Ancaman di Pusat Kota
Bagian IV
Situasi di pusat Kota Banda Jivah semakin memburuk. Ledakan demi ledakan yang berasal dari bawah tanah tak henti-henti berdentum meluluh lantakkan aspal jalanan. Kini, sekitar dua puluh pemadam tiba dan berusaha memadamkan api yang berkoba-kobar.
Di sisi lain, para polisi terlihat sibuk mengevakuasi masyarakat yang berhamburan meninggalkan kendaraan mereka. Tidak hanya melalui darat, polisi juga menggunakan helikopter — sebanyak tiga pesawat baling-baling itu sedang memantau area ledakan di tiga lokasi yang berbeda.
Segelintir pembunuh bayaran yang sudah disewa oleh Afriani telah mengaktifkan bom di area selokan yang terdapat di bawah aspal jalanan. Namun, keberadaan mereka saat ini sedang dalam pantauan. Armando yang kini mulai memimpin para polisi di tengah kota sudah mencoba melacak titik-titik lokasi mereka dengan mendatangi setiap selokan, tapi hasilnya masih nihil.
“Seharusnya… kita pasti berpas-pasan dengan musuh di dalam sini.” ujar Armando kepada seorang polisi. Saat ini mereka masih berada di dalam selokan bersama sekelompok polisi lainnya.
“Apa mungkin mereka sudah kabur? Karna… tujuan berandalan itu hanya menanamkan bom di dalam selokan ini.”
“Jika pun mereka kabur, paling tidak kita bisa saja berpas-pasan dengan mereka walau hanya satu orang. Sangat mustahil bagi mereka untuk kabur dari tempat ini dengan cepat.” sahut Armando.
Sementara itu, di lokasi lain, tepatnya di sebuah kantor pemancar jaringan internet, ada sekumpulan pria asing yang saat ini sedang berada di dalam sebuah ruangan. Banyak layar LCD di situ yang semuanya menampilkan video berupa keadaan pusat Kota Banda Jivah saat ini. Pria-pria itu cukup fokus menatap layar LCD yang ukurannya lumayan besar-besar. Dan, di antara mereka, terlihat ada tiga laki-laki dan dua wanita yang terkapar di lantai dalam kondisi tak sadarkan diri. Tampaknya, mereka adalah petugas dinkantor tersebut.
“Ternyata… polisi-polisi Banda Jivah tidak begitu pintar. Mereka kira kita melancarkan ledakan dengan menanamkan bom di dalam selokan.” ujar salah satu dari pria asing — dikenal dengan nama Aldo. Dia mengenakan setelan kemeja putih berlengan panjang yang ia gulung sampai ke atas siku.
“Idemu hebat juga…” sahut pria lain yang memakai kaos oblong abu-abu, “menggunakan drone yang bisa meledak ternyata cukup ampuh mengacaukan keadaan kota. Sekarang, polisi malas sibuk mencari titik bom — padahal kita melakukannya dengan drone. ”
“Ini bukan masalah ledakan — tapi perintah Afriani. Kita membuat kekacauan di pusat kota untuk mengalihkan perhatian polisi. Dan sekarang mereka cukup sibuk — kita punya kesempatan besar untuk membunuh istri walikota — sesuai perintah wanita itu.”
Aldo lantas mengambil HT dan berbicara dengan seseorang. “Pasukan drone, sudah waktunya kalian pindah lokasi ke Jalan Kosong Lima. Untuk pasukan intel, siaga di Jalan Mawar. Kami akan bergerak ke tempat istri walikota.” katanya.
Para pria asing itu lantas bergegas keluar dari ruangan tadi dan memasuki sebuah mobil jenis minibus berwarna hitam. Kendaraan itu pun langsung melaju kencang.
Di samping itu, seorang lelaki berjaket hitam yang diduga Detektif Jimmy — ia berdiri di atas tepian atap gedung pemancar jaringan internet. Tangan kirinya menggenggam sebuah alat misterius berbentuk persegi dan berukuran sedikit mungil. Ia lantas mengarahkan alat tersebut ke mobil minibus dan menekan sesuatu. Tak lama berselang, dirinya melirik arloji; kini, ada sebuah titik hitam yang bergerak tajam. Titik hitam itu adalah mobil minibus yang ditumpangi oleh segelintir pria asing tadi.
“Tiyo…” kata Detektif Jimmy melalui radio penghubung, “arahkan pasukan khususmu ke Jalan Kosong Lima.”
Pasukan khusus yang dimaksud oleh Jimmy adalah mereka para tim Jaguar yang sebelumnya berhasil meringkus Afriani. Dan, detektif itu tidak hanya menghubungi Tiyo. Dia juga mengabari Armando untuk bergerak ke sebuah gedung yang ada di Jalan Mawar.
Seorang lelaki penunggang sepeda motor Trail seketika menepi di pinggir jalan. Ia bukan orang biasa sebab memiliki senjata laras panjang yang tersangkut rapi di punggungnya. Selagi menepi, matanya tertuju ke depan, tepat ke sebuah mobil minibus yang ditumpangi oleh Aldo dan kawanannya. Lantas, ketika mereka berpas-pasan, lelaki ini menganggukkan kepalanya dan mobil itu pun terus melaju meninggalkannya.
“Tingkatkan kesiagaan. Aldo dan yang lainnya dalam perjalanan ke tempat istri walikota berada. Jangan sampai perjalanan mereka diketahui oleh polisi.” kata lelaki ini melalui HT.
Saat sudah bersiap-siap menunggangi Trail, seketika ada sesuatu yang menusuk kaki laki-laki itu. Dia sempat mengerang dan bahkan sampai terjatuh dari sepeda motor. Dalam kesakitan, iaberusaha melihat dan mengambil sesuatu yang menusuk kakinya tadi. Tapi, belum pun berhasil, lagi-lagi ada benda misterius yang menyerangnya — kali ini menancap mulus di sekitaran tumit.
“Hey…” gumam laki-laki itu melalui HT, “tolong aku…! ada seseorang — aku terluka.”
Sang lelaki awalnya mencoba untuk tidak mengerang meskipun kakinya sudah terluka dan berdarah-darah. Tapi, dia akhirnya malah menjerit panjang sesaat ketika ada benda tajam yang melukai lengannya.
Selang beberapa menit, lima pengendara Trail tiba. Salah satu dari mereka yang mengenakan jaket kulit langsung datang menghampiri laki-laki yang terluka tadi. Ia pun terkejut saat melihat ada tiga benda mungil berbentuk bintang — di setiap sisinya cukup runcing yang mana sangat ampuh jika digunakan untuk melukai seseorang.
“Benda apa itu?” tanya si pengendara berjaket. Ia mencabut senjata itu dari lengan laki-laki tadi dengan hati-hati. Begitu sudah tercabut seutuhnya, ia memandangi benda tersebut dan kemudian menoleh ke belakang, kepada rekan-rekannya.
“Aku pernah melihat benda itu di sebuah film…” ujar pengendara lainnya, “bentuknya sangat mirip dengan senjata yang biasa digunakan oleh Ninja.”
“Ninja?”
“Itu shuriken — Ninja menggunakannya untuk menyerang musuh dari jarak jauh.”
“Jadi… maksudmu… ada seorang Ninja di sekitaran sini?” tanya si pengendara berjaket.
“Mustahil. Ninja hanya ada di Jepang — dan mereka sangat tertutup.”
Para pengendara Trail itu malah memperdebatkan persoalan Ninja. Dan, melihat salah satu rekan mereka sudah terluka, beberapa pengendara lainnya juga berdatangan. Mereka semua kini dalam waspada yang besar. Namun, dalam kewaspadaan itu, mereka tak henti-henti membahas perihal Ninja dan senjata shuriken tadi. Wajar saja, mereka sangat terkejut melihat benda berbentuk bintang tersebut.
Di tengah perdebatan, tanpa para pengendara itu sadari, ada sebuah benda bulat yang seketika saja mendarat di tengah-tengah mereka. Lalu, hanya selang beberapa detik, benda tadi malah mengeluarkan asap. Gumpalan asapnya dengan cepat mengepul dan menyebar lumayan luas.
“Apa-apaan ini…!” teriak salah satu pengendara.
Para penunggang Trail panik. Mereka mengarahkan senapan ke berbagai arah dan mulai menembak. Lantas, di saat-saat kepanikan itu, muncullah Detektif Jimmy — dia mendarat dari suatu tempat kemudian menyerang mereka semua tanpa ampun. Sempat terdengar beberapa suara patahan ketika Jimmy melancarkan aksinya. Lalu, tak sampai satu menit, semua pengendara sudah terkapar di tengah kabut asap.
Saat kepulan asap mulai lenyap, barulah kemudian terlihat para penunggang Trail tadi yang sudah terkapar tak berdaya. Kondisi mereka penuh dengan lumuran darah — cukup mengenaskan. Tak ada satu pun di antara mereka yang baik-baik saja. Bahkan, salah satu leher dari pengendara terluka cukup parah. Darah merembes tanpa henti dari lehernya.
“Si… siapa kau?” tanya laki-laki berjaket tadi kepada Detektif Jimmy.
Jimmy menoleh ke belakang — sorot matanya yang dingin itu langsung tertuju ke lelaki berjaket yang tergeletak di atas trotoar tersebut. Di tengah tatapan sang detektif, seketika terjadi ledakan beruntun di sebuah gedung yang lokasinya sekitar seratus meter dari tempat mereka berada.
Ledakan beruntun itu membuat si laki-laki berjaket kulit spontan menoleh ke arah gedung. Matanya langsung terbelalak melihat percikan-percikan api di sana. Lalu, dari menatap gedung, ia menolehkan pandangannya kepada Jimmy. Dalam sekejap mulutnya langsung terbuka lebar dan kedua matanya melotot ketakutan bagaikan melihat malaikat maut.
“Tak ada yang bisa bersembunyi dariku — termasuk rekan-rekanmu yang ada di gedung itu.” kata Jimmy. Suaranya terdengar cukup berat yang mana membuat laki-laki berjaket gemetaran.
Mobil minibus akhirnya berhenti di depan pagar sebuah rumah. Situasi di sana terasa cukup tenang karena jaraknya yang jauh dari pusat kota — tak ada suada ledakan atau tembakan — hanya suara desir angin malam yang lumayan teduh dan sejuk.
Aldo bersama rekan-rekannya keluar dari mobil dan berjalan santai memasuki pekarangan rumah. Masing-masing dari mereka membawa senjata laras panjang, sedangkan Aldo hanya hanya menggenggam sebuah pistol otomatis. Dengan penuh percaya diri, salah satu rekan Aldo langsung membuka pintu depan rumah itu dan mereka pun bersua dengan seorang bocah laki-laki yang berusia sekitar sepuluh tahun.
“Hai…” sapa Aldo seraya mengumbar senyuman, “di mana ibumu?”
Anak laki-laki itu tidak menjawab apa-apa — dia langsung berbalik badan dan hendak berlari, namun sayangnya salah satu rekan Aldo berhasil menangkapnya. “Kau takkan ke mana-mana, bocah.” kata lelaki itu.
“Mamaaa…! mamaaa…!” teriak bocah itu. Dia memukuli lengan laki-laki yang menangkapnya walaupun usahanya itu sebenarnya sia-sia.
Sesaat setelah teriakan sang bocah, lantas muncullah seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan. Dialalah sosok istri dari Walikota Banda Jivah. Dan, melihat anak laki-lakinya dalam bahaya, ia pun berteriak meminta pertolongan. Akan tetapi, Aldo langsung berlari kemudian menampar wanita itu hingga dirinya terkapar.
“Percuma saja kau berteriak. Semua polisi yang bertugas menjagamu di sini sudah tewas.” gumam Aldo.
Memang, ada lima polisi yang ditugaskan oleh Tiyo untuk menjaga istri walikota beserta anak-anaknya. Tapi, sepertinya rekan-rekan Aldo yang lain sudah berhasil melumpuhkan mereka semua.
“Tak ada siapa-siapa di sini kecuali hanya kita. Jadi, kau mau aku langsung membunuhmu…? atau kau mau kuperkosa dulu? Kapan lagi aku bisa merasakan kehangatan tubuh istri Walikota Banda Jivah?” celoteh Aldo.
Aldo lantas menjambak rambut istri sang walikota kemudian menoleh kepada rekan-rekannya. “Pastikan situasinya tetap aman.” katanya.
“Apa kau benar-benar ingin melakukannya?” tanya salah satu rekan Aldo seraya tersenyum kecil dan mengernyitkan dahinya.
“Ini kesempatan langka. Aku harus meniduri perempuan ini.”
Setelah mengatakan itu, Aldo lantas membawa paksa istri walikota ke dalam sebuah kamar dengan cara menjambak rambutnya. Setelah menutup pintu, pria itu pun mencampakkan sang wanita ke atas ranjang seraya mengarahkan pistol.
“Tolong…” kata istri walikota seraya menangis, “kumohon jangan.”
“Patuhi aku jika kau ingin semuanya baik-baik saja.” balas Aldo seraya menanggalkan kemejanya. Dengan penuh gejolak nafsu, ia berjalan menaiki ranjang dan bersiap-siap mencumbui istri walikota. Namun, sebelum dirinya melakukan perbuatan mesum itu, Tiyo pun datang. Polisi ini berlari dari arah belakang Aldo dan memukuli kepala lelaki itu menggunakan pistol. Masih belum berhenti menyerang, sang polisi lantas mencekik leher Aldo dan menarik paksa dirinya menuruni ranjang.
“Jadi, kaulah sosok dari ketua pembunuh bayaran ini. Kau bekerja sama dengan Afriani untuk membunuh istri walikota.” kata Tiyo. Dia mencekik leher Aldo dengan lebih erat.
Sementara itu, Aldo berusaha melawan. Ia menyikut-nyikut perut Tiyo. Dan, perbuatan si ketua pembunuh bayaran ini membuat berang sang polisi; ia membawa Aldo mendekati cermin kemudian mengangtukkan kepala laki-laki itu hingga membuat kacanya pecah berserakan.
Aldo sempat terkapar — kini kepalamya penuh dengan rembesan darah. Tapi, ia menolak menyerah. Dengan kobaran amarah, lelaki itu bangkit dan mencoba menendang perut Tiyo. Akan tetapi, serangannya mampu dibaca mudah oleh sang polisi — Tiyo menangkis kaki Aldo dengan cukup sigap, lalu menyepak dadanya. Laki-laki itu pun terempas jauh hingga menubruk dinding.
Keributan yang terjadi di dalam kamar membuat rekan-rekan Aldo datang. Begitu mereka membuka pintunya, mereka terkejut melihat Aldo yang tergeletak dengan lumuran darah di kepalanya.
“Tembak dia!” teriak Aldo.
Maka, di tengah hamburan peluru, Tiyo buru-buru berlari ke arah jendela. Akan tetapi, belum sampai dirinya ke sana, kaki polisi itu malah tertembak. Kini, ia berada dalam situasi hidup mati, namun dirinya tidak menyerah. Dengan tertatih-tatih serta melindungi kepalanya dari hantaman peluru, Tiyo tetap mencoba kabur. Namun, baru dua langkah, Aldo seketika sudah berada di belakang polisi itu — ia menjambak rambut Tiyo kemudian mengangtukkan kepalanya ke kaca jendela.
Praaaangg
Kaca jendela itu pun pecah tak bersisa.
Setelah mengangtukkan kepala Tiyo ke kaca jendela, Aldo juga menghantam polisi itu ke dinding berkali-kali sampai dirinya tumbang dan terkapar lemah tak berdaya. Kini, mulai dari kepala dan sekujur pakaian Tiyo penuh dengan lumuran darah.
“Bunuh dia sekarang!” jerit salah satu rekan Aldo.
“Ya… aku akan melakukannya — tapi setelah menyiksanya.” jawab Aldo.
Sang ketua pembunuh bayaran itu menghentakkan kakinya ke dada Tiyo, membuat polisi itu menyemburkan banyak darah dari mulutnya.
“Aku mengenalmu, keparat — sosok polisi yang biasa dipanggil Tiyo. Tak kusangka ternyata kau ada di sini. Tapi, aku tidak terkejut karna kau memang seorang polisi yang hebat.” kata Aldo.
Tiyo sudah tak bisa melakukan apa-apa. Setelah mendapat serangan brutal dari Aldo, dia sudah cukup lemah.
“Sangat cerdik…” lanjut Aldo, “kau bisa bisa tau sosokku sebagai orang yang menyusun strategi pembunuhan istri walikota. Kau juga bisa melacak pergerakan kami ke sini tanpa kami sadari — padahal kami sudah merancang jebakan agar seolah-olah misi ini terlihat seperti misi membunuh walikota. Kau memang polisi berbahaya — karna itu aku harus membunuhmu. Tapi, tak masalah sekarang. Setelah membunuhmu, aku bisa melanjutkan aksiku kepada istri walikota. Dan, setelah aku membunuhnya juga, aku akan mendapat bayaran yang cukup banyak dari Afriani. Bodoh sekali — seharusnya kau juga menangkap Afriani karna sebenarnya dialah dalang di balik semua ini. Tapi, kupikir percuma saja — kau tetap tak tau di mana posisi wanita itu.”
Dalam posisi tak berdaya, Tiyo malah senpat-sempatnya mengekeh. “Kalau dipikir-pikir, kaulah yang bodoh. Afriani sudah tertangkap.” celoteh si polisi.
Aldo menatap wajah Tiyo dengan sorot mata terkejut. “Tak mungkin…”
“Kau pikir… aku datang ke sini untuk menanyakan di mana keberadaan Afriani? Jika kau berpikir begitu, kau salah total. Aku datang ke sini untuk mengalahkanmu. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya kau membunuh istri walikota, kau tetap tidak mendapat sepersen pun dari Afriani.”
Aldo mulai murka. Dia berjongkok dan menekan leher Tiyo dengan lututnya. Sementara itu, sang polisi spontan menahan lutut Aldo — dia berusaha menyingkirkannya walaupun tidak mudah.
“Sepertinya aku sedikit meremehkan polisi-polisi Kota Banda Jivah. Tapi, tidak masalah karna paling tidak aku berhasil membunuh salah satu polisi terbaik di kota ini. Jadi, apa kau punya kata-kata terakhir, Kapten Tiyo?” celoteh Aldo. Dia cukup puas bisa mengejek polisi itu di momen dirinya terluka parah.
Di sisi lain, wajah Tiyo mulai pucat pasi karena kesusahan bernapas. Perlahan-lahan, tenaganya melemah, membuat usahanya yang sedang menyingkirkan lutut Aldo terasa tidak berarti.
Di tengah situasi mencekam itu, terjadi sebuah ledakan dahsyat di area luar rumah. Kejadian tersebut spontan mengejutkan Aldo dan rekan-rekannya.
“Mustahil…” tutur salah satu rekan Aldo. Mata lelaki itu menatap lurus ke arah jendela kaca yang sudah pecah. Ia sedang melihat kobaran api di sebuah kediaman lainnya.
“Ada apa?” tanya Aldo kepada rekannya.
“Ledakan tadi — ”
Aldo paham bahwa ada sesuatu — sesuatu yang cukup berbaya. Ia lantas bangkit menuju ranjang dan menarik lengan istri walikota. “Sebaiknya kita pergi sekarang. Ayo.” katanya kepada yang lain sambil membawa paksa istri walikota.
Aldo dan rekan-rekannya bergegas keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu untuk kabur. Namun, mereka semua terkejut saat melihat pintunya tertutup rapat. Ketika mencoba membukanya, ternyata malah terkunci.
“Dobrak saja!” teriak Aldo kepada salah satu rekannya.
Lantas, salah satu lelaki menendang pintunya berulang kali tapi tidak berhasil. Panik! Mereka semua kembali ke kamar tadi dan berniat kabur melalui jendela yang sudah pecah. Akan tetapi, jendelanya yang bolong itu malah sudah tertancap beberapa besi. Salah satu rekan Aldo mencoba mematahkannya dengan senapan, tapi besi itu ternyata cukup padat.
“Kita keluar dari belakang.” gumam Aldo.
Ketika mereka berbalik badan, semuanya terkejut karena melihat pintu kamar yang juga malah ikut-ikutan tertutup. Aldo yang sudah murka lantas berlari dan menendangnya, tapi usahanya berakhir sia-sia. Kini, mereka terkurung di dalam kamar itu.
“Sialan… sepertinya semua pintu di rumah ini terbuat dari baja.” kata Aldo.
“Tapi, siapa yang melakukannya? Seseorang seperti sedang mengurung kita di sini.” balas salah satu rekan Aldo.
“Siapa pun dia… yang jelas kita harus waspada. Aku merasa seperti ada orang yang sangat berbahaya di sekitar kita.”
Tepat setelah perkataan Aldo tadi, seketika ada asap yang memenuhi kamar itu. Sontak mereka semua menembak ke berbagai arah karena panik. Situasi berubah mencekam ketika terjadinya ledakan-ledakan kecil beruntun — Aldo dan yang lainnya mulai berteriak-teriak sambil terus menembak sampai peluru dari senapan mereka habis tak tersisa. Dan, di waktu itulah ledakan berhenti, namun kepulan asap masih terus mengepul tebal serta membutakan jarak pandang mereka.
Dalam momen itu, satu per satu rekan Aldo menjerit meminta tolong. Suara-suara pecahan terdengar jelas seperti ada seseorang yang sedang menyerang.
Sementara itu, Aldo buru-buru berlari dan bersembunyi di bawah ranjang. Dia terus mendengar jeritan-jeritan dari rekan-rekannya, membuat lelaki ini gemetaran dan sangat ketakutan.
Ketika teriakan itu lenyap dan memgubah situasinua menjadi sunyi, dari bawah ranjang Aldo dapat mendengar suara tapak sepatu milik seseorang yang sedang berjalan. Suara tersebut semakin dekat menuju ke lelaki itu. Lalu, tiba-tiba ranjang tempat Aldo bersembunyi malah terangkat tinggi dan tercampak jauh. Di momen inilah sang lelaki yang dalam posisi telungkup, menolehkan kepalanya ke atas dan melihat sosok Detektif Jimmy. Di tangan detektif itu terdapat sebuah kunai yang penuh dengan lumuran darah.
“Si… siapa kau?” tanya Aldo yang gemetaran.
Jimmy tidak menyahut apa-apa. Dia hanya menyorot laki-laki itu dengan tatapan bengis. Dan, tanpa basa-basi, sang detektif melempar kunainya ke paha Aldo.
“Aaaakkkkhhh…” Aldo mengerang kesakitan.
Meski sudah melukai paha Aldo, Jimmy terlihat masih belum akan berhenti. Dia lantas menjambak rambut lelaki itu, menyeretnya jauh kemudian menghantamkan kepalanya ke tembok.
Masih belum cukup, sang detektif memaksa Aldo menghadapnya, lalu menghujani sebuah tinju yang cukup keras di dada pria itu. Darah pun tersembur deras dan seketika itu juga ia terduduk pasrah tak berdaya.
Dalam posisi terduduk itu, seiring kepulan asap yang mulai lenyap, tak sengaja Aldo menoleh ke kiri — ia terkejut melihat seluruh rekan-rekannya sudah terkapar bersimbah darah. Pemandangan itu membuatnya semakin ketakutan.
“Ada apa…?” tanya Jimmy. Suaranya terdemgar cukup berat. “Kau pembunuh bayaran. Harusnya tak ada alasan bagimu untuk takut hanya karna melihat kawananmu menjadi sampah.”
Aldo tidak menjawab apa-apa. Dia terluka parah — ketakutan — gemetaran — dan bahkan sampai terkencing-kencing. Kehadiran sosok Jimmy membuat aura membunuh Aldo ciut.
“Katakan padaku…” sambung Jimmy, “kau ingin langsung berada di penjara…? atau aku menyiksamu terlebih dahulu?”
“Am… ampuni aku. Kumohon…” Aldo malah menangis seperti anak kecil.
Jimmy sama sekali tidak peduli terhadap Aldo. Ia tetap bersikap dingin dan menyorot lelaki itu dengan tatapan begis. Lalu, tanpa banyak mengoceh, sang detektif memaksa Aldo berdiri — ia kembali meninju dada pria tersebut sampai terdengar suara retakan. Bukan hanya itu, Jimmy juga mematahkan kedua tangan serta kaki Aldo, kemudian membiarkan laki-laki itu terpakar dalam kondisi kritis.
Beres berurusan dengan Aldo dan kawanannya, Detektif Jimmy lantas menghampiri Tiyo. Polisi itu masih tergelegak di lantai sembari menutupi darah yang masih mengalir dari kakinya. Saat Jimmy sudah berada di hadapannya, ia lantas mencoba duduk meski harus menahan rasa sakit di kaki akibat gerkena tembakan.
“Kau sedikit brutal, Jim.” ujar Tiyo.
“Dan kau sedikit ceroboh…” jawab Jimmy seraya melirik Tiyo, kemudian beralih ke luka di kakinya. Melihat itu, iapun mengambil sehelai kain dari dalam saku jaket dan memberikannya kepada sang polisi. “Tahan darahnya. Kau masih punya banyak PR.” balas sang detektif.
Tiyo tersenyum dan mulai melilitkan helaian kain di kakinya. Begitu selesai, ia pun bangkit dengan perlahan-lahan sambil menahan rasa sakit. Sesaat, dirinya memalingkan kepala agak serong ke kanan di mana istri walikota terduduk pasrah di sudut kamar. Wajah wanita itu pucat pasi.
Melihat istri walikota yang sangat ketakutan, Tiyo lantas menghampirinya. “Sudah aman.” kata sang polisi.
“Ta… tapi… bagaimana dengan anak-anakku?” balas wanita itu.
Tiyo tidak langsung menjawab — ia menoleh kepada Jimmy dan menanti sesuatu.
“Mereka ada di kamar lain…” sahut Detektif Jimmy seraya berjalan mendekati pintu, lalu menendangnya dengan cukup kuat hingga jebol.
Tiyo sempat terbelalak selama beberapa detik saat melihat Jimmy berhasil mendobrak pintu berlapis baja itu dengan cukup mudah. Sesuatu yang tak bisa dilakulan oleh Aldo dan rekan-rekannya.
Di samping itu, Jimmy berjalan keluar dari kamar menuju kamar lainnya. Dia membuka pintunya dan terlihatlah tiga bocah; dua perempuan dan satu laki-laki. Mereka adalah anak dari walikota. Di sini, tatapan bengis Jimmy seketika lenyap — sorot mata dan raut wajahnya yang menakutkan itu berubah seratus derajat menjadi senyuman hangat nan teduh. Hal tersebut membuat para bocah tanpa ragu membalas senyuman sang detektif.
Anak-anak itu lantas menemui sang ibu. Situasi menjadi cukup haru ketika mereka semua saling berpelukan. Sementara itu, Tiyo dengan pincang berjalan menemui Jimmy yang saat ini sedang berada di area ruang tengah.
“Bagaimana situasi Tim Jaguar di jalan Kosong Lima?” tanya Jimmy kepada Tiyo.
“Sebelum aku tiba ke sini, mereka sudah berhasil melumpuhkan semua musuh. Armando juga ikut membantu bersama pasukannya karna aku yang minta. Aku sangat berterima kasih padamu — informasi darimu cukup membantu polisi melumpuhkan semua pembunuh bayaran.”
Sebenarnya, Armando tidak terjun langsung ke Jalan Kosomg Lima — dia bergerak ke Jalan Mawar sesuai instruksi Detektif Jimmy. Meski begitu, sang polisi tetap mengirimkan beberapa pasukannya ke Jalan Kosong Lima untuk membantu Tim Jaguar.
“Afriani?” tanya Jimmy.
“Dia juga bersama Tim Jaguar. Mereka akan membawanya ke markas besar.”
“Baiklah kalau begitu. Kuserahkan istri walikota padamu.” tutur Jimmy.
Detektif Jimmy berjalan ke area ruang tamu — ia lagi-lagi mendobrak pintu berlapis baja hingga copot, kemudian beranjak keluar dengan cukup santai seperti tidak terjadi apa-apa.
Di puncak atap bangunan Markas Besar Kepolisian Banda Jivah, Tiyo berjalan dengan bantuan tongkat. Ia menghampiri seorang pria berkemeja hitam yang saat ini sedang menatap situasi jalanan kota yang sedikit padat oleh lalu lalang kendaraan. Meskipun padat, arus lalu lintas tetap lancar.
Ketika Tiyo sudah berada di dekat pria itu, ia spontan menoleh ke belakang dan tersenyum. “Apa kabar?” tanya sang lelaki yang biasa dipanggil Komandan Arif. Dia merupakan Kapolres Kota Banda Jivah dan sangat dihormati oleh polisi lainnya.
“Tidak terlalu buruk.” balas Tiyo. Ia sudah berada di sebelah Komandan Arif.
“Aku turut prihatin dengan kondisimu.”
“Tidak masalah. Aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Luka di kakiku tidak terlalu fatal — lagipula ini bukan pertama kalinya aku tertembak.” ujar Tiyo.
“Walikota menitip ucapan terima kasih untukmu. Kau sudah bekerja keras demi melumpuhkan semua pembunuh — bahkan sampai membahayakan nyamamu. Karna itu, untuk membalas semua kebaikanmu, dia mengundangmu makan malam di kediamannya.”
“Aku hanya menjalankan tugas. Tapi, jika ingin berterima kasih, katakan pada walikota agar ia berterima kasih kepada Detektif Jimmy — dialah aktor utamanya. Tanpanya, mustahil kita bisa melumpuhkan semua musuh hanya dalam satu malam — apalagi jumlah mereka ada lebih dari seratus orang.”
Memang, menurut kabar jumlah pembunuh bayaran yang Afriani sewa berkisar sekitar seratus lima puluh orang. Mereka semua terdiri dari sosok-sosok profesional yang sudah terbiasa menjalankan misi pembunuhan di berbagai kota . Tapi, pada akhirnya citra mereka berakhir di tangan Jimmy.
“Jimmy…” tutur Komandan Arif, “gelagatnya yang dingin dan misterius —dia benar-benar sudah menjadi sosok menakutkan bagi para penjahat di kota ini. Apalagi, dia tak pernah ragu melukai mereka hingga babak belur. Memang, aksinya terkadang di luar batas, tapi begitulah caranya. Saat ini, kemampuan yang dimiliki oleh Jimmy berbeda jauh dari semua polisi di Banda Jivah. Cuma dia yang bisa melacak titik-titik keberadaan musuh tanpa mereka sadari — bahkan tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh polisi pun dia masih bisa menerobosnya. Kurasa, Jimmy benar-benar menjelma menjadi penjaga di kota ini. Caranya mengintai keberadaan musuh, gaya bertarungnya dan juga senjata-senjata unik yang ia miliki — Jimmy benar-benar sudah menjadi seorang mata-mata rahasia. Aku tidak menganggapnya sebagai detektif biasa — dia itu lebih pantas disebut sebagai Ninja — seorang shinobi.”
Ucapan Komandan Arif membuat Tiyo menangangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga mengumbar senyuman cerah sambil berkata, “Siapa sangka, Jimmy yang dulunya tidak bisa bertarung, sekarang malah menjadi petarung sejati. Aku penasaran, jenis latihan apa yang ia pelajari hingga bisa seperti itu. Karna… dia tidak hanya hebat dalam bertarung, tapi juga lihai melompat dari atas atap gedung ke gedung lainnya — dan dia melakukan itu dengan cukup baik . Nyalinya di luar akal sehat.”
“Seseorang bisa berubah seiring dirinya mengalami banyak hal kepahitan dalam hidupnya. Dan aku cukup lega melihat perubahan Jimmy. Alih-alih menjadi pendendam, dia malah ingin menegakkan keadilan. Kurasa, ayahnya pasti sangat bangga di alam sana.” tutur Komanda Tiyo.
Detektif Jimmy memang sudah lama eksis di Kota Banda Jivah. Namun, karena pembawaannya yang cukup misterius, tak ada satu orang pun dari para berandalan yang mengetahui seperti apa sosok Jimmy. Mereka hanya mendengar namanya saja, tapi tidak mengenali wajahnya. Meski begitu, dengan hanya mendengar namanya saja, itu semua sudah cukup mengancam keberadaan para penjahat.
Kehadiran Jimmy di tengah-tengah Kota Banda Jivah adalah untuk menumpas para mafia. Dia sangat rahasia dan tertutup, membuatnya sulit untuk dideteksi, baik secara identitas maupun tempat dirinya bersembunyi. Hanya segelintir orang saja yang tahu siapa sosok Jimmy itu. Selebihnya, apakah itu para bandit ataupun polisi, mereka semua tidak tahu apa-apa kecuali hanya mendengar nama dari Detektif Jimmy saja.
Bagi para polisi, nama Jimmy merupakan simbol keberanian. Sedangkan bagi mafia dan berandalan lainnya, namanya adalah ancaman.
Tamat