan jauh serta tingginya pun sekitar dua kali lipat dari tempatnya berada, di sana ia melihat seorang lelaki berdiri sendirian dengan cukup gagah. Laki-laki itu terlihat memakai pakaian serba hitam.
“Detektif Jimmy…” ujar Armando pada dirinya sendiri sesaat setelah ia melirik lelaki berpakaian serba hitam tadi.
“Arman, lihat ponselmu.” kata lelaki yang bernama Jimmy tadi.
Tanpa banyak berbicara, Armando langsung mengambil ponsel dan ia pun mendapatkan sesuatu. Layar ponselnya seketika berubah menjadi peta di beberapa sektor kota Banda Jivah. Selain itu, terdapat sepuluh tanda titik di mana empat di antaranya berwarna biru dan sisanya berwarna hitam. Titik-titik itu berpindah-pindah seperti menunjukkan simbol kendaraan yang sedang bergerak.
“Apa maksudnya ini?” tanya Armando kepada Detektif Jimmy.
“Titik biru berarti polisi — yang hitam musuh.”
“Ooo begitu, ya. Kalau dilihat-lihat, sepertinya para polisi sedang mengejar musuh.”
“Benar. Tapi jangan salah. Coba lihat ke sisi utaranya.”
Armando lantas memerhatikan peta di layar ponselnya ke arah sisi utara. Di sana, terdapat tiga titik lain yang berwarna merah.
“Ini apa?” tanya Armando. Ia merujuk kepada titik merah tadi.
“Jebakan…” jawab Jimmy, “musuh-musuh yang bertanda titik hitam memang berniat dikejar oleh polisi — dan mereka semua menuju kepada titik merah itu. Aku tak tau jebakan apa yang sedang mereka rencanakan. Tapi, aku minta kau untuk menghubungi salah satu rekanmu yang sedang mengejar bandit-bandit itu untuk mengubah rute. Sisanya biar menjadi urusanku.”
Armando sendiri masih belum tahu apa yang sedang direncanakan oleh Detektif Jimmy. Ia lantas melirikkan mata ke arah gedung tinggi tadi, tempat si detektif berada, namun pria itu sudah tidak ada lagi di sana. Lantas, tanpa berpikir panjang Armando buru-buru menghubungi salah satu polisi yang sedang mengejar bandit. Ia mengatakan hal yang sama seperti perintah Jimmy. Dan, para polisi mengerti.
Sementara itu, di lokasi lain, seorang laki-laki berpakaian jas dan dasi sedang berada di dalam mobil minibus bersama tiga pria bersenjata lengkap. Laki-laki berdasi itu adalah Walikota Banda Jivah — dialah yang tadinya menjadi sasaran penembakan. Dan, saat ini, ia duduk di bagian tengah tanpa berbicara sedikit pun. Wajahnya sedikit pucat karena berada di sekeliling gerombolan bersenjata.
Salah satu pria bersenjata yang duduk di sebelah Walikota seketika memegangi paha lelaki itu. “Tenang saja. Kami ada di pihak anda.” ujarnya.
Sang Walikota menoleh ke pria itu dan bertanya, “siapa sebenarnya kalian? Kenapa kalian menculikku dari gedung itu?”
“Tanpa mengurangi rasa hormat kami — maaf kami tidak bisa menyebut siapa diri kami. Hanya saja, tugas kami saat ini adalah melindungimu dari sekelompok berandalan.”
“Melindungiku…?” tanya Pak Walikota seraya mengernyit, “jadi… kalian semua polisi?” batin pria ini seketika menjadi sedikit tenang.
Pria bersenjata itu tidak menanggapi pertanyaan Walikota. Ia hanya memperbaiki posisi duduknya serta mengalihkan pandangan dari wajah sang pemimpin Kota Banda Jivah tersebut.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kau harus mengatakannya padaku.” tutur Walikota kepada lelaki tadi.
“Misi pembunuhan.”
“Misi pembunuhan?”
“Musuh berniat membunuh anda di gedung itu.” tutur pria bersenjata. Ia merujuk kepada gedung yang meledak tadi.
Sang Walikota cukup terkejut mendengarnya. Ia baru tahu bahwa ada misi terselubung dari segelintir orang untuk membunuhnya.
“Apa tujuan mereka? Kenapa ingin membunuhku?” tanya Walikota.
“Masih diselidiki — yang jelas kami harus membawa anda ke tempat aman. Apapun yang terjadi, anda harus tiba ke lokasi secepat mungkin — itulah misi kami saat ini.”
Mobil minibus itu terus melaju kencang ke sebuah daerah yang sangat rahasia. Semakin kendaraan itu melewati jalanan, semakin sunyi saja keadaannya. Sang Walikota melirik ke luar melalui jendela mobil — dari yang awalnya masih banyak kendaraan yang lewat, kini malah sudah tidak ada satu pun di jalanan kecuali mobil yang mereka itu. Hal ini membuat Pak Walikota kembali risau. Ia terus bertanya-tanya di dalam hati; akan dibawa ke mana dirinya oleh orang-orang bersenjata itu.
Tak lama berselang, mobil minibus ini berhenti di sebuah kediaman — rumah bertingkat dua. Hanya itu satu-satunya rumah, selebihnya hanya ada pepohonan yang cukup besar dan rindang.
“Di mana ini?” tanya Pak Walikota.
“Tempat yang kumaksud tadi. Anda sudah sampai.” jawab lelaki yang duduk di sebelah Pak Walikota.
“Apa maksudmu mengantarkanku ke rumah yang tidak ada orangnya?”
Pertanyaan Pak Walikota langsung terjawab setelah salah satu polisi datang menghampiri mobil minibus. Polisi itu langsung membuka pintu bagian tengah di mana sang Walikota berada.
“Maaf sudah mengganggu kenyamanan anda, pak.” ujar polisi tadi.
“Tiyo…?” tanya Walikota setelah ia melihat polisi tadi, “sebaiknya kau menjelaskan masalah ini sekarang — ancaman seperti apa yang ditargetkan kepadaku?”
“Ya, aku akan mengatakannya saat kita berada di dalam rumah itu.” jawab polisi bernama Tiyo tadi sembari mengarahkan jari telunjuk ke kediaman bertingkat dua.
Ketika Tiyo dan Pak Walikota sudah berada di dalam rumah, tepatnya di sebuah kamar, polisi itu pun menjelaskan rinciannya terkait aksi yang dilancarkan oleh segelintir orang untuk menghabisi sang pemimpin Kota Banda Jivah ini. Mereka berdua duduk di atas kursi kayu dan saling berhadapan. Hanya ada cahaya lampu pijar yang menerangi ruangan tersebut.
“Pembunuh bayaran?” ucap Walikota. Ia cukup terkejut ketika mendengar ulasan dari Tiyo.
“Dengar, pak… ini baru asumsi saja. Barangkali ada motif lain dari para berandalan itu. Sampai detik ini mereka masih beroperasi di pusat kota. Kabar buruknya, mereka tahu tempat-tempat yang sering anda kunjungi — bahkan juga tempat rahasia anda. Karna itu aku berniat membawa anda ke sini.” sahut Tiyo.
“Jadi, orang-orang di mobil tadi rekanmu?”
“Bukan.”
Sang Walikota sedikit terkejut mendengarnya. “Lantas siapa mereka?” tanya pria ini.
“Mereka polisi intel — identitas mereka sangat rahasia. Jadi, aku pun tak bisa membeberkannya pada anda.”
“Aku ini Walikota Banda Jivah — ”
“Tidak terkecuali untuk Walikota Banda Jivah — mereka pasukan khusus yang bertugas melindungi orang-orang seperti anda.” tutur Tiyo. Suaranya yang tegas membuat Pak Walikota agak mengernyit. Tapi, dia pun tidak bisa membalas apa-apa lagi sebab ia melihat wajah Tiyo yang cukup serius.
“Baiklah. Jika ini rencana untuk membunuhku, lantas apa yang sedang kalian rencanakan?” tanya sang Walikota.
“Sudah jelas — kami sedang mempelajari motif mereka. Berandalan-berandalan ini tersebar di beberapa sektor Kota Banda Jivah — hal itu membuat sebagian polisi susah mendeteksi mereka. Aku harus memastikan tak ada korban jiwa dalam kasus ini. Dan, sejauh ini, kabar baiknya masih belum ada yang terluka, apalagi yang tewas. Hanya saja, ada beberapa gedung yang meledak, termasuk gedung tempat anda berada tadi. Kabar baik lainnya, semua orang yang ada di dalam gedung-gedung yang meledak itu berhasil dievakuasi dengan baik — mereka semua selamat tanpa ada yang terluka.” jelas Tiyo.
Sang Walikota menatap polisi itu dengan tatapan yang cukup serius. “Tiyo…” kata pria ini, “sepertinya kau sudah tau banyak tentang gerak-gerik musuh.”
“Aku bekerja sama dengan Detektif Jimmy.”
Pak Walikota spontan mengernyit. “Sudah beberapa kali aku mendengar nama itu. Ternyata, dia memang benar-benar ada di kota ini…”
“Keberadaannya di Banda Jivah sudah cukup membantu polisi dalam menangkap para penjahat.”
“Tapi, siapa sebenarnya detektif itu?”
“Dia hanya sosok yang tidak punya identitas…” tutur Tiyo “tapi cukup diwaspadai oleh para berandalan.”
Bersambung…